• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN HIBAH KEPADA ANAK DIBAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA SETELAH ANAK MENJADI DEWASA DITINJAU DARI HUKUM PERDATA TESIS. IRA EWITA /MKn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PELAKSANAAN HIBAH KEPADA ANAK DIBAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA SETELAH ANAK MENJADI DEWASA DITINJAU DARI HUKUM PERDATA TESIS. IRA EWITA /MKn"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

IRA EWITA 127011145/MKn

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

IRA EWITA 127011145/MKn

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN ANGGOTA : Dr. Syahril Syofyan, SH, MKn

: Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum : Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum

: Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum

(5)

Nama : Ira Ewita Nomor Pokok : 127011145

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PELAKSANAAN HIBAH KEPADA ANAK DIBAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA SETELAH ANAK MENJADI DEWASA DITINJAU DARI HUKUM PERDATA Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri dan bukan merupakan hasil Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya Tersebut Plagiat karena salah saya sendiri maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU, dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.

Medan, 16 Februari 2015 Yang Membuat Pernyataan

IRA EWITA

(6)

seseorang yang menyerahkannya. Dalam hukum perdata subyek hibah bisa siapa saja, namun ada beberapa pengecualian tertentu, misalnya anak-anak dibawah umur. Anak

dibawah umur dianggap tidak kuasa menerima maupun memberi hibah.

Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah kekuasaan orang tua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orang tua itu, sedangkan hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh pengadilan negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud, maka hibah itu tetap sah, meskipun penghibah telah meninggal dunia sebelum terjadi pemberian kuasa itu.

Hibah kepada anak dibawah umur yang masih dibawah perwalian atau kepada orang yang ada dibawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh pengadilan negeri. KUH Perdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat hibah. Akan tetapi, dengan melihat Pasal 1666 KUH Perdata maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata, diantaranya adalah: Adanya Perjanjian, Penghibah, Penerima Hibah, dan Barang Hibah. Pemberian Hibah tidak boleh mengakibatkan ahli waris menjadi tidak berhak atas harta peninggalan/warisan si penghibah. Pemberian hibah tidak boleh mengurangi atau meniadakan pembagian waris bahkan legitimatie portie masing-masing ahli waris.

Apabila pembagian ataupun pemberian hibah dirasakan merugikan kepentingan ahli waris yang sah, maka ahli waris tersebut dapat menuntut untuk dibatalkannya hibah tersebut. Namun dalam hal hibah jika penerima hibah melakukan perbuatan tidak patut kepada pemberi hibah maka pemberi hibah dapat menarik kembali hibah tersebut. Para praktisi hukum harus benar-benar mengerti dan memberikan edukasi agar pemberian hibah yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan hukum dan merugikan ahli waris dan perlu adanya ketentuan hukum yang mengatur hibah untuk setiap golongan ras dan agama agar diperoleh suatu kepastian tentang pelaksanaan hibah. Ketentuan yang sudah ada juga juga harus di buat secara tertulis dan di undangkan agar setiap orang dan prakrisi hukum memiliki kepahaman tentang hibah, dan penegasan yang di tuangkan dalam suatu klausul sehingga akan terang dan jelas

Kata Kunci : Pemberian Hibah, Anak dibawah umur, Hukum perdata

(7)

In the civil law, the receiver can be anyone although there are some exceptions like a minor (under-aged child). This child is considered to have no right to give or receive a hibah. When a hibah is intended to be given to a minor who is still taken care by his parents, it has to be received by his parents, whereas a hibah which is intended to be given to a minor who is still under the custody or under the amnesty, it has to be received by his guardian or by someone who is authorized by the District Court, and it is regarded as valid although the donor has already died before the authority is given.

The Civil Code does not state clearly about the requirements for a hibah.

However, from Article 1666 of the Civil Code, it can be concluded that some requirements for a hibah are as follows: it has to be an agreement, a donor, a receiver, and the object of hibah itself. The giving of hibah must not cause the heir(s) to be absent from the inheritance of the donor since it must not reduce or eliminate the inheritance and the legitimate portion of the heir(s).

When the distribution or the giving of a hibah harms a legitimate heir, he can file as complaint about canceling it. But, when the receiver has bad faith toward the donor, the latter can withdraw it. It is recommended that legal practitioners should fully understand the system of giving a hibah and provide education in order that giving a hibah does not violate the law and harm the heir(s). It is necessary to have legal provisions which regulate the system of giving a hibah to ethnic and religious groups so that there will be legal certainty in implementing a hibah. Besides that, the prevailing legal provisions should be in a written form and enacted so that everyone and every legal practitioner understand what a hibah really is; moreover, affirmation in a clause should be transparent and clear.

Keywords: Giving a Hibah, Minor, Civil Law

(8)

Besar Muhammad SAW, atas rahmat dan hidahnya yang telah diberi sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya dengan Judul : PELAKSANAAN HIBAH KEPADA ANAK DIBAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA SETELAH ANAK MENJADI DEWASA DITINJAU DARI HUKUM PERDATA.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister di bidang ilmu kenotariatan pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Karenanya, penulis mengucapkan banyak terimakasih teristimewa kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, sebagai Pembimbing Utama, dan Bapak Dr. Syahril Syofyan, SH, MKn sebagai pembimbing kedua dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, sebagai pembimbing ketiga atas kesediaannya memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran sejak awal penyusunan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.

Melalui kesempatan ini pula, penulis ucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M. SC (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

(9)

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum, sebagai Sekretaris Program Studi sekaligus Dosen Penguji Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, sebagai Dosen Penguji Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen dan staf pengajar pada program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Alm. H. Ahmad Sofyan, Ibunda Tengku Dahniar yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan dalam dukungan moril kepada ananda, sehingga dapat menlanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua mertuaku H. Zainal Arifin dan Nuraini, terima kasih atas dukungan moril dan doanya selama penulis penyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis ini.

