PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA
Panthera tigris sumatrae
, Pocock 1929 MENGGUNAKAN
METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL
BERBAK
EVINE KEMALA OLVIANA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Evine Kemala Olviana. E34062086. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera
Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak. Pembimbing : Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.
Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 merupakan salah satu jenis satwa top predator yang statusnya saat ini adalah satwa langka yang kritis (critically endangared) berdasarkan kategori IUCN. Sebagian besar teknik pengamatan populasi harimau sumatera menekankan pada perjumpaan tidak langsung. Namun dugaan populasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan kerancuan dan bias yang tinggi. Saat ini telah dikembangkan metode pengamatan melalui kamera jebakan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menduga populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak dengan metode kamera jebakan dan mengidentifikasi jenis satwa potensi mangsa harimau sumatera.
Pengambilan data dilaksanakan selama 4 bulan yaitu dari bulan Juli hingga Oktober 2010 bertempat di Taman Nasional Berbak, Jambi. Peralatan yang digunakan antara lain : kamera jebakan tipe DLC Covert II dan DeerCam, baterai, kartu memori, rol film, kamera digital, dan GPS (Global Positioning System) receiver. Metode penelitian yang digunakan adalah metode tangkap tandai (capture-recapture) menggunakan kamera jebakan yang diletakkan pada lokasi-lokasi yang berpotensi ditemukan keberadaan harimau. Kamera dipasang di 32 lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 2-2,5 km. Individu harimau diidentifikasi berdasarkan pola garis loreng, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pendugaan kepadatan harimau dianalisis melalui program CAPTURE dan luas area contoh efektif.
Jumlah foto dan video yang berhasil terkumpul sebanyak 1031 gambar diantaranya sebanyak 262 gambar (25,41%) dapat merekam secara jelas gambar objek satwa. Dari 262 gambar terdapat 15 gambar harimau sumatera yang berhasil terekam kamera. Jumlah individu harimau sumatera yang berhasil tertangkap kamera sebanyak tujuh individu. Lokasi yang berhasil merekam gambar harimau paling banyak adalah di Parit 14 dengan jumlah gambar yang berhasil terkumpul sebanyak tujuh gambar. Parit 14 merupakan lokasi yang memiliki kelimpahan satwa mangsa yang tinggi dimana berkolerasi dengan tingkat perjumpaan harimau melalui kamera jebakan. Luas area contoh efektif adalah 139,43 km2 dengan kepadatan harimau sumatera sebesar 4,39 harimau/100 km2. Perbandingan jenis kelamin adalah 4 jantan dan 2 betina serta memiliki kelas umur yang sama yaitu dewasa. Peluang kemungkinan tertangkap individu harimau pada seluruh ulangan yaitu 98% sehingga tidak sulit untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Satwa mangsa utama harimau sumatera di lokasi studi adalah babi jenggot Sus barbatus, napu Tragulus napu, beruk Macaca nemestrina dan tapir Tapirus indicus. Faktor cuaca seperti panas dan hujan mempengaruhi kinerja dari kamera jebakan. Kepadatan harimau sumatera tergolong tinggi namun berbagai ancaman terhadap harimau dan satwa mangsa juga tinggi. Perlunya studi mendalam mengenai pemilihan lokasi pemasangan kamera jebakan untuk mendapatkan tangkapan foto harimau yang lebih tinggi
Evine Kemala Olviana. E34062086. Estimation of Sumatran Tiger Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Population Using Camera Trap in Berbak National Park. Under Supervisor: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.
The sumatran tiger Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 is one of top predator species with their status as critically endangered species based on IUCN category. Most of sumatran tiger population monitoring techniqes is emphasized on the indirect count. However, the output of population assessing almost appear confussion and more higher biased. And now, monitoring method has developed by camera trap. The objectives of this research is to estimation of sumatran tiger population using camera trap in Berbak National Park and to identification of sumatran tiger potential prey.
This research was conducted from July until October 2010 in Berbak National Park, Jambi. The equipments were used in this study are DLC Covert II and DeerCam camera trap units, dry cell battery, memory card, film roll, digital camera, and GPS receiver. The research methods is capture recapture method using camera trap which placed at potential locations of tiger presence in study area. Camera was spread at 32 location with the distance each others about 2-2,5 km. Tigers were identified as individual based on their stripes pattern, different characteristic like their morphology and basic body dimension. Estimation of tiger density was analysed by program CAPTURE and effective sampling area wide.
A total of collected photo and video is 1031 frame that consist of 262 frame capture the wildlife photograhs (25,41%). From 262 wildlife photographs, there is 15 tiger photographs were obtained. A total of identified tiger based on camera trap in study area is seven tigers. The location where recording most of tiger photographs is Parit 14 with seven photographs. Parit 14 is a location with high prey abundant which related to tiger encountered rate by camera trap. The effective sampling area wide is 139,43 km2 with estimating approximately of tiger density based CAPTURE program is 4,39 tiger per 100 km2. The tiger’s sex ratio in this studi is 4 male and 2 female with the same age class (i.e. adult). There is no a cub was recorded by camera trap. Tiger capture probability in all of occasion is 98% that means to not difficult to find of tiger’s signs in study area. The tiger’s principal preys species in study area are breaded pig (Sus barbatus), greater mouse deer (Tragulus napu), pig tailed macaque (Macaca nemestrina), asian tapir (Tapirus indicus). A weather factor such as warm and rain is influencing the camera trap performance. Sumatran tiger density is high but the threath of sumatran tiger and their prey is high too. Needed strongly study about location selection of camera trap to obtain higher sumatran tiger photographs.
PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA
Panthera tigris sumatrae
, Pocock 1929 MENGGUNAKAN
METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL
BERBAK
EVINE KEMALA OLVIANA
Skripsi sebagai salah satu syarat
Memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pendugaan
Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929
Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak adalah
benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum
pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Evine Kemala Olviana
Judul : Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan Di Taman Nasional Berbak
Nama : Evine Kemala Olviana
NIM : E34062086
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas : Kehutanan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.
NIP. 19482081 198001 1 001 NIP. 19660221 199103 1 001
Mengetahui,
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Ketua,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003
Penulis dilahirkan di Ketiau tanggal 1 Maret 1988
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Heru Winarto dan Ibu Cicik Masriyam. Penulis
memulai pendidikan formal pada tahun 1993 di TK PG Cinta
Manis dan tahun 1994 melanjutkan ke SD PG Cinta Manis,
Ketiau, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Pada tahun 2000, penulis
melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Tanjung Raja dan kemudian pada tahun 2003
dilanjutkan ke SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung. Pada tahun 2006, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi Ikatan
Mahasiswa Sumatera Selatan (IKAMUSI), Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumber Daya Hutan (HIMAKOVA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Uni
Konservasi Fauna (UKM-UKF). Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik
Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jalur Sancang-Kamojang, Jawa Barat dan
Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Jambi. Penulis juga pernah menjadi
Asisten Praktik Lapang Mahasiswa Pascasarjana Program Tropical and
International Forestry Goettingen University Germany di Hutan Pendidikan
Gunung Walat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan
penelitian yang berjudul ”Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris
sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman
Nasional Berbak” dibawah bimbingan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan
Penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada kedua orang tua dan saudara atas doa, perhatian, dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis selama pengambilan data dan penyusuanan skripsi.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono,
M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberi nasihat, masukan,
semangat, dan bimbingannya selama ini.
2. Bapak Soni Trison, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan untuk skripsi ini dan Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS
selaku ketua sidang yang telah memberi nasihat untuk penulis.
3. The Zoological Society of London (ZSL-IP) atas bantuan dana, sarana dan
prasarana sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
4. Balai Taman Nasional Berbak atas izin dan bantuan yang diberikan selama
penelitian.
