• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Dalam penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks yang terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).35 Analisis terhadap data penelitian kemudian secara logis dan sistematis dilakukan analisis terhadap putusan terhadap kasus putusan perkara tindak pidana yang berkaitan dengan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, sehingga diperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penomena dalam suatu aturan hukum.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas, kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.

35Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), Hlm.53.

BAB II

FORMULASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAPTINDAKPIDANA PEMERKOSAAN ANAK DIBAWAH UMUR BERDASARKAN

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT NO.694/PID.SUS/2016/PN-RAP

A. Perbuatan Tindak Pidana

Pada hakekatnya pengertian perbuatan tenyata bukan hanya yang berbentuk positif, artinya melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang, dan berbuat negatif artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan.Menurut Simons mengatakan bahwa dalam arti sesungguhnya berbuat (handelen) mengandung sifat aktif yaitu tiap gerak otot yang dikehendaki dan dilakukan dengan tujuan yang menimbulkan akibat yang dapat mencapai tujuan atau akibat dari sasaran norma.36

1) Suatu perbuatan manusia;

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri.Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus bahasa Indonesia tercantum

sebagai berikut: “Delik

adalah perbuatan yang dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”

Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni:

2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.37

Menurut Mulyanto menerjemahkan strafbaar feit dengan perbuatan pidana.Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

36Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta:RajaGrafindi Persada, 2014), Hlm.47.

37Ibid, Hlm.48.

adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani jasmani seseorang. Terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatannya dia, maka telah melakukan tindak pidana. Kata tindak pidana yang dipergunakan para ahli hukum pidana Indonesia adalah bermacam-macam antara lain tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan kriminal, dan tindak pidana. Dari berbagai pengertian tersebut. Terdapat pengertian dari tindak pidana yang dikemukakan oleh Sudarto.

Menurut Sudarto tindak pidana merupakan pembentuk undang-undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-udang.

Melalui pemahaman diatas dapat diartikan bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yan sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada dasarnya jika dikaji peraturan perundang-undangan pidana Indonesia seperti KUH-Pidana dan peraturan di bidang hukum pidana, tidak ditemukan pengertian tindak pidana. Tiap-tiap pasal undang-undang tersebut hanya menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dan bahkan ada yang hanya menyebut kualifikasi tindak pidana. Secara umum tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang tercela yang pembuatnya dapat dipidana.

Pada ketentuannya unsur-unsur tindak pidana dan unsur-unsur pembuat tindak pidana, membawa konsekuensi bahwa unsur-unsur itu harus dimuat di dalam surat dakwaan Penuntut umum dan harus pula dibuktikan di depan sidang Pengadilan.

Tidak berarti bahwa hanya unsur yang disebut secara expressis verbis (tegas) di dalam undang-undang itu saja yang merupakan unsur-unsur tindak pidana. Ada unsur-unsur tindak pidana yang sering tidak disebut dalam undang-undang namun

diakui sebagai unsur misalnya unsur melawan hukum yang materil dan tidak disebut dalam undang-undang bisa dinamakan unsur diam-diam yang tidak perlu dimuat dalam surat dakwaan penuntut umum dan tidak perlu dibuktikan. Unsur diam-diam perlu diterima sebagai asumsi, bahwa pembuatnya dapat membuktikan ketiadaan unsur-unsur itu.38

38Andi Zainal Abidin Farid, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), (Bandung:

Alumni, 1987), Hlm.220.

Menurut Moelyatno adapun unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana terdiri dari:

(1). Kelakuan dan akibat (perbuatan)

Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS ( Pegawai Negeri Sipil) tidak terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya adalah seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil).

(2). Hak ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

Misalnya pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan yang harus menyertai perbuatan penghasutan adalah dengan dilakukan dimuka umum.

(3). Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang Terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan.

Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka maka ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.

(4). Unsur melawan hukum yang objektif

Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.

(5). Unsur melawan hukum yang subjektif.

Unsur melawan hukum terletak di dalam seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP terdapat kalimat dengan maksud kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik mengambil barang untuk kemduian dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak dilarang.

Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang untuk dimiliki sendiir dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.39

1) Undang-undang (de wet) yakni undang-undang mengharuskan seseorang untuk berbuat, maka undang-undang merupakan sumber kewajiban hukum;

Berdasarkan ketentuannya terjadinya suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagaiPerbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif (tidak berbuat). Dalam hal ini dimaksudkan bahwa dengan handeling tidak saja perbuatan akan tetapi melalaikan atau tidak berbuat, seseorag yang tidak berbuat atau melalaikan dapat dikatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana.

Dalam hukum pidana, kewajiban hukum atau keharusan hukum bagi seseorang untuk berbuat dapat dirinci dalam tiga hal yakni:

2) Dari jabatan yakni keharusan yang melekat pada jabatan;

3) Dari perjanjian yakni keharusan dalam melakukan perjanjian;

4) Diancam Pidana;

5) Melawan hukum;

6) Dilakukan dengan kesalahan;

7) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab;

39Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rikena Cipta, 2008), Hlm.87.

8) Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan40

Setelah mengetahui defenisi dan pengertian dari ahli diatas lebih mendalam dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi, yakni:

a. Unsur objektif

Unsur objektif yaitu unsur yang terdapa di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaknu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Adapun terdiri dari:

1). Sifat melarang hukum;

2). Kualitas dari si pelaku;

3). Kausalitas yang merupakan hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur subyektif yaitu unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkadung di dalam hatinya. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan sebagainya;

4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu;

5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

40 Togot, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Bandung:UMM Pres, 2009), Hlm.105

Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam suatu perbuatan tindak pidana sangat menentukan jenis hukum yang akan dijatuhkan bagi pelakunya.

1. Pidana dan Pemidanaan

Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Pada dasarnya hukum tersebut yang dinyatakan pemidanaan. Berbica mengenai pidana dan pemidanaan dalam tataran undang-undang di Indonesia merupakan suatu hal yang selalu menggejala baik di kalangan ilmuan maupun praktisi hukum terlebih dahulu di masyarakat, karena ini merupakan persoalan yang selalu menjadi perbincangan dan selalu mungkin terjadi. Dalam hal ini selanjutnya proses pemberian pidana dan proses pemidanaan merupakan peranan hakim sangat penting. Hakim mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan penjatuhan pidana untuk orang tertentu dalam kasus tertentu.Untuk lebih mengetahui konsep pidana lebih jelas maka akan diberikan pengertian pidana pada umumnya.

Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pembinaan (treatment).41

Melalui pengertian tersebut pada hakekatnya pidana adalah pengenaan derita atau nestapa sebagai wujud pencela sehubungan terjadinya tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Akan tetapi sering dengan perkembangan ilmu hukum pidana, terlebih lagi setelah munculnya sanksi pidana berupa tindakan, sebagai akibat dari pengaruh aliran modren maka pengertian pidana sebagai pengenaan derita harus ditinjau kembali.

41Aruan Sakidjo, Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1990), Hlm.69

Proses pemberian pidana merupakan proses pemidanaan atau yang disebut dengan pemberian hukuman. Proses pemidanaan peranan hakim sangat diperlukan karena mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan penjatuhan pidana untuk orang tertentu dalam kasus tersebut.

Pidana dan pemidaan pada hakekatnya sama, namun pelaksanaan unsurnya berbeda. Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan yang menderitakan atau suatu nestapa.42

a. Menurut Utrecht sanksi dalam hukum pidana adalah sebagai akibat suatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial.

Akan tetapi hukuman dari perbuatan tersebut dikatakan dengan pemidanaan atau sanksi dari perbuatan yang dilakukan.

Menurut Moelyatno istilah hukuman atau disebut dengan straf merupakan istilah konvensional. Istilah yang benar atau inkonvensional untuk menggantikan straf adalah pidana. Istilah “strafrecht” yang selama ini digunakan sebagai terjemahan dari “hukum pidana”. Hukum pidana merupakan istilah yang lebih khusus yang dipakai dalam hukum pidana.

Beberapa pakar memberikan pandangan berbeda-beda dengan suatu pengertian tentang sanksi. Pengertian sanksi oleh para pakar adalah sebagai berikut:

b. Menurut Hambali Thalib sanksi dalam hukum pidana adalah sanksi hukum dalam arti sanksi negatif yang unsur-unsurnya dapat dirumuskan sebagai eaksi terhadap akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial, baik kaidah hukum maupun kaidah sosial non-hukum, dan merupakan kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu.

42Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.(Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), Hlm.32.

c. Menurut Hoefnagels sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan undang-undang, dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan Terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim.

d. Menurut Poernomo sanksi dalam hukum pidana adalah mengandung inti berupa suatu ancaman pidana dan mempunyai tugas agar norma yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma.

e. Menurut Sudikno sanksi dalam hukum pidana adalah suatu tujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah dalam keadaan semula.43

Kekhususan lain dari istilah pidana termasuk dalam hal bentuk atau jenis sanksi atau hukumannya, dimana sifat nestapa atau penderitaan lebih menonjol bila dibandingkan dengan bentuk hukuman yang dimiliki oleh aspek hukum lain. Bahkan para ahli hukum pidana ada yang mengatakan, bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi istimewa. Dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif yang artinya yaitu suatu nestapa yang sifatnya mencelakakan atau menderitakan pihak terpidana akibat dari perbuatannya. 44

2. Tujuan Pemidanaan

Tujuan pidana adalah memidanakan seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Untuk mencapai tujuan pemidanaan dikenal ada 3 (tiga) teori yakni:

(1). Teori pembalasan, diadakannya pidana adalah untuk pembalasan.

43Hambali, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, (Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika, 2005),Hlm.23

44 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung: Alumni, 1986), Hlm.41.

(2). Teori tujuan atau relatif, jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah dilakukan, sebaliknya teori-teori relatif ataupun tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut teori prevensi yang dapat ditinau dari dua segi yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan niatnya karena ada perasaan takut akan akibat yang dilihatnya jadi ditunjukan kepada masyarakat umum. Prevensi khusus ditunjukan kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.

(3). Teori gabungan, yakni gabungan antara kedua teori diatas.

Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makan pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat sehingga akibat dari perbuat tersebut diberikan sanksi pidana bagi yang melanggaranya.45

Hukuman akan memberikan efek jera kepada seseorang pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari pembuatnya maka hukum pidana dapat dikatakan sebagai jalan terakhir yaitu apabila upaya hukum lain selain hukum pidana dianggap tidak mampu dalam memberikan atau menyelenggarakan tata tertib dalam pergaulan masyarakat. Hukum pidana juga dapat dikatakan sebagai crimum meridium yaitu sebagai upaya antisipatif agar manusia mengetahui akibat yang ditimbulkan apabila ia memperkosa atau melanggar hak-hak orang lain (baik nyawa atau harta) dengan jalan memperkenalkan hukum pidana sedini mungkin.46

Secara khusus tujuan hukum pidana adalah sebagai upaya pencegahan untuk tidak dilakukannya delik atau mencegah kejahatan, dengan jalan melindungi segenap kepentingan dari pada subyek hukum dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi dengan penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak menggerakkan secara tegas kepada pihak-pihak yang telah terbukti melanggar hukum. Proses pemidanaan sebagai proses kegiatan terhadap pelaku tindak

45Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm.3.

46Waluyadi,Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2003), Hlm.30.

pidana yang dengan suatu cara tertentu diharapkan dapat mengasimilasikan kembal nara pidana ke dalam masyarakat menjadi pribadi yang lebih baik.

Dalam hal ini sifat jera sangat diharapkan bagi pelaku agar tidak melakukan tindakan yang menimbulkan tindak pidana.47

a. Teori absolut

Berdasarkan ketentuannya terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan adanya penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya teori absolut dan teori relatif. Adapun sebagai berikut:

Teori absolut memberikan pengertian bahwa hukuman akan dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap cara pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.

b. Teori relatif

Menurut teori relatif adapun tujuan pemidanaan dilandasai oleh tujuan sebagai berikut, yakni:

1) Menjerakan yakni, dengan penjatuhan hukuman maka diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generate preventive).

2) Memperbaiki pribadi terpidana yakni, berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.48

47Siti Nurjanah, Pidana Dan Pemidanaan Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal Hukum STAIN Jurai Siwo Metro, Vol.I, Hlm.10

48Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hlm.4.

C. Jenis-jenis Pidana

Berdasarkan ketentuannya di dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), pada dasarnya sanksi pidana terdiri dari, yakni:

1. Pidana Pokok a. Pidana Mati

Berdasarkan ketentuan Pasal 340 KUHP menyatakan pidana mati termasuk urutan pertama jenis dari pidana pokok yang dalam prakteknya undang-undang masih memberikan alternatif dengan seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

Berdasarkan Pasal 67, Pasal 244, dan Pasal 263 KUHAP, terhadap putusan hukuman mati dapat dimintakan banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Disamping upaya hukum tersebut Berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1950 tentang grasi, terhadap pidana mati diperbolehkan mengajukan grasi kepada presiden.

b. Pidana Penjara

Pada prinsipnya hukuman penjara baik dalam jangka seumur hidup maupun penjara untuk sementara waktu merupakan alternatif dari pidana mati.

Hukuman Penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan dengan mmewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga permasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.49

49P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1988),Hlm.69.

Mengenai hukuman penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP yang menyatakan bahwa:

(1). Pidana pejara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu;

(2). Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut;

(3). Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52 (Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga).

(4). Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

Jika berpedoman pada Pasal 12 KUHP tersebut, maka seseorang dapat dipidana sehubungan dengan kejahatan yang telah dilakukannya berkisar antara satu hari sampai dnegan dua puluh tahun lamanya. Pada ketentuannya berdasarkan aturan Pasal 97 KUHP menyatakan bahwa satu hari menurut hukum adalah selama waktu 24 (dua puluh empat) jam dan satu bulan 30 (tiga puluh) hari kamanya.

c. Pidana kurungan

Berdasarkan ketentuannya mengenai pidana kurungan mengacu pada Pasal 18 KUHP, yang menyatakan bahwa:

(1). Pidana kurungan paling sedikit sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun;

(2). Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena pembarengan atau pergaulan atau karena ketentuan Pasal 52 (Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai

kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga), maka apabila terdapat ketentuan pasal tersebut pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan;

(3). Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.

Pada ketentuannya hukum kurungan merupakan hukuman yang dijatuhkam di dalam penjara, sama halnya dengan hukuman penjara. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan yang membedakan dengan hukuman penjara, antara lain:

a). Hukuman penjara dapat dijalankan di dalam penjara mana saja, sedangkan hukuman kurungan kurungan dijalankan di daerah di mana terhukum bertempat tingkat waktu hukuman itu dijatuhkan;

b). Orang yang dipidana hukuman kurungan, pekerjaannya lebih ringan dari pada orang yang dipidana hukuman penjara;

c).Berdasarkan ketentuan Pasal 23 KUHP menyatakan baahwa Orang yang dipidana dengan pidana kurungan dapat memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan;

c).Berdasarkan ketentuan Pasal 23 KUHP menyatakan baahwa Orang yang dipidana dengan pidana kurungan dapat memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan;

Dokumen terkait