9. Kepada suamiku tercinta Didi Nurfam, SH, yang selalu memberi motivasi/dukungan serta selalu mendoakan penulis untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin, terima kasih atas doa dan dukungannya.

(10)

Abangku: Rivanda, SE serta istrinya Sabariah, dan adikku Farawinda dan suaminya Abdul Halim, terima kasih atas dukungannya.

12. Seluruh keluarga besarku yang tidak dapat disebutkan satu persatu memberikan dukungan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan lancar.

13. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Progra Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih telah memberi semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi dari tesis ini masih jauh dari memadai. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar tesis ini dapat semakin mendekati kelayakan.

Medan, Februari 2015 Penulis

Ira Ewita

(11)

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Pura, 03 Februari 1972 Alamat : Tanjung pura No. 64, Pelawi utara

Kecamatan Babalan, Pangkalan Berandan

Agama : Islam

Status : Kawin

Nama Suami : Didi Nurfam Nama Ayah : Ahmad Sofyan Nama Ibu : Tengku Dahniar

Pendidikan:

SD Negeri 050727 Tanjung Pura Tamat Tahun 1985 SMP Negeri 1 Tanjung Pura Tamat Tahun 1988 SMA Sri Langkat, Tanjung Pura Tamat Tahun 1991

S1-Dharmawangsa Tamat Tahun 2004

S2- Magister Kenotariatan FH USU Tamat Tahun 2015

(12)

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ASING ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 22

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 24

2. Sumber data ... 25

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 26

4. Analisis Data ... 26

BAB II PENGATURAN HIBAH MENURUT HUKUM DI INDONESIA ... 28

A. Hibah Menurut Hukum Perdata ... 28

1. Pengertian dan Dasar hukum Hibah ... 28

2. Subjek dan Objek Hibah ... 29

3. Proses Hibah ... 31

B. Hibah Menurut hukum Islam ... 34

1. Ketentuan Hibah ... 34

2. Perbedaan Hibah, Warisan, Wasiat ... 37

BAB III PROSES PEMBERIAN HIBAH ... 45

A. Ketentuan Hukum Perdata Tentang Hibah ... 45

1. Ketentuan Umum Tentang Hibah ... 45

2. Pihak-Pihak yang Dapat Memberi dan Menerima Hibah 48

3. Tata/Cara Menghibahkan Sesuatu ... 49

4. Pencabutan dan Pembatalan Hibah ... 51

B. Pembuatan Akta Hibah ... 55

C. Penarikan Hibah ... 60

(13)

3. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Harta Kekayaan anak ... 73

B. Kekuasaan Orang tua Menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ... 87

C. Pengurus Harta Kekayaan Anak yang Belum Dewasa ... 91

D. Ketentuan Hibah Terhadap Anak Angkat ... 95

E. Akibat Hukum Pemberian Hibah Terhadap Anak ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(14)

atau penguasa.

Ahliyatul ada'al-kamilah : Belum cukup umur

Bijondere curator : Seorang pengampu istimewa

Burgerlijk Wetboek (BW) : Kitab Undang Undang Hukum Perdata Aanmaning : Peringatan dalam pelaksanaan putusan

pengadilan

Alghele gemeenschap van Goederen : Percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri

Animus Posidendi : Sikap batin orang yang bersangkutan untuk menguasai atau menggunakan

Beyond the powers of his authority : Bertindak melampaui wewenangnya Continuos recording : Pendaftaran ulang

Corpus passessionis : Suatu barang berada dalam kekuasaan seseorang

Das sollen : yang seharusnya

Das sein : yang seadanya

Doctrinal research : Penelitian Doktrinal

Eigendom : Hak milik

Exececutoriale kracht : Memperoleh kekuatan yang pasti

Filosofis : Kepercayaan

Gerechtigheid : Keadilan

(15)

Invalid : Cacat

In kracht van gewijsde : Berkekuatan hukum tetap

Judex facti : Hakim yang memeriksa fakta

Judex juris : Hakim yang memeriksa hukum

Kualitatif : Pembentukan

Kuratele : Dibawah pengampuan

Kontraprestasi : Pengumpulan

Kontinyu : Terus menerus

Law is decided by the judge : Hukum ditentukan oleh hakim Melalui thourgh the judicial process Yudisial

Law as a tool of social engineering : Hukum sebagai alat rekayasa sosial

Law of evidence : Hukum pembuktian

Law In Books : Hukum yang tertulis dalam buku

Legaat : Wasiat

Legitime portie : Hak Mutlak bagi Ahli waris

Legetemaris : Berhak

Library research : Penelitian kepustakaan

Living law : Hukum yang Tumbuh

Methods : Metode

(16)

Social Enginering : Sarana melakukan rekayasa social Statue Approach : Pendekatan Perundang undangan

Tersier : Penunjang

Top Down : Kebawah

Privilege : Hak yang diistimewakan

Public interest : Kepentingan umum

Vern ietingbaar : Diminta Pembatalannya (dalam Hal

Hibah)

Vruchtgenot : mempunyai hak nikmat hasil

(17)

BW : Burgerlijk Wetboek KHI : Kompilasi Hukum Islam

KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata NPOP : Nilai Perolehan Objek Pajak

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah RBg : Rechtsreglement Buitengewesten UU PPh : Undang-Undang Pajak Penghasilan

UU : Undang-Undang

(18)

seseorang yang menyerahkannya. Dalam hukum perdata subyek hibah bisa siapa saja, namun ada beberapa pengecualian tertentu, misalnya anak-anak dibawah umur. Anak

dibawah umur dianggap tidak kuasa menerima maupun memberi hibah.

Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah kekuasaan orang tua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orang tua itu, sedangkan hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh pengadilan negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud, maka hibah itu tetap sah, meskipun penghibah telah meninggal dunia sebelum terjadi pemberian kuasa itu.

Hibah kepada anak dibawah umur yang masih dibawah perwalian atau kepada orang yang ada dibawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh pengadilan negeri. KUH Perdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat hibah. Akan tetapi, dengan melihat Pasal 1666 KUH Perdata maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata, diantaranya adalah: Adanya Perjanjian, Penghibah, Penerima Hibah, dan Barang Hibah. Pemberian Hibah tidak boleh mengakibatkan ahli waris menjadi tidak berhak atas harta peninggalan/warisan si penghibah. Pemberian hibah tidak boleh mengurangi atau meniadakan pembagian waris bahkan legitimatie portie masing-masing ahli waris.

Apabila pembagian ataupun pemberian hibah dirasakan merugikan kepentingan ahli waris yang sah, maka ahli waris tersebut dapat menuntut untuk dibatalkannya hibah tersebut. Namun dalam hal hibah jika penerima hibah melakukan perbuatan tidak patut kepada pemberi hibah maka pemberi hibah dapat menarik kembali hibah tersebut. Para praktisi hukum harus benar-benar mengerti dan memberikan edukasi agar pemberian hibah yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan hukum dan merugikan ahli waris dan perlu adanya ketentuan hukum yang mengatur hibah untuk setiap golongan ras dan agama agar diperoleh suatu kepastian tentang pelaksanaan hibah. Ketentuan yang sudah ada juga juga harus di buat secara tertulis dan di undangkan agar setiap orang dan prakrisi hukum memiliki kepahaman tentang hibah, dan penegasan yang di tuangkan dalam suatu klausul sehingga akan terang dan jelas

Kata Kunci : Pemberian Hibah, Anak dibawah umur, Hukum perdata

(19)

In the civil law, the receiver can be anyone although there are some exceptions like a minor (under-aged child). This child is considered to have no right to give or receive a hibah. When a hibah is intended to be given to a minor who is still taken care by his parents, it has to be received by his parents, whereas a hibah which is intended to be given to a minor who is still under the custody or under the amnesty, it has to be received by his guardian or by someone who is authorized by the District Court, and it is regarded as valid although the donor has already died before the authority is given.

The Civil Code does not state clearly about the requirements for a hibah.

However, from Article 1666 of the Civil Code, it can be concluded that some requirements for a hibah are as follows: it has to be an agreement, a donor, a receiver, and the object of hibah itself. The giving of hibah must not cause the heir(s) to be absent from the inheritance of the donor since it must not reduce or eliminate the inheritance and the legitimate portion of the heir(s).

When the distribution or the giving of a hibah harms a legitimate heir, he can file as complaint about canceling it. But, when the receiver has bad faith toward the donor, the latter can withdraw it. It is recommended that legal practitioners should fully understand the system of giving a hibah and provide education in order that giving a hibah does not violate the law and harm the heir(s). It is necessary to have legal provisions which regulate the system of giving a hibah to ethnic and religious groups so that there will be legal certainty in implementing a hibah. Besides that, the prevailing legal provisions should be in a written form and enacted so that everyone and every legal practitioner understand what a hibah really is; moreover, affirmation in a clause should be transparent and clear.

Keywords: Giving a Hibah, Minor, Civil Law

(20)

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk sekitar No. 4 di dunia dengan lebih dari 220 juta jiwa, selain memiliki jumlah penduduk yang besar Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar didunia.

Dikarenakan mayoritas penduduknya beragama Islam, maka dalam kehidupan sehari hari meskipun dalam sistem hukum dan ketatanegaraan tidak berlandaskan hukum Islam namun ajaran Islam dihayati dan diamalkan dalam masyarakat Indonesia yang tidak hanya menyangkut antar pemeluk agama dengan sang pencipta namun juga dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Dalam hubungan antar sesama dan pergaulan antar manusia, selain mengacu kepada hukum adat maupun hukum perdata yang telah dikodifikasikan dan diakui oleh negara, terdapat pula aturan hukum lainnya yaitu hukum Islam misalnya saja mengenai harta kekayaan dan hukum peralihan benda. Salah satu ajaran Islam sebagai agama ialah berkaitan dengan kepemilikan harta benda, pengalihannya dan hubungan sesama manusia. Dalam Islam dikenal berbagai bentuk peralihan kepemilikan harta benda yang berbeda dengan hukum-hukum perdata lainnya dimana dilandaskan atas kasih sayang maupun mengharap pahala sehingga dikenal lembaga seperti sedekah, wakaf, hibah maupun wasiat dalam Islam yang berbeda dengan

(21)

kepemilikan benda menurut hukum perdata yang membagi peralihan kepemilikan dalam warisan, jual beli, hibah, tukar menukar dan sebagainya.

Salah satu bentuk peralihan harta kekayaan yang dikenal selain dalam hukum perdata maupun hukum islam adalah hibah. Pada awalnya hibah hanya diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang ketentuannya belum dapat mengakomodir kepuasan pemeluk semua agama. Setelah ada intruksi Presiden Suharto untuk menyusun suatu kompilasi hukum Islam sebagai pegangan para Hakim dalam memutuskan perkara pernikahan, maka lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi tiga buku.

