• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) hasil translokasi di Hutan Blangraweu, Nanggore Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adaptasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) hasil translokasi di Hutan Blangraweu, Nanggore Aceh Darussalam"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Harimau sumatera termasuk dalam kategori satwa langka yang perlu dilindungi keberadaannya. IUCN (The International Union for Conservation of Nature and natural Resources) memasukannya ke dalam status critically endangered sejak 1994 yang ketika itu, dugaan populasi di seluruh pulau Sumatera berjumlah sekitar 400 ekor di dalam kawasan konservasi dan 100 ekor di luar kawasan konservasi (Tilson et al. 1994). Selain itu, harimau sumatera merupakan satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 dan juga termasuk dalam Apendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild flora and Fauna) yang artinya satwa ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun. Kenyataannya, status tersebut alih-alih meningkatkan jumlah harimau sumatera di alam, jumlahnya tiap tahun justru makin menurun karena maraknya perburuan. Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

saja tercatat sebanyak 305 ekor harimau telah dibunuh dalam rentang tahun 1972

– 2003 (Shepherd & Magnus 2004).

Perburuan terhadap harimau pada umumnya dilatarbelakangi oleh mahalnya harga bagian tubuh harimau. Selembar kulit harimau utuh pada tahun 1980an bisa dihargai hingga USD 3.000,- (Santiapillai & Ramono 1985). Namun bukan hanya perburuan saja yang menyebabkan penurunan populasi harimau sumatera. Deforestasi dan degradasi hutan merupakan ancaman yang sangat signifikan terhadap keberadaan harimau sumatera. Selain itu, konflik harimau sumatera dengan manusia juga turut menyumbang angka laju penurunan populasi harimau sumatera (Dephut 2007)

(2)

habitat yang terpisah di sepanjang pulau. Perkiraan populasi harimau sumatera adalah sekitar 400 – 500 ekor yang hidup terpisah di berbagai kawasan. Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan kantong terbesar dengan perkiraan populasi antara 186 – 350 ekor. Sisanya tersebar di berbagai kawasan konservasi maupun hutan masyarakat di seluruh Sumatera (Dephut 2007).

Pesatnya pertumbuhan populasi manusia dan pembangunan ekonomi di dalam dan sekitar habitat harimau sumatera mengakibatkan meningkatnya potensi konflik antara harimau dan manusia. Antara tahun 1978 – 1997, tercatat sebanyak 146 orang meninggal dunia, 30 luka-luka dan 870 ekor ternak terbunuh akibat konflik antara manusia dan harimau sumatera (Nyhus & Tilson 2004). Di sisi lain, hasil kajian TRAFFIC pada tahun 2002 mengungkapkan setidaknya 35 ekor harimau terbunuh selama konflik dalam kurun waktu 1998 – 2002 (Dephut 2007). Data terbaru Sumatran Tiger Conservation Forum menambah panjang daftar korban konflik dengan 57 orang meninggal, 81 luka-luka, 326 ekor ternak terbunuh, dan 69 ekor harimau yang menjadi korban baik dibunuh maupun dipindahkan ke pusat konservasi eksitu (Priatna et al. 2012)

Berbagai solusi telah ditawarkan oleh banyak pihak dalam menyelamatkan keberadaan harimau sumatera. Lembaga besar seperti IUCN, CITES, dan pemerintah sendiri memberikan perlindungan dalam hal kebijakan. Penghitungan

populasi, pengamanan, dan penyadartahuan masyarakat juga telah dilakukan oleh banyak lembaga. Kepada harimau konflik sendiri diterapkan metode translokasi agar tidak menimbulkan trauma terhadap harimau maupun masyarakat korban konflik.

(3)

translokasi, perlu dicari habitat yang sesuai terhadap harimau konflik tersebut agar harimau bisa teradaptasi secara alami.

Hutan Blangraweu merupakan bagian dari Ekosistem Ulu Masen, sebuah kawasan hutan seluas 750.000 hektar dengan tipe hutan yang berbukit-bukit. Kawasan ini terletak di sebelah utara dari Kawasan Ekosistem Leuser yang lebih terkenal dan meskipun berbeda, kedua kawasan ini berhubungan langsung. Pada Hutan Blangraweu inilah salah satu harimau konflik ditranslokasikan.

Seekor harimau betina berumur 1,5 tahun yang dilengkapi dengan GPS Collar dipindahkan dari daerah konflik menuju Hutan Blangraweu pada bulan Desember 2008. Harimau tersebut dilepasliarkan di sekitar padang rumput dataran tinggi di Hutan Blangraweu. Akan tetapi pada bulan Juli 2009, harimau translokasi tersebut akhirnya mati terkena jerat babi. Harimau tersebut kemudian dikuliti dan dijual oleh warga. Berangkat dari keprihatinan atas kegagalan program translokasi tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai adaptasi harimau translokasi. Hal ini penting sebab selama ini belum pernah ada kajian mendalam mengenai adaptasi harimau translokasi dan faktor-faktor habitat yang

mempengaruhinya. Diharapkan hasil dari penelitian ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam kegiatan konservasi harimau selanjutnya.

1.2.Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mempelajari adaptasi harimau sumatera hasil translokasi di Hutan Blangraweu.

2. Mengetahui faktor-faktor habitat yang mempengaruhi adaptasi harimau translokasi di Hutan Blangraweu.

1.3.Manfaat Penelitian

Manfaat dari kegiatan penelitian adalah untuk :

(4)

2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor habitat yang mempengaruhi adaptasi harimau translokasi sebagai upaya untuk mendukung konservasi harimau sumatera.

(5)

2.1. Sejarah Penyebaran dan Populasi Harimau

Sumatera adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang masih memiliki populasi harimau liar. Di Bali dan Jawa, harimau telah mengalami kepunahan pada abad ke-20. Harimau yang tercatat secara pasti untuk terakhir kalinya, yaitu di Pulau Bali pada akhir tahun 1930-an, sedangkan harimau jawa terakhir ditemukan saat penelitian tahun 1976. Setelah itu tidak ada catatan lain yang mengkonfirmasikan hal tersebut dengan begitu, populasi harimau di Sumatera menjadi populasi terakhir yang ada di Indonesia.

