1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19451. Undang-undang
yang mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Undang-undang ini diundangkan dalam upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah tangga atau keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Namun dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga masih banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga2.
Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus3. Korban
kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
1 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2 Ibid.
2
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan4. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menyadari bahwa nilai budaya dan nilai sosial yang berlaku di Indonesia saat ini, telah memperkecil peranan perempuan di Indonesia dan secara khusus dalam
konteks HAM telah mendiskriminasikan perempuan di Indonesia.5
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga dapat kita lihat melalui definisi kekerasan dalam rumah tangga yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT, yakni “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga”.6
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, mengelompokkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga, yaitu dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran
rumah tangga.7
4 Ibid.
5 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama 2012), hlm. 72.
6 Ibid. 7 Ibid.
3
Dalam Pasal 108 ayat (1) KUHP menentukan bahwa: “Setiap orang
yang mengalami atau menjadi korban suatu tindak pidana itu berhak
mengajukan pengaduan”. Menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak semua orang berhak untuk mengajukan pengaduan tindak pidana yang dilihatnya. Oleh sebab itu, ada tindak pidana yang terjadi baru dapat dilakukan penyidikan jika ada pengaduan dari si korban (dalam hal delik aduan). Delik aduan ini menjadi hal penting bagi para penyidik, agar pengaduan tersebut dapat dipakai sebagai dasar yang sah untuk melakukan penyidikan.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat (4) bahwa “Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, Lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.
Pengertian perlindungan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Pasal 1 ayat (6) “Perlindungan adalah segala pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau Lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.
Jika kita melihat Pasal 13 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, telah diamanatkan bahwa
4 untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dapat melakukan upaya memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. Jadi dalam hal ini, kepolisian sebagai pihak yang bertanggungjawab memberikan perlindungan kepada masyarakat juga memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan ataupun membantu upaya penyelesaian terhadap permasalahan yang dialami oleh korban.
Secara spesifik, Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa pihak kepolisian harus memberikan perlindungan terhadap korban berupa:
1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. pelayanan bimbingan rohani.
Adapun hak-hak korban telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu sebagai berikut:
5
1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan.
3. memberikan keterangan tanpa tekanan.
4. mendapat penerjemah.
5. bebas dari pertanyaan yang menjerat.
6. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.
7. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan.
8. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.
9. dirahasiakan identitasnya.
10.mendapat identitas baru.
11.mendapat tempat kediaman sementara.
12.mendapat tempat kediaman baru.
13.memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
14.mendapat nasihat hukum.
15.memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
Perlindungan berakhir.
16.mendapat pendampingan.
Perlindungan dan hak-hak korban diatas harus diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
6 Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga menunjukkan angka yang relatif cukup besar, sehingga harus mendapatkan perhatian tersendiri. Hal tersebut diungkap dari hasil penelitian Organisasi
non pemerintah, Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak
Asasi Manusia (LRC – KJHAM) bahwa telah ditemukan 352 kasus kekerasan terhadap perempuan selama 2017 di Jawa Tengah, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi jenis kasus tertinggi, yaitu mencapai
117 kasus atau 33,3%8. Berdasarkan hasil SPHPN Tahun 2016
mengungkapkan ada 4 faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu faktor
individu, faktor pasangan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi9
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan hal yang baru. Namun, selama ini banyak istri yang tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, bahkan cenderung menutup-nutupi masalah ini, karena
takut akan cemoohan dari masyarakat maupun keluarga sendiri10.
Perempuan terpaksa besikap mendiamkan perbuatan tersebut karena adanya budaya yang sudah melekat berabad-abad bahwa isteri harus patuh,
mengabdi, dan tunduk pada suami11.
8 Isheru Pratikno, Selama 2017, 352 Kasus Kekerasan Perempuan Terjadi Jateng, Semarang Tertinggi. Artikel. Ditulis 7 Desember 2017. http://asatu.id/2017/12/07/selama-2017-352-kasus-kekerasan-perempuan-terjadi-jateng-semarang-tertinggi/
9 Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor Penyebabnya, Artikel dipublikasikan 19 Mei 2018. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-kdrt-kenali-faktor-penyebabnya
10 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 2. 11 Ibid.
7 Kekerasan dapat terjadi dimana saja, dalam bentuk tindakan mengeluarkan kata-kata kasar, penganiayaan, pemerasan dan penipuan. Korban kekerasan terhadap perempuan tidak hanya mengalami penderitaan fisik, psikologis atau seksual, tetapi juga terampas kemerdekaan dan
teraniaya kemanusiaannya12. Tindakan kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga berupa kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh, dan atau yang
menyebabkan kematian,13 pengancaman dan pemaksaan tanpa sebab yang
jelas, akan merusak kelanggengan hubungan suami istri yang sudah dibina sebelumnya.
Setiap kejahatan yang terjadi akan menimbulkan korban. Korban kejahatan adalah: “mereka yang menderita secara jasmaniah dan robaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi yang menderita”.14
Namun kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat sering tidak ditangani oleh aparat hukum. Hal ini disebabkan masih banyaknya warga masyarakat yang menganggap hal tersebut sebagai urusan pribadi dari keluarga tersebut. Juga adanya perasaan segan dikalangan masyarakat untuk mencampuri urusan pribadi orang lain.