Buku pertama membahas hukum perkawinan, buku kedua hukum kewarisan dan buku ketiga hukum perwakafan.1

Hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam. Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda dengan hukum Islam, karena dalam KUH Perdata hibah digolongkan perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan tolong menolong, sedangkan dalam hal Islam perbuatan hukumnya dilihat dari landasan ajaran agama. Hibah dalam KUH Perdata Untuk ketentuan mengenai hibah ditentukan dalam Pasal 210-214 dari Bab ke II KHI. Pembahasan mengenai hibah memang dalam KHI tidak dijadikan dalam satu buku, dan hingga saat ini belum ada Undang-Undang (UU) yang mengatur Hibah secara khusus seperti wakaf yang sudah memiliki UU khusus yaitu UU No. 41 tahun 2004, walaupun secara yurudis KHI tidak dapat mengikat namun telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

1 R Subekti dan Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 2009

(22)

merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu hidupnya.2

Hibah sebagai pemberian kepada sesama memiliki fungsi sosial bertujuan untuk saling mempererat hubungan antara sesama manusia dan kedekatan kepada Tuhan karena sifat hibah berkaitan erat juga dengan hubungan kepada pencipta dan sebagai bukti kecintaan sesama makhluk ciptaannya. Dalam bahasa Belanda hibah atau hadiah disebut dengan schenking. Istilah hibah berkonotasikan memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa ataupun prestasi. Oleh sebab itu istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah seperti halnya jual beli. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan.

Dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik. Pihak penghibah dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada pihak penerima hibah tanpa ada kewajiban dari penerima untuk mengembalikan harta tersebut kepada pihak pemberi hibah.3

Kesukarelaan atau cuma cuma dalam terminologi hibah dalam bahasa Belandanya disebut Omniet, yang bermakna hanya adanya prestasi disatu pihak saja sementara dipihak lainnya tidak diperlukan kontra prestasi, sementara kriteria lain pemberian hibah berdasarkan hukum perdata adalah dilakukan ketika si pemberi

2Hibah dan Wasiat dalam https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum- islam/hibah-dan-wasiat/ Tanggal 25 April 2014

3 Dwi Priya, Hibah dan Wasiat dalam http://dwipriyanidessy.blogspot.com/2012/04/hibah- dan-wasiat.html Tanggal akses 24 April 2014.

(23)

hibah masih hidup untuk membedakannya dengan pemberian lain dengan testament (wasiat).4

Kata “hibah” berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari seseorang yang kepada tangan orang yang diberi. Adapun Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.

Hibah semata mata dianggap sebagai perjanjian yang memungkinkan untuk tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si pemberi hibah.

5 Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberikan benda atau zat dengan tidak ada alat tukarnya dan tidak ada karenanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Pengertian inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia. Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).6

Hibah dilakukan dengan tujuan demi kesejahteraan hidup orang yang mampu menguasai harta bendanya. Hibah juga merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan diantara sesama manusia tanpa memandang ras, agama, kulit,

4 R Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Ke III Bandung: Citra Aditya, 1995 Hal 94

5 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14,Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988, hal. 167

6 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, 1990, hal. 305

(24)

dan lain sebagainya. Sebagai perbandingan dalam hukum Islam ajaran Fiqh Muamalah menyatakan bahwa hibah adalah memberikan barang yang bisa diperjualbelikan kepada orang lain secara cuma-cuma tanpa imbalan apapun.7

1. Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf g menjelaskan Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Dalam hukum Islam, ada beberapa bentuk perikatan untuk memindahkan hak milik dari seseorang kepada orang lain, baik pemindahan hak milik yang bersifat sementara maupun selamanya, seperti jual-beli, waris, wasiat, sadaqah, hadiah, hibah dan lain-lain. Pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain itu dilakukan dengan maksud-maksud tertentu. Adakalanya untuk maksud mendapatkan imbalan yang bersifat materi, dan adakalanya dengan maksud untuk mendapatkan imbalan yang tidak bersifat materi.

Sedangkan dalam istilah ada beberapa defenisi yang diberikan mengenai hibah seperti:

2. Undang-Undang Peradilan Agama No 3 tahun 2006 penjelasan pasal 49 huruf d: Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

7 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 5

(25)

3. BW dalam pasal 1666 menyatakan bahwa Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan- penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

Dari tiga pengertian di atas ada beberapa kata kunci yaitu pemberian, seseorang atau badan hukum, masih hidup dan dimiliki. Hukum perdata dalam ketentuan BW dikatakan bahwa barang yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, tanpa pengecualian. Dengan demikian yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian seseorang atau badan hukum kepada orang lain dalam keadaan si pemberi masih hidup (masih ada) walaupun penerima hibah adalah seorang anak yang masih kecil, dengan tujuan untuk dimiliki atau dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hibah dapat diberikan oleh siapapun atau instansi manapun tanpa imbalan, dan diberikan pada saat sipemberi masih hidup. Inilah yang membedakan antara wasiat yang diberikan pada saat si pemberi telah wafat dengan hibah yang diberikan pada saat si pemberi hidup. Hibah disyariatkan bertujuan untuk saling menguatkan ikatan batin antara sesama.

Ketentuan mengenai hibah dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 KUHPerdata. Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPerdata, yaitu :

“suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma,tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu”.

(26)

Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang- orang yang masih hidup. Akan tetapi, orang tua tersebut sebelumnya dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil benda-benda yang telah dihibahkannya, dalam hal penerima hibah maupun penerima hibah beserta keturunannya meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pemberi hibah, demi kepentingan si pemberi hibah (Pasal 1672 KUHPerdata).

Pada dasarnya hibah tidak dapat dicabut dan tidak dapat dibatalkan, akan tetapi hal yang berbeda apabila hibah tersebut dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Orang tua (si pemberi hibah) dapat mengambil kembali benda yang dihibahkan apabila sebelumnya memang telah diperjanjikan bahwa apabila anaknya (sebagai penerima hibah) meninggal dunia sebelum dirinya, benda hibah akan kembali kepadanya (akan diambil kembali oleh pemberi hibah).8

1. karena tidak dipenuhi syarat – syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan,

Ada beberapa kondisi dimana hibah dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 1688 KUH Perdata, yaitu :

2. jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.

3. bila si penghibah jatuh miskin.