5. Pak Dolly Priatna (Direktur ZSL) yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian bersama, Tim Survei harimau sumatera Berbak: Mbak
Citra N. Panjaitan (Tiger Officer) yang telah memberikan saran dan masukan
selama penelitian, Mas Doyok, Mas Edi, Pak Dedi, Bang Unga, Bang Ajie,
Bang Ali, Bang Zainal yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang
luar biasa selama pengambilan data di lapang, Pak Purwanto, Pak Mulya dan
Mbak Ike yang telah memberi bantuan selama di kantor Jambi serta Pak Agus
dan Mbak Erna atas bantuannya selama di kantor Bogor.
6. K’Anti sekeluarga, K’Na sekeluarga, Mas Edi sekeluarga dan Mas Doyok
sekeluarga yang bersedia direpotkan penulis selama penelitian. Terima kasih
banyak untuk semuanya.
7. Teman-teman “Pondok Surya”: Uins, Dhila, Emil, Dea, Ane atas dukungan
dan kebersamaannya selama studi hingga lulus. We are always be best friend.
ありがとう ございます。
8. Teman-teman seperjuangan (semua anggota UKF) atas ilmu dan pengalaman,
kebersamaan, keceriaan serta dukungan. You are the secondly families for me.
baik. We are the best.
14. Bapak, Ibu Dosen dan seluruh staf di lingkungan Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
15. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima
kasih atas bantuan dan dukungannya hingga terselesaikannya skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala Rahmat dan BerkahNya penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang telah dilakukan berjudul “Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak”.
Harimau sumatera merupakan salah satu spesies yang sebarannya terbatas hanya di Sumatera. Pendugaan populasi harimau sumatera telah banyak dilakukan melalui berbagai metode, namun penggunaan kamera jebakan belum banyak dilakukan. Penggunaan metode ini diharapkan dapat menghasilkan dugaan populasi yang lebih baik serta menghemat waktu, tenaga dan biaya dalam pengumpulan data populasi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun material demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
Semoga dengan skripsi ini dapat membantu upaya kegiatan konservasi populasi dan habitat harimau sumatera di Taman Nasional Berbak.
Bogor,
(i)
2.3 Spesies Kunci, Pemangsa Utama dan Spesies Bendera ... 5
2.4 Populasi dan Distribusi ... 6
3.4.1 Populasi dan Potensi Mangsa Harimau ... 18
3.4.2 Karakteristik Habitat Harimau ... 20
3.5 Analisis Data ... 21
3.5.1 Populasi Harimau dan Potensi Satwa Mangsa ... 21
3.5.1.1 Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa ... 21
3.5.1.2 Kepadatan Absolut Harimau ... 23
3.5.1.3 Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsa ... 24
3.5.2 Karakteristik Habitat Harimau ... 24
IV. KONDISI UMUM LOKASI ... 26
4.1 Sejarah dan Status ... 26
4.2 Letak dan Luas ... 26
4.3 Kondisi Fisik Kawasan ... 27
(ii)
4.3.3 Aksesbilitas ... 27
4.4 Kondisi Biologi Kawasan ... 28
4.4.1 Flora ... 28
4.4.2 Fauna ... 29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
5.1 Kondisi Habitat ... 30
5.2 Hasil Pemasangan Kamera Jebakan (Camera Trap) ... 36
5.3 Populasi Harimau Sumatera ... 39
5.3.1 Kepadatan Harimau Sumatera ... 39
5.3.2 Perbandingan Jenis Kelamin ... 44
5.3.3 Struktur Umur ... 45
5.4 Pola Waktu Aktivitas Harimau dan Satwa Mangsa ... 46
5.5 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate) Harimau Sumatera ... 49
5.6 Spesies Satwa yang Ditemukan di Setiap Titik Kamera ... 51
5.7 Karakteristik Habitat ... 55
5.7.1 Ketersediaan Sumber Air ... 55
5.7.2 Satwa Mangsa ... 56
5.8 Ganggguan/ Ancaman terhadap Harimau Sumatera ... 61
5.8.1 Penebangan Liar (Illegal Loging) ... 61
5.8.2 Perburuan Ilegal Satwa ... 62
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
6.1 Kesimpulan ... 63
6.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
(iii)
No. Halaman
1. Perkiraan populasi dan habitat tersedia bagi harimau sumatera di kawasan lindung utama ... 7
2. Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Dalam .. 31
3. Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Laut ... 32
4. Data analisis vegetasi dengan jenis-jenis tiga teratas di sekitar Pos
Simpang Malaka ... 36
5. Hasil pengambilan gambar harimau sumatera dan identifikasi individu
harimau pada periode 1 dan 2 ... 38
6. Hasil penghitungan pada program CAPTURE menggunakan model Mo dan Mh ... 40
7. Populasi dugaan harimau sumatera berdasarkan analisis program
CAPTURE ... 41
8. Perbandingan jenis kelamin harimau sumatera ... 44
9. Jumlah gambar satwa yang tertangkap oleh kamera pada periode pertama . 52
10. Jumlah gambar satwa yang tertangkap oleh kamera pada periode kedua ... 54
(iv)
No. Halaman
1. Model harimau dalam identifikasi individu berdasarkan loreng ... 5
2. (a) Pemasangan baterai dan kartu memori; (b) Pengaturan kamera melalui remote control; (c) Pemasangan kamera jebakan model DLC Covert II ... 18
3. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Berbak . ... 19
4. Bentuk jalur analisis vegetasi ... 20
5. Contoh identifikasi pada dua individu harimau ... 22
6. (a) Kondisi lantai hutan di lokasi pemasangan kamera; (b) Kondisi tajuk pohon ... 33
7. Pelindung (cover) harimau di Simpang Kubu ... 34
8. Peta sebaran titik kamera jebakan (camera trap) ... 37
9. Grafik jumlah gambar yang diperoleh per hari kamera aktif ... 39
10. Peta sebaran individu harimau sumatera di lokasi penelitian ... 42
11. Perjumpaan jejak kaki harimau sumatera (a) jejak kaki di lokasi Simpang Bantang; (b) jejak kaki di lokasi Simpang Aur ... 44
12. Individu harimau sumatera jantan (a) King Arthur; (b) Pandawa ... 45
13. Individu harimau dengan kelas umur dewasa (adult) ... 46
14. Grafik persentase waktu aktivitas satwa berdasarkan hasil foto kamera jebakan ... 48
15. Grafik tingkat perjumpaan (encounter rate) harimau sumatera di berbagai lokasi ... 50
16. Sumber air di habitat hutan rawa gambut (a) kubangan; (b) sungai ... 56
17. (a) Babi jenggot (Sus barbatus); (b) Beruk (Macaca nemestrina) ... 58
18. Jejak kaki tapir (Tapirus indicus) yang ditemukan di Parit 14 ... 59
19. Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan hasil kamera jebakan ... 61
20. (a) Log kayu yang siap angkut; (b) Rel kayu yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan ... 62
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 merupakan
salah satu jenis satwa top predator yang statusnya saat ini adalah satwa langka
yang kritis (critically endangered) berdasarkan kategori IUCN (International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Oleh karena itu
harimau sumatera ditetapkan sebagai salah satu spesies prioritas sangat tinggi
untuk dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 57/Menhut-II
tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008–2018.
Sumatera diperkirakan masih menyisakan areal seluas 130.000 km2 sebagai
habitat harimau sumatera (Wikramanayake et al. 1998). Populasi harimau
sumatera menempati kawasan konservasi dan perbukitan hutan, serta areal-areal
di luar kawasan konservasi seperti hutan produksi. Populasi harimau sumatera di
luar kawasan konservasi diduga relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan tingginya
ancaman terhadap populasi harimau sumatera oleh perburuan liar dan perusakan
habitat. Kelangkaan populasi harimau sumatera juga dipicu akibat semakin
berkurangnya populasi satwa mangsa di alam.
