• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN THERAPEUTIC COMMUNITY DAN

REHABILITASI TERPADU BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA

DAN PSIKOTROPIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS I MEDAN DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN SISTEM

PEMASYARAKATAN

TESIS

Oleh

M. TAVIP 077005017/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

PELAKSANAAN THERAPEUTIC COMMUNITY DAN

REHABILITASI TERPADU BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA

DAN PSIKOTROPIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS I MEDAN DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN SISTEM

PEMASYARAKATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. TAVIP 077005017/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN THERAPEUTIC COMMUNITY DAN REHABILITASI TERPADU BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I MEDAN DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN SISTEM PEMASYARAKATAN

Nama Mahasiswa : M. Tavip Nomor Pokok : 077005017 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 21 Juli 2009

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 21 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

(5)

ABSTRAK

Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Salah satu metode yang digunakan dalam pelayanan dan rehabilitasi penyalahguna narkoba adalah therapeutic community yang pada mulanya ditujukan bagi pasien-pasien psikiatri yang dikembangkan sejak perang dunia kedua.

Permasalahan yang diajukan adalah bagaimanakah konsep therapeutic

community dan rehabilitasi terpadu terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan

psikotropika; bagaimana pelaksanaan therapeutic community dan rehabilitasi terpadu dalam pembinaan terhadap narapidana pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika; apakah yang menjadi kendala dalam berlangsungnya pembinaan bagi narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang sumbernya berasal dari perundang-undangan, karya tulis ilmiah, laporan penelitian, jurnal dan putusan-putusan hakim. Disamping itu juga untuk mendukung data sekunder, digunakan data primer yang sumbernya berasal dari narasumber atau responden, dalam hal ini pakar hukum pidana dan kriminologi, Kepala dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan, Kepala dan Petugas Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara dan narapidana narkotika dan psikotropika.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode therapeutic community adalah merupakan sebuah ”keluarga” terdiri atas orang-orang yang mempunyai masalah-yang sama dan memiliki tujuan masalah-yang sama, yaitu menolong diri sendiri dan sesama yang oleh seseorang dari mereka, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari yang

(6)

negatif ke arah tingkah laku yang positif. Metode therapeutic community ini merupakan metode pembinaan yang dilaksanakan dibeberapa lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika. Program rehabilitasi terpadu yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan merupakan sebuah program yang memadukan berbagai metode yang meliputi aspek medis, sosial, kerohanian dan keterampilan. Program ini dibuat untuk membantu para warga binaan agar lepas dari ketergantungan narkotika dan psikotropika. Program ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pengobatan dan perawatan bagi warga binaan (yang selanjutnya disebut dengan residen) yang mengalami ketergantungan narkoba. Rehabilitasi sosial merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan menanamkan sikap prososial, sehingga mereka nantinya dapat kembali ke masyarakat dan tidak mengulangi tindakan penyalahgunaan narkoba setelah bebas.

Peneliti menyarankan agar adanya kebijakan berupa mengurangi/membatasi tahanan/narapidana ke Lapas/Rutan serta dengan mempercepat proses pengeluaran narapidana dari lembaga pemasyarakatan secara sistematis dan bertanggungjawab. Dengan melihat hasil penelitian, maka diharapkan dapat meningkatkan dukungan berbagai pihak untuk tetap menjalankan program therapeutic community dan rehabilitasi terpadu sebagai salah satu bentuk treatment bagi narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Kata Kunci : Therapeutic Community, Rehabilitasi Terpadu, Pemasyarakatan.

(7)

ABSTRACT

Program to rehabilitate the narcotic represent to with refer to the effort

co-ordinated and inwrought, consisted of by the sis efforts, tuition bounce the

psikososial, religious, education and practice vocasional to increase ability of x'self

adjustment, independence and help the ownself and also reach the functional ability

as according to potency owned the, physical goodness, bouncing, social and

economic. In the end they is expected can overcome the problem of abuse narkoba

and back have interaction to with the society to the manner born. One of method used

in service and rehabilitate the narcotic user is therapeutic community which is in the

begining addressed by for psychiatry patient developed since second world war.

Problems raised is what will be concept of therapeutic community and rehabilitate

inwrought to perpetrator of doing an injustice of narcotic and psikotropika; how

execution of therapeutic community and rehabilitate inwrought in construction to

convict of perpetrator of doing an injustice of narcotic and psikotropika;

whether/what becoming constraint in taking place it construction for convict of doing

an injustice of narcotic and psikotropika.

Nature of this research is analytical descriptive, that is to descripe, depicting,

analyzing and explaining analytically is opened problems. Data needed in this

research is skunder data, what its source come from legislation, masterpiece write

erudite, research report, journal and judge decision. Beside that also to support the

data sekunder, used by a primary data which its source come from source or

responder, in this case expert of criminal law and criminology, Lead and Worker

Institute the Pemasyarakatan, Lead and Worker of Body of Narcotic of Province of

North Sumatra and convict of narcotic and psikotropika.

Result of research indicate that the method of therapeutic community is

represent a “family” consisted of by the people who have the problem which is of

equal and own the same target, that is help the ownself and humanity which is by

somebody from them, so that happened by the behaviour change from which are

negative up at behaviour which are positive. this method therapeutic community

represent the construction method executed by some institute pemasyarakatan to

(8)

convict of doing an injustice of narcotic and psikotropika. Program to rehabilitate

inwrought executed in Institute of Pemasyarakatan Klas I Field represent a program

which combine various method covering medical aspect, social, spirituality and skill.

Program this made to assist all citizen to be getting out of depending of narcotic and

psikotropika. Program this represent one of form of activity of medication and

treatment for citizen (hereinafter referred to as by residen) is natural depending

narkoba. Rehabilitate the social represent a[n construction activity which aim to to

guide the convict develop the social attitude and inculcate the attitude prososial, so

that they later regain to society and do not repeat the action of abuse narcotic after

free.

Researcher suggest that the existence of policy in the form of lessening

prisoner convict to Lapas/rutan and also by quickening process of convict

expenditure from institute pemasyarakatan systematically and responsibilty seenly

result of research, is hence expected can improve the support of various party to

remain to to run the program of therapeutic community and rehabilitate inwrought as

one of form treatment for convict of doing an injustice of narcotic and psikotropika.

Key words : Therapeutic Community, Rehabilitate Inwrought, Pemasyarakatan.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH; Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS; dan Dr. Sunarmi, SH, M. Hum sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul penelitian “Pelaksanaan Therapeutic

Community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika dan Psikotropika

di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”.

Peneliti turut mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K) atas dibukanya kerjasama program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Universitas Sumatera Utara. 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas

pemberian kesempatan menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan dan juga sebagai Ketua Komisi Pembimbing.

(10)

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan sumbang saran dalam penelitian.

5. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan ide-ide dalam penulisan dalam penelitian.

