• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kulitatif dengan cara :

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

A. Hibah Menurut Hukum Perdata 1. Pengertian dan dasar Hukum Hibah

Hibah di Indonesia dalam hukum perdata diatur dalam pasal Pasal 1666 KUHPerdata, Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.

Didalam masyarakat hukum adat, hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan diipisahkan dengan membuatkan rumah, memberikan pekarangan untuk pertanian, ini harus dibedakan dengan hal yang bersifat semacam wasiat sebelum seseorang meninggal, maka pemberi wasiat mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau keluarganya. Pemberi wasiat semasa hidupnya memberi petunjuk -petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris kalau ia meninggal. Jadi barang –barang atau harta itu belum dibagi – bagikan kepada ahli warisnya, melainkan masih berada dibawah kekuasaanya, sehingga hanya kalau pemberi hibah meninggal maka pembagian harta peninggalannya harus dilakukan menurut petunjuk petunjuk tersebut.

2. Subjek dan Objek Hibah

Subyek Hibah Dalam Hukum Perdata bisa siapa saja, namun ada beberapa pengecualian tertentu, misalnya saja anak-anak dibawah umur. Anak dibawah umur diangap tidak kuasa menerima maupun memberi hibah. Meraka dilarang membuat persetujuan hibah atau sesuatu barang apapun. Hibah yang mereka perbuat dapat diminta pembatalanya (vernietingbaar) namun bukan batal dengan sendirinya.

Antara suami istri tidak boleh menjadi subyek persetujuan hibah. Karena itu pemberian hibah antara suami istri yang terikat dalam perkawinan adalah terlarang.

Maksud pelaranggan hibah semacam ini jelas, untuk memperlindunggi pihak ketiga yang mempunyai tagihan kepada salah seorang diantara suami istri tersebut. Menurut pasal 1679 KUH Perdata supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang di hibahkan, ketentuan lainnya adalah orang yang diberi hibah harus sudah ada di dunia atau dengan memperhatikan aturan pasal 2 (anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, diangap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan ssianak menghendakinya), sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat pengibahan dilakukan. Menurut pasal 1680 KUH Perdata hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika presiden atau pembesar yang di tunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.

Pada Objek hibah Benda dan barang yang dapat di hibahkan menurut pasal 1667 KUH Perdata menyatakan, hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari,

maka sekedar mengenai ketentuan itu hibahnya adalah batal dan selanjutnya dinyatakan pula dalam Pasal 1672 KUH Perdata menyatakan si penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali benda-benda yang telah di berikannya, baik dalam halnya si penerima hibah sendiri, maupun dalam halnya sipenerima hibah beserta turunan-turunannya akan meninggal lebih dahulu daripada si penghibah; tetapi ini tidak dapat di perjanjikan selainnya hanya untuk kepentingan si penghibah sendiri.

Mengenai apa itu barang tetap tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Perkawinan, oleh karena itu kita merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer. Tentang benda tetap atau dalam KUHPer disebut dengan benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. KUHPer sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan benda tetap/benda tidak bergerak. Mengenai hal ini, Subekti, mengatakan bahwa suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tak bergerak;

a. Karena sifatnya. Adapun benda yang tak bergerak karena sifatnya adalah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara lansung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu.

b. Karena tujuan pemakaiannya. Benda tak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah dan bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam pabrik.

c. Karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Benda tak bergerak yang ditentukan oleh undang-undang adalah segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.

3. Proses Hibah

Menurut hukum undang-undang telah menetapkan cara penghibahan.

Penghibahan ini diatur dalam pasal 1882 KUH Perdata yang menyebutkan antara lain bahwa penghibahan itu harus dilakukan dengan akte notaris terutama untuk barang tak bergerak sedangkan untuk barabng yang bergerak dapat di hibahkan begitu saja, maka suatu peng hibahan yang dilakukan diluar dari itu adalah batal.

Akte notaris merupakan suatu syarat mutlak dari sahnya suatu hibah, dengan sendirinya kalau hibah dibuat dengan cara dibawah tanggan adalah batal. Demikian juga hibah itu tidak adapat dibuat suatu pembaruan, biarpun hal ini dibuat dengan akte notaris yang artinya bahwa pembaruan tentang hibah atau dengan mengadakan perubahan atau penambahan sejak semula hibah itu dibuat tidak di perbolehkan.Tentang penerimaan, hibahpun harus dilakukan dengan akte notaris. Hal ini diatur didalam pasal 1683 KUH Perdata yang menyebutkan tiada suatu hibah mengingkat si penghibah, atau menerbitkan bagai manapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah di terima oleh sipenerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akte autentik si penerima hibah yang telah dikuasai untuk menerima peng hibahan-penghibahan yang telah diberikan kepadanya.Jika penerima tersebut tidak melakukannya didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akte autentik terkemudian, yang aslinya

harus disimpan asal yang demikian itu dilakukan diwaktu si penghibah masih hidup dalam hal mana peng hibah, terhadap orang yang belakangan tersebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.

Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah : 1. Syarat-syarat bagi penghibah

a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.

c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).

d. Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.

Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.

2. Syarat-syarat penerima hibah

Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau

bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan a. Benda tersebut benar-benar ada.

b. Benda tersebut mempunyai nilai.

c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan.

d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.

4. Ijab Kabul

Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".

5. Pelaksanaan Hibah

Sekaitan pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.

b. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.

c. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.

d. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.

B. Hibah Menurut Hukum Islam 1. Ketentuan Hibah

Selain hukum perdata, terdapat beberapa ketentuan hukum lainnya mengenai hibah, misalnya saja dari sudut pandang hukum islam. Sebagai mana pada umumnya peraturan dalam ajaran Islam, peraturan menyangkut perpindahan harta dari seseorang kepada seseorang lainnya atau yang yang berkenaan dengan transaksi, hibah pun tidak hanya memilki pengertian dan definisi saja, akan tetapi memiliki pula apa yang di sebut dengan rukun dan syarat, dimana kedua hal inilah yang menjadi tolak ukur sah atau tidaknya suatu transaksi. Hal ini lah, yang menjadi pembeda antara hukum Islam dengan hukum-hukum lainya.

Berkatan dengan rukun dan syarat sah dari pada hibah menurut kalangan ulama mujtahid fiqih walaupun sebenaranya dalam beberapa buku fiqih ataupun buku il’mu waris sebagai contoh dalam buku “Ilmu-l-faoidh” yang memberikan rukun dan syarat yang sama, walau ada perbedaan istilah atau bahasa, mengenai hibah dan wasiat ini. Dibawah ini adalah penjelasan mengenai syarat dan rukun hibah.

Ibn Rusyd dalam mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu:31 a. Orang yang menghibahkan

b. Orang yang menerima hibah c. Pemberiannya

Sedangkan, Sayyid Sabiq dalam mengatakan Hibah dilakukan dengan ijab dan qabul, dengan perkataan yang menunjukan adanya proses pemberian suatu barang tanpa penukar.32

1. Orang yang menghibahkan Syarat-syaratnya:

Menurut Sayyid, orang yang menghibahkan memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.

b. Dalam keadaan sehat

c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu. Apabila orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari bendanya itu

2. Benda yang dihibahkan

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 210 ayat (2) menyatakan bahwa “harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah”. Jadi menghibahkan yang dimiliki orang lain, tida sah hukumnya. Dalm hal ini dapat dibedakan kepada dua hal, jika hubah itu diberikan kpada orang lain atau suatu

31. Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, juz 2 Semarang: Usaha Keluarga.2008

32 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Pena Pundi Aksara, Jakarta Pusat, 2009.

badan, maka mayoritas ulam sepakat tidak adanya batasan. Namun apabila hibah itu anak-anak pemberi hibah, menurut malik, boleh membedakan pemberian hibah kepada anak-anaknya.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam syarat barang yang dihibahkan adalah sabegai berikut:33

a. Barangnya benar-benar ada

b. Merupakan harta yang memiliki nilai c. Bisa dimiliki

d. Tidak menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon, dan bangunan tanpa tanah.

e. Merupakan milik pribadi.

3. Orang yang menerima hibah

Pada dasarnya setiap orang yang memilii kecakapan melakukan perbuatan hukum daapat menerima hibah. Bhkan dapat ditambahkan disini, anak-anak atau mereka yang berada dibawah kuratele (pengmpuan) dapat menerima hibah melalui kuasa (wali)nya.

Adapun syarat-syarat hibah , selain yang mengikiuti ketentuan hibah tersebut Sayyid Sabiq mengatakan orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada ketika hibah diberikan. Kemudian didalam hukum islam hibah menjadi sah apabila telah memenuhi beberapa syarat yakni: ijab, qabul, dan qabda.Pengertian secara jelasnya

33 Sayyid Sabiq, Op Cit

mengenai ketiga syarat sahnya hiibah tersebut akan lebih jelas apabila diberi penjelasan singkat, yakni:34

a. Ijab ialah pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang memberi hibah mengenai pemberian tersebut.

b. Qabul ialah penerimaan pemberian oleh pihak yang dihibahi baik penerimaan tersebut dilakukan secara jelas tegas maupun secara samar-samar.

c. Qabda ialah penyerahan milik yang dilakukan oleh penghibah kepada yang dihibahi.

2. Perbedaan Hibah, Warisan dan Wasiat

Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sederhana apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sederhana tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi Hukum Islam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi

34 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, cetakan pertama, Hlm 373

wasiat.35

Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum pelaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah Hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.

35 Kompilasi Hukum Islam. Nuansa Aulia, Bandung, 2008

hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat berhubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.

Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama.

Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam. Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat Pasal 194-209) dan Bab VI (hibah Pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat.

Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal.

Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI.

kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi.

Hibah yang diatur dalam Pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu tahaabuu).

Dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa

anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul. Dalam Pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah.

Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali. Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya.

Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh

menghibahkan hartanya. Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI).

Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum. Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.

Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24).

Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan

Dokumen terkait