Ancaman terhadap populasi harimau sumatera semakin meningkat sehingga
jumlah populasinya kian berkurang. Menurut Siswomartono et al. (1994), sampai
tahun 1994 jumlah populasi harimau sumatera yang masih hidup di alam
diperkirakan hanya berkisar 300–400 ekor. Sejak tahun 1978 hingga 2007,
populasi harimau sumatera cenderung semakin menurun dan diduga populasi
harimau sumatera pada tahun 2007 tidak lebih dari 300 individu.
Sebagian besar teknik pengamatan populasi harimau sumatera yang
dilakukan hingga saat ini menekankan pada perjumpaan tidak langsung yaitu
melalui jejak tapak kaki, kotoran, atau cakaran, baik di tanah maupun di pohon
(scratch dan scrape). Metode ini termasuk konvensional dan telah banyak
diterapkan karena relatif murah, sederhana, dan tidak membahayakan pengamat.
Namun demikian dugaan populasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan
kerancuan dan bias yang tinggi, terutama akibat sulitnya menemukan jejak tapak
lembek. Kelemahan teknik tersebut terus diupayakan perbaikannya dan sekarang
ini telah dikembangkan metode pengamatan melalui kamera jebakan (camera
trap). Prinsip dasar yang diterapkan dalam pendugaan populasi melalui kamera
jebakan adalah teknik tangkap–tangkap kembali (capture–recapture). Penggunaan
kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture telah
meningkatkan efektivitas metode survei dan pemantauan sebagian besar satwa
terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols 2002). Penerapan
metode ini juga telah banyak dilakukan pada satwa yang memiliki perilaku
menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic) seperti harimau
sumatera.
Taman Nasional Berbak merupakan salah satu lanskap hutan alam yang
masih menyediakan habitat substansial bagi pelestarian dan penyelamatan
populasi harimau sumatera. Namun demikian, informasi tentang keberadaan dan
populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak tergolong kurang tersedia
akibat sedikitnya penelitian yang dilakukan guna mengkaji harimau sumatera.
Oleh karena itu penelitian pendugaan populasi harimau sumatera menggunakan
kamera jebakan perlu dilakukan untuk mengetahui prosedur pemasangan kamera
jebakan guna menduga populasi harimau sumatera.
1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
a) Menduga populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak
menggunakan kamera jebakan.
b) Mengidentifikasi jenis satwa potensi mangsa harimau sumatera.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a) Menyediakan informasi tentang prosedur pemasangan kamera jebakan untuk
pendugaan populasi harimau sumatera.
b) Sebagai sumber data dan informasi terbaru mengenai populasi harimau
sumatera di Taman Nasional Berbak.
c) Sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan tindakan dan upaya pelestarian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi
Berdasarkan pengklasifikasian oleh Slater & Alexander (1986), taksonomi
harimau sumatera adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Phylum Chordata,
Sub Phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo Carnivora, Family Felidae, Sub
Family Pantherinae, Genus Panthera, Spesies Panthera tigris, dan Subspesies
Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929). Menurut Hoogerwerf (1970) genus
Panthera terbagi menjadi empat spesies yaitu P. pardus macan tutul, P. leo
(singa), P. onca jaguar dan P. tigris harimau. Selanjutnya Grzimek (1975)
menyatakan terdapat delapan subspesies harimau Panthera tigris di dunia tetapi
tiga diantaranya telah dinyatakan punah. Subspesies tersebut antara lain:
1. Panthera tigris altaica; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat
di Rusia, Cina dan Korea Utara.
2. Panthera tigris amoyensis; Harimau Cina, terdapat di Cina
3. Panthera tigris corbetti; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina,
Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.
4. Panthera tigris tigris; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh,
Bhutan dan Myanmar.
5. Panthera tigris sumatrae; Harimau Sumatera, terdapat di Pulau sumatera.
6. Panthera tigris sondaica; Harimau Jawa, terdapat di Pulau Jawa, dinyatakan
punah sekitar tahun 1980.
7. Panthera tigris balica; Harimau Bali, terdapat di Pulau Bali, dinyatakan punah
pada tahun 1937.
8. Panthera tigris virgata; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki
dan Rusia, dinyatakan punah sekitar tahun 1950.
2.2 Morfologi
Harimau sumatera memiliki ukuran tubuh antara 140–280 cm dengan
panjang ekor antara 60–110 cm. Umumnya bobot badan harimau sumatera jantan
lebih berat dibanding betina dengan kisaran antara 100–140 kg untuk jantan dan
rata-rata adalah 80–90 cm. Ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan
dengan harimau betina sehingga memiliki perbedaan bentuk (dimorphic). Pada
umumnya ukuran tubuh harimau sangat bervariasi baik panjang tubuh, tinggi
pundak, maupun beratnya, yang bergantung pada subspesiesnya. Subspesies yang
hidup di daerah yang lebih jauh dari garis khatulistiwa memiliki ukuran tubuh
relatif lebih besar (Subagyo 1996).
Harimau mempunyai corak loreng di bagian tubuh yang berbeda antara
satu individu dengan individu yang lain, serta antara sisi kanan dan kiri tubuhnya.
Corak loreng ini dapat dianalogikan dengan sidik jari pada manusia. Corak loreng
bervariasi dalam jumlah loreng, ketebalan loreng, kepadatan loreng serta
kecenderungan untuk terpecah atau menjadi totol-totol. Warna loreng pada
kebanyakan harimau bervariasi dari coklat hingga hitam (Franklin et al. 1999).
Warna dasar tubuh harimau adalah cokelat kekuningan dengan berbagai
corak loreng di bagian punggung dan samping tubuhnya. Garis hitam di atas mata
cenderung simetrik, tetapi bentuknya dari sisi muka dapat berbeda. Jantan
biasanya mempunyai kerut lebih mencolok, khususnya pada harimau sumatera.
Pada bagian dada, perut dan kaki sebelah dalam berwarna agak keputihan. Telinga
sebelah luar berwarna hitam dengan noda putih di tengahnya. Ekor harimau relatif
panjang, bercincin warna hitam di atas warna jingga, kuning atau kuning tua
(Franklin et al. 1999).
Kunci keberhasilan identifikasi harimau terletak pada penyusunan
serangkaian foto untuk setiap individu harimau, yang terdiri atas gambar-gambar
tajam yang diambil dari sisi kanan, kiri, depan dan belakang satwa tersebut
(Franklin et al. 1999). Dalam mengidentifikasi individu harimau berdasarkan
loreng, beberapa ilmuwan menggunakan metode model tiga dimensi yang
dikembangkan oleh Lex Hiby (Hiby et al. 2009) (Gambar 1). Model tiga dimensi
ini dicocokan dengan foto harimau dari hasil kamera jebakan. Titik kuning yang
terdapat di gambar mengindikasikan sebagai posisi poin dasar bahu, pinggul dan
ekor sedangkan titik merah dan biru mengindikasikan garis terluar bagian atas dan
bawah harimau di gambar. Titik-titik tersebut merupakan koordinat dari model
Gambar 1 Model harimau dalam identifikasi individu berdasarkan loreng
Jejak kaki harimau bervariasi tergantung pada umur, tetapi tidak akurat
untuk memperkirakan jumlah pada inventarisasi populasi harimau berdasarkan
ukuran jejak. Kaki belakang harimau lebih panjang dibanding kaki depannya
sehingga memudahkan harimau melompat tinggi dan jauh. Kaki depan dan bahu
lebih besar dan berotot dibanding kaki belakang. Terdapat lima jari pada kaki
depan sedangkan kaki belakang hanya empat jari. Cakar pada kaki depan
dilengkapi dengan kuku yang panjang, runcing dan tajam yang panjangnya 80–
100 mm dan digunakan untuk menangkap dan menggenggam mangsanya.