8Hukum Online, “Bisakah orang tua menarik kembali hibah untuk anaknya”

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5107c78c01013/bisakah-orangtua-menarik-kembali- hibah-untuk-anaknya. Tanggal akses 25 April 2014

(27)

Pasal 1669 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa

“Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda- benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua kitab undang-undang ini”. Bab Kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dimaksud adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Hak Nikmat Hasil. Namun ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, terutama mengenai tanah, dengan adanya Undang- undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku.

Hibah termasuk hukum perjanjian cuma-cuma, karena hanya ada prestasi dari satu pihak saja (Penghibah), sedangkan penerima hibah tidak ada kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada penghibah. Dikatakan diwaktu hidupnya untuk membedakan hibah dengan testamen atau hibah antara suami istri dalam Islam diperbolehkan. Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam Islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.

Materi hukum tentang Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hukum modern namun pada dasarnya dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat

(28)

dalam hukum Islam. Hibah sebagai suatu hubungan hukum tentunya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Sebagaimana diketahui bahwa akibat hukum adalah akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perbuatan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Akibat hukum dapat terjadi pula karena terjadinya pembatalan suatu perbuatan hukum, misalnya pembatalan hibah.

Bagaimanakah tentang pemberian hibah dari orang tua kepada anak-anaknya?, mengenai hibah yang dilakukan dari orang tua terhadap anak-anaknya, berbagai literatur menyatakan bahwa hibah tersebut dilakukan atas dasar dorongan kasih sayang kepada anak-anaknya. Apabila pewaris pada waktu hidupnya telah melakukan hibah atau hibah wasiat maka untuk para ahli waris harus menghormati keinginan pewaris tersebut selama tidak merugikan hak (bagian) dari para ahli waris yang lain.

Menurut KUHPerdata (BW), tidak sama antara anak angkat dan anak kandung.

Namun yang membedakan penggunaan lembaga hibah kepada anak-anaknya dengan sistem hukum waris pada dasarnya adalah adanya keinginan orang tua untuk membagi hartanya sama rata setiap bagian kepada anak-anak mereka.

Dasar dari penghibahan adalah demi kebaikan dari keluarga ataupun anak- anak dari si pemberi hibah, dimana harta tersebut dapat digunakan untuk kehidupan penerima hibah selanjutnya.9

9 http://fh.unpad.ac.id/repo/2014/03/penarikan-kembali-hibah-oleh-orang-tua-terhadap-anak- yang-telah-meninggal-dunia-berdasarkan-hukum-islam-dikaitkan-dengan-hukum-positif-indonesia/

Tanggal Akses 23 April 2014

Hanya saja dalam ketentuan pemberian hibah terhadap anak terdapat beberapa masalah hukum dan perbedaan mendasar terutama berkaitan dengan bisakah orangtua menarik kembali hibah yang diberikan, dan kedua bisakah

(29)

hibah bertentangan dengan hukum waris manakala orangtua memberikan porsi hibah yang berbeda beda kepada setiap anak anaknya.

Hubungan hibah dengan waris tergambar dalam KHI pasal 211 yaitu, Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian

“dapat “ dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (keharusan), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.

Hibah sebagai salah satu jalan keluar pembagian harta peninggalan untuk menghindari dari konflik yang terjadi dikebanyakan pembagian warisan disebabkan oleh ada kalangan yang terhalangi menerima harta warisan disebabkan beda agama, anak angkat, atau disebabkan perbedaan bagian dari masing-masing ahli waris yang dipandang oleh sebagian masyarakat itu melambangkan ketidakadilan. Walaupun beberapa pakar memiliki pandangan berbeda dalam hal menghadapi warisan.10

Ketentuan dalam Pasal 211 KHI mengenai hibah menyatakan bahwa Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertiannya adalah apabila sebelum almarhum orang tua tersebut meninggal dunia telah membagi-bagikan hartanya kepada anak-anaknya dan salah satu ahli waris merasa keberatan maka dia dapat menuntut haknya sebagaimana hukum waris Islam atau hukum waris perdata. Berbeda halnya, apabila harta tanah tersebut dibagi-bagikan kepada anak-anaknya sebelum almarhum meninggal dunia dengan ditandatanganiya

“Akta Hibah” dan seluruh anak-anaknya beserta ahli warisnya menandatangani akta

10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 3, hlm. 473.

(30)

hibah yang menandakan persetujuan atas hibah tersebut, maka atas hibah tersebut tidak dapat dituntut untuk dijadikan harta warisan pewaris yang harus dibagi, sehingga pengalihan hak atas tanah tersebut tidak memerlukan persetujuan dari seluruh ahli waris.11

1. Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak waras itu;

Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima hibah, sehingga hibah dapat saja diberikan kepada siapapun dengan beberapa pengecualian sebagai berikut :

2. Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi batal;

3. Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal.

Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah kekuasaan orang tua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orang tua itu, sedangkan hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh pengadilan negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud, maka hibah itu tetap sah, meskipun penghibah telah meninggal dunia sebelum terjadi pemberian kuasa itu.

11 http://skrria.wordpress.com/2014/03/06/harta-warisan-mencangkup-hibah-kepada-anak/

(31)

Dalam hal mengenai pelaksanaan hibah kepada anak dibawah dibawah umurdan akibat hukumnya setelah dewasa, maka berdasarkan latar belakang diatas, maka tesis ini akan membahas tentang Pelaksanaan Hibah Kepada Anak di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya Setelah Anak Menjadi Dewasa Di Tinjau Dari Hukum Perdata.

B. Perumusan Permasalahan

Adapun penelitian tesis utama di atas mengambil beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai Hibah baik dari hukum perdata dan hukum Positif lainnya di Indonesia?