Pulau Sumatera terpisahkan dari benua Asia pada 600-12.000 tahun lalu ketika ketinggian air laut meningkat, tetapi pulau ini memperoleh banyak bagian fauna yang hampir sama dengan Semenanjung Malaysia, termasuk harimau. Telah beribu-ribu tahun lamanya Sumatera terpisahkan dengan Harimau Benua Asia (Seidensticker 1986).

Dibandingkan dengan waktu silam, saat ini jumlah Harimau Sumatera yang hidup secara liar sudah jauh lebih sedikit. Pada awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda sering melaporkan harimau sebagai pengganggu, yang seringkali dengan berani mendatangi pemukiman penduduk di perkebunan (Treep 1973, diacu dalam Shepherd & Magnus 2004). Borner (1978) memperkirakan ada 1000 Harimau Sumatera; sepuluh tahun kemudian, Santiapillai & Ramono (1985) merasa bahwa populasi seharusnya dihitung dalam hitungan ratusan dan bukan ribuan. Tetapi saat ini, Harimau Sumatera tercatat sebagai “criticallyendangered” atau mendekati kepunahan oleh World Conservation Union (Persatuan Konservasi Dunia), yang berarti bahwa spesies ini menghadapi resiko sangat tinggi terhadap kepunahannya di alam (Nowell & Jackson 1996).

(6)

Tabel 1. Perkiraan populasi harimau sumatera di kawasan konservasi pulau oleh harimau dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Harimau jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas daripada harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh daripada harimau betina, yaitu mencapai 33-65 km sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina antara 10-33 km. Angka ini bersifat relatif karena daya jelajah harimau juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, tipe habitat serta ketersediaan kebutuhan hidupnya (Smith 1993).

Teritori merupakan wilayah yang dipertahankan dengan aktif seperti tempat tidur dan tempat bersarang (Delany 1982, diacu dalam Alikodra 2002). Teritori harimau sangat bervariasi tergantung pada kualitas habitat yang

ditempatinya. Harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah teritori yang lebih kecil dibandingkan harimau yang tinggal di wilayah

yang kurang mendukung (Sherpa & Makey 1998).

(7)

Harimau merupakan kucing besar yang memiliki teritori intraseksual, artinya harimau jantan memiliki teritori yang lebih luas dibandingkan dengan harimau betina. Harimau jantan dalam satu habitat utama mampu mencakup beberapa teritori harimau betina sampai rasio 3:1 (teritori 3 harimau betina dalam teritori satu harimau jantan) (Sherpa & Makey 1998). Harimau jantan memiliki luas teritori 50-150 km2 dan harimau betina 15-150 km2 (McDougal 1979). Harimau jantan tiga kali lebih sering mengontrol teritorinya jika dibandingkan harimau betina (Jackson 1990). Wilayah teritori harimau jantan selain tergantung oleh ketersedian mangsanya juga ditentukan oleh keberadaan betina yang dikawininya (Tilson & Jackson 1994, diacu dalam PHPA 1994).

2.3. Habitat Harimau

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002).

Harimau dapat ditemukan di berbagai tipe habitat asal tersedia makanan

berupa satwa mangsa yang cukup, terdapat sumber air yang selalu tersedia, dan adanya cover sebagai pelindung dari sinar matahari. Harimau dapat hidup dengan ketinggian antara 0 – 2000 meter di atas permukaan laut (Borner 1978) dengan habitat favorit berupa hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput (Santiapilai & Ramono 1985).

2.3.1. Pakan

(8)

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3–6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 5-6 kg daging per hari sehingga harimau biasanya tidak langsung menghabiskan mangsanya, hanya sekitar 70% mangsa yang dimakan saat itu juga (Seidensticker

et al. 1999). Sisa makanan biasanya disimpan dengan cara menutupinya dengan daun-daunan dan ranting untuk dimakan kembali serta agar mangsanya tidak tercium dan dimakan oleh satwa pemangsa lainnya (Hutabarat 2005). Besarnya jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anaknya (Mountfort 1973, diacu dalam Hutabarat 2005).

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), pelanduk napu (Tragulus napu), tapir (Tapirus indicus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling (Manis javanica). Harimau kadang-kadang memangsa kijang dan kambing hutan pada kawasan dengan ketingian lebih dari 600 m dpl. Selain itu juga memangsa jenis-jenis reptil seperti kura-kura, ular dan biawak serta berbagai jenis burung,

ikan dan kodok. Hewan peliharaan seperti kambing, domba, sapi dan ayam juga menjadi incaran harimau (Griffith 1997; McDougal 1979; Seidensticker 1986; Lekagul & McNeely 1977). Akan tetapi komposisi jenis pakan terbesar yang dimangsa harimau adalah mamalia khususnya hewan ungulata (Kitchener 1991). Harimau dapat bergerak mengunjungi setiap bagian teritorialnya setiap 10 hari sambil mengikuti hewan mangsanya yang secara terus-menerus bergerak aktif ketika harimau aktif bergerak mengejar mangsanya tersebut (Jackson 1990).

2.3.2. Air

(9)

sinar matahari. pada cuaca panas ia lebih suka beristirahat dekat sumber air, bahkan bila cuaca sangat panas ia berendam di air sampai batas leher. Harimau memang sering dijumpai sedang duduk berendam atau berdiri sebagai cara untuk menyejukkan badan (McDougal 1979). Harimau cenderung membawa mangsanya ke dekat sumber air dan memakannya di sana karena saat makan hariamau berhenti beberapa saat untuk minum dan kembali melanjutkan makannya (Grzimek 1975).

2.3.3. Tutupan Lahan

Harimau merupakan satwa yang tidak tahan dengan panasnya sengatan matahari dan umumnya mencari tempat yang teduh untuk beristirahat (Lekagul & McNeely 1977). Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan menyerang mangsanya secara tiba-tiba (MacDonald 1986 diacu dalam Hutabarat 2005). Hutan sekunder yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara selektif merupakan habitat yang optimal untuk satwa mangsa harimau karena ketersediaan tumbuhan pakan dan memiliki kerapatan cover yang tinggi (Borner 1992).

2.4. Translokasi Harimau

(10)

2.5. Adaptasi

Adaptasi adalah perubahan struktur, fisik atau perilaku organisme dalam menyikapi seleksi alam (Booth & Biro 2008). Satwa akan beradaptasi melalui perilaku dalam menyikapi fluktuasi alam dengan mengubah teritorialitas, perilaku reproduksi, akitivitas makan, dan penggunaan habitat. Harimau sebagai satwa yang memonopoli sumberdaya dalam teritori, akan mengubah teritorialitas ketika dihadapkan dengan habitat yang berbeda.