Kuku-kuku ini dapat disembunyikan atau ditarik (retractable) bila tidak digunakan.
2.3 Spesies Kunci, Pemangsa Utama dan Spesies Bendera
Didalam komunitas biologi, spesies tertentu atau kelompok spesies dengan
ciri-ciri ekologi yang sama (guilds) dapat menentukan kemampuan sejumlah besar
spesies lain untuk bertahan di dalam komunitas tersebut, sehingga mereka disebut
spesies kunci (keystone species) (Indrawan et al. 2007). Spesies kunci
memainkan peranan yang penting di dalam struktur, fungsi atau produktifitas dari
habitat atau ekosistem. Jika hilangnya jenis ini akan mengakibatkan perubahan
yang signifikan atau fungsi yang salah yang bisa berefek pada skala yang lebih
besar. Melindungi spesies kunci adalah prioritas bagi usaha konservasi, karena
jika spesies ini hilang dari daerah konservasi maka spesies lain akan ikut hilang
juga. Predator utama adalah salah satu spesies kunci karena ikut mengontrol
jumlah populasi herbivora (Redford 1992). Memusnahkan sejumlah kecil saja
akan menimbulkan perubahan yang dramatis pada vegetasi dan kehilangan besar
kenanekaragaman hayati (McLaren & Peterson 1994 dalam Indrawan et al. 2007).
Spesies yang mempunyai kemampuan mengubah lingkungan fisik melalui
aktivitasnya, sering disebut sebagai insinyur ekosistem yang juga dapat
digolongkan sebagai spesies kunci.
Spesies bendera merupakan spesies yang dipilih sebagai duta besar, ikon
atau simbol untuk mendefinisikan suatu habitat, isu, kampanye atau dampak
lingkungan. Dengan memfokuskan dan mengusahakan konservasi jenis ini, status
dari jenis lain yang menempati habitat yang sama atau rawan menjadi ancaman
yang sama. Spesies bendera biasanya relatif berukuran besar dan kharismatik,
contohnya panda. Spesies bendera bisa merupakan spesies kunci atau spesies
indikator maupun tidak sama sekali. Beberapa contoh spesies bendera di
Indonesia adalah orangutan, harimau sumatera, badak, gajah sumatera, dan elang
jawa.
Dalam rantai makanan, terdapat beberapa tingkatan yang memiliki peran
dari masing-masing tingkat trofik diantaranya produsen, konsumen dan
dekomposer. Karnivora yang juga dikenal sebagai konsumen sekunder atau
pemangsa, membunuh dan memangsa hewan lainnya yang menjadikannya
digolongkan ke dalam tingkat ketiga. Harimau sumatera merupakan salah satu
satwa karnivora yang dapat memangsa satwa herbivora maupun sesama satwa
karnivora. Kebutuhan akan daging yang banyak menjadikan satwa tersebut
menempati tingkat trofik teratas dalam suatu ekosistem. Satwa pemangsa utama
berperan mengendalikan populasi satwa yang berada dibawahnya dalam siklus
rantai makanan. Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam
rantai makanan di hutan tropis. Peranannya sebagai pemangsa utama, menjadikan
harimau salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem.
Kepunahan akan terjadi pada harimau sumatera apabila ancaman terhadap
kehidupan satwa ini terus berlangsung.
2.4 Populasi dan Distribusi
Menurut Siswomartono et al. (1994), sampai tahun 1994 perkiraan jumlah
adalah hanya tersisa sekitar 400-500 ekor. Populasi harimau tersebut sebagian
besar tersebar di kawasan hutan konservasi seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkiraan populasi dan habitat tersedia bagi harimau sumatera di kawasan lindung utama
Kawasan Lindung Luas Total (Ha)
TN Kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76
TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68
TN Berbak 163.000 14.000 50
TN Way Kambas 130.000 97.000 20
SM Kerumutan 120.000 78.000 30
SM Rimbang 16.000 122.000 43
Sumber: PHPA (1994)
Menurut Wikramanayake et al. (1998), Sumatera diperkirakan masih
mempunyai areal seluas 130.000 km2 untuk menjadi habitat harimau sumatera,
dan hanya sepertiganya atau sekitar 42.000 km2 yang masuk ke dalam kawasan
bebas pembangunan dan logging. Dua belas (12) lansekap pelestarian harimau
atau “Tiger Conservation Landscapes” (TCLs) yang masih menawarkan
substansial habitat untuk menyelamatkan populasi harimau sumatera adalah Tesso
Nilo, Bukit Barisan Selatan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Kuala Kerumutan,
Bukit Balai Rejang-Selatan, Bukit Rimbang Baling, Rimbo Panti-Batang Timur,
Rimbo Panti-Batang Barat, Leuser, Berbak and Sibolga.
2.5 Satwa Mangsa
Kepadatan populasi harimau di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh
kualitas habitat dan ketersediaan satwa mangsa harimau tersebut. Kepadatan
satwa mangsa merupakan faktor yang sangat signifikan dalam menentukan ukuran
teritori harimau betina, dan kondisi selanjutnya akan menentukan kepadatan
populasi harimau secara keseluruhan (Sherpa & Maskey 1998). Hewan mangsa
harimau sumatera belum dikaji secara mendalam. Diduga jenis-jenis hewan
mangsa mempengaruhi dinamika dan ekologi harimau sumatera di area yang
bersangkutan.
Kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat menggantikan
pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pecernaannya khusus
satwa oportunis dalam pemilihan pakan di alam. Dalam habitat tertentu, daging
merupakan suplai pakan yang terbatas. Schaller 1967 dalam Endri 2005
mengatakan total jumlah pakan yang dimakan kurang lebih seperlima dari berat
tubuhnya. Dalam memangsa satwa mangsa, biasanya harimau tidak menghabiskan
satwa buruannya secara keseluruhan namun hanya sekitar 70% saja dimakan
(Seidensticker et al. 1999), sedangkan yang 30% lagi tidak dimakan. Untuk satwa
mangsa yang berukuran besar biasanya dimakan beberapa kali. Sisa makanan
yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan
untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan binatang lain (Mountfort 1973
dalam Hutabarat 2005, Soeseno 1977).
Harimau mulai berburu pada awal petang dan akan berburu semua jenis
hewan apapun yang dapat ditangkapnya. Hewan mangsa utama harimau di India
adalah berbagai jenis rusa, gaur, babi hutan, landak, marmut, monyet dan hewan
ternak (Karanth & Sunquist 1995). Berdasarkan laporan Griffith (1994) hewan
mangsa potensial yang disukai oleh harimau di Taman Nasional Gunung Leuser
adalah rusa sambar, babi hutan, muntjak dan landak. Besarnya jumlah kebutuhan
harimau akan mangsa tergantung dari kebutuhan harimau tersebut mencari pakan
untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi pakan anaknya
(MacDonald 1986, Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005).
2.6 Habitat
Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau
dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan
perkebunan dan pertanian masyarakat. Tipe habitat yang paling disukai adalah
daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya
banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa,
kijang, dan kancil. Harimau sumatera menyukai pula daerah basah, seperti daerah
rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al. 1992).
Harimau sumatera lebih menyukai tempat-tempat yang memiliki biomasa mangsa
yang masih tinggi dan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sungai. Oleh karena
itu biasanya harimau sumatera mendiami habitat yang terutama berhubungan
dengan hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput namun sangat susah
& Ramono 1985 dalam Endri 2005). Menurut Van Der Zon (1979) dalam
Nasution (1985), habitat harimau sumatera adalah hutan terbuka, hutan sekunder
dan savana. Prijono et al. (1978) mengatakan hutan yang merupakan habitat
harimau adalah hutan sekunder dan hutan primer dataran rendah sampai
pegunungan dan sering juga terdapat di padang alang-alang serta hutan terbuka.
Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau
sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini
sangat mendukung kelangsungan hidup harimau sumatera karena terdapat
kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan
kancil. Harimau sumatera jarang menjelajah sampai ke hutan mangrove. Satwa ini
lebih memilih daerah yang tidak selalu tergenang dan terdapat areal yang kering.
Hutan sekunder yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara selektif
merupakan habitat yang optimal untuk satwa mangsa harimau karena ketersediaan
tumbuhan pakan dan memiliki kerapatan cover yang tinggi (Borner 1992).
2.7 Wilayah Jelajah dan Teritori
Harimau sumatera memiliki daerah jelajah yang cukup luas. Ini disebabkan
karena harimau memiliki perilaku hidup yang soliter. Wilayah jelajah merupakan
keseluruhan wilayah dimana satwa menjelajah untuk mendapatkan kebutuhan
hidupnya pada suatu waktu tertentu sedangkan daerah teritori merupakan suatu
wilayah yang dipertahankan dimana ukurannya tergantung ukuran tubuh dan
ketersediaan pakan (Anonim 2004). Umumnya harimau jantan memiliki wilayah
jelajah yang lebih luas dibandingkan harimau betina. Wilayah jelajah untuk
harimau jantan diperkirakan seluas 60-100 km2 sedangkan harimau betina sekitar
20 km2. Sebagian harimau betina remaja dan anakan adalah philopatric, lebih
senang tinggal di dekat induknya (Smith 1993). Sriyanto dan Rustiadi (1997)
menyatakan luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa,
pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah harimau akan
menjadi lebih luas. Diketahui jelajah harian babi hutan yang merupakan satwa
mangsa utama harimau adalah 5 – 16 km dan biasanya melewati jalur jalan yang
tetap.
Daerah teritori akan ditempati oleh individu yang berbeda sehingga untuk
seperti cakaran di pohon (scratch), urin, kotoran (scat) untuk menandakan daerah
teritori. Penandaan ini diulangi secara rutin oleh harimau jantan maupun betina
dengan frekuensi pengulangan meningkat pada zona dimana kontak dengan
harimau lain lebih sering terjadi. Biasanya harimau akan mempertahankan daerah
teritorinya hinggga terjadi konflik dengan individu lain. Harimau jantan memiliki
daerah teritori 3-4 kali lebih luas dari harimau betina. Harimau jantan
menggunakan daerah teritorinya biasanya untuk kawin sedangkan harimau betina
biasa menggunakan daerah teritorinya untuk kawin dan mengasuh anak. Ukuran
teritori untuk sekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya persediaan
makanan yang ada di daerah tersebut (MacDonald 1986). Di Taman Nasional
Way Kambas dalam 100 km2 dihuni oleh 3-5 ekor harimau (Sinaga 2004).
Menurut McDougal (1979) luas teritorial harimau jantan lebih kurang
50-150 km2 dan harimau betina 15-50 km2. Harimau jantan memiliki teritori yang
paling kuat di dalam areal habitat utama yang mencakup beberapa teritori harimau
betina dengan rasio 1 jantan: 3 betina (Sherpa & Maskey 1998). Selanjutnya
Jackson (1990) dalam Sriyanto (2003) menambahkan bahwa harimau jantan
teritorinya tiga kali lebih sering daripada betina. Harimau jantan cenderung
merupakan penghuni teritori yang lebih sering berubah, sedangkan betina
menguasai teritori untuk periode yang lebih lama. Hal ini dapat dilihat bahwa
jantan memiliki teritori yang berpotongan dengan teritori dari satu atau lebih
betina (Singh 1999).
2.8 Perilaku
Harimau mempunyai indera penciuman yang kuat dan seringkali
meninggalkan tanda berupa urin dengan bau yang khas. Tanda tersebut berfungsi
sebagai penanda wilayah kekuasaan atau sebagai alat komunikasi yang lebih
spesifik seperti identitas individu, periode waktu individu harimau lewat pada area
tertentu dan penanda estrus pada harimau betina (Lekagul & McNeely 1977).
Harimau dianggap sebagai satwa nokturnal, yaitu satwa yang aktif pada malam
hari. Namun hal tersebut tidak mutlak terjadi. Harimau cenderung menghindari
panas pada siang hari dan sering berendam di dalam air agar tetap sejuk. Harimau
2.8.1 Perilaku Berburu
Umumnya harimau berburu antara sore dan pagi hari (fajar), tetapi dalam
beberapa kondisi harimau berburu siang hari. Hewan mangsa harimau adalah
seluruh satwa yang ada di habitat mereka, yang terdiri dari berbagai jenis rusa,
babi, kerbau dan banteng. Harimau juga memangsa anak gajah dan badak, serta
jenis lainnya yang lebih kecil, termasuk monyet, burung, reptil dan ikan. Harimau
memiliki teknik berburu untuk mendapatkan mangsa yang mengandalkan taktik.
Pada jarak yang sangat dekat, yaitu kurang dari 50 meter, dengan cepat mangsa
diterkam pada bagian leher atau tengkuk dengan cakar depan. Mangsa yang lebih
kecil, diserang dengan lompatan dari depan. Dengan tungkai depan, ia memegang
tengkuk mangsa dan mendorongnya ke tanah. Untuk mangsa yang lebih besar,
terkadang harimau terlebih dahulu menggigit putus urat lututnya dari belakang,
kemudian melompat ke atas punggungnya, memegang tengkuk dengan cakar
tungkai depan dan melemparkan satwa mangsa ke bawah. Sisa makanan yang
belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk
dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan oleh satwa lainnya (Mountfort 1973
dalam Hutabarat 2005, Soeseno 1977).
Harimau dapat makan 18-40 kg daging mangsanya dalam sekali makan. Jika
tidak hancur, ia kembali ke tempat tersebut untuk makan sisa-sisa kecil. Mangsa
yang besar ditangkap satu kali seminggu. Diperkirakan frekuensi pembunuhan
oleh betina tanpa anak adalah sekali setiap 8-8,5 hari. Walaupun mempunyai
keahlian berburu yang tinggi, harimau sering tidak berhasil. Berburu mangsa
biasanya dilakukan secara individu tapi pernah juga kelihatan harimau berburu
secara berkelompok. Grzimek (1975) menyebutkan bahwa harimau biasanya
cenderung menarik mangsanya yang telah mati mendekati sumber air dan
memakannya di sana.
2.8.2 Perilaku Reproduksi
Pada umur 3 tahun, harimau telah dewasa dan selama 11 tahun berikutnya,
harimau betina akan beranak setiap 2-2,5 tahun. Waktu diantaranya diisi dengan
membesarkan dan mendidik anaknya. Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua
sumatera adalah 100-108 hari dan perkembangbiakan hanya terjadi setiap dua atau
tiga tahun sekali (Suwelo dan Somantri 1978 dalam Lestari 2006).
Harimau betina mengasuh sendiri anaknya dan memisahkannya jika terluka
atau sakit. Pada umur 8 minggu, anak harimau keluar dari tempat tidurnya dan
mereka disusui hampir setengah tahun. Selama masa birahi harimau betina
memperlihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan
sedikit istirahat.