2. Bagaimanakah akibat hukum jika hibah merugikan para legetemaris?

3. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian hibah kepada anak dibawah umur dan akibat hukumnya bila anak tersebut dewasa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan dengan metode ilmiah serta bertujuan untuk mendapatkan data baru. Pengertian dari penelitian itu sendiri adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab

(32)

akibatnya atau kecenderungan yang timbul.12

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengertian hibah yang tercantum dalam hukum perdata di Indonesia

Tujuan penelitian lainnya secara praktis merupakan usaha untuk menjawab berbagai pertanyaan ilmiah seputar permasalahan hukum.

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

2. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan pelaksanaan hibah menurut hukum positip di Indonesia dan apa akibat hukumnya bagi para hibah yang merugikan para legetemaris,

3. Untuk mengetahui bagaimanakah pemberian hibah kepada anak dibawah umur serta apa akibatnya bila anak tersebut telah menjadi dewasa

D. Manfaat Penelitian

Adapun Penelitian ini memiliki kegunaan/manfaat yang terdiri atas kegunaan teoritis dan praktis, adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi dibidang ilmu hukum khususnya hukum bisnis bagi kalangan akademisi maupun praktisi hukum maupun notaris yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai hukum perdata dan hukum Islam khususnya dalam hal pemberian hibah, penelitian ini

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986 Hal 5.

(33)

juga diharapkan dapat memberikan masukan mengenai dinamika masyarakat dan penyempurnaan pranata-pranata hukum khusunya mengenai hukum perdata berkaitan dengan hibah tersebut.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi bahan masukan bagi aparat penegak hukum dan para praktisi hukum lainnya, notaris dan pengacara termasuk konsultan hukum perdata serta masyarakat yang ingin menggunakan lembaga hibah dalam peralihan kepemilikan harta bendanya di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang “Pelaksanaan Hibah Kepada Anak di Bawah Umur dan Akibat Hukumnya Setelah Anak Menjadi Dewasa Ditinjau Dari Hukum Perdata ” ini belum pernah dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Walaupun ada beberapa topik mengenai hukum hibah maupun waris seperti tesis yang ditulis oleh Agustina Darmawati (2009) dari Magister Kenotariatan USU, yang berjudul “Analisis Yuridis atas Harta Gono-Gini yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama medan NO.691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN“, dan Prastowo Hendarsanto (2006) dari Universitas Diponegoro yang berjudul “Studi Perbandingan mengenai Hibah dan Hukum Waris menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

(34)

Perdata”, namun jelas berbeda dengan penelitian ini karena penelitian ini mengangkat permasalahan bagaimana akibat hukum hibah kepada anak terutama setelah dewasa.

Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun. Apabila dikemudian hari ditemukan penelitian yang sama persis yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti akan bertanggungjawab sepenuhnya.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang hibah dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal tersebut diatas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dengan topik dan pembahasan yang sama dilingkungan Fakultas Hukum maupun Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam pergaulan masyarakat, terdapat aneka macam hubungan antar anggotanya. Salah satu hubungan hukum yang terjadi adalah di bidang keperdataan yaitu hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan anggota masyarakat untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dengan hubungan antar anggota masyarakat itu, maka diperlukan adanya hukum.

(35)

Hukum merupakan seperangkat norma-norma yang menunjukkan apa yang harus dilakukan atau yang harus terjadi, dengan demikian bila dilihat dari proses bekerjanya, maka akan terjadi regenerasi norma-norma hukum. Masyarakat merupakan pasangan yang mutlak yang harus ada dalam kajian hukum, karena tanpa masyarakat hukum tidak akan pernah ada. Masyarakat merupakan tempat dimana hukum tumbuh dan berkembang.

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala Spesifik proses tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14

M. Solly Lubis, yang menyebutkan: Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penelitian.15

Adapun teori menurut Maria S. W. Sumardjono adalah seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari

13 J.J.J M. Wuisman dengan penyunting M. Hisma, Penelitian ilmu-ilmu sosial, Jilid 1, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203

14 Ibid hal 206

15 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80.

(36)

fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.16

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau predeksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan, Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.17

“Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.

Teori bisa juga mengandung subjektifitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini”.

18

Secara teori dibedakan tiga (3) macam hal berlakunya hukum, yaitu :19 a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuan didasarkan pada kaidah

yang lebih tinggi tingkatnya, atau apabila berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antar suatu kondisi dan akibatnya.

16 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogjakarta, Gramedia, 1989, hal. 12

17 M. Solly Lubis, loc.it

18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum cetakan ke enam 2006, Penerbit PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2006, hal. 259.

19 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum Terjemahan Mohammad Radjab. Jakarta Bharata. 1992, Hal 272.

(37)

b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak dapat diterima oleh warga masyarakat atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat.

c. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi

Adapun kerangka teori dan pisau analisis yang dipakai dalam penelitian ilmiah ini adalah teori kepastian hukum dimana teori ini mengandung dua pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan yang kedua adalah berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu mengetahui apa saja yang dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu, kepastian hukum bukan hanya pasal- pasal dalam undang-undang melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan lainnya untuk kasus seerupa yang telah diputuskan.20

Sebagai perbandingan dapat dilihat dari teori hukum dari Roscoe Pound yaitu Law as a tool of social engineering atau hukum adalah sebagai pembuat rekayasa sosial dan mengatur kehidupan masyarakat dimana regulasi hukum yang dibuat

20 Piter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,Kencana Prenada Media Grup. Jakarta.

2008 Hal 158

(38)

pemerintah bertujuan memberikan sarana rekayasa sosial yang baru.21

Pound menyatakan bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).

Dalam pelaksanaan pemberian hibah secara perdata, hukum harus mampu melihat sosial budaya masyarakat khususnya masyarakat Indonesia yang memegang teguh kekerabatan dan religius serta tidak pernah mendasarkan segala sesuatunya semata- mata karena materi.

