• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam upaya mengkaji permasalahan penelitian yang diajukan akan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan spesifikasi/ sifat penelitian untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh antara teori dan praktek tentang

therapeutic community. Penarikan kesimpulan penelitian akan diperoleh berupa

penyelesaian rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

35

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm 69.

BAB II

KONSEP THERAPEUTIC COMMUNITY DAN REHABILITASI TERPADU TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA

A. Pengertian Therapeutic Community dan Rehabilitasi Terpadu

1. Therapeutic Community

Metode Therapeutic Community adalah merupakan sebuah ”keluarga” terdiri atas orang-orang yang mempunyai masalah-yang sama dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menolong diri sendiri dan sesama yang oleh seseorang dari mereka, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari yang negatif ke arah tingkah laku yang positif. Metode therapeutic community ini merupakan metode pembinaan yang dilaksanakan di beberapa lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Hampir seluruh penghuni lembaga pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan terlibat tindak pidana narkotika dan psikotropika, tetapi pembinaan yang dilaksanakan masih cenderung disamakan dengan narapidana yang terlibat kasus kriminal biasa dan tidak melaksanakan sepenuhnya metode therapeutic community. Pelaksanaan metode therapeutic community ini masih dalam tahap percobaan. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan metode therapeutic community perlu pemahaman lebih mendalam bagi petugasnya.

Metode pembinaan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan adalah metode treatment yang merupakan therapeutic community, yaitu suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada korban penyalahgunaan NAPZA. Program therapeutic community yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan telah diadaptasi dari panti-panti rehabilitasi narkoba di Indonesia, yang

mengacu pada pedoman pelaksanaan rehabilitasi narkoba yang ditetapkan oleh Departemen Sosial dan Badan Narkotika Nasional. Meskipun demikian, tidak semua kegiatan dalam program therapeutic community tersebut dapat dilaksanakan secara murni di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi dan fungsi dari lembaga pemasyarakatan dan panti rehabilitasi.

Therapeutic community merupakan suatu wujud kehidupan nyata dalam

bentuk simulasi. Di dalam therapeutic community ada berbagai norma dan falsafah yang dianut untuk membentuk perilaku yang lebih baik. Norma dan falsafah yang ditanamkan dalam therapeutic community kemudian berkembang menjadi suatu budaya therapeutic community yang didalamnya mencakup:

1) The Creed (Philosophy)

Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam therapeutic community. Falsafah ini merupakan kerangka dasar berpikir dalam program therapeutic

community yang harus dipahami dan dihayati oleh seluruh residen (panggilan

bagi narapidana yang mengikuti program therapeutic community. 2) Unwritten Philosophy

Merupakan nilai-nilai dasar yang tidak tertulis, tetapi harus dipahami oleh seluruh residen. Karena, inilah nilai-nilai atau norma-norma yang hendak dicapai dalam program. Dengan mengikuti program therapeutic community, residen dapat membentuk perilaku baru yang sesuai dengan unwritten

philosophy.

3) Cardinal Rules

Merupakan peraturan utama yang harus dipahami dan ditaati dalam program

therapeutic community , yaitu :

a) No drugs (tidak diperkenankan menggunakan narkoba)

b) No sex (tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dalam bentuk

apapun)

c) No violence (tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik).

4) Four Structure Five Pillars

Kategori struktur program ini berupa :

a) Behaviour management shaping (pembentukan tingkah laku). Residen

mempelajari teknik-teknik yang ada dengan menggunakan tool’s of the

house secara benar.

b) Emotional and psychological (pengendalian emosi dan psikologi). Ini

bisa dilakukan melalui kelompok static group, teguran rekan sebaya apabila emosional, dan lain-lain kerja kelompok yang berhubungan.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

Residen diberikan seminar tentang pendidikan bahaya narkotika, memberi contoh, rekreasi dan penerapan nilai-nilai agama.

d) Vocational and survival (keterampilan kerja dan keterampilan bersosial

serta bertahan hidup). Suatu konsep pembelajaran dalam lingkungan sosial dengan berlandaskan pada keterampilan diri, dimana seorang residen akan dinilai dan disesuaikan dengan peranannya.