2.9 Teknik Pendugaan Populasi
Dalam teknik inventarisasi satwaliar dan pendugaan populasi satwa
terdapat beberapa teknik pengamatan antara lain melalui pengamatan tidak
langsung seperti menghitung jejak kaki, kotoran, sisa makanan, dan suara.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pendugaan kepadatan satwa antara
lain transek garis (line transect), penangkapan atau pengumpulan (removal
traping or collecting) serta observasi visual (visual observation). Transek garis
(line transect) merupakan metode yang biasa digunakan oleh biologis untuk
menduga kepadatan populasi. Metode dasar transek garis (line transect) adalah
pengamat berjalan pada kecepatan konstan melewati sebuah habitat dan mencatat
jumlah satwa yang ditemui. Jumlah ini akan menjadi refleksi untuk kepadatan
satwa, kecepatan berpindah, jarak pengamat dengan objek dan kecepatan bergerak
pengamat (Southwood 1966). Sedangkan prinsip metode penangkapan atau
pengumpulan (removal trapping or collecting) adalah untuk mengetahui jumlah
satwa yang bergerak di suatu habitat pada setiap pengulangan penangkapan. Laju
tangkapan akan berhubungan secara langsung dengan ukuran populasi total (yang
belum diketahui) dengan jumlah yang diperoleh (yang diketahui). Selain itu,
terdapat teknik pengamatan secara langsung dengan mengamati satwa yang
dijumpai secara langsung di lokasi pengamatan (visual observation). Metode ini
merupakan pendekatan yang paling sederhana, dimana pengamat menghitung
semua satwa yang dilihat pada suatu area atau waktu tertentu.
Namun untuk satwa seperti harimau yang memiliki perilaku menghindar
(elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic) cukup sulit ditemukan secara
langsung. Metode yang sering digunakan dan merupakan teknik tertua dalam
oleh harimau. Teknik pengamatan dengan mempelajari jejak atau tanda yang
ditinggalkan harimau tersebut cenderung memiliki eror/ kesalahan yang cukup
tinggi karena sulit untuk membedakan jejak kaki dari individu yang berbeda.
Pencatatan jejak kaki dilakukan hanya untuk menentukan apakah suatu jenis
tertentu mendiami suatu areal dan atau menentukan tingkat perjumpaan yang
dikategorikan jarang atau umum dijumpai pada area survei (Povey & Spaulding
2009). Selain metode konvensional, teknik pengamatan satwaliar dapat juga
dilakukan dengan teknik tangkap dan tangkap kembali (capture recapture)
menggunakan kamera jebakan. Metode kamera jebakan merupakan metode yang
dapat dipercaya yang dipakai oleh para ahli untuk dapat memperkirakan populasi
suatu jenis satwa dalam suatu wilayah (Povey & Spaulding 2009) karena dapat
dilakukan pada satwa yang memiliki tanda atau ciri khusus ditubuhnya sehingga
dapat diidentifikasi secara individu. Berdasarkan asumsi metode Peterson,
terdapat beberapa asumsi yang mendasari analisis metode tangkap dan tangkap
kembali (capture recapture) yaitu (1) populasi merupakan populasi tertutup,
sehingga N adalah konstan, (2) semua satwa memiliki peluang yang sama untuk
tertangkap pada periode pertama, (3) penandaan individu tidak mempengaruhi
penangkapannya, (4) satwa tidak kehilangan tanda antara dua periode sampling,
dan (5) semua tanda dilaporkan pada penemuan di periode kedua.
2.10 Kamera Jebakan (Camera Trap)
Dewasa ini, teknik pengamatan satwaliar di alam telah berkembang dengan
ditemukannya metode tangkap dan tandai yang digunakan untuk mengamati satwa
yang sulit untuk dijumpai seperti perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan
menyamar (cryptic). Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera
jebakan merupakan suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara
lebih efektif dan akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar
khususnya untuk pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karanth & Nichols
2002). Generasi kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture
telah meningkatkan keefektifan dalam metode survei dan monitoring untuk
sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth &
Nichols 2002). Dengan adanya sistem kamera jebakan dapat digunakan untuk
Penggunaan metode kamera jebakan untuk memantau populasi karnivora besar
pertama kali dilakukan oleh Karanth (1995) di empat taman nasional di India. Di
Indonesia, metode ini pertama kali diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser,
Sumatera Utara (Griffith & Schaik 1993), di Way Kambas dengan jumlah
individu harimau sumatera yang berhasil diidentifikasi sebanyak enam ekor
(Franklin et al. 1999), di Bukit Barisan Selatan dengan estimasi jumlah populasi
harimau sumatera sebanyak 40-43 ekor (O’Brien et al. 2003), di Kerinci Seblat
(Linkie 2006) dan di Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh dengan estimasi jumlah
individu sebanyak lima ekor (Hutajalu 2007).
Selain harimau sumatera, penggunaan kamera jebakan dalam teknik survei
satwaliar juga diterapkan pada satwa lain, beberapa diantaranya antara lain tapir
asia Tapirus indicus di habitat hutan pegunungan, Taman Nasional Kerinci Seblat
(Holden et al. 2003); Galliformes di hutan dataran rendah, Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (Winarni et al. 2004); badak jawa Rhinocerus sondaicus di hutan
dataran rendah, Taman Nasional Ujung Kulon (Griffith & Schaik 1993); macan
tutul jawa Panthera pardus melas di habitat hutan pegunungan, Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango.
Kamera jebakan bekerja menggunakan sistem infra merah yang dapat
mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Sensor
merupakan suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau
sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan energi seperti energi listrik, fisika,
kimia, biologi, mekanik dan sebagainya. Sensor panas berfungsi untuk mendeteksi
gejala perubahan panas/temperatur/suhu pada suatu dimensi benda atau dimensi
ruang tertentu. Pada kamera jebakan terdapat bagian berupa fotosensor sehingga
otomatis melakukan proses jepretan. Setiap satwa yang melintas akan terekam
gambarnya oleh kamera melalui fotosensor yang disambungkan ke kamera.
Gambar-gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan,
bulan, tanggal dan nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan
ditransformasikan ke dalam perangkat lunak komputer. Keberadaan set kamera
tidak mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas di depan kamera sehingga
tidak mengganggu kegiatan hariannya. Penempatan kamera diusahakan tidak pada
mengaktifkan secara otomatis dan menangkap gambar individu yang melintas
dengan jelas (Karanth & Nichols 2002).
2.11 Program CAPTURE
Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa perangkat lunak
komputer yang dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan
suatu populasi. Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau
menggunakan metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth &
Nichols (2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad
& Burnham 1991). Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk
cathability atau kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera
jebakan tidak mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk
setiap periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan
data capture-recapture populasi tertutup (closed population) secara demografi.
Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera jebakan atau periode
penangkapan tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau
yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut
dikategorikan terbuka dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al.
1978 dalam Rexstad & Burnham 1991). Linkie et al. (2006) selanjutnya
menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup
yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen.
b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat
pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian
ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan
kanan harimau terlihat berbeda).
c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling,
kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah
individu untuk kemungkinan menghindari bias.
Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model yang
cocok untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE yang
sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Otis et al. 1978 dalam
a. M0, yaitu peluang tertangkap seluruh individu harimau adalah sama dan tidak
terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t), atau heterogenitas individu (h).
b. Mh (Jackknife, Nh), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada
masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan
penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon perangkap dan
waktu. Hal ini mungkin dikarenakan aksesibilitas tangkapan yang ditentukan
oleh status kediaman (penetap atau tidak) dari harimau.
c. Mb (Zippin, Nb) yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan
sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan
respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau
waktu. Model Mb memperkirakan untuk trap happines atau trap shyness yaitu
satwa tersebut merubah perilakunya setelah tertangkap kamera untuk pertama
kalinya, walaupun secara fisik trap tidak menandai individu satwa, tetapi
individu satwa hanya terkena kilatan atau flash kamera.
d. Mt (Darroch, Nt) yaitu kemungkinan penangkapan adalah sama untuk seluruh
individu harimau, tetapi bervariasi selama survei yang hanya disebabkan
faktor waktu spesifik. Misalnya tangkapan sedikit jika cuaca tidak menentu
yang selanjutnya akan mengurangi aktivitas satwa seperti selama musim
hujan harimau mengurangi ukuran daerah jelajahnya. Seekor harimau saat
setelah melahirkan akan mengurangi peningkatan aktivitas berburunya yang
biasanya sembilan hari menjadi tujuh hari, peluang tangkap harimau pada
masa tersebut akan semakin kecil karena harimau tersebut akan tetap selalu
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari
Bulan Juli hingga Oktober 2010 bertempat di Taman Nasional Berbak, Jambi
bekerja sama dengan The Zoological Ssociety of London-Tiger Project (ZSL).