22 Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Keadilan merupakan suatu hal dari penyesuaian-penyesuaian hubungan dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep "kepentingan". Pound mengatakan bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan ditetapkan. Hukum dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.23

21 Ibid,.Hal 274.

22 Ibid,.

23 Sardjono Soekanto Pengantar Sosiologi Hukum. Edisi Revisi. Jakarta. Bharata. 1973 Hal, 58.

(39)

Pound juga menyatakan bahwa kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai kelangkaan.24 Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian dari kepentingan-kepentingan itu. Hukum tidak melahirkan kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk berbagai kepentingan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengembangan peradaban. Pound mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan individual atau personal dengan kepentingan publik atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”. Pernyataan Roscoe Pound tentang hukum.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum itu merubah masyarakat.25

Dalam perspektif politik hukum, menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi dari pemerintah. Pembentukan hukum di Indonesia selalu dipengaruhi oleh suatu kepentingan-kepentingan. Kekuasaan politiklah yang memiliki kepentingan tersebut

26

24 Roscou Pound Loc.Cit

25 Ibid,.

26 Ibid,

. Kekuasaan politik tersebut duduk di dalam institusi untuk melakukan legislasi kepentingan. Jadi, kekuasaan politik dapat mempengaruhi hukum. Tapi, pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang

(40)

geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan check and balances seperti yang dianut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah perubahan.

2. Kerangka Konsepsi

a. Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPer, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma- cuma,tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan- penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

b. Dewasa dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ialah seseorang yang telah berumur 21 Tahun. Dalam undang-undang perkawinan secara tegas dalam pasal 6 dinyatakan bahwa ukuran kedewasaan seseorang yaitu ketika ia berusia 21 tahun. Hal ini terlihat ketika seseorang akan melakukan perkawinan, jika belum berusia 21 tahun maka ia haruslah mendapat izin dari orang tuanya. Ketika telah berusia 21 tahun seseorang dianggap telah mampu untuk melakukan hubungan hukum perkawinan, sehingga ia tidak perlu meminta izin lagi kepada orang tuanya. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep hukum perdata.

c. Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).

(41)

d. Pemberi hibah hendaklah seorang yang dewasa seperti sempurna akal, baligh.

Pemberi hibah juga harus orang yang mempunyai barang yang dihibahkan. Oleh kerana pemilik harta mempunyai kuasa penuh ke atas hartanya, hibah boleh dibuat tanpa ukuran serta kepada sesiapa yang disukainya termasuk kepada orang bukan Islam, asalkan maksudnya tidak melanggar hukum

e. Penerima hibah boleh terdiri daripada siapa saja asalkan mempunyai kemampuan memiliki harta sama ada mukallaf atau bukan mukallaf. Sekiranya penerima hibah bukan mukallaf seperti masih belum akil baligh atau kurang akal, hibah boleh diberikan kepada walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya. Penerima hibah mesti menerima harta yang dihibahkan dan berkuasa memegangnya. Dengan kata lain, penguasaan dan kepemilikan terhadap harta mestilah diberikan kepada penerima hibah

G. Metode Penelitian

Menurut pendapat Koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian adalah dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods") adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang bersangkutan.

Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka harus didukung

(42)

dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.27

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial process)28

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan- bahan hukum primer yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur ilmu hukum berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku

. Analisis hukum yang tertulis dalam kajian penelitian ini pada dasarnya adalah berupa kajian yuridis yang mencoba menemukan atau mencari tahu mengenai konsep hibah, pengertian dan pelaksanaan pemberian hibah terutama yang dilakukan terhadap anak yang belum dewasa serta apa akibat hukumnya bila anak tersebut telah menjadi dewasa secara hukum perdata.

27 Danang Ari. Study Tentang Perlindungan Dagang. Surakarta, Universitas Muhammadiyah Malang 1998 Hal .9.

28 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Gratifi Press,2006 Hal.118.

(43)

hukum, karya ilmiah, bahan-bahan kuliah maupun putusan pengadilan yang kemudian dianalisis dengan pendekatan yuridis normatif yaitu menemukan hubungan antara peraturan yang satu dengan lainnya.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan dan pertanggung-jawaban hukum perdata

Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literatur. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena penelitian ini mengambil fokus berbagai aturan hukum yang menjadi tema sentral penelitian.

Pendekatan perundang-undangan yang dimaksudkan disebut juga pendekatan yuridis normatif atau socio legal research.

Menurut Sunaryati Hartono untuk penelitian dalam rangka penulisan tesis, penggunaan socio legal research disamping metode penelitian akan memberikan

(44)

bobot lebih pada penelitian yang bersangkutan.29

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif ini dilakukan penelaahan terhadap peraturan-peraturan yang ada relevansinya Pendekatan socio legal research dimaksudkan untuk menjelaskan secara internal dan eksternal permasalahan yang diteliti beserta hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan aspek-aspek hukumnya serta mencoba menjelajahi relitas empirik dalam masyarakat.

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat yang memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar, atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaahan penelitian ini.30

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup: (1) bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan

29 Ibid,Halaman 119.

30 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 24.

(45)

bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya; dan (2) bahan- bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data- data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kulitatif dengan cara :

(46)

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

(47)

A. Hibah Menurut Hukum Perdata 1. Pengertian dan dasar Hukum Hibah

Hibah di Indonesia dalam hukum perdata diatur dalam pasal Pasal 1666 KUHPerdata, Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.

Didalam masyarakat hukum adat, hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan diipisahkan dengan membuatkan rumah, memberikan pekarangan untuk pertanian, ini harus dibedakan dengan hal yang bersifat semacam wasiat sebelum seseorang meninggal, maka pemberi wasiat mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau keluarganya. Pemberi wasiat semasa hidupnya memberi petunjuk -petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris kalau ia meninggal. Jadi barang –barang atau harta itu belum dibagi – bagikan kepada ahli warisnya, melainkan masih berada dibawah kekuasaanya, sehingga hanya kalau pemberi hibah meninggal maka pembagian harta peninggalannya harus dilakukan menurut petunjuk petunjuk tersebut.