Program therapeutic community menerapkan konsep dasar/tonggak berupa : a) Family milieu concept (konsep kekeluargaan) Untuk menyamakan

persamaan di kalangan komunitas supaya bersama menjadi bagian dari sebuah keluarga.

b) Peer pressure (tekanan rekan sebaya). Proses dimana kelompok

menekankan contoh seorang residen dengan menggunakan teknik yang ada dalam therapeutic community.

c) Therapeutic session (sesi terapi). Berbagai kerja kelompok untuk

meningkatkan harga diri dan perkembangan pribadi dalam rangka membantu proses kepulihan.

d) Religious session (sesi agama). Proses untuk meningkatkan nilai-nilai

dan pemahaman agama.

e) Role modelling (keteladanan). Proses pembelajaran dimana seorang

residen belajar dan mengajar mengikuti mereka yang sudah sukses.

f) Tool's of the house. Merupakan alat-alat atau instrumen yang ada dalam therapeutic community (TC) yang digunakan untuk membentuk perilaku.

Penerapan tool's of the house yang benar diharapkan dapat membawa perubahan perilaku yang lebih baik.

Di dalam therapeutic community dikenal adanya kelompok-kelompok kerja yang terbagi dalam departemen (divisi), dimana residen yang berada dalam departemen tersebut akan menjalankan tugasnya setiap hari sesuai dengan fungsi kerjanya (job function) masing-masing. Hal ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan operasional kegiatan sehari-hari serta sebagai latihan keterampilan dan meningkatkan tanggung jawab residen terhadap komunitasnya. Di dalam job function tersebut dikenal adanya sistem status (hirarki) yang menentukan tingkatan tanggung jawab dari residen. Sistem status (hierarki berdasarkan status) tersebut adalah : a) C.O.D. (Coordinator of Department)

b) Chief

c) Shingle/H.O.D. (Head of Department) d) Ramrod.

e) Crew.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

2. Rehabilitasi Terpadu

Program rehabilitasi terpadu yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan merupakan sebuah program yang memadukan berbagai metode

yang meliputi aspek medis, sosial, kerohanian dan keterampilan. Program ini dibuat untuk membantu para warga binaan agar lepas dari ketergantungan narkotika dan psikotropika. Untuk menjalankan program yang terarah dan terpadu, maka dilakukan adaptasi berbagai metode rehabilitasi dengan karakteristik Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar program ini tepat sasaran hasil yang optimal. Adapun beberapa model rehabilitasi terpadu yang diterapkan, yaitu :

1) Model pelayanan dan rehabilitasi medis;

2) Model pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan pendekatan bimbingan sosial, individu dan kelompok;

3) Model pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan pendekatan therapeutic

community;

4) Model pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan pendekatan keagamaan; 5) Model pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan pendekatan terpadu.

Rehabilitasi terpadu terdiri atas rehabilitasi sosial dan rehabiltasi medis. Pengertian rehabilitasi sosial adalah merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan menanamkan sikap prososial sehingga diharapkan dapat kembali ke masyarakat san tidak menggunakan narkotika setelah menjalani bagian dari rehabilitasi terpadu tersebut.

Pengertian rehabilitasi medis adalah bentuk kegiatan berupa observasi dan dokumentasi penyakit oleh dokter ataupun perawat, berupa:

a) Pemeriksaan kondisi kesehatan dan status narapidana baru (medical check

up for new inmates).

b) Pelayanan kesehatan rutin.

c) Identifikasi penyakit yang diderita. d) Detoksifikasi.

e) Dokumentasi pemakai IDU dan non IDU. f) Pemeriksaan urin bagi pegawai dan narapidana. g) Kontrol dokter ke blok-blok penghuni.

h) Kegiatan rawat inap dan rawat jalan.

B. Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

Dalam hal penggunaan narkoba pada awalnya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah merupakan upaya politik hukum pemerintah Indonesia sebagai langkah penanggulangan terhadap peredaran gelap narkoba di masyarakat melalui sistem penegakan hukum pidana. Efektivitas penegak hukum dan peran serta masyarakat yang memegang peranan utama dalam penegakan hukum terutama dalam penerapan sanksi bagi terpidana kasus narkoba.

Tindak pidana narkotika dan psikotropika adalah merupakan kejahatan internasional/transnasional yang terorganisir rapih dan bergerak cepat tanpa mengenal batas negara. Merujuk Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional terorganisasi, di Palermo tahun 2000, memberikan karakteristik tentang kejahatan transnasional, sebagai berikut:

1) Dilakukan lebih dari satu negara.

2) Dilakukan di satu negara tetapi bagian substansial dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain.

3) Dilakukan disebuah negara, tetapi melibatkan organisasi kejahatan lebih dari satu negara.