(11)

3.1. Sejarah dan Status Kawasan

Hutan Blangraweu adalah bagian dari Kawasan Ekosistem Ulu Masen

yang terletak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kawasan ini merupakan bagian Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di bagian barat Pulau Sumatera. Pegunungan Bukit Barisan yang terdapat di Aceh dibentuk oleh dua kawasan yang berhubungan langsung tetapi berbeda, yaitu kawasan Ekosistem Ulu Masen di bagian utara dan kawasan Ekosistem Leuser di bagian selatan hingga Provinsi Sumatera Utara.

Tidak seperti kawasan Ekosistem Leuser yang diberi status sebagai Taman Nasional Gunung Leuser, kawasan Ekosistem Ulu Masen belum memiliki status kuat, yaitu hanya berupa hutan lindung di bawah pengawasan Gubernur Aceh melalui SK NO.19/1999 tentang penunjukan Kawasan hutan Aceh.

Penamaan kawasan Ekosistem Ulu Masen diambil dari nama gunung Ulu Masen yang terletak di Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Ulu Masen dianggap mampu mewakili satu kawasan ekosistem hutan di bagian utara Provinsi Aceh. Nama Ulu Masen sendiri diambil dan diputuskan oleh komunitas yang diwakili oleh Imam Mukim Kabupaten Aceh Jaya, yaitu sebuah kesepakatan yang dilakukan pada pertemuan mukim pada tahun 2003 di Meulaboh dan Banda

Aceh.

3.2. Letak dan Luas

(12)

No Kabupaten/Kota Luas Kawasan

(ha) (%)

1 Aceh Barat 113,01 15

2 Aceh Jaya 266,57 36

3 Aceh Besar 94,99 13

4 Pidie dan Pidie Jaya 264,28 36

Total 738,85 100

3.3. Kondisi Fisik Kawasan 3.3.1. Topografi

Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada di kawasan pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah, yaitu di daerah barat dan timur kawasan. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, gunung-gunung, kubah-kubah, dataran tinggi, plato, celah, lembah, jurang, lereng, dataran rendah, pantai, kompleks, dan aliran sungai dengan berbagai bentukan dan sistem pola sungai dengan cabang-cabangnya.

3.3.2. Tanah

Pegunungan Bukit Barisan meliputi beberapa formasi geologi yang berbeda. Perbedaan karakteristik menentukan perbedaan pada lapisan tanah, hidrologi, tumbuhan dan produktivitas biologis. Kawasan berkapur, termasuk formasi kars, pada umumnya berpori, mengalirkan sedikit air permukaan dan mempunyai produktivitas relatif rendah. Intrusi granodiorites yang parah, seperti yang terjadi di dalam batas air Krueng Sabe dari daerah Aceh Jaya, memiliki porositas rendah, lapisan tanah tipis dan memiliki produktivitas relatif rendah.

Terdapat tiga jenis tanah mendominir kawasan ini, yaitu kompleks podsolik

(13)

podsolik coklat, podsolik dan litosol, serta kompleks resina dan litosol.

3.3.3. Iklim

Iklim Aceh dideskripsikan sebagai tropis dengan kelembaban yang tinggi (80-90%) dan variasi kecil pada temperatur harian (25-27 °C) sepanjang musim. Rataan temperatur tahunan bervariasi pada ketinggian yang berbeda, mulai dari 26°C pada 0 mdpl dan turun sekitar 0,52°C untuk setiap penambahan ketinggian 100 m. Sementara dataran rendah yang panas dan lembab memiliki rataan suhu tanah tahunan di atas 22°C, dan puncak gunung mempunyai rataan antara 0-8°C (3000m ke atas). Kecepatan angin secara umum rendah, berkisar antara 1,5 – 2,5 m/detik. Daerah Aceh dapat digolongkan ke dalam 11 tipe curah hujan, berdasar pada angka rataan jangka panjang dari bulan basah dan bulan kering.

Curah hujan tahunan rata-rata di Aceh bervariasi, hal ini disebabkan oleh hubungan timbal balik yang kompleks antara topografi dan hujan. Daerah dengan curah hujan paling tinggi terletak di sepanjang pantai barat dan daratan sepanjang

pegunungan Barisan, yaitu sebesar 3000 mm hingga 5000 mm per tahun. Kebalikannya, curah hujan tahunan rata-rata di beberapa daerah sepanjang pantai utara dan pantai timur hanya berkisar antara 1000 mm hingga 1500 mm, yaitu

pada lembah pegunungan antara Takengon dan Owaq di Aceh Tengah. Pada sistem klasifikasi ini, pantai barat Aceh kaki bukit, dan Bukit Barisan timur termasuk dalam golongan sangat basah tipe A dan Af (>9 bulan basah dan <2 bulan kering). Sementara daerah paling kering terletak di lembah Kreung Aceh dan pantai timur laut Aceh, yaitu tipe E2 (<3 bulan basah dan 2-3 bulan kering).

3.4. Kondisi Biologi 3.4.1. Flora

Kawasan ekosistem Ulu masen ditumbuhi berbagi jenis flora mulai dari tanaman bernilai ekonomi tinggi sampai semak belukar. Berbagai jenis tanaman yang dapat di jumpai di ekosistem Ulu masen antara lain lain meranti, keruing,

(14)

domesticum), mangga (Mangifera foetida dan M. quadrifolia), rukem (Flacaourtia rukam), dan rambutan (Nephelium lappaceum).

Selain jenis tersebut juga dapat ditemukan rotan (merupakan plasma nutfah penting bagi kawasan ini), palm daun sang (Johannesteijsmania altifrons) yang merupakan jenis yang hanya terdapat di daerah Langkat, tanaman obat-obatan (kemenyan dan kayu manis), beberapa jenis bunga raflesia (Rafflesia cropylosa, R. atjehensis, R. hasseltii), dan Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter, serta berbagai tumbuhan pencekik (ara).

3.4.2. Fauna

Ekosistem Ulu Masen memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi. Berbagai jenis satwaliar yang dapat dijumpai diantaranya mamalia. Burung dan reptile. Jenis mamalia yang dapat dijumapai diantaranya lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), kedih (Presbytis thomasi), siamang

(Symphalangus sindactylus), linsang (Prionodon linsang), kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Catopuma temmincki), pulusan (Arctonyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae),

(15)

PETA LOKASI PENELITIAN HARIMAU TRANSLOKASI

IV.