Peneliti berterima kasih atas dukungan moril yang telah diberikan istri tercinta Herlina Suryani beserta anak-anakku tersayang Muhammad Fajar, Zaki, Rinaldi, dan Alvin yang telah mengerti atas perjuangan memperoleh gelar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan segala keterbatasan kekurangan yang ada, peneliti berharap semoga tesis ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang terkait.

Medan, Juni 2009 Penulis,

M. Tavip

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : M. Tavip

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 11 November 1964 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jln. Pinang Baris Gg. Melayu No. 7 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

- Sekolah Dasar dari Tahun 1971 s/d 1977.

- Sekolah Menengah Pertama dari Tahun 1977 s/d 1980 - Sekolah Menengah Atas dari Tahun 1980 s/d 1983. - Fakultas Hukum dari Tahun 1984 s/d 1989.

- Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dari Tahun 2007 s/d 2009

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK --- i

ABSTRACT --- iii

KATA PENGANTAR --- v

RIWAYAT HIDUP --- vii

DAFTAR ISI --- viii

DAFTAR TABEL --- x

DAFTAR ISTILAH--- xi

DAFTAR SINGKATAN --- xii

BAB I PENDAHULUAN--- 1

A. Latar Belakang --- 1

B. Perumusan Masalah --- 12

C. Tujuan Penelitian --- 12

D. Manfaat Penelitian--- 13

E. Keaslian Penelitian --- 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi--- 14

G. Metode Penelitian--- 27

1. Tipe Penelitian--- 27

2. Lokasi Penelitian --- 27

3. Sumber Data Penelitian--- 28

4. Teknik Pengumpulan Data --- 28

5. Analisis Data--- 29

(13)

BAB II KONSEP THERAPEUTIC COMMUNITY DAN REHABILITASI TERPADU TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA--- 30 A. Pengertian Therapeutic Community dan Rehabilitasi

Terpadu --- 30 1. Therapeutic Community --- 30

2. Rehabilitasi Terpadu --- 32 B. Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika-- 34 C. Pembinaan Narapidana--- 50 D. Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Narkotika

dan Psikotropika --- 55

BAB III PELAKSANAAN THERAPEUTIC COMMUNITY DAN REHABILITASI TERPADU DALAM

PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA --- 74

A. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan --- 74 B. Pelaksanaan Therapeutic Community --- 83 C. Pelaksanaan Rehabilitasi Terpadu --- 89

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN METODE THERAPEUTIC

COMMUNITY DAN REHABILITASI TERPADU -- 93

A. Kendala Yang Dihadapi--- 93 B. Upaya Menghadapi Kendala --- 99

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN --- 101

A. Kesimpulan --- 101

B. Saran--- 102

DAFTAR PUSTAKA --- 103

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jadual Kegiatan Agama Islam di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Medan Tahun 2008 --- 51 2. Jadual Kegiatan Agama Kristen di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Medan Tahun 2008 --- 51 3. Data Warga Binaan Pemasyarakatan Kasus

Narkoba dan Psikotropika Tahun 2008 --- 57 4. Data Warga Binaan Pemasyarakatan Yang

Merupakan Pengguna Narkoba dan Psiko-

tropika Tahun 2008 --- 58

(16)

DAFTAR ISTILAH

After Care : Setelah Penanganan

Alcoholic Anonimous : Peminum Alkohol Yang Diam-Diam Demand Reduction : Pendekatan Secara Permintaan

Entry Point : Jalur Masuk

Extra Ordinary Crime : Kejahatan Luar Biasa Field Research : Penelitian Lapangan Group Therapy : Kelompok Pengobatan Hard Reduction : Pendekatan Secara Keras

Individu and Sosial Damage : Kerusakan Perorangan dan Sosial

Induction : Pelantikan

Integrated : Terpadu

Integrated Criminal Justice System : Sistem Hukum Pidana Terpadu Middle Peer : Teman Pertengahan Morning Meeting : Pertemuan Pagi Hari

Older Peer : Teman Tertua

Output : Hasil

Over Capacity : Kelebihan Kapasitas Over Crowded : Kelebihan Penghuni

Primary : Utama

Re-Entry : Masuk Kembali

Reward : Penghargaan

Self Help Group : Kelompok Yang Membantu Diri Sendiri Therapeutic Community : Komunitas Pemulihan

Utilitarian Theory : Teori Tujuan Younger Member : Anggota Termuda

(17)

DAFTAR SINGKATAN

BNN : Badan Narkotika Nasional BTW : Bina Tuna Warga

LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat Narkoba : Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

RUTAN : Rumah Tahanan

WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peredaran gelap narkoba baik jenis narkotika dan psikotropika yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari peredaran narkoba di dunia. Kejahatan narkotika dan psikotropika dalam segala bentuknya termasuk lalu lintas perdagangan gelap merupakan salah satu kejahatan internasional, kejahatan ini dalam segi rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk dalam extra ordinary crime,1 sehingga menyebabkan banyak entry point atau titik masuk jalur transportasi barang ilegal termasuk narkoba ke wilayah Indonesia lewat jalur laut.2

Indonesia merupakan negara berkembang yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Sekitar lebih dari 35 (tiga puluh lima) juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi yang disebabkan oleh tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. Keadaan seperti ini merupakan salah satu potensi yang sangat besar sebagai penyebab timbulnya kerawanan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.3

Perkembangan kejahatan-kejahatan internasional sudah diantisipasi dan diakui secara resmi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdapat di dalam kongres

1

Majalah SADAR, berkaitan dengan masalah kejahatan narkotika, dalam rumusan PBB termasuk dalam extra ordinary crime maksudnya adalah kejahatan luar biasa yang dilakukan dengan terencana, terorganisir dan sistematis oleh karena kejahatan narkoba sebagai kejahatan yang seirus. (Jakarta : SADAR, 2006), hlm. 10.

2

Terbukti dengan terungkapnya kasus yang terjadi pada awal September 2006 yaitu dengan adanya penyelundupan sabu-sabu yang beratnya hampir 1 (satu) ton lewat sungai Cisadane di kawasan Teluk Naga, Tangerang Banten, penyeludupan sabu-sabu ini berkedok usaha ekspor terumbu karang ini telah digagalkan oleh pihak kepolisisan, Ibid, hlm. 43.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

3

(19)

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang ”The Prevention of Crime and the Treathment of

Offenders” 1990 di Havana, Cuba. Dalam salah satu rekomendasinya antara lain

ditegaskan bahwa negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa hendaknya meningkatkan intensitas perjuangannya terhadap kejahatan-kejahatan internasional.

Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan, menunjukkan bahwa batas-batas teritorial antara salah satu negara dan negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Beberapa tindak pidana yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, beberapa di antaranya adalah agresi (agression), kejahatan perang (war

crime), pembasmian etnis tertentu (genocide), pembajakan di laut (piracy),

penculikan (kiddnapping) dan narkotika (narcotic crime).4

Pada awal tahun 1960 di Indonesia terutama di Bali dan Jakarta telah ditemukan pengguna heroin di masyarakat dalam ruang lingkup yang kecil namun seiring perkembangannya tepatnya pada awal tahun 1970 pengguna narkoba terutama jenis morfin ini telah muncul di Jawa, Bandung, Medan dan Surabaya.

Istilah narkoba muncul sekitar tahun 1998 karena banyaknya penggunaan atau pemakaian barang-barang yang termasuk narkotika dan obat-obat terlarang maka untuk memudahkan menyebutnya orang berkomunikasi kata-kata ”narkotika dan obat-obat terlarang” ini disingkat menjadi narkoba.5 Di dalam masyarakat sudah

4

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hlm. 5.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

5

(20)

banyak mengetahui macam-macam narkoba walaupun tidak seluruhnya, antara lain : ganja, heroin, sabu-sabu, inek, putaw, lexotan dan lain-lain.

Narkoba di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan (dalam waktu operasi dan untuk penenang) dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi disisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.6

Ada beberapa alasan mengapa bangsa Indonesia harus serius dalam pemberantasan tindak kejahatan narkoba yang semakin hari semakin memprihatinkan:

1) Pemerintah Indonesia belum optimal dalam menanggulangi kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk lebih perduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya.

2) Secara yuridis, instrumen hukum yang mengaturnya baik berupa peraturan perundang-undangan maupun konvensi yang sudah diratifikasi, sebenarnya sudah cukup memahami sebagai dasar pemberantasan dan penyalahgunaan peredaran gelap narkoba.

3) Mengingat peredaran gelap narkoba sekarang ini begitu merebak, maka upaya menanggulanginya tidak dapat semata-mata dibebankan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum saja, dengan memberlakukan peraturan dan penjatuhan sanksi pidana kepada para pelanggar hukum, melainkan tugas dan tanggung jawab kita bersama. Dengan adanya upaya terpadu (integrated) dari semua pihak, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, ulama, LSM dan pemerintah termasuk BNN sehingga dapat menanggulangi dan meminimalisir terhadap kasus tindak pidana narkoba.7

DKI, tanggal 16 – 21 April 2006).

6

Taufik Makarao, Suharsil, Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 17.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

7

(21)

Dalam menekan pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika ini dan efektivitas penegakan hukum serta pengaplikasian Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dapat memberikan arahan, kepastian dan keadilan hukum dalam menekan peredaran gelap narkoba. Penegakan hukum terhadap tindak pidana atau kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk kepada norma hukum yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tersebut ternyata memberikan hasil yang signifikan, dimana banyak pengedar maupun pengguna yang terjerat hukum sehingga dikenakan sanksi pidana dan ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan (LAPAS).

Bahkan adapula yang mendapatkan hukuman mati. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan kasus narkotika dan psikotropika yang menjadi penghuni Lapas / Rutan. Hal ini dibuktikan dengan data yang dimiliki oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara tentang junlah total isi Lapas/ Rutan di Sumatera Utara dan jumlah kasus narkotika dan psikotropika, sampai dengan Juni 2008 di UPT Pemasyarakatan Sumatera Utara terdapat 15.054 jumlah total narapidana dan tahanan, dari jumlah tersebut 5013 (33,3%) adalah narapidana kasus narkoba, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan sampai pada bulan Juli 2008, jumlah narapidana dan tahanan 1752, dari jumlah tersebut kasus narkotika dan psikotropika 1215 (69,34%).8

Perubahan pandangan dalam pemberlakukan narapidana di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai luhur Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa yang

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

8

(22)

mengakui hak-hak asasi manusia. Saharjo sebagai tokoh pembaharuan dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana yaitu: 1) Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; 2) Tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak.9

Supaya tujuan pemidanaan itu membawa dampak positif bagi pembinaan narapidana, maka pemidanaan harus terkait dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.10

Lembaga pemasyarakatan sebagai suatu lembaga yang memiliki tujuan reintregasi sosial dituntut untuk mampu membuat narapidana menyadari kesalahannya dengan tindak pidana yang dilakukannya serta membentuk perilaku yang lebih positif bagi narapidana. Pembinaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Tujuan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mendirikan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan untuk membina dan memberikan rehabilitasi medis khusus bagi para pengguna narkotika dan psikotropika, untuk mengubah perilaku sebagai pemakai maupun pengedar untuk memutus mata rantai jaringan penyebaran narkotika dan psikotropika sebagai aparat penegak hukum.

9

Petrus Irwan Panjaitan, Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam

Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 13.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

10

(23)

Peran pemerintah dituntut dalam upaya pembentukan kebijakan yang baku sebagai pedoman bagi petugas untuk memberikan perlakuan (pembinaan) khususnya bagi tahanan dan anarapidana kasus narkoba. Dalam hal pembinaan berkaitan dengan proses rehabilitasi diperlukan kerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak dibidang penyalahgunaan narkoba. Misalnya dengan melakukan penyuluhan baik bagi petugas maupun narapidana guna menambah wawasan petugas dan memberi masukan kepada narapidana agar sadar akan bahaya narkoba.

Tujuan pemidanaan tidak terlepas dari dua hal, pertama mengapa dijatuhkan hukuman pidana terhadap orang yang melanggar peraturan. Kedua apa yang diharapkan dengan memidana seseorang. Kenyataannya di bidang pemidanaan ini secara umum masih menganut, memperbaiki terpidana di dalam lembaga pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti selama menjalani pidana di lembaga Pemasyarakatan dan setelah selesai menjalani pidana pelaku, akan kembali melakukan perbuatan melanggar hukum dalam kehidupan masyarakat.11 Tanpa mengesampingkan tujuan pemidanaan, lembaga pemasyarakatan merupakan bagian penting dalam penanggulangan masalah narkotika dan psikotropika. Berlangsungya pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan dapat dilihat dari proses pembinaannya. Program pembinaan terhadap narapidana kasus narkotika dan psikotropika sangatlah berbeda dengan program pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya. Salah satu contohnya yaitu pelaksanaan program rehabilitasi terpadu yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

11

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 180

(24)

Medan merupakan sebuah program yang memadukan berbagai metode yang meliputi aspek medis, sosial, kerohanian dan keterampilan. Program ini dibuat untuk membantu para narapidana agar lepas dari ketergantungan narkoba.