(48)

2. Subjek dan Objek Hibah

Subyek Hibah Dalam Hukum Perdata bisa siapa saja, namun ada beberapa pengecualian tertentu, misalnya saja anak-anak dibawah umur. Anak dibawah umur diangap tidak kuasa menerima maupun memberi hibah. Meraka dilarang membuat persetujuan hibah atau sesuatu barang apapun. Hibah yang mereka perbuat dapat diminta pembatalanya (vernietingbaar) namun bukan batal dengan sendirinya.

Antara suami istri tidak boleh menjadi subyek persetujuan hibah. Karena itu pemberian hibah antara suami istri yang terikat dalam perkawinan adalah terlarang.

Maksud pelaranggan hibah semacam ini jelas, untuk memperlindunggi pihak ketiga yang mempunyai tagihan kepada salah seorang diantara suami istri tersebut. Menurut pasal 1679 KUH Perdata supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang di hibahkan, ketentuan lainnya adalah orang yang diberi hibah harus sudah ada di dunia atau dengan memperhatikan aturan pasal 2 (anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, diangap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan ssianak menghendakinya), sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat pengibahan dilakukan. Menurut pasal 1680 KUH Perdata hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika presiden atau pembesar yang di tunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.

Pada Objek hibah Benda dan barang yang dapat di hibahkan menurut pasal 1667 KUH Perdata menyatakan, hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari,

(49)

maka sekedar mengenai ketentuan itu hibahnya adalah batal dan selanjutnya dinyatakan pula dalam Pasal 1672 KUH Perdata menyatakan si penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali benda-benda yang telah di berikannya, baik dalam halnya si penerima hibah sendiri, maupun dalam halnya sipenerima hibah beserta turunan-turunannya akan meninggal lebih dahulu daripada si penghibah; tetapi ini tidak dapat di perjanjikan selainnya hanya untuk kepentingan si penghibah sendiri.

Mengenai apa itu barang tetap tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Perkawinan, oleh karena itu kita merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer. Tentang benda tetap atau dalam KUHPer disebut dengan benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. KUHPer sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan benda tetap/benda tidak bergerak. Mengenai hal ini, Subekti, mengatakan bahwa suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tak bergerak;

a. Karena sifatnya. Adapun benda yang tak bergerak karena sifatnya adalah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara lansung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu.

b. Karena tujuan pemakaiannya. Benda tak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah dan bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam pabrik.

(50)

c. Karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Benda tak bergerak yang ditentukan oleh undang-undang adalah segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.

3. Proses Hibah

Menurut hukum undang-undang telah menetapkan cara penghibahan.

Penghibahan ini diatur dalam pasal 1882 KUH Perdata yang menyebutkan antara lain bahwa penghibahan itu harus dilakukan dengan akte notaris terutama untuk barang tak bergerak sedangkan untuk barabng yang bergerak dapat di hibahkan begitu saja, maka suatu peng hibahan yang dilakukan diluar dari itu adalah batal.

Akte notaris merupakan suatu syarat mutlak dari sahnya suatu hibah, dengan sendirinya kalau hibah dibuat dengan cara dibawah tanggan adalah batal. Demikian juga hibah itu tidak adapat dibuat suatu pembaruan, biarpun hal ini dibuat dengan akte notaris yang artinya bahwa pembaruan tentang hibah atau dengan mengadakan perubahan atau penambahan sejak semula hibah itu dibuat tidak di perbolehkan.Tentang penerimaan, hibahpun harus dilakukan dengan akte notaris. Hal ini diatur didalam pasal 1683 KUH Perdata yang menyebutkan tiada suatu hibah mengingkat si penghibah, atau menerbitkan bagai manapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah di terima oleh sipenerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akte autentik si penerima hibah yang telah dikuasai untuk menerima peng hibahan-penghibahan yang telah diberikan kepadanya.Jika penerima tersebut tidak melakukannya didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akte autentik terkemudian, yang aslinya

(51)

harus disimpan asal yang demikian itu dilakukan diwaktu si penghibah masih hidup dalam hal mana peng hibah, terhadap orang yang belakangan tersebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.

Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah : 1. Syarat-syarat bagi penghibah

a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.

c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).

d. Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.

Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.

2. Syarat-syarat penerima hibah

Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau

(52)

bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan a. Benda tersebut benar-benar ada.

b. Benda tersebut mempunyai nilai.

c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan.

d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.

4. Ijab Kabul

Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".

5. Pelaksanaan Hibah

Sekaitan pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.

b. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan pengujian hipotesis untuk menemukan bukti empiris mengenai pengaruh profitabilitas, free cash flow, dan investment opportunity set terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%

Manfaat dari kerja sama yang saling ketergantungan antarsiswa di dalam pembelajaran kooperatif berasal dari empat faktor diungkapkan oleh Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 2012:

Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan merupakan hasil dari penelitian di lapangan, data dan informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian, maka dapat

Sehingga daun pandan wangi memiliki banyak mekanisme sebagai alternatif kanker serviks yaitu mulai mencegah, menghambat pertumbuhan sel kanker dan membunuh sel kanker

Sebaiknya pemimpin A berusaha untuk memberi perhatian pada karyawan dengan menghilangkan keraguan yang dirasakan oleh karyawan dan lebih banyak melakukan tindakan koreksi

adalah kitosan dan kolagen merupakan bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan.. scaffold , karena memiliki beberapa kelebihan sifat fisik

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut, Polres Semarang sebagai penegak hukum di Kabupaten