METODE PENELITIAN

4.1. Waktu dan Tempat

Penelitian tentang adaptasi harimau sumatra hasil translokasi dilakukan di Hutan Blangraweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Secara administratif lokasi penelitian berada pada Kecamtan Mane dan Geumpang, Kabupaten Pidie serta Kecamatan Meureudue, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada Desember 2009 sampai Mei 2010. Tipe hutan yang terdapat pada lokasi penelitian adalah hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.

4.2. Peralatan yang Digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah perangkap kamera tipe Reconyx dan DLC, baterai Alkaline, Silica gel, kamera digital Nikon D40, Global Positioning System (GPS), kompas, peta kerja, pengukur waktu (jam), meteran,

(16)

4.3. Objek yang Diamati

Pengamatan dilakukan pada harimau sumatera yang ditranslokasikan ke Hutan Blangraweu. Harimau ini berjenis kelamin betina dan berumur 2 tahun. Setelah terjadi konflik berupa sering memasuki pemukiman dan memangsa hewan ternak, harimau ini ditangkap tanggal 3 Desember 2008 di Jantho. Setelah 18 hari dikarantina dan dinyatakan kondisi fisiknya baik oleh pemeriksaan dokter hewan, harimau ini ditranslokasikan ke Hutan Blangraweu yang berjarak sekitar 70 km dari Jantho (Priatna 2012).

4.4. Jenis Data yang Dikumpulkan

Pengamatan difokuskan pada ruang yang dipakai oleh harimau hasil translokasi. Adapun jenis data yang dikumpulkan meliputi penggunaan ruang harimau translokasi, keberadaan harimau residen serta habitatnya. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi data spasial berupa Citra Landsat ETM (Enhanced Thematic Mapper) 7 tahun 2000, Peta Rupa Bumi Propinsi Aceh skala 1: 50.000 tahun 1977, Peta

SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Selain data tersebut dikumpulkan juga data berupa keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau residen dan satwa mangsa, serta habitat harimau yang meliputi cover, air dan gangguan.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi harimau sumatera dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, gangguan yang terjadi dan potensial terjadi, interaksi antara harimau sumatera dengan masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar Kawasan Ekosistem Ulu Masen.

(17)

4.5. Metode Pengumpulan Data 4.5.1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan meliputi :

a. Diskusi mengenai lokasi penelitian, kegiatan ini bertujuan untuk mencari informasi dengan pengelola dan masyarakat untuk penentuan sampel plot lokasi penelitian secara akurat dan juga kesesuaian dengan kondisi lapang dengan peta lokasi.

b. Kajian pustaka, kegiatan ini bertujuan mendapatkan literatur – literatur dan mendapatkan informasi tentang harimau sumatera dan juga data sekunder yang berkaitan dengan harimau sumatera.

4.5.2. Pengumpulan Data Spasial

Data spasial yang dikumpulkan meliputi:

a. Titik-titik lokasi harimau translokasi. Titik-titik tersebut didapatkan dari data GPS Collar yang dipasang pada harimau translokasi. Data GPS Collar tersebut diperoleh dari FFI Aceh Programme dan telah diolah

menjadi data titik harian.

b. Mengumpulkan peta-peta di lokasi penelitian untuk diolah lebih lanjut. Peta-peta diperoleh dari FFI Aceh Programme, internet, dan sumber

lainnya.

4.5.3. Perangkap Kamera (Camera Trap)

(18)

Pemasangan perangkap kamera dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan titik secara acak pada grid yang telah dibagi sesuai dengan peta kerja berdasarkan penelitian island-wide occupancy survey of tiger yang diinisiasi oleh Departemen Kehutanan dengan LSM. Grid cell seluas 17×17 km atau setara dengan 289 km2 dibagi menjadi 30 grid kecil dengan pembagian 6 sejajar garis bujur dan 5 sejajar garis lintang atau setiap grid kecil berukuran 2,83 x 3,4 km. Pemasangan kamera dilkukan dengan asumsi titik dimanapun dalam setiap grid kecil mewakili keseluruhan kawasan pada grid tersebut.

4.5.4. Survey Lapangan Cepat (Rapid Survey)

Survey keberadaan harimau dan mangsanya dengan menggunkan metode ini dilakukan pada semua jalur pemasangan perangkap kamera. Metode yang digunakan untuk menandakan titik-titik keberadaan harimau sumatera dan mangsanya adalah dengan melakukan pencatatan setiap perjumpaan langsung (direct encounter) maupun perjumpaan tidak langsung (indirect encounter) dari tanda-tanda keberadaan harimau sumatera dan mangsanya pada semua jalur

pemasangan perangkap kamera yang dilakukan. Jenis keberadaan harimau yang dicatat adalah perjumpaan langsung, jejak kaki, cakaran, kotoran, sisa makanan serta jejak lainya yang dapat menunjukan keberadaan harimau sedangkan

keberadaan mangsa harimau yang dilakukan pencatatan berupa perjumpaan langsung, kotoran, pusat-pusat kegiatan mangsa yang dapat menunjukan keberadaan mangsa harimau sumatera.

4.6. Analisis Data 4.6.1. Analisis foto

(19)

waktu. Setelah kumpulan referensi ini dibuat maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al. 1999).

4.6.2. Tingkat Perjumpaan Harimau dan Satwa Mangsa (ER)

Tingkat perjumpaan (ER/Encounter Rate) harimau dan mangsanya (jumlah foto/100 hari) diperoleh dengan melakukan perhitungan total jumlah foto yang berhasil diidentifikasi dibagi dengan total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi seratus digunakan untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan dalam keseluruhan periode pemasangan perangkap kamera (O’Brien et al. 2003). ER harimau dan mangsanya dihitung dengan menggunakan persamaan:

100 .

d f ER

Dalam hal ini ER = Encounter Rate, f = jumlah total foto harimau/mangsa, dan

d = jumlah total hari operasi kamera.