Kenyataan dalam praktek yang terjadi sampai sekarang adalah pembinaan narapidana yang di luar acuan pada 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut. Hal itu menyebabkan kegagalan pada pembinaan narapidana karena tidak berorientasi pada kebaikan bagi diri narapidana itu sendiri. Bagi petugas pemasyarakatan pembinaan yang dilakukan hanya sebagai formalitas semata dan kurang memperhatikan pada kualitas kepribadian dan kemajuan kemandirian narapidana. Bagi narapidana sendiri menurut Romli Atmasasmita, narapidana di lain pihak, nampak mengabaikan setiap program pembinaan yang dilaksanakan. Bagi mereka yang penting adalah kapan mereka dapat bebas dari Lembaga Pemasyarakatan dan dapat bertindak sesuai kehendaknya.12

Kenyataan di lapangan tentang peran Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia juga tergambar dari pemberitaan-pemberitaan tentang apa yang terjadi dibalik tembok yang menjulang tinggi tersebut. Lembaga ini perannya masih jauh dari harapan masyarakat sebagai Lembaga Rehabilitasi para narapidana. Selain marak keributan dan tawuran di penjara, peredaran narkotika di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan pernah terjadi. Beberapa kali terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan tidak terlepas dari peredaran narkotika. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, bisnis narkoba kelas internasional masih tetap dilakukan. Meskipun di sekap dalam penjara, para bandar narkotika masih mampu menggerakkan bisnis haramnya.

Sistem pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan juga harus dapat menyesuaikan dengan meningkatnya narapidana tindak pidana narkotika maupun

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

12

(25)

psikotropika. Pembinaan yang diberikan kepada narapidana kasus narkotika dan psikotropika selama ini belum ada ketentuan yang jelas yang mengatur bagaimana pembinaan khusus di berikan kepada narapidana kasus narkotika. Selama ini yang berjalan adalah pembinaan yang bersifat coba-coba, dimana terdapat suatu sistem untuk rehabilitasi yang ditawarkan baik oleh pemerintah maupun swasta berupa

therapeutic community dan criminon.

Pembinaan tersebut hanya terdapat pada lembaga pemasyarakatan tertentu, dengan kata lain tidak semua Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan kegiatan rehabilitasi tersebut. Dengan keberadaan pembinaan tersebut diharapkan narapidana penyalahgunaan narkoba menyadari kesalahannya dan berniat untuk memperbaiki diri dengan menjauhi narkoba. Dengan upaya perubahan pola pikir penyalahguna narkoba tentang bahaya narkoba diharapkan mampu mencegah peredaran narkoba. Permasalahannya beberapa lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya terdapat narapidana kasus narkotika, namun tidak memiliki pembinaan khusus bagi mereka, tanpa adanya ketentuan yang jelas maka tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan suatu kegiatan akan menjadi kabur dan pelaksanaannya pun menjadi tidak optimal, sehingga lembaga pemasyarakatan menjadi tempat yang cenderung hanya membatasi ruang gerak dan kebebasan narapidana yang bersangkutan.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

(26)

direhabilitasi di beberapa lembaga pemasyarakatan. Jumlah narapidana yang besar sehingga melebihi kapasitas hunian lembaga pemasyarakatan (over capacity) sehingga rasio antara petugas dengan narapidana menjadi tidak sebanding. Posisi tersebut akan mengganggu proses pembinaan bagi narapidana. Karena jumlah petugas jauh lebih sedikit dibanding dengan narapidana maka cenderung lebih mengutamakan keamanan tanpa memperhatikan kualitas pembinaan. Terjadinya over kapasitas ini apabila tidak diimbangi jumlah petugas baik petugas pengamanan ataupun petugas yang melaksanakan pembinaan akan menyebabkan pelaksanaan pembinaan agar tidak berjalan maksimal.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

Pembinaan bagi narapidana yang terlibat tindak pidana narkotika dan psikotropika ini memerlukan metode pembinaan khusus dan berbeda dengan pembinaan narapidana pada umumnya. Pengguna narkotika ataupun psikotropika bukan merupakan seorang penjahat atau pelaku tindak kriminal, tetapi mereka adalah korban. Karena mereka termasuk korban, pidana yang baik bagi mereka adalah pidana yang berupa rehabilitasi daripada pidana penjara tetapi hal ini sangat jarang kita temukan dalam putusan pengadilan di Indonesia. Bagi pengguna hal ini menjadi sangat penting untuk melepaskan diri dari ketergantungannya dari narkotika dan psikotropika. Keberadaan panti rehabilitasi ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat mampu, karena untuk pengobatan ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga tidak sedikit para korban yaitu para pengguna narkotika dan psikotropika berasal dari golongan yang tidak mampu dan akhirnya jalan penyelesaiannya adalah melalui pidana penjara. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pembinaan bagi para pengedar ataupun bandar besar yang bukan pemakai hingga dengan pembinaan akan timbul suatu harapan agar mereka dapat menyadari kesalahannya dan menjadi orang-orang yang berguna pada saat kembali ke masyarakat dan dapat meninggalkan bisnis haramnya tersebut. Hal ini menjadi sangat penting bagi keberhasilan pembinaan karena selama ini pembinaan bagi mereka cenderung disamakan dengan para pengguna dan hal ini akan menyebabkan bahwa pembinaan yang dilaksanakan hanya bersifat mengisi waktu. Upaya penanggulangan masalah di atas seharusnya dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu demand reduction dan harm

reduction. Demand reduction adalah upaya untuk mengurangi permintaan akan

(27)

penyalahgunaan narkoba, mulai dari program detoksifikasi, rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial. Harm reduction adalah program pengurangan dampak buruk dalam bentuk kegiatan penjangkauan dan pendampingan

(outreach program), program pendidikan sampai pada program pembagian

jarum suntik untuk mengurangi angka HIV/AIDS dan penyakit-penyakit lainnya. Saat ini Indonesia masih memprioritaskan program demand

reduction, sementara untuk program harm reduction masih terbatas pada

program outreach dan pendidikan. Masalah pemulihan dalam penyalahgunaan narkoba (demand reduction) bukan persoalan yang mudah. Dibutuhkan waktu yang panjang, usaha yang serius, dan disiplin yang tinggi bagi penyalahguna untuk dapat bertahan bebas zat (abstinensia). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa 90 (sembilan puluh) hari setelah masa detoksifikasi adalah masa yang paling tinggi angka kekambuhannya.13 NIDA tahun 2000 melaporkan bahwa perubahan perilaku yang signifikan terjadi setelah masa perawatan minimal 3 (tiga) bulan, artinya program rawat inap jangka panjang diharapkan dapat mengatasi masa kritis penderita untuk kembali menggunakan narkoba. Oleh karena itu diperlukan program rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba.