12 La Jamaa & Hadidjah MA, Hukum Islam Dan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2008), hlm.69.
13 Fathhul Jannah, et. Al, Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta: LKIS-CIDA-ICIHEF Jakarta, 2003), hlm. 15.
14 Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.
8 Sehingga menjadikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi jarang terpublikasi ke permukaan. Dari kenyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan relatif masih kurang, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti tindakan aparat hukum, khususnya Polres Semarang dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut, Polres Semarang sebagai penegak hukum di Kabupaten Semarang sudah seharusnya dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang bersifat perlindungan sementara. Perlindungan sementara yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau Lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan15.
Perlindungan terhadap korban disini adalah meliputi perlindungan
atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya16. Korban yang secara
pribadi mendapat perlindungan yaitu seseorang yang mengalami penderitan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana17.
15 Ibid.
16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Korban. 17 Ibid.
9 Sehubungan dengan hal diatas penulis melakukan penelitian di Unit PPA Polres Semarang. Hasil dari penelitian diperoleh data perkembangan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh Penyidik Unit PPA Polres Semarang dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 sebagai berikut :
Kasus KDRT yang terjadi di Kabupaten Semarang dan dilaporkan ke Polres Semarang dari Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2018 berjumlah 32 perkara. Dimana dari semua perkara tersebut, yang menjadi korban KDRT adalah perempuan. Dengan perincian pada tahun 2016, yang dilaporkan sebanyak 11 perkara. Pada tahun 2017, perkara yang dilaporkan berjumlah 10 perkara. Sementara pada tahun 2018, kasus yang dilaporkan berjumlah 11 perkara. Meskipun jumlah KDRT yang ditangani oleh Polres Semarang dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 relatif sama, namun tidak menutup kemungkinan masih ada tindak KDRT yang belum dilaporkan atau diadukan oleh korban ke Unit PPA Polres Semarang, dikarenakan keengganan korban untuk melakukan laporan / aduan.
Bahwa sebelumnya sudah ada skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Di Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Satuan Reserse Kriminal Polres Salatiga)” oleh Naufal Haryoseto Zahiruddin. Dalam hal ini, penulis mengambil judul yang sama namun berbeda lokasi penelitian dan sasaran kajiannya. Apabila saudara Naufal Haryoseto Zahiruddin lebih menitik beratkan penelitian dan kajiannya pada
10 permasalahan hukumnya, maka penulis lebih condong pada permasalahan tindakan penyidiknya dalam upaya perlindungan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut penulis bermaksud untuk meneliti dan mengkaji tindakan penyidik dalam upaya perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Polres Semarang,
selanjutnya akan penulis susun dalam skripsi dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” (STUDI DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES SEMARANG).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, pokok – pokok permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah :
Bagaimana tindakan penyidik dalam melakukan perlindungan hukum bagi perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, khususnya penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polres Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui apa saja tindakan penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polres Semarang dalam melakukan perlindungan hukum bagi perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
11 D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian akan didapatkan beberapa manfaat yang antara lain diketahuinya tindakan penyidik dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian adanya masukan terhadap aparat penyidik Polres Semarang sehingga diharapkan kedepannya tindakan penyidik dalam memberikan perlindungan hukum terhadap koban kekerasan dalam rumah tangga akan lebih maksimal, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
E. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan data dan fakta yang ditemukan di Polres Semarang dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
2. Metode Pendekatan
Didalam melakukan penelitian, penulis menggunakan
pendekatan sosiologis atau empiris (socio legal research), yaitu “suatu
pendekatan dalam penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial yang lebih menitikberatkan perilaku individu atau
12
masyarakat dalam kaitannya dengan hukum”.18 Dengan pendekatan
tersebut, diharapkan akan didapatkan data dan fakta praktek pelaksanaan perlindungan hukum oleh Polres Semarang bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga diwilayah hukum Polres Semarang. Selain pendekatan sosiologis, penulis juga
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan kasus (case approach), yaitu melakukan penelaahan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan praktek pelaksanaannya oleh Unit PPA Polres Semarang.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang didapatkan dari penelitian ini meliputi :
a. Data Primer
Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya dengan cara wawancara dengan aparat Kepolisian Resor Semarang, khususnya penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.
b. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan dengan cara melakukan study dokumen dan study
literature dalam mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis,
13 konsep, pandangan-pandangan, doktrin, serta isi kaedah hukum yang menyangkut perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia.
Data sekunder ini berupa bahan-bahan hukum yang terdiri atas :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat berkaitan dengan objek penelitian, antara lain :
a) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
b) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
c) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
d) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
Pol. 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain :
a) Buku-buku literature yang membahas tentang perlindungan
hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
14
b) Makalah-makalah maupun karya tulis dari para ahli hukum,
khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia dan internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang benar-benar valid, didalam pengumpulan data penulis menggunakan teknik sebagai berikut :
a. Survey, meliputi kegiatan pengamatan, kunjungan ataupun
wawancara untuk mendapatkan informasi dari perorangan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga ataupun keluarganya dan pejabat instansi terkait khususnya penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Semarang.
b. Study pustaka (library research), yang mana penulis akan membaca
berbagai literature hukum dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.