4.6.3. Daerah Jelajah Harimau Translokasi

Titik-titik lokasi harimau hasil translokasi digabungkan dalam satu peta, kemudian titik-titik terluar digabungkan menggunakan kaidah Minimum Convex Polygon (MCP) 100% yang dikembangkan oleh Mohr (1947). Analisis dilakukan

menggunakan ekstensi Hawth’s Tools yang dioperasikan melalui ArcGIS 9.3. Hasil luasan area dari poligon yang terbentuk merupakan luasan daerah jelajah

(20)

5.1. Hasil

5.1.1. Pergerakan Harimau Translokasi Berdasarkan GPS Collar

Berdasarkan data GPS Collar yang dipakai, pergerakan harimau translokasi dapat dilihat pada Gambar 2. Dimulai dari titik awal (tanda segitiga kuning) yaitu daerah padang rumput dataran tinggi, dan berakhir di daerah dekat pemukiman penduduk (tanda segitiga hijau) yang berjarak sekitar 24 km dari titik pelepasliaran.

Gambar 2. Peta pergerakan harian harimau translokasi

Harimau translokasi bertahan hidup selama 213 hari, tetapi jarak tempuh yang tercatat adalah 191 hari, yaitu dilepasliarkan pada Desember 2008 dan berakhir pada bulan Juni 2009. Data GPS Collar selama bulan Juli mengalami gangguan hingga harimau translokasi mati pada pertengahan bulan. Pergerakan harimau translokasi disajikan dalam Tabel 3.

Titik pelepasliaran harimau Titik ditemukan mati

Koordinat harian harimau translokasi Jalur pergerakan harimau Sungai

(21)

Tabel 3. Rekapitulasi data pergerakan harimau hasil translokasi

Berdasarkan Tabel 3 didapatkan informasi dan data bahwa pergerakan harimau bervariasi. Total jarak yang ditempuh oleh harimau ini selama 191 hari adalah 350,7 km. Setiap harinya, harimau ini mampu berpindah antara 0 hingga

6,89 kilometer. Rataan pergerakan yang didapat adalah 1,84±1,41 km/hari.

Pola pergerakan harimau translokasi didapatkan melalui rataan pergerakan tiap bulan. Pada awal pergerakannya, harimau translokasi cenderung melakukan pergerakan yang cukup jauh, mencapai 3,16 km/hari. Hal ini menunjukkan bahwa harimau translokasi melakukan eksplorasi di daerah barunya. Kemudian menurun pada bulan selanjutnya menjadi 1,68 km/hari dan mencapai titik terendahnya pada bulan Maret dengan 1,47 km/hari ketika harimau translokasi mendapatkan daerah jelajah di Selatan. Namun demikian pergerakannya kembali naik pada bulan April hingga Juni ketika harimau translokasi berpindah ke Utara.

Gambar 3. Grafik pola pergerakan harimau 0

Desember Januari Februari Maret April Mei Juni

(22)

Pola pergerakan tersebut menjadi penanda bahwa harimau translokasi ini tidak serta-merta mendapatkan wilayah jelajah. Dibutuhkan waktu sekitar 4 bulan untuk menemukan daerah jelajah yang sesuai dengan harimau tersebut. Sankar et al. (2010) menemukan hal yang sama dalam penelitiannya di Sariska, India. Bahasan selanjutnya, pergerakan harimau dipisah menjadi dua bagian untuk membedakan pergerakan pada awal dilepasliarkan dengan pergerakan setelah berpindah ke Utara.

5.1.1.1. Awal pergerakan harimau translokasi

Pada awalnya, harimau yang ditranslokasi mencari daerah yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Setelah dilakukan analisis, didapatkan peta dari pencarian daerah jelajah harimau hasil translokasi seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta pergerakan awal harimau translokasi

Sejak dilepaskan pada bulan Desember, hanya dalam waktu 10 hari harimau ini telah menjelajahi wilayah sejauh 31,63 km atau mencapai 3,16

(23)

PETA PERGERAKAN HARIMAU TRANSLOKASI

DI UTARA pada Maret. Hal ini menunjukkan bahwa harimau telah mendapatkan daerah jelajah sementara. Pada peta (Gambar 4) terlihat garis pergerakan yang sempat berulang sebanyak dua kali. Titik-titik pergerakan mengumpul yang mengindikasikan bahwa harimau sedang tidak banyak bergerak di suatu tempat dalam waktu yang lama, biasanya terjadi ketika harimau mendapatkan mangsa. Kondisi ini bertahan hingga bulan Maret dan kemudian harimau ini berpindah ke daerah Utara sejauh 23 km.

5.1.1.2. Berpindah ke Utara

Harimau translokasi kemudian berpindah ke Utara sejauh 23 km (Gambar 5). Bermula pada bulan Maret, harimau translokasi terus bergerak dan berulang hingga berakhir pada bulan Juni. Data pergerakan menunjukkan rataan pergerakan yang cukup stabil, dimulai pada 1,82 km/hari pada bulan April, 1,94 km/hari pada Mei, dan 2,17 km/hari pada Juni.

Gambar 5. Peta pergerakan harimau translokasi di Utara

(24)

Koordinat harimau translokasi PETA PENGGUNAAN

RUANG TOTAL HARIMAU TRANSLOKASI

beberapa kali terjadi pengulangan jalur. Jika dibandingkan dengan daerah Selatan, sempitnya daerah jelajah menunjukkan bahwa habitat di daerah Utara lebih bagus daripada daerah Selatan. Namun jarak tempuh yang semakin jauh kemungkinan menunjukkan kesulitan menemukan mangsa. Daerah ini kemungkinan lebih bebas dari persaingan dibandingkan dengan daerah Selatan, tetapi kelimpahan satwa mangsa harimau lebih kecil.

5.1.2. Penggunaan Ruang

5.1.2.1. Penggunaan Ruang Total oleh Harimau Translokasi

Penggunaan ruang total perlu diketahui untuk menentukan ukuran sebenarnya yang dipakai oleh harimau sumatera hasil translokasi sejak dilepasliarkan. Besar tidaknya ukuran ruang total tergantung adaptasi harimau terhadap habitat barunya. Untuk mengetahui cakupan daerah total yang dijelajahi oleh harimau translokasi, dibuat peta dari hasil interpolasi titik-titik keberadaan harimau ini. Berikut adalah peta MCP (Minimum Convex Polygon) total dari harimau translokasi.