Program rehabilitasi dimaksud merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Salah satu metode yang digunakan dalam pelayanan dan rehabilitasi penyalahguna narkoba adalah

therapeutic community yang pada mulanya ditujukan bagi pasien-pasien

psikiatri yang dikembangkan sejak perang dunia kedua. Cikal bakal

therapeutic community adalah kelompok synanon di Amerika Serikat yaitu self-help group atau kelompok kecil yang saling membantu dan mendukung

proses pemulihan yang pada awalnya sangat dipengaruhi oleh gerakan alcoholic anonimous. Sesungguhnva metode ini digali dari konsep Timur, tetapi dikembangkan di New York, Amerika Serikat, di Day Top

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

13

(28)

Internasional. Pengembangan di Asia dimulai dari Philipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan akhir-akhir ini Indonesia. Salah satu jurnal tentang penyalahgunaan narkoba melaporkan bahwa dengan metode ini 80 % (delapan puluh persen) residen berhasil bertahan pada kondisi bebas zat

(abstinensia) dalam waktu yang lebih lama, apabila residen berhasil

mengikuti seluruh tahapan hingga selesai. Atas dasar keberhasilan ini, Departemen Sosial, c.q. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Penyalahguna NAPZA, mempertimbangkan untuk mengembangkan pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan metode therapeutic community.14

Upaya yang telah dilakukan Departemen Sosial selama ini adalah bekerja sama dengan Colombo Plan, Bakolak Inpres 6/1971 dan Yayasan Titihan Respati melaksanakan pelatihan re-entry programme di Cisarua tahun 1998. Kemudian diselenggarakan pula pelatihan rehabilitasi sosial dengan metode therapeutic

community di Jakarta tahun 1999, dan pada tahun itu pula dilaksanakan pelatihan

tenaga therapeutic community untuk petugas panti sosial Pamardi Putra, di Balai Diklat Cawang, bekerja sama dengan Pusdiklat Pegawai dan Tenaga Sosial. Sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut, Departemen Sosial bekerja sama dengan Yayasan Titihan Respati dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta.

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti akan mambahas penelitian dengan judul ”Pelaksanaan Therapeutic Community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

14

(29)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebelumnya maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep therapeutic community dan rehabilitasi terpadu terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika ?

2. Bagaimana pelaksanaan therapeutic community dan rehabilitasi terpadu dalam pembinaan terhadap narapidana pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika ?

3. Apakah yang menjadi kendala dalam berlangsungnya pembinaan bagi narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan dengan maksud :

1. Untuk mengetahui konsep therapeutic community dan rehabilitasi terpadu terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika.

2. Untuk memahami pelaksanaan teurapetic community dan rehabilitasi terpadu dalam pembinaan terhadap narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal apa sajakah yang menjadi kendala dalam pembinaan bagi narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.

(30)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis:

Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya pengembangan ilmu hukum pidana dan kriminologi khususnya tentang pemidanaan dan pembinaannya terhadap narapidana kasus narkotika dan psikotropika.

2. Manfaat Praktis:

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan penegakan hukum baik bagi pemerintah, aparat penegak hukum, atau masyarakat dalam memberantas peredaran gelap narkoba secara efektif guna mewujudkan ketertiban hukum dalam masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang penulis lakukan, maka diketahui bahwa belum ada dilakukan penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai : ”Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

(31)

ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

a. Teori Pemidanaan.

Salah satu teori yang sesuai dengan tujuan sistem pemasyarakatan adalah teori utilitarian. Teori utilitarian bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering disebut juga dengan teori tujuan (utilitarian theory). Teori utilitarian digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan.

Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, di sini ancaman sesungguhnya dari hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, sedangkan pada pencegahan khusus, mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. Begitupun halnya dengan incapacitation, mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat.

(32)

tidak menjatuhkan pidana. Di sini manfaat pidana adalah untuk sarana pencegahan atau pengurangan dari sesuatu yang lebih jahat. Teori utilitarian hendak mencari suatu keseimbangan akan perlunya hukuman. Jika seandainya efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu lebih jauh. Pemahaman teori ini mengatakan bahwa tidak mutlak suatu kejahatan itu harus diikuti dengan suatu pidana melainkan harus dipersoalkan manfaat dari suatu pidana bagi si penjahat itu sendiri maupun bagi masyarakat. Sehingga teori inipun mengarahkan agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tidak diulangi kembali baik oleh si pelaku maupun oleh orang lain.15

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan (quia peccatum

est), melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccetur).16

Penganut teori utilitarian berpendapat bahwa nilai terpenting dari suatu hukuman terletak pada fungsi preventif yang dimainkannya.17 Dalam sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu upaya adanya pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, setelah narapidana kembali ke masyarakat. Oleh karena itu pembinaan dengan sistem pemasyarakatan dapat memenuhi tujuan pemidanaan dapat dikaji berdasarkakan teori relatif menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana. Dari prinsip

15

Andi Hamzah, Suatu Tnjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1983), hlm. 26

16

Muladi, Op-Cit., hlm. 16

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

17

(33)

pemasyarakatan tersebut, terlihat bahwa Sahardjo menginginkan adanya pengintegrasian narapidana, petugas dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, yaitu penerimaan kembali bekas narapidana setelah di masyarakat. Oleh Sahardjo hal ini merupakan syarat pemasyarakatan menjadi pembinaan selama menjalani hukuman dipandang tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan diri narapidana, karena itu harus ada kesediaan dan tanggung jawab masyarakat.

Adapun pertimbangan lain yang di lihat Sahardjo akan perlunya peran masyarakat disebabkan terpidana telah menjalani pidana dan pembinaan sehingga tidak boleh ada hukuman tambahan dari pihak manapun. Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman bahwa tanggung jawab lembaga pemasyarakatan tidak boleh di campur-adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Oleh karena itu sejauh mana pemasyarakatan itu dapat memenuhi tujuan pidana, dikaji berdasarkan teori utilitarian. Teori ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), yang berpendapat tujuan hukuman adalah :18

a) To prevent all offences. His first, most extensive, and most eligible object, is to prevent, in as far as it is possible, and worth while, all sorts of offences whaisoever; in other words, so to manage, that no offence whatsoever may be commited.

(Untuk mencegah segala pelanggaran. objeknya yang paling luas dan pas, adalah mencegah, selama hal tersebut mungkin dan berharga, segala bentuk pelanggaran apapun; dengan kata lain juga dalam mengatur, bahwa tak ada pelanggaran apapun yang dapat dilakukan).

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

18

(34)

b) To prevent the worts. But if a man must needs commit an offence of some kind or other, the next object is to induce him to commit an offence less mischievous, rather than one more mischievous: in other words, to choose always the least mischievous, of two offences that will either of them suit his purpose.

(Untuk mencegah yang terburuk. Tetapi jika seseorang harus melakukan suatu pelanggaran atau yang lain, objek selanjutnya adalah membuatnya melakukan pelanggaran dengan sedikit bahaya, daripada yang besar bahayanya dengan kata lain, untuk selalu memilih yang sedikit bahaya, terhadap dua pelanggaran dimana salah satunya pas bagi orang tersebut). c) To keep down the mischief. When a man has resolved upon a particular

offence, the next object is to dispose him to do no more mischief than is necessary to his purpose: in other words, to do as little mischief than is consistent with the benefit he has in view.

