• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti disarankan oleh data.63

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bahan-bahan hukum tersebut dipilah untuk memberikan gambaran mengenai asas itikad baik. Kemudian, hasilnya dikonstruksi untuk memberikan pemahaman terhadap asas itikad baik dalam PPJB sebagai perjanjian pendahuluan. Kemudian, data yang dianalisis adalah berupa putusan hakim, dianalisis secara menyeluruh dan Data (bahan hukum) yang telah diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode kualitatif berdasarkan logika berfikir induktif. Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis data adalah, menginventarisir seluruh norma hukum yang termuat dalam KUHPerdata, Undang-Undang Perumahan, Keputusan Menteri Perumahan Rakyat.

63 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1983), hlm. 280.

merupakan suatu kesatuan holistic (integral) yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam (indepth information).

Data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk memberikan gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan. Analisis data kualitatif ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data tersebut dengan berbagai ketentuan perundang-undangan, asas-asas hukum dan tujuan hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Data juga disusun secara sistematis agar mudah dipahami.

OVEREENKOMST)

A. Ketentuan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata perjanjian merupakan terjemahan dari overeenkomst, yang merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis). Substansi dari perjanjian dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling). Kata perbuatan telah dikritik oleh para ahli hukum dengan alasan kurang memuaskan, tidak lengkap, dan sangat luas.64

Menurut Subekti, suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Subekti memberikan rumusan perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.65

64Kritik tersebut antara lain: (1) Kata “perbuatan pada perumusan tentang perjanjian sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1313 KUH Perdata lebih tepat jika diganti dengan kata

“perbuatan hukum/tindakan hukum”, (2) Perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak bukan tindakan satu pihak. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.10-11.

65 Subekti, Op. Cit., hlm.1.

Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan persetujuan merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subjek hukum, sedangkan pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal tersebut menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.66 Selain itu, Tan Kamello juga memberikan definisi perjanjian yang menyatakan bahwa, “perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk saling mengikatkan diri mengenai sesuatu objek dengan tujuan tertentu dan mengakibatkan akibat hukum”.67 Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “.68

a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang;

Berdasarkan rumusan perjanjian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perjanjian adalah:

66 Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.1.

67 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung:

Alumni, 2006), hlm.4.

68 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 49.

b. Adanya persetujuan diantara para pihak;

c. Ada tujuan yang ingin dicapai;

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;

e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian;

f. Ada bentuk tertentu, bisa berupa lisan atau tertulis.

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:69

1. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya hibah.70

3. Perjanjian khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemde)

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.

Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak

69 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.66.

70 Pasal 1314 KUH Perdata menjelaskan bahwa: “Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban, suatu persetujuan dengan cuma-cuma-cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas, di dalam praktek lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak (partij otonomi) yang berlaku di dalam hukum perjanjian.

Salah satu contoh perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain, sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan. Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian riil. Misalnya, perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata).

6. Perjanjian-perjanjian yang sifatnya istimewa

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) sesuai ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata;

b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

c. Perjanjian untung-untungan: misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH Perdata.

d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.

Menurut Mariam Darus, selain perjanjian tersebut diatas ada pula perjanjian campuran atau yang disebut dengan contractus sui generis. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham, yaitu:

a. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogi sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus kombinasi).

b. Paham kedua mengatakan ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

c. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila memenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif yang harus di penuhi dalam suatu perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, akan tetapi jika tidak terpenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum (perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada).

3. Lahirnya Perjanjian

Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata bahwa, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian atau dari Undang-undang”. Dengan demikian, perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari Undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam praktik masyarakat, perikatan yang bersumber dari perjanjian begitu mendominasi.71

1. Perikatan semata-mata karena undang-undang, yang terdiri dari :

Suatu perikatan yang bersumber dari Undang-undang dapat dibagi ke dalam dua kategori sebagai berikut :

a. Perikatan yang menimbulkan kewajiban bagi penghuni pekarangan yang berdampingan (Pasal 625 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

71 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hlm.19.

b. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak (Pasal 104 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

2. Perikatan karena Undang-undang tapi melalui perbuatan manusia, yang terdiri dari:

a. Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechmatige daad (Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

b. Perbuatan Menurut Hukum atau Rechmatige daad, terdiri dari :

1) Perwakilan sukarela atau zaakwarneming (Pasal 1354 KUH Perdata) 2) Pembayaran tidak terutang (Pasal 1359 KUH Perdata)

3) Perikatan Wajar atau Naturlijke Verbintennissen (Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata)

Disamping perikatan yang bersumber dari Undang-undang, terdapat juga perikatan yang bersumber dari perjanjian. Tapi, para ahli Hukum Perdata pada umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kurang lengkap.72

Berdasarkan sumber-sumber yang tersebut diatas, yang paling penting adalah perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yang tidak dilarang oleh Undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka

72 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,Cet.2, Op. Cit., hlm.9.

subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh Undang-Undang (benoede overeenkomsten) yaitu sebagaimana yang tercantum di dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh undang-undang, dengan istilah lain disebut juga perjanjian umum (onbenoemde overeenkomsten).73