4) Dilakukan di salah satu negara, tetapi menimbulkan efek substansial bagi negara-negara lain. 36

Untuk memeranginya, seluruh kekuatan regional dan internasional harus dipadukan dalam dalam kerjasama yang bersifat strategis maupun operasional yang

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

36

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 192.

ditindak lanjuti dalam berbagai kerjasama bilateral, regional, dan internasional. Pada Tahun 1988 telah dilaksanakan konvensi PBB tentang pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika (United Nations Convention Against Ilecit Trafic

In Narcotic Drug And Psicotropic Substances, 1988). Konvesi ini merupakan

penegasan dan penyempurnaan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal dalam upaya mencegah dan memberantas organisasi kejahatan transnasional yang melakukan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 37

Dalam perkembangannya narkotika dan psikotropika di Inggris dan Amerika Serikat mempergunakan istilah Narcotic And Dangerous Drough (Narkotika dan Obat-obat berbahaya). Ada beberapa pengertian tentang narkotika dari beberapa pendapat seperti dalam buku narkotika dan psikotropika dalam hukum pidana mengutip beberapa pendapat Smith Clini dan Frenches Clinical Staff dan Biro Bea Cukai Amerika Serikat. Smith Cline dan France Clinical Staff (1968) berpendapat tentang defenisi sebagai berikut: 38

Narcotics Are Looks Wich Produce Insesibility Or Stupor Due To Their Depressent Efect On The Central Nervous System. Included In this Definition Are Opium Derevaties (Morphine, Cocain, Heroin) And Synthetic Opiates (Meperidine,

37

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 60.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

38

Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Madju, 2003, hlm 33), yang dikutip dari N. Ridha Ma’roef (1976 : 14-15 ) dari buku Narkotika Masalah dan Bahayanya. Keduanya mengutip beberapa pendapat Smith Cline dan France Clinical Staff 1968) serta biro dan bea cukai Amerika Serikat dalam buku Narcotics Identification Manual

Methadone).

Definisi menurut Smith Cline dan France Clinical Staff (1968) yang artinya Narkotika merupakan obat/racun yang (mana) menghasilkan insesibilitas atau pingsan dalam hal ini obat/ racun tersebut merupakan depresent yang berakibat buruk pada sistem saraf pusat. Yang termasuk dalam definisi ini adalah candu atau

derefaties (morphine, obat dari bahan bius, heroin). Candu buatan (mepheridine

methadone). Pengertian lainnya dari biro bea dan cukai Amerika Serikat, antara lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya dari bahan-bahan tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashis, kokain dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat- zat, obat-obat yang tergolong dalam halucinogen, depresant, dan stimulant.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, narkotika atau opiat ialah “drug”, obat atau racun, yang mempunyai pengaruh terhadap jasmani dan rohani, maka dapat digunakan untuk pengobatan dan riset. Yang tergolong dalam narkotika ialah candu dan komponen yang aktif, yakni morfin, kokain, heroin, kodein dan ganja. Jika narkotika disalahgunakan, dan demikianlah kenyataannyaa, maka bahaya penyalahgunaan itu tidak sekedar terhadap diri pecandu yang bersangkutan, tetapi dapat membawa dampak lebih jauh, yaitu timbul gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat. Proses ketergantungan orang pada narkotika berbeda-beda menurut kadar jenis zat dan banyaknya takaran yang digunakan. Tetapi proses berlangsung mula-mula dengan penggunaan sekali-sekali, kemudian semakin kerap, dan kemudian menjadi bergantung dan ketagihan. Ada 2 (dua) sifat ketergantungan dalam hal narkotika, yaitu ketergantungan kejiwaan dan ketergantungan jasmaniah. Diantara kedua- duanya ketergantungan jasmaniah paling membahayakan.39

Menurut batasan WHO (1969) yang dimaksud obat (drug) adalah setiap zat yang apabila masuk kedalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

39

atau lebih fungsi-fungsi organ tubuh. Narkoba (narkotika dan obat-obat berbahaya) ialah zat kimiawi yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi, mental dan perilaku seseorang. Sedangkan pengertian narkotika menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah sebagai berikut:

”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.”

Sedangkan pengertian psikotropika menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah sebagai berikut: ”Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan khas pada aktifitas mental dan perilaku.”

Batasan mengenai tindak pidana narkotika dan psikotropika yang diambil dari ketentuan yang mengacu pada Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina 1988, tentang narkotika dan psikotropika yang meliputi tindakan:

1) Menanam, membeli memperdagangkan, mengangkut serta mendistribusikan narkotika dan psikotropika;

2) Menyusun suatu organisasi manajemen dan membiayai tindakan-tindakan tersebut pada butir (1);

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

3) Mentransfer harta kekayaan yang diperoleh dari tindakan tersebut pada butir (1); dan

4) Mempersiapkan, percobaan pembujukan dan pemufakaan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut pada butir (1).

Salah satu agenda reformasi yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan adalah reformasi dalam penegakan hukum. Penegakan hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya.40 Sebaliknya, penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya.

Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif dan tidak bersifat secara memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.41 Hukum sebagai satu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma-norma yang membuat anjuran, larangan, sanksi yang sebagai salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial dengan tujuan menjaga ketertiban sosial dang kepentingan masyarakat.

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (the rule of law) Tidak ada seorang pun yang dapat dipidana sebelum ada Undang-undang yang

40

Bambang Suroso, Aktualita Hukum dalam Era Reforasi,(Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm 57.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

41

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Eksistensionalisme dan Abolisionalisme, (Bandung : Bina Cipta, 1995), hlm 39.

mengaturnya. Sebagaimana dikenal dalam asas hukum pidana Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu asas legalitas. Dengan asas legalitas ini dimaksudkan bahwa:

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalau terlebih dahulu tidak dinyatakan dalam aturan Undang-undang;

2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut/ retroakif.

Penjatuhan hukuman yang merupakan pelaksanaan dari suatu sistem pemidanaan dan tentunya akan berpengaruh besar terhadap berlangsungnya sistem pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Sahardjo berpandangan bahwa pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara tidak hanya terbatas pembinaan narapidana semata, tetapi untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahaan, disamping itu juga pidana penjara tidak lagi dipandang sebagai bentuk prefentif. Disamping itu juga, pidana diharapkan sebagai suatu usaha perdamaian antara narapidana dan masyarakat melalui cara penghapusan rasa bersalah terpidana, dengan cara memaksimalkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dengan demikian Sahardjo dapat juga dipandang sebagai kaum utilitaris serta pemikirannyapun lebih dekat kepada pemikiran PBB tentang Konsepsi

Minimum Rules The Prefention of Crime And The Treatment Offenders 1967” Karena

memproyeksikan tujuan pidana dalam pencegahan kejahatan maupun penurunan jumlah pelanggaran hukum.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur perbuatan-perbuatan yang termaasuk tindak pidana narkotika, yang dimulai dari Pasal

78 sampai dengan Pasal 100. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan khusus. Ketentuan pidana dalam peraturan hukum ini terdiri atas:

1. Tindak pidana yang menyangkut produksi narkotika.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini melarang perbuatan memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika. Dalam pasal ini jika narkotika yang dimaksud ialah narkotika Golongan I, maka ancaman hukumannya adalah hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Jika Golongan II, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan jika Golongan III, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

2. Tindak pidana yang menyangkut jual - beli narkotika.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dimana dalam pasal ini terdapat larangan untuk mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual - beli, atau menukar narkotika. Dalam pasal ini jika narkotika yang dimaksud adalah Golongan I, maka ancaman hukumannya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar

rupiah). Jika Golongan II, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan jika Golongan III, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Selain itu dalam pasal ini terdapat pemberatan terhadap pelanggaran ketentuan ini jika kejahatan tersebut didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi atau dilakukan oleh korporasi.

3. Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan narkotika.

Tindak pidana yang menyangkut masalah pengangkutan narkotika ini diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal ini melarang setiap pihak untuk membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. Jika narkotika tersebut adalah golongan I, maka ancaman hukuman paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan jika golongan II, maka diancam hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Jika narkotika golongan III, maka diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Dalam pasal ini terdapat pula pemberatan terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi atau dilakukan oleh korporasi.

4. Tindak Pidana yang menyangkut penguasaan narkotika.

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 78 dan 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur bahwa terdapat larangan untuk menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau narkotika golongan I dalam bentuk tanaman serta memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman. Dalam pasal ini juga diatur mengenai masalah pemberatan yang dapat dijatuhkan dalam hal kejahatan tersebut dilakukan dengan didahului permufakatan jahat, atau dilakukan secara terorganisasi atau dilakukan oleh korporasi.

Sedangkan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diatur mengenai masalah larangan untuk memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan golongan III. Jika narkotika tersebut adalah golongan II, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp.250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan jika narkotika golongan III, maka dapat diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Selain itu terdapat juga pemberatan terhadap kejahatan ini jika didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir atau dilakukan oleh korporasi.

5. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.

Tindak pidana ini dapat dibagi menjadi (2) dua, yaitu perbuatannya tersebut dilakukan untuk orang lain dan dilakukan untuk dirinya sendiri. Untuk penyalahgunaan narkotika yang dilakukan untuk orang lain diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Dalam pasal tersebut terdapat larangan untuk menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, golongan II dan golongan III. Untuk narkotika golongan I, maka dapat diancam hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan untuk golongan II dapat diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Untuk golongan III ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Sedangkan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan bagi dirinya sendiri diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Dokumen terkait