(Untuk menahan bahaya. Ketika seseorang telah mengatasi masalah terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu, objek berikutnya adalah untuk menjauhkannya untuk tidak lagi berbuat jahat daripada penting terhadap tujuannya dengan kata lain, melakukan sedikit hal berbahaya daripada konsistensi terhadap keuntungan yang dia miliki).

d) To act at the least expense. The last object is whatever the mischief be, which it is porposed to prevent, to prevent it at as cheap a rate as possible.

(Melakukan tindakan dengan sedikit pengeluaran. Objek terakhir adalah apapun bahayanya, yang dapat dicegah, untuk dapat dicegah dengan semurah mungkin).

Menurut teori utilitarian, hukuman bertujuan mencegah semua pelanggaran hukum atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan yang paling luas, yaitu mencegah bahkan bila memungkinkan dapat mencegah semua jenis kejahatan. Disamping itu hukuman harus dapat mencegah hal-hal buruk. Tujuan hukuman untuk mendorong setiap orang agar tidak melakukan pelanggaran yang tidak berbahaya atau bukan sesuatu yang jahat, sehingga ada kebebasan untuk memilih, namun didorong untuk tidak memilih perbuatan yang tidak berbahaya. Hukuman bertujuan menekan kejahatan, di mana setelah seseorang itu menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Dalam mencegah kejahatan harus dilakukan dengan

(35)

biaya semurah mungkin.

Hukum pidana yang berisi kumpulan peraturan mengandung larangan akan mendapat sanksi pidana atau hukuman apabila dilanggar. Dengan demikian menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana oleh negara adalah bagian dari perlindungan terhadap hukum yang berlaku serta melindungi kepentingan setiap warga negara. Sejak dipergunakannya institusionalisasi dalam bentuk pidana penjara, maka perkembangan dari pelaksanaan pidana penjara itu sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan doktrin-doktrin pemidanaan. Fungsi pidana penjara yang semula bertujuan merampas kemerdekaan mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sejalan pula dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu yang mendominasi dan mempengaruhi tujuan dari pidana penjara. Tujuan yang semula ditujukan untuk pembalasan beralih kepada penjaraan, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi sosial.19

Kegiatan pembaharuan pidana penjara yang dilakukan secara internasional telah mencatat peristiwa penting yaitu ketika rancangan Standart Minimum Rules for

The Treathment of Prisoner (SMR) Tahun 1933mendapat persetujuan dari Liga

Bangsa-Bangsa (Resolusi tanggal 26 September 19934 Special Supplement No. 123.VI.4) dan ketika SMR yang telah diperbaharui pada Tahun 1955 diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan keputusan untuk dipanggilkan pelaksanaannya kepada seluruh negara-negara anggota (Resolusi dari Economic and

Social Council No. 663 C. XXIV tanggal 31 Juli 1957).20

Usaha pembaharuan pelaksanaan pidana di Indonesia dimulai sejak dicetuskankannya gagasan pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1964 yang kemudian di formulasikan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap pidana. Sistem pemasyarakatan sebagai realissasi pembaharuan narapidana penjara mengandung

19

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hlm.65.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

20

(36)

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang dilaksanakan dengan semangat kemanusiaan dan cara baru terhadap narapidana yang disusun dalam pedoman pembinaan sesuai dengan pokok-pokok Standard Minimum Rules (SMR).

Gagasan pemasyarakatan sebagai sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia pada dasarnya menganut pola reintegrasi yang di anut oleh sebagian besar bangsa-bangsa didunia yang dalam prinsip dasar perlakuannya lebih berorientasi pada pembinaan di tengah-tengah masyarakat (community based corrections ).

Walaupun tujuan pidana penjara mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi bahwa tujuan yang lama terjadilah akumulasi dari tujuan-tujuan tersebut yang terhimpun di atas kepentingan individual maupun sosial yang berbeda-beda yang tidak jarang bertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya.

Teori yang bersifat utilitarian ini lebih ”memandang kedepan” daripada ”memandang ke belakang”. Hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, ancaman sebagai hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, sedangkan pada pencegahan khusus mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. Begitupun halnya dengan

incapacitation,mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku

(37)

ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan.

Oleh karena itu, teori ini menekankan pemidanaan itu masih lebih baik dari pada tidak menjatuhkan pidana. Manfaat pidana adalah untuk sarana pencegahan atau pengurangan dari sesuatu yang lebih jahat. Teori utilitarian hendak mencari keseimbangan akan perlunya hukuman. Kalau seandainya efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu lebih jauh.

Pemahaman teori utilitarian dalam pemidanaan mengatakan bahwa tidak mutlak suatu kejahatan itu harus diikuti dengan suatu pidana melainkan harus dipersoalkan manfaat dari suatu pidana bagi sipenjahat itu sendiri maupun bagi masyarakat. Sehingga pemidanaan inipun dapat mengarahkan agar di kemudian hari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tidak diulangi kembali baik oleh sipelaku maupun orang lain.21 Lebih jauh dari teori semacam ini diuraikan oleh Van Bemmelen yang berpendapat bahwa pidana itu bersifat:22

1) Prevensi umum (pencegahan umum). Para sarjana yang membela pevensi umum perpendapat bahwa pemerintah berwenang menjatuhkan pidana untuk mencegah rakyat melakukan tindak pidana.

2) Prevensi khusus (pencegahan khusus). Mereka beranggapan bahwa pidana adalah pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri, bertolak dari pendapat bahwa manusia ( pelaku suatu tindak pidana ) di kemudian hari akan menahan dirinya supaya jangan berbuat seperti itu lagi karena ia mengalami (belajar) bahwa perbuatannya meniumbulkan penderitaan, jadi pidana perfungsi mendidik dan memperbaiki.

3) Fungsi perlindungan bahwa dalam pidana pencabutan kebebasan selama

21

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1983), hlm. 26-27 ( Buku II )

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

22

(38)

beberapa waktu masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin terjadi jika ia bebas.

Pemikiran Van Bemmelen mengarahkan pada pemikiran bahwa pidana bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan karena pembalasan tidak memiliki nilai, tetapai hanya sebagai sarana untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, pidana bukan lagi sekedar untuk melakukan pembalasan tetapi memiliki tujuan-tujuan yang bermanfaat. Jadi jelaslah bahwa perlunya pidana terletak pada tujuannya bukan karena orang melakukan kejahatan tetapi supaya orang jangan melakukan kejahatan.

b. Teori Pemasyarakatan.