Perikatan yang bersumber dari perjanjian ini pada prinsipnya mempunyai kekuatan yang sama dengan perikatan yang bersumber dari Undang-undang. Dasar hukum dari kekuatan suatu perjanjian adalah Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak dapat mengatur apapun dalam perjanjian tersebut (catch all), sebatas yang tidak dilarang oleh Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.74

PPJB merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman serta Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9 tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli sebagai lex specialis, dan jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lex generalis) maka PPJB memenuhi unsur-unsur sebagai suatu perjanjian, yang dapat menimbulkan perikatan yang bersumber dari perjanjian. Meskipun PPJB tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang

73 Ibid.

74 Munir Fuady, Op. Cit., hlm.3.

Hukum Perdata, akan tetapi PPJB tersebut sah sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:75

1. Memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian;

2. Tidak dilarang oleh Undang-undang;

3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

4. Sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian tersebut dapat dibuat secara lisan ataupun tertulis, apabila dibuat secara tertulis maka perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Suatu perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara moral komitmen itu harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu komitmen tersebut, tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan.76

Asas (principle) adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.

Maka untuk memperkuat kepastian dan jaminan hukum bagi para pihak, akan lebih baik apabila suatu perjanjian dibuat secara tertulis.

4. Asas-asas dalam Perjanjian

77

75 Ibid., hlm.30.

76 Ibid., hlm.11.

77 Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode Penelitian Dewasa Ini dalam Menemukan Asas-Asas Hukum, Makalah, Kuliah pada Pembinaan Tenaga Peneliti Hukum BPHN, Jakarta, 1980, hlm.52. Dikutip dari Abdul Hakim, Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen, Disertasi, Medan, 2013, hlm.51.

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memperhatikan asas-asas sesuai dengan ketentuan KUH Perdata sebagai pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.78

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:79 1. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak);

2. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)/ asas kebebasan berkontrak (freedom of contract);

3. Asas kekuatan mengikat;

4. Asas itikad baik;

5. Asas keseimbangan;

6. Asas kepastian hukum;

7. Asas kepatutan;

Berikut akan dijelaskan masing-masing asas diatas:

1. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme merupakan asas essensial dari hukum perjanjian.

Sepakat mereka mengikatkan diri telah dapat melahirkan perjanjian. asas ini juga dinamakan asas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan “adanya” (raison de’etre, het bestaanwaarde) perjanjian.80

78 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm.14.

79 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hlm.2-3.

80 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005),hlm.109.

Asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut,

segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.81

Asas konsensualisme ini ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditemukan istilah “semua”. Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.82

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau asas kebebasan mengadakan perjanjian, setiap orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Undang-undang disini adalah Undang-undang yang bersifat memaksa.83

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun yang belum diatur dalam KUH Perdata atau peraturan-peraturan lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka maka hukum perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa

81 Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 250.

82 Abdul Hakim, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen, Disertasi, Medan, 2013, hlm. 53. Lihat juga Mariam Darus Badrulzaman dkk, Op. Cit., hlm.82. Dengan istilah “secara sah” pembentuk Undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagi Undang-undang terhadap para pihak. Disini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.

83 J. Satrio, Op. Cit., hlm.37.

masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian apapun,84 mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengenyampingkan atau tidak mempergunakan peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata lain, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku diantara mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum diatur diantara mereka.85

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “semua perjanjian mengikat sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, dapat disimpulkan lazimnya adagium tersebut menganut asas kebebasan berkontrak yang berasal dari dunia barat pada saat berkembangnya liberalisme. Meskipun demikian pencantuman adagium tersebut bertujuan untuk peningkatan kepastian hukum. Dalam sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan berkontrak yang penting adalah

“semua perjanjian” (perjanjian dari macam apa saja), akan tetapi tidak hanya itu yakni yang lebih penting lagi adalah bagian “mengikatnya” perjanjian sebagai Undang-undang.86

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,

84 Asas Konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi, “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan

“siapa” perjanjian itu diadakan sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op. Cit., hlm. 84.

85 Abdul Hakim, Op. Cit, hlm. 55.

86 R. Subekti, Op. Cit, hlm. 4-5.

pancaran hak asasi manusia.87 Asas kebebasan berkontrak itu berpangkal pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, sedangkan dalam kenyataannya seringkali tidaklah demikian. Hal ini mengakibatkan kedudukan pihak yang lemah tidak dilindungi apabila berada dalam posisi berat sebelah. Pencantuman syarat tidak boleh berisikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan bagi sahnya suatu perjanjian adalah sudah merupakan alat pencegah terhadap pihak lawannya yang lemah. Hal ini dipercayakan kepada hakim untuk menggunakannya, juga pencantuman ketentuan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaaan (kedudukan) satu pihak terhadap pihak lawannya (yang lemah) sepanjang mengenai tahap pelaksanaan perjanjian.88

3. Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan dalam perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

87 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hlm. 84.

88 R. Subekti, Op. Cit, hlm. 5-6.

perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Perkataan “berlaku sebagai Undang-undang dan tak dapat ditarik kembali”

berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya. Jadi para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.89

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goede trow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.

Itikad baik objektif, berarti kepatutan, yang berhubungan dengan pelaksanaan

89 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hlm. 87-88.

perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan.90

5. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum.

Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

6. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-undang bagi para pihak.

7. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa,

“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di

“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di

Dokumen terkait