(25)

0 200 400 600

Des-Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Penambahan Penggunaan Ruang

Luas (km2) Dengan menggunakan metode MCP 100% seperti yang terlihat pada gambar 6, ternyata luas total area yang digunakan oleh harimau translokasi adalah sebesar 540,60 km2. Detail penggunaan ruang tiap bulan dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 7. Penggunaan ruang total tiap bulan

Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa penggunaan ruang terbesar pada periode Desember hingga Januari, atau awal pelepasliaran harimau translokasi. Pada masa ini, harimau sedang berusaha untuk mencari daerah jelajahnya sehingga ia akan mengeksplorasi areal seluas mungkin. Maret hingga April adalah masa transisi harimau, yaitu ketika melakukan perpindahan ke Utara. Proporsi luasan di bulan Maret adalah terbesar kedua, hal ini terjadi karena pada waktu inilah harimau mulai melakukan perpindahannya dan memulai

pergerakannya di Utara pada bulan April.

Gambar 8. Grafik penambahan penggunaan ruang total harimau translokasi 183,48

94,04

150,74 82,79

101,86

79,62

Luas penggunaan ruang tiap bulan (km

2

)

Des-Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

(26)

Ukuran total ruang yang dipakai setiap bulannya bertambah, dari awalnya hanya seluas 183,48 km2 terus bertambah hingga pada bulan April menjadi seluas 540,6 km2. Gambar 8 menunjukkan grafik penambahan penggunaan ruang oleh harimau translokasi.

Setiap hari harimau translokasi memanfaatkan daerah yang berbeda, tergantung pada kebutuhan harimau translokasi saat itu. Rataan luasan MCP bulanan dihitung untuk mengetahui luasan daerah harian yang digunakan tiap bulan.

Gambar 9. Grafik rataan luas wilayah jelajah harian tiap bulan

Berdasarkan Gambar 9, didapatkan informasi bahwa dua angka besar pada rataan bulanan, yaitu 4,48 km2/hari pada bulan Desember-Januari dan 4,86 km2/hari pada bulan Maret. Sesuai dengan pergerakannya, dua bulan ini adalah bulan pencarian daerah jelajah. Bulan Februari bernilai rendah sebab harimau telah menemukan daerah jelajah di Selatan. Sedangkan pada bulan Maret kembali menjadi besar sebab harimau sedang berpindah ke Utara. Terbukti pada

bulan-bulan setelahnya, nilai rataan luas harian kembali rendah.

5.1.2.2. Daerah Jelajah Harimau Translokasi

Berdasarkan pola penggunaan ruang total oleh harimau translokasi, ditemukan bahwa harimau translokasi telah melakukan dua kali pencarian daerah jelajah. Hal ini dapat terlihat dari pergerakan memutar di suatu areal yang dilakukan oleh harimau translokasi. Besaran luas areal yang dipakai oleh harimau

(27)

PETA DAERAH JELAJAH HARIMAU TRANSLOKASI

translokasi berbeda di kedua daerah. Perbandingan kedua daerah jelajah sementara harimau translokasi dapat dilihat pada peta (Gambar 10).

Daerah jelajah harimau translokasi di daerah Selatan berukuran 225,54 km2. Angka tersebut adalah hasil dari eksplorasi yang dilakukan oleh harimau translokasi pada bulan awal dilepasliarkan. Setelah berpindah ke Utara, besaran daerah jelajah mengecil menjadi sebesar 153,50 km2. Menurut Sherpa & Makey (1998), harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah teritori yang lebih kecil dibandingkan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung. Kemungkinan daerah Utara memiliki kondisi habitat yang lebih baik dibanding daerah Selatan, dalam artian di Utara tidak terjadi kompetisi yang ketat dengan harimau residen seperti di Selatan.

Gambar 10. Peta Daerah Jelajah Harimau Translokasi

5.1.3. Faktor Habitat Penentu Pergerakan Harimau Translokasi 5.1.3.1.Harimau Residen

Harimau residen adalah harimau yang telah mendiami daerah yang

(28)

kamera menangkap 5 individu di 4 kamera berbeda. Satu dari kelima individu harimau yang terekam berjenis kelamin jantan, sedangkan 4 lagi betina. Rekapitulasi harimau tertangkap perangkap kamera disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Individu harimau sumatera tertangkap kamera

Individu Jenis kelamin Perkiraan umur Lokasi temuan

Agam Jantan dewasa RC 02

Ineung 1 Betina dewasa RC 02

Ineung 2 Betina dewasa RC 07

Ineung 3 Betina dewasa RC 03

Ineung 4 Betina dewasa RC 11

Identifikasi individu harimau berdasarkan loreng pada bagian tubuhnya yang berfungsi seperti sidik jari pada manusia. Dalam keseluruhan kamera tidak ditemukan harimau yang melewati satu kamera sebanyak dua kali. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa tingkat perjumpaan harimau (ER) adalah sebesar 0.93 foto/100 hari.

Gambar 11. Harimau residen tertangkap kamera a. Ineung 4, dan b. Agam

Kemudian temuan berdasarkan metode survei cepat, terdapat cukup banyak temuan tanda-tanda keberadaan harimau di lapangan. Tanda-tanda keberadaan harimau dapat dengan mudah dibedakan dari jenis lain. Tapak kaki dan kotoran umumnya digunakan untuk mengidentifikasi individu harimau. Kemudian perilaku khusus harimau seperti cakaran di tanah (scrape) dan di pohon (scratch) juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi jenis harimau. Tanda-tanda seperti ini penting sebab harimau adalah satwa yang sangat sensitif dan pemalu sehingga jarang sekali ditemukan secara langsung. Bahkan dalam penelitian ini tidak ditemukan harimau dengan perjumpaan langsung sama sekali melalui metode survei, hanya beberapa kali terdengar suara auman harimau. Tanda-tanda keberadaan harimau residen direkapitulasi dalam Tabel 5.

(29)

a b

c d

Gambar 12. Temuan tidak langsung harimau residen a. tapak kaki, b. tulang sisa mangsa, c. feses, dan d. cakaran (scratch).

Secara keseluruhan terdapat 5 jenis jejak yang menunjukkan keberadaan harimau. Jejak berupa tapak kaki ditemukan paling banyak dan sebesar 59 buah ditemukan pada jalur pemasangan kamera, sedangkan 2 buah ditemukan di pinggir sungai. Sebanyak 18 dari 22 buah kotoran ditemukan masih utuh sedangkan 4 buah lagi sudah cukup lama dan mulai rusak. Kemudian cakaran yang ditemukan terdiri dari 4 buah cakaran di tanah (scrape), 2 buah cakaran di pohon (scratch), dan 4 buah cakaran bekas tempat duduk harimau. Cover sejumlah 2 buah ditemukan dalam bentuk cerukan batu yang biasa digunakan harimau untuk tidur dan berlindung.