Dalam konferensi dinas kepenjaraan di Lembang, Bandung pada tanggal 27April 1964, Bahruddin Suryobroto dalam prasarannya mengatakan bahwa pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan sebagai suatu proses yang bertujuan pemulihan kembali kesatuan hubungan (integriteit) kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu narapidana dengan masyarakat.23

Berdasarkan prasaran tersebut ditegaskan bahwa pemasyarakatan tidak sama dengan resosialisasi, karena pemasyarakatan dalam gerak usahanya tidak terpusat kepada individu narapidana (tidak berfokus kepada narapidana), melainkan kepada kehidupan dan penghidupan.24

Sistem pemasyarakatan sebagai realisasi pembaharuan konsep pemidanaan mengambil upaya baru pelaksanaan perlakuan dengan semangat kemanusiaan berupa

23

Sejarah Pemasyarakatan (Dari Kepenjaraan Ke Pemasyarakatan), (Jakarta : Direktorat Jendral Pemasyarakatan, 2004), hlm. 116.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

24

(39)

kebijakan pelaksanaan pidana (penal porichi) yaitu :

1) Sistem pemasyarakatan mengandung kebijakan pidana dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang institusional (institutional treatment

offender) yang berupa aspek pidana yang dirasakan tidak enak (custodial treatment offender) dan aspek tindakan pembinaan di dalam dan /atau

bimbingan diluar lembaga (non custodial treatment offender) agar melalui langkah-langkah yang selektif dapat menuju kepada de-institusionalisasi atas dasar kemanusiaan;

2) Sistem pemasyarakatan mengandung perlakuan terhadap narapidana

(treatment of prisoner) agar semakin terintegrasi dalam masyarakat dan

memperoleh bimbingna yang terarah berlandaskan kepada pedoman pelaksanaan pembinaan yang disesuaikan dengan standard minimum rules.25 Pemasyarakatan pada hakekatnya adalah merupakan salah satu perwujudan dari pelembagaan reaksi formal masyarakat terhadap kejahatan. Pelembagaan reaksi masyarakat ini pada awalnya hanya menitik beratkan unsur pemberian derita semata-mata kepada pelanggar hukum. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan falsafah peno-correctional, maka unsur pemberian derita tersebut harus pula diimbangi dengan perlakuan yang lebih manusiawi dengan memperhatikan hak asasi pelanggar hukum baik secara individu mahkluk sosial maupun mahkluk religius.

Prinsip-prinsip perlakuan yang lebih manusiawi tersebut tercermin dalam usaha-usaha pembinaan terhadap narapidana terutama dalam rangka memulihkan kedudukannya sebagai anggota masyarakat yang berfungsi penuh dan menghormati nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Usaha pemulihan kesatuan hubungan ini tidak mungkin tercapai apabila tidak terjalin interaksi yang positif

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

25

(40)

antara narapidana dengna sistem nilai yang berlaku dimasyarakat bebas, dengan kata lain bahwa usaha pembinaan narapidana tidak akan berhasil manakala narapidana yang bersangkutan berada diluar interaksi dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.

Kehilangan kemerdekaan bergerak serta kehilangan keterkaitan hubungan dengan dunia luar adalah sebagian dari aturan pemidanaan dan dipandang masalah yang paling berat bagi narapidana. Wujud derita sebagai akibat sistem pemenjaraan oleh Graham M. Skyes itu meliputi, yaitu :

1) Loss Of Dignity and personality. 2) Loss of autonomi.

3) Loss of liberty. 4) Loss of security

5) Loss of goods and servive

6) Loss of heterosexuall relationship 7) Loss of coming future

8) Loss of profit

9) Loss of funcition member.

10) Other spains, misalnya yang diakibatkan oleh adanya moral rejection yang

datang dari masyarakat. 26

Dalam sistem pemasyarakatan memberikan pengertian mengenai pemidanaan dimana pemberian pemidanaan merupakan suatu upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan. Ada beberapa hal yang terkandung dalam proses pemasyarakatan :

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

26

Kumpulan-kumpulan tulisan oleh Didin Sudirman, Masalah-Masalah Aktual

Pemasyarakatan, yang mengutip Pnedapat Graham M. Skyes dalam bukunya The Pains Imprisonment,

(41)

1) Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan atas dasar pembalasan dan penjeraan. 2) Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan

di luar lembaga.

3) Bahwa proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi terpadu dari para petugas pemasyarakatan, para narapidana dan anak didik pemasyarakatan serta anggota masyarakat.27

Lembaga pemasyarakatan sebagai sub-sistem penegakan hukum pidana terpadu (integrated crimibal justice system) dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi berkewajiban untuk menciptakan suasana kehidupan para narapidana yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan menjadi lebih harmonis. Di Indonesia perubahan visi dalam melaksanakan pembinaan dan perlakuan terhadap narapidana dimulai dengan adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan pada tanggal 21-25 Juli 1956 yang menetapkan prinsip pidana penjara harus berupaya mengembalikan seserang menjadi anggota masyarakat yang baik dengan meninggalkan pendidikan, kegiatan rekreasi, dan proses pelepasan bersyarat. Kemudian disusul dengan pidato “bersejarah” dari Menteri Kehakiman RI yaitu Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 tentang hukum Indonesia berfungsi pengayoman mencetuskan tujuan pelaksanaan pidana penjara dengan pemasyarakatan.

Dengan lahirnya sistem pemasyarakatan, maka telah hadir era baru dalam tata perlakuan terhadap narapidana, dan pada saat ini semakin dikuatkan oleh kelahiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam tujuan pemidanaan ini, narapidana diperlukan sebagai subyek pembinaan melalui upaya

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

27

(42)

resosialisasi dan rehabilitasi. Apalagi mengingat Lambaga Pemasyarakatan sebagai salah satu sub sistem pendukung yang berperan penting dalam keberhasilan

integrated criminal justice system. Hal ini dapat dipahami, karena di dalam Lembaga

Pemasyarakatan inilah diharapkan output manusia baru yang benar-benar berguna bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat luar.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari apa yang diamati, konsep menentukan antara variabel yang ingin menetukan adanya hubungan empiris.28

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan di pergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Therapeutic Community adalah upaya pemulihan secara bersama-sama.29 2. Narapidana adalah terpidana yang menjalani hukuman hilang kemerdekaan di

28

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia Pstaka, 1997), hlm. 21.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

29

(43)

LAPAS.30

3. Muladi yang memperkenalkan tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana (individual and

social damages)31

4. Konsep pemidanaan yang dikemukakan oleh Sahardjo:

”Disamping menimbulkan rasa bersalah pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, tujuan pidana adalah penjara adalah pemasyarakatan membimbing terpidana agar bertobat, mendidik agar ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis yang berguna” 32

5. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Pasal 2 tentang Pemasyarakatan:

Menjelaskan konsep tujuan pemidanaan sebagai berikut, sistem pemasyarakatan agar diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.33

30

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hlm. 293

31

Djiwa Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hlm. 27.

