• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.5 Analisis Data

3.5.1 Populasi Harimau dan Satwa Potensi Mangsa 3.5.1.1 Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa

Individu harimau diidentifikasi berdasarkan pola loreng (McDougal 1979, Karanth 1995, Franklin et al. 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pengembangan database dilakukan untuk memilih foto-foto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Langkah selanjutnya untuk mengidentifikasi individu harimau adalah dengan membandingkan dua foto pada sisi yang sama, dalam hal ini mencari sesuatu yang lebih umum hingga spesifik. Ukuran tubuh harimau adalah salah satu alat penyaring/filter pertama. Untuk jenis kelamin, secara genetalia dapat diidentifikasi dari luar terutama harimau jantan. Demikian pula untuk menentukan harimau jantan dewasa yang lebih tua, pola rambut muka yang berlainan yang mungkin berwarna kemerah-merahan atau sedikit gelap kadang kala dapat membantu untuk membedakan jenis kelamin (Franklin et al. 1999). Dalam membedakan harimau dapat berdasarkan pada panggul, bahu, panjang-pendek loreng pada ekor, loreng bagian luar maupun bagian dalam pada kaki depannya, dan kadang-kadang pipi atau dahi jika gambar diambil dari arah depan. Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al. 1999). Individu harimau yang telah teridentifikasi dengan jelas berdasarkan ciri pola loreng kemudian diberi nama pada setiap individu harimau sehingga individu harimau yang telah teridentifikasi memiliki nama masing-masing. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991) dan untuk menentukan luas area contoh efektif (effective sampling area) dilakukan analisis menggunakan Arc GIS 9.3.

Gambar 5 Contoh identifikasi pada dua individu harimau.

Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu:

1) Trap night merupakan lama hari aktual kamera jebakan beroperasi selama 24 jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu lokasi kamera dengan memperhitungkan kamera jebakan yang tidak beroperasi baik karena hilang atau rusak.

2) Trap night effective merupakan lama hari aktual kamera jebakan aktif beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu kamera jebakan yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan.

3) Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu jenis adalah nol (0).

4) Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan memiliki isi 36 frame.

5) Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu (t).

6) Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu kamera jebakan beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.

7) Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada suatu lokasi dan occassion tertentu.

8) Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah

disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto independen ini merujuk pada O’Brien et al. (2003).

3.5.1.2 Kepadatan Absolut Harimau

Analisis kepadatan absolut (harimau/100 km2) digunakan dengan mengetahui ukuran populasi dugaan (N). Selanjutnya data hasil identifikasi foto harimau yang diperoleh, digunakan untuk analisis capture recapture guna memperkirakan ukuran populasi harimau sumatera (N-hat). Dengan asumsi tertutup (closure test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik dari harimau (Karanth & Nichols 2002) melalui program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991). Asumsi menggunakan capture-recapture adalah model Mh dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup secara demografi dengan asumsi tak ada kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi selama survei. Nilai N merupakan ukuran populasi dugaan harimau yang diperoleh dari analisis program CAPTURE.

.

Keterangan : D : Estimasi kepadatan harimau (harimau/100 km2)

N : Ukuran populasi dugaan harimau

A (W) : Area contoh efektif (km2)

Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols 1998) yang didapatkan dari ½ Mean Maximum Distance Move (½MMDV) (Karanth & Nichols 1998, 2002) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda.

,

Keterangan : w = lebar garis batas (km)

m = Jumlah satwa yang terekam minimal 2 kali.

d = rata-rata jarak maksimum perpindahan.

di = Jarak dari tiap individu recapture ke-i

3.5.1.3 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa

Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi 100 hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (O’Brien et al. 2003).

∑ ∑∑ .

Keterangan : ER : Tingkat perjumpaan (encounter rate)

Σf : Jumlah total foto yang diperoleh

Σd : Jumlah total hari operasi kamera

3.5.2 Kondisi Habitat Harimau

Data kondisi vegetasi yaitu hasil analisis vegetasi di tiap tipe hutan. Data hasil inventarisasi selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Dominasi (D), Dominasi Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR) serta Indeks Nilai Penting (INP). Untuk vegetasi tingkat bawah maka indeks nilai penting merupakan penjumlahan antara kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988) : Kerapatan Jenis (K) = Kerapatan Relatif (KR) = Dominasi Jenis (D) = contoh petak total Luas i - ke jenis individu Jumlah % 100 jenis seluruh Kerapatan i - ke jenis Kerapatan x contoh plot total Luas dasar bidang Luas

Dominasi Relatif (DR) = Frekuensi Jenis (F) = Frekuensi Relatif (FR) = INP = KR + DR + FR % 100 jenis semua Dominasi jenis suatu Dominasi x contoh petak seluruh Jumlah i - ke jenis ditemukan petak Jumlah % 100 jenis seluruh frekuensi Jumlah i - ke jenis kerapatan Frekuensi x

Dokumen terkait