Tabel 5. Temuan tanda-tanda keberadaan harimau residen

No Tanda keberadaan Jumlah tanda

1 Tapak kaki 61 buah

2 Kotoran 22 buah

3 Cakaran 10 buah

4 Cover 2 buah

(30)

Seluruh data penemuan tersebut, baik melalui kamera perangkap maupun jejak dicatat menggunakan GPS. Setelah direkapitulasi, dihasilkan peta sebaran harimau residen seperti pada gambar 13. Terlihat bahwa sebagian besar titik temuan harimau lokal berada di sepanjang jalur utama. Jalur ini pun digunakan oleh harimau translokasi ketika meninggalkan titik pelepasliaran.

Savana merupakan lokasi ditemukannya empat dari lima harimau residen. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini disukai oleh harimau. Namun harimau translokasi terlihat tidak memotong daerah savana dan memilih untuk menghindari daerah tersebut.

5.1.3.2.Pakan Harimau

Berdasarkan foto-foto hasil perangkap kamera yang berhasil diidentifikasi serta penemuan pada survei cepat, diketahui terdapat 32 spesies satwa liar dari 20 suku yang berpotensi menjadi satwa mangsa harimau. Penemuan pada survei cepat meliputi perjumpaan langsung maupun temuan berupa jejak satwa. Perjumpaan langsung banyak dijumpai untuk jenis yang berada di pohon seperti siamang, kedih, dan julang. Sebagian besar jenis satwa pakan mudah dijumpai

(31)

secara langsung di daerah padang rumput. Rusa dan gajah bisa terlihat dengan mudah dari jauh karena tidak tertutup oleh pohon.

Temuan jejak banyak dijumpai di jalur pemasangan perangkap kamera. Rusa dan kijang biasanya meninggalkan jejak berupa jejak kaki, kotoran dan bekas rumput yang dimakan. Satwa karnivora seperti beruang atau kucing emas meninggalkan jejak berupa cakaran di pohon.

Jenis pakan utama seperti rusa dan kijang sering dijumpai secara langsung. Babi jarang dijumpai di hutan tetapi banyak dijumpai di daerah pinggiran ladang. Selain itu, di kawasan hutan Blangraweu juga dijumpai pendukung habitat satwa pakan berupa kubangan dan salt lick. Satwa pakan khususnya jenis ungulata seperti rusa sambar dan gajah membutuhkan garam mineral yang bisa didapatkan di tempat tersebut.

Tabel 6. Tingkat perjumpaan satwa pakan potensial harimau berdasarkan perangkap kamera

Suku Nama Jenis Nama Ilmiah ER

Cercopithecidae Beruk Macaca nemestrina 6,17

Cervidae Rusa sambar Cervus unicolor 11,26

Cervidae Kijang Muntiacus muntjak 13,58

Felidae Kucing hutan Felis bengalensis 0,31

Felidae Kucing emas Catopuma teminkii 0,93

Hystricidae Landak Hystric brachyura 2,47

Mephitidae Sigung Mydaus javanensis 0,15

Suidae Babi jenggot Sus barbatus 1,70

Tragulidae Napu Tragulus napu 1,08

Viverridae Binturong Arctictis binturong 0,46

Viverridae Linsang Prionodon linsang 0,62

Viverridae Musang Diplogale derbianus 1,08

Khusus jenis satwa pakan yang didapat dari perangkap kamera bisa

(32)

Gambar 14. Satwa pakan potensial harimau. a. babi jenggot (Sus barbatus), b. beruk (Macaca nemestrina), c. rusa sambar (Cervus unicolor), dan d. kijang (Muntiacus muntjak).

5.1.3.3.Tutupan Lahan

Berdasarkan tutupan lahannya, terdapat enam jenis cover yang menyusun wilayah jelajah harimau translokasi, yaitu hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, ladang, sawah, badan air dan lahan terbuka. Bagi harimau, tidak ada kebutuhan khusus untuk jenis pohon atau hutan tertentu sebagai habitatnya. Harimau hanya membutuhkan tutupan lahan yang bagus ketika berteduh karena

harimau tidak tahan panas menyengat (Lekagul & McNeely 1977). Berdasarkan hal tersebut, tutupan lahan di hutan Blangraweu dibedakan menjadi tiga macam,

yaitu kawasan berhutan, ladang dan padang rumput.

Harimau dilepasliarkan di daerah padang rumput, kemudian mengeksplorasi daerah berhutan di sekitar lokasi pelepasliaran. Setelah berpindah ke Utara, harimau tinggal di kawasan berhutan yang berbatasan langsung dengan ladang. Ladang adalah daerah yang cukup rawan bagi harimau meskipun daerah ini potensial untuk didatangi babi hutan. Masyarakat banyak memasang jerat babi dengan kabel sling sehingga jika harimau terkena jerat maka tidak akan bisa

a b

(33)

a

b c

melepaskan diri. Untuk itu pada Tabel 7 dibandingkan jarak harimau translokasi dengan ladang.

Gambar 15. Tipe tutupan lahan lokasi penelitian. a. padang rumput dataran tinggi, b. perbatasan hutan dan ladang, dan c. kawasan berhutan.

Tabel 7. Jarak titik lokasi harimau translokasi dengan ladang

Jarak dari ladang (km)

Total Selatan Utara

N NR (%) N NR (%) N NR (%)

<0 30 15,63 7 7,45 23 23,47

0-0,5 23 11,98 3 3,19 20 20,41

0,5-1 18 9,38 1 1,06 17 17,35

1-1,5 13 6,77 0 0,00 13 13,27

1,5-2 3 1,56 1 1,06 2 2,04

>2 105 54,69 82 87,23 23 23,47

(34)

! Pada awal pelepasliaran, harimau translokasi menghabiskan waktunya di daerah berhutan yang jauh dari ladang. Sebanyak 87,23% titik harimau translokasi ditemukan di daerah tersebut. Hanya sebesar 7,45% titik yang berada di daerah ladang di Selatan yang berupa daerah kosong bekas pemukiman. Namun, sejumlah 23,47% titik lokasi harimau translokasi ternyata berada di daerah ladang sehingga dimungkinkan harimau menggantungkan hidupnya di daerah perbatasan.