32

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Bandung : Putra Abardin, 2002), hlm. 70.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

33

(44)

G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang memberikan data atau gambaran mengenai obyek dari permasalahan.34 Penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji teori atau membangun teori, tetapi dalam batas untuk menjelaskan variabel penelitian pembinaan terhadap narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika dihubungkannya dengan tujuan sistem pemasyarakatan. Dalam penelitian ini dideskripsikan mengenai pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana narkotika dan psikotropika dan kaitannya dengan tujuan sistem pemasyarakatan, program pembinaan dan kendala-kendala yang dihadapi yang mempengaruhi pelaksana pembinaan tersebut.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan dengan alasan lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan merupakan salahsatu tempat pembinaan narapidana narkotika dan psikotropika di Medan sehingga memudahkan peneliti untuk melaksanakan wawancara secara langsung.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

34

(45)

3. Sumber Data Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ni terutama adalah data sekunder, yang sumbernya berasal dari perundang-undangan, karya tulis ilmiah, laporan penelitian, jurnal dan putusan-putusan hakim.

Disamping itu juga untuk mendukung data sekunder, digunakan data primer yang sumbernya berasal dari narasumber atau responden, dalam hal ini pakar hukum pidana dan kriminologi, Kepala dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan, Kepala dan Petugas Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara dan narapidana narkotika dan psikotropika.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Studi kepustakaan/dokumen, yaitu dengan mengumpulkan mengidentifikasi dan menganalisis bahan-bahan hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier.

a) Bahan hukum primer terdiri dari undang-undang tentang narkotika, undang-undang tentang psikotropika, undang-undang tentang pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

b) Bahan hukum sekunder terdiri dari karya tulis ilmiah dari pakar hukum pidana kriminologi, jurnal, laporan penelitian tentang pemidanaan, pembinaan narapidana, tindak pidana narkotika dan psikotropika.

(46)

c) Bahan hukum tertier berupa ensiklopedi, kamus hukum dan artikel hukum dalam majalah atau surat kabar. 35

2) Wawancara.

Wawancara dilakukan terhadap narasumber atau informan dalam penelitian ini adalah :

a) Samuel Purba (Kepala LAPAS Kelas I Medan). b) Pegawai administrasi LAPAS Kelas I Medan. c) Narapidana yang mengikuti therapeutic community.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam upaya mengkaji permasalahan penelitian yang diajukan akan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan spesifikasi/ sifat penelitian untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh antara teori dan praktek tentang

therapeutic community. Penarikan kesimpulan penelitian akan diperoleh berupa

penyelesaian rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

35

(47)

BAB II

KONSEP THERAPEUTIC COMMUNITY DAN REHABILITASI TERPADU TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA

A. Pengertian Therapeutic Community dan Rehabilitasi Terpadu

1. Therapeutic Community

Metode Therapeutic Community adalah merupakan sebuah ”keluarga” terdiri atas orang-orang yang mempunyai masalah-yang sama dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menolong diri sendiri dan sesama yang oleh seseorang dari mereka, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari yang negatif ke arah tingkah laku yang positif. Metode therapeutic community ini merupakan metode pembinaan yang dilaksanakan di beberapa lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Hampir seluruh penghuni lembaga pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan terlibat tindak pidana narkotika dan psikotropika, tetapi pembinaan yang dilaksanakan masih cenderung disamakan dengan narapidana yang terlibat kasus kriminal biasa dan tidak melaksanakan sepenuhnya metode therapeutic community. Pelaksanaan metode therapeutic community ini masih dalam tahap percobaan. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan metode therapeutic community perlu pemahaman lebih mendalam bagi petugasnya.

Metode pembinaan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan adalah metode treatment yang merupakan therapeutic community, yaitu suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada korban penyalahgunaan NAPZA. Program therapeutic community yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan telah diadaptasi dari panti-panti rehabilitasi narkoba di Indonesia, yang

(48)

mengacu pada pedoman pelaksanaan rehabilitasi narkoba yang ditetapkan oleh Departemen Sosial dan Badan Narkotika Nasional. Meskipun demikian, tidak semua kegiatan dalam program therapeutic community tersebut dapat dilaksanakan secara murni di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi dan fungsi dari lembaga pemasyarakatan dan panti rehabilitasi.

Therapeutic community merupakan suatu wujud kehidupan nyata dalam

bentuk simulasi. Di dalam therapeutic community ada berbagai norma dan falsafah yang dianut untuk membentuk perilaku yang lebih baik. Norma dan falsafah yang ditanamkan dalam therapeutic community kemudian berkembang menjadi suatu budaya therapeutic community yang didalamnya mencakup:

1) The Creed (Philosophy)

Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam therapeutic community. Falsafah ini merupakan kerangka dasar berpikir dalam program therapeutic

community yang harus dipahami dan dihayati oleh seluruh residen (panggilan

bagi narapidana yang mengikuti program therapeutic community. 2) Unwritten Philosophy

Merupakan nilai-nilai dasar yang tidak tertulis, tetapi harus dipahami oleh seluruh residen. Karena, inilah nilai-nilai atau norma-norma yang hendak dicapai dalam program. Dengan mengikuti program therapeutic community, residen dapat membentuk perilaku baru yang sesuai dengan unwritten

philosophy.

3) Cardinal Rules

Merupakan peraturan utama yang harus dipahami dan ditaati dalam program

therapeutic community , yaitu :

a) No drugs (tidak diperkenankan menggunakan narkoba)

b) No sex (tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dalam bentuk

apapun)

c) No violence (tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik).

4) Four Structure Five Pillars

Kategori struktur program ini berupa :

a) Behaviour management shaping (pembentukan tingkah laku). Residen

mempelajari teknik-teknik yang ada dengan menggunakan tool’s of the

house secara benar.

b) Emotional and psychological (pengendalian emosi dan psikologi). Ini

bisa dilakukan melalui kelompok static group, teguran rekan sebaya apabila emosional, dan lain-lain kerja kelompok yang berhubungan.

M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan

Gambar

Tabel 3: Data Warga Binaan Pemasyarakatan Kasus Narkoba dan Psikotropika Tahun 2008

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan pilihan pada PEMILU legislatif 9 April 2014 lalu, apabila Ibu/Bapak sudah mengetahui bahwa para anggota dewan dari kantor berikut DPR Propinsi/DPR Kab/Kota

dengan penelitian ini, data di Sleman menunjukkan ada hubungan signifikan antara asupan makan dengan status gizi (p<0,05) (23), namun berbeda dengan hasil penelitian lain

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) telah menetapkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentangManajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur

Masih banyak hambatan-hambatan dalam pengelolaan kegiatan pemberitaan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali seperti antara lain : Belum

Hasil analisis menunjukkan pada tahun 2007 determinan utama stunting anak balita dengan riwayat BBLR adalah wilayah tempat tinggal yaitu responden yang tinggal di wilayah

1. Studi ekploratori kepustakaan meng- hasilkan variabel pas kunjungan yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas pengalaman wisatawan adalah: kepuas- an dan ketidakpuasan,

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pelaksanaan Manajemen Sumber Daya Manusia PNS Dinas Pendidikan Kota Semarang dalam rangka Reformasi Birokrasi sudah

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan begitu banyak nikmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini yang berjudul “ URGENSI