Penelitian dilakukan di dua blok hutan yaitu Air Hitam Dalam dan Air Hitam Laut.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kamera jebakan tipe
DLC Covert II dimana memiliki ukuran yang kecil dan mudah disembunyikan
dari pencuri serta sangat efisien terhadap baterai dan DeerCam, baterai (AAA)
dan baterai 9 volt, kartu memori, rol film, kamera digital, peta kerja, tally sheet,
GPS (Global Positioning System) receiver, kompas, lem “Sealant”, seling besi,
penunjuk waktu, alat tulis menulis, pita meter, buku panduan lapang mamalia,
plastik spesimen dan tali tambang. Objek penelitian adalah harimau sumatera
serta habitatnya dan satwa mangsa harimau.
3.3 Jenis Data
Jenis data primer yang diambil dikelompokkan ke dalam data: a)
pendugaan populasi dan potensi mangsa harimau, serta b) karakteristik habitat
harimau. Data populasi harimau dan mangsa harimau dikumpulkan melalui
keberadaan individu yang terdeteksi oleh kamera jebakan. Jenis data populasi dan
satwa mangsa harimau yang dicatat meliputi: nama lokasi pemasangan kamera,
posisi geografis lokasi, tanggal terdeteksi satwa tertangkap kamera, tanggal
pemeriksaan, keberadaan jejak harimau dan satwa mangsa. Data karakteristik
habitat yang dikumpulkan meliputi: jenis dan jumlah individu pohon pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon; kemiringan lahan, ketinggian
tempat, keberadaan sumber air, jarak dari sumber air, serta jarak dari sumber
gangguan manusia.
Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi sebaran populasi dan satwa
lahan. Data sekunder dikumpulkan melalui metode studi literatur terhadap sumber
informasi yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti jurnal dan karya
ilmiah lainnya, serta wawancara dengan kelompok masyarakat setempat.
3.4 Teknik Pengambilan Data
3.4.1 Populasi dan Potensi Mangsa Harimau
Metode penelitian yang digunakan adalah metode capture-recapture
(tangkap-tangkap kembali) menggunakan kamera jebakan yang diletakkan pada
lokasi-lokasi yang berpotensi di wilayah studi yaitu lokasi dimana satwa
melakukan aktivitas, tempat-tempat yang sering digunakan dan dikunjungi oleh
satwa liar seperti sumber air, tempat mengasin (saltlick), dan sumber pakan.
Diketahui bahwa harimau merupakan jenis satwa melanistic yang dapat dibedakan
secara individu berdasarkan pola loreng dan ukuran tubuh (Franklin et al. 1999,
Karanth & Nichols 2002). Data pada kamera mencetak foto dengan waktu dan
tanggal kejadian. Kamera jebakan dipasang pada batang pohon dengan ketinggian
rata-rata 40-45 cm di atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 3
meter dari pinggir jalur (Karanth 1995). Kamera dipasang di 32 lokasi dengan
menggunakan kamera jebakan sebanyak 26 unit dengan jarak antar kamera
rata-rata 2-2,5 km. Pemilihan lokasi pemasangan kamera didasarkan pada topografi
yang relatif datar dan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Setiap unit di
program untuk merekam gambar satwa dengan selang waktu 1 menit dan
beroperasi selama 24 jam/hari. Berikut langkah kerja pemasangan kamera jebakan
(Gambar 2).
(a) (b) (c)
Gambar 2 (a) Pemasangan baterai dan kartu memori; (b) Pengaturan kamera melalui remote control; (c) Pemasangan kamera jebakan tipe DLC
Lama periode sampling adalah tiga bulan dengan asumsi populasi tertutup
yaitu tidak ada perubahan jumlah populasi selama periode sampling. Pembagian
waktu periode sampling digunakan sebagai ulangan (occassion) captures (Karanth
1995; Karanth & Nichols 1998, 2000) untuk mengestimasi jumlah populasi suatu
jenis pada suatu lokasi dan waktu tertentu. Pengecekan kamera dilakukan satu kali
dalam periode 3 minggu untuk penggantian film, baterai, silica gel dan kartu
memori. Pemasangan kamera jebakan dilakukan berdasarkan pembagian grid 17 x
17 km. Kemudian grid tersebut dibagi menjadi 36 grid cell dengan ukuran 2,5 x
2,5 km/ cell. Penentuan titik kamera dilakukan secara random/acak di dalam grid
cell.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Berbak.
Selain menggunakan metode kamera jebakan, metode penemuan jejak
juga dilakukan untuk menambah informasi mengenai keberadaan harimau
sumatera dan potensi mangsa. Pengamatan melalui jejak merupakan pengamatan
secara tidak langsung untuk mengetahui keberadaan satwa yang sulit untuk
dijumpai secara langsung seperti harimau sumatera. Jejak merupakan tanda-tanda
yang ditinggalkan oleh satwa seperti tapak kaki, kotoran, cakaran (scratch dan
dilakukan di jalur yang dilalui saat pemasangan dan pengecekan kamera jebakan.
Perjumpaan tak langsung tersebut dicatat ukurannya, perkiraan umur, waktu, dan
keterangan lain yang berkaitan. Kontak tidak langsung yang dapat digunakan
sebagai penduga individu harimau yang berbeda adalah jejak kaki yang
ditinggalkan. Sebagai informasi tambahan, apabila perbedaan ukuran antara dua
jejak harimau yang ditemukan lebih besar dari 1 cm maka dapat dikatakan kedua
jejak tersebut berasal dari dua individu yang berbeda.
3.4.2 Kondisi Habitat Harimau
Metode yang dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis
penyusun cover adalah dengan cara analisis vegetasi menggunakan metode garis
berpetak. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi
penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan
membuat petak contoh disepanjang jalur pengamatan. Pengukuran dilakukan
dengan mengukur vegetasi pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk
mengetahui karakteristik pembentuk cover hutan. Ukuran petak adalah 20 m x 20
m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Data yang dikumpulkan untuk tingkat
pertumbuhan pohon dan tiang adalah nama jenis, diameter setinggi dada, tinggi
bebas cabang dan tinggi total (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Gambar 4 Bentuk jalur analisis vegetasi.
Keterangan: A = Petak pengamatan tingkat semai (2 x 2 m)
B = Petak pengamatan tingkat pancang (5 x 5 m)
C = Petak pengamatan tingkat tiang (10 x 10 m)
D = Petak pengamatan tingkat pohon (20 x 20 m) 10 m
10 m
20 m
1000 m
A
B
3.5 Analisis Data
3.5.1 Populasi Harimau dan Satwa Potensi Mangsa
3.5.1.1 Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa
Individu harimau diidentifikasi berdasarkan pola loreng (McDougal 1979,
Karanth 1995, Franklin et al. 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti
morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pengembangan
database dilakukan untuk memilih foto-foto harimau yang bermutu, sehingga
terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan
mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Langkah
selanjutnya untuk mengidentifikasi individu harimau adalah dengan
membandingkan dua foto pada sisi yang sama, dalam hal ini mencari sesuatu yang
lebih umum hingga spesifik. Ukuran tubuh harimau adalah salah satu alat
penyaring/filter pertama. Untuk jenis kelamin, secara genetalia dapat
diidentifikasi dari luar terutama harimau jantan. Demikian pula untuk menentukan
harimau jantan dewasa yang lebih tua, pola rambut muka yang berlainan yang
mungkin berwarna kemerah-merahan atau sedikit gelap kadang kala dapat
membantu untuk membedakan jenis kelamin (Franklin et al. 1999). Dalam
membedakan harimau dapat berdasarkan pada panggul, bahu, panjang-pendek
loreng pada ekor, loreng bagian luar maupun bagian dalam pada kaki depannya,
dan kadang-kadang pipi atau dahi jika gambar diambil dari arah depan. Setelah
individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu
harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al. 1999). Individu
harimau yang telah teridentifikasi dengan jelas berdasarkan ciri pola loreng
kemudian diberi nama pada setiap individu harimau sehingga individu harimau
yang telah teridentifikasi memiliki nama masing-masing. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991)
dan untuk menentukan luas area contoh efektif (effective sampling area)
Gambar 5 Contoh identifikasi pada dua individu harimau.
Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan
dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu:
1) Trap night merupakan lama hari aktual kamera jebakan beroperasi selama 24
jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu
lokasi kamera dengan memperhitungkan kamera jebakan yang tidak
beroperasi baik karena hilang atau rusak.
2) Trap night effective merupakan lama hari aktual kamera jebakan aktif
beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu kamera jebakan
yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan.
3) Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu
dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu
jenis adalah nol (0).
4) Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan
memiliki isi 36 frame.
5) Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu
(t).
6) Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu kamera
jebakan beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.
7) Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada
suatu lokasi dan occassion tertentu.
8) Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara
disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari
individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto
berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor
film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari
individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang
sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film.
Kriteria foto independen ini merujuk pada O’Brien et al. (2003).
3.5.1.2 Kepadatan Absolut Harimau
Analisis kepadatan absolut (harimau/100 km2) digunakan dengan
mengetahui ukuran populasi dugaan (N). Selanjutnya data hasil identifikasi foto
harimau yang diperoleh, digunakan untuk analisis capture recapture guna
memperkirakan ukuran populasi harimau sumatera (N-hat). Dengan asumsi
tertutup (closure test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik
dari harimau (Karanth & Nichols 2002) melalui program CAPTURE (Rexstad &
Burnham 1991). Asumsi menggunakan capture-recapture adalah model Mh
dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup secara demografi
dengan asumsi tak ada kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi selama survei.
Nilai N merupakan ukuran populasi dugaan harimau yang diperoleh dari analisis
program CAPTURE.
.
Keterangan : D : Estimasi kepadatan harimau (harimau/100 km2)
N : Ukuran populasi dugaan harimau
A (W) : Area contoh efektif (km2)
Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik
koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan
dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols 1998) yang didapatkan dari ½
Mean Maximum Distance Move (½MMDV) (Karanth & Nichols 1998, 2002)
yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu
,
Keterangan : w = lebar garis batas (km)
m = Jumlah satwa yang terekam minimal 2 kali.
d = rata-rata jarak maksimum perpindahan.
di = Jarak dari tiap individu recapture ke-i
3.5.1.3 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa
Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total
jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi 100 hari
untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (O’Brien et al. 2003).
∑ ∑∑ .
Keterangan : ER : Tingkat perjumpaan (encounter rate)
Σf : Jumlah total foto yang diperoleh
Σd : Jumlah total hari operasi kamera
3.5.2 Kondisi Habitat Harimau
Data kondisi vegetasi yaitu hasil analisis vegetasi di tiap tipe hutan. Data
hasil inventarisasi selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya nilai
Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Dominasi (D), Dominasi Relatif (DR),
Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR) serta Indeks Nilai Penting (INP). Untuk
vegetasi tingkat bawah maka indeks nilai penting merupakan penjumlahan antara
kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan
untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara dan
Dominasi Relatif (DR) =
Frekuensi Jenis (F) =
Frekuensi Relatif (FR) =
INP = KR + DR + FR
% 100 jenis semua Dominasi
jenis suatu Dominasi
x
contoh petak seluruh Jumlah
i -ke jenis ditemukan petak
Jumlah
% 100 jenis seluruh frekuensi
Jumlah
i -ke jenis kerapatan Frekuensi
IV. KONDISI UMUM LOKASI
4.1 Sejarah dan Status
Berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 18 tanggal 29
Oktober 1935, Taman Nasional Berbak semula berstatus Wild Reservat (Wildlife
Reserve/Suaka Margasatwa) dengan luas 190.000 hektar. Mulanya kawasan ini
dibawah pengelolaan Sub Balai KSDA Jambi. Pada tahun 1992 melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 285/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari.
Pada tahun 1997 Taman Nasional Berbak berdiri lepas dari BKSDA Jambi
berdasarkan SK Menhut Nomor 185/Kpts-II/1997 Tanggal 31 Maret 1997. Pada
Konverensi Ramsar tahun 1992, Berbak termasuk dalam Ramsar Site yaitu
perlindungan terhadap lahan basah yang ditetapkan berdasarkan Keppres No.48
tanggal 19 Oktober 1991.
4.2 Letak dan Luas
Taman Nasional Berbak terletak di sebelah Timur Propinsi Jambi,
memanjang di tepian Sungai Batanghari sampai dengan Muara Sungai Berbak.
Namun untuk batas Taman Nasional Berbak bukan Sungai Batanghari atau Sungai
Berbak, antara sungai dengan batas taman nasional terdapat desa-desa yang masuk
wilayah Kecamatan Rantau, Nipah Panjang dan Sadu. Kawasan Taman Nasional
Berbak memiliki luas sebesar 162.700 ha berdasarkan SK penetapan Taman
Nasional Berbak. Secara geografis, Taman Nasional Berbak terletak diantara 104°
05' - 104° 26' BT dan 01° 08' - 01° 43' LS sedangkan secara administratif berada
di dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung sebesar 80% dan
Kabupaten Batanghari sebesar 20%.
Adapun batas kawasan Taman Nasional Berbak adalah:
1. Sebelah utara berbatasan dengan desa-desa yang masuk dalam wilayah
Kecamatan Nipah Panjang dan Kecamatan Rantau Rasau.
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Sembilang Propinsi
Sumatera Selatan.
3. Sebelah timur berbatasan dengan desa-desa yang masuk dalam wilayah
4. Sebelah barat berbatasan dengan Taman Hutan Raya dan Hutan Lindung
Gambut.
4.3 Kondisi Fisik Kawasan
4.3.1 Topografi
Kawasan Taman Nasional Berbak sebagian besar berupa lahan basah dan
bergambut. Taman Nasional Berbak yang terletak di pesisir pantai timur Jambi ini
mempunyai kondisi topografi yang relatif datar sampai agak landai dengan
ketinggian antara 0-12,5 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Formasi geologi Taman Nasional Berbak termasuk formasi
deposit aluvial. Jenis tanah organosol (gambut) yang tergenang sepanjang tahun,
bersifat masam sehingga merupakan kendala besar bagi penggunaan lahan untuk
kegiatan pertanian.
4.3.2 Iklim
Curah hujan rata-rata di Taman Nasional Berbak adalah 2.300 mm per
tahun atau rata-rata lebih dari 200 mm per bulan dalam 5-6 bulan dan kurang
dari dua bulan rata-rata curah hujannya 100 mm per bulan. Temperatur udara di
kawasan hutan Taman Nasional Berbak berkisar antara 25° - 28° C.
4.3.3 Aksesibilitas
Untuk mencapai kawasan Taman Nasional Berbak (Air Hitam Dalam dan
Air Hitam Laut) dari Jambi dapat ditempuh melalui perjalanan darat atau air,
antara lain sebagai berikut:
a. Air Hitam Dalam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:
1. Jambi-Suak Kandis dengan jalan darat, diperlukan waktu 1,5 jam. Dan
dilanjutkan dari Suak Kandis perjalanan menyusuri sungai Batanghari dengan
perahu cepat (speed boat) menuju Air Hitam Dalam selama 45 menit.
2. Jambi-Air Hitam Dalam langsung dengan menggunakan perahu cepat