Gambar 16. Peta keberadaan harimau translokasi berdasarkan tutupan lahan

5.1.3.4.Keberadaan Air

(35)

a

b

c

Harimau translokasi selalu berjalan di jalur yang tidak jauh dari sungai. Tercatat 55% titik lokasi terletak pada jarak kurang dari 1 km. Hanya 8% harimau berada sejauh lebih dari 3 km dari sungai. Akan tetapi selain sungai besar yang terpetakan, masih banyak terdapat sungai kecil serta kubangan yang bisa memenuhi kebutuhan harimau translokasi ketika jauh dari sungai besar.

Gambar 17. Tipe sumber air di lokasi penelitian a. sungai kecil, b. kubangan, dan c. sungai besar.

Tabel 8. Jarak titik lokasi harimau translokasi dengan sungai besar

Jarak sungai Jumlah titik (N) N Relatif (%)

<1 km 106 55,21

1-2 km 45 23,44

2-3 km 26 13,54

>3 km 15 7,81

(36)

a b

c

PETA KEBERADAAN HARIMAU TRANSLOKASI BERDASARKAN

SUNGAI BESAR

Gambar 18. Peta keberadaan harimau translokasi berdasarkan sungai besar: a. Sungai Pantairaja, b. Sungai Meureudu, dan c. Sungai Tangse

5.1.3.5. Potensi Gangguan

Kondisi hutan di daerah pelepasliaran harimau tampak masih memiliki pohon-pohon berdiameter besar serta berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai secara langsung. Namun bukan tanpa gangguan, kawasan hutan Blangraweu secara turun temurun telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan. Bentuk pemanfaatan berupa pengambilan hasil hutan kayu maupun non kayu, perburuan satwa liar, serta alih fungsi hutan menjadi ladang atau

pemukiman. Tabel 9 menunjukkan potensi gangguan tersebut. Tabel 9. Potensi gangguan pada kawasan penelitian.

Kriteria Daerah Selatan Daerah Utara

Perburuan harimau √ √√

Perburuan pakan √√√ √√√

Penebangan liar √√ √√

Perambahan √ √√√

Kebakaran √√ √

Pencari hasil hutan non kayu √√√ √√

Keterangan : √ : potensi gangguan rendah

√√ : potensi gangguan sedang

(37)

Pemanfaatan tersebut rupanya berpotensi menimbulkan gangguan bagi habitat harimau. Harimau dan manusia hidup berdampingan, dan ketika manusia memanfaatkan secara berlebihan maka habitat harimau akan timpang dan mempengaruhi kemampuan hidup harimau di habitat tersebut. Jika manusia mengambil satwa mangsa harimau secara berlebihan, harimau tidak akan mampu memenuhi kebutuhan makannya. Selain itu, gangguan berupa penebangan liar dan pemanenan hasil hutan non kayu secara berlebihan akan mengganggu habitat harimau serta mempengaruhi kehidupan satwa mangsa harimau.

Aktivitas manusia di daerah Selatan ternyata cukup intens. Daerah ini, juga di banyak tempat di hutan-hutan Aceh, merupakan lahan bagi masyarakat daerah sekitar untuk mencari ikan, rotan, gaharu, serta hasil hutan non kayu lainnya. Meskipun daerah ini berjarak sekitar dua hari perjalanan dari desa Geumpang, daerah ini masih kaya akan hasil bumi sehingga masyarakat cukup sering melintasi daerah ini. Perburuan terhadap mangsa harimau juga masih ada, tetapi hanya sebatas konsumsi lokal saja. Harimau tidak terlalu terganggu dengan aktivitas manusia di daerah Selatan.

Gambar 19. Potensi gangguan habitat di lokasi penelitian. a. pencari hasil hutan non kayu, b. penebangan liar, c. pemburu rusa tertangkap kamera, dan d. penemuan perangkap rusa oleh ranger.

a b

(38)

Namun di Utara, masyarakat lebih ekspansif dalam memanfaatkan lahan. Daerah Utara dekat dengan Kecamatan Meureudu yang memiliki akses yang jauh lebih bagus dari daerah Selatan sebab dilintasi jalan provinsi. Masyarakat di daerah ini mengembangkan lahannya hingga masuk jauh mendekati kawasan ekosistem Ulu Masen. Harimau hasil translokasi mati di daerah ini karena terjebak di jerat yang dipasang di perbatasan ladang untuk menghalau babi. Masyarakat di daerah Utara belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya harimau sehingga tidak memperhatikan cara yang digunakan untuk melindungi ladangnya. Jerat yang dipasang berupa jerat kabel sehingga jika harimau terjebak tidak akan bias melepaskan diri. Salah satu jerat ini mengenai harimau translokasi, akan tetapi alih-alih dilaporkan kepada pihak yang berwajib, harimau translokasi dibunuh dan kulitnya dijual. Hal ini membuktikan bahwa masih ada perburuan harimau di daerah Utara.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Pergerakan Harimau Hasil Translokasi

Jarang sekali ditemukan harimau yang memiliki pergerakan harian rendah mengingat harimau adalah salah satu mamalia besar yang biasanya bergerak aktif dengan jangkauan yang cukup jauh. Smith (1993) menyatakan bahwa harimau

betina mampu menjelajah sejauh 10-33 km. Sedangkan untuk pergerakan harian, Sunquist (1981) menemukan bahwa harimau betina di Nepal bergerak hingga 2,2 km/hari. Angka ini relatif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tahan tubuh, tipe habitat serta ketersediaan kebutuhan hidupnya. Harimau hasil translokasi yang diamati hanya bergerak paling jauh 6,89 km dalam sehari dengan rataan pergerakan harian 1,84 km/hari. Mengingat kondisi harimau yang baru dilepasliarkan setelah mendapat kepastian tubuh yang fit maka yang menjadi kemungkinan terbesar penyebab rendahnya angka pergerakan ini adalah ketersediaan kebutuhan hidup yang melimpah.

(39)

pergerakan ini cenderung menurun untuk bulan-bulan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika dilepasliarkan, harimau ini langsung berusaha untuk memperoleh wilayah jelajah dan teritori dengan mengeksplorasi kemungkinan ruang yang tersedia dalam habitat baru tersebut. Hal ini diperkuat dengan penurunan angka pergerakan pada bulan berikutnya, yaitu antara Januari hingga Maret yang memiliki rataan pergerakan harian yang hanya senilai 1,47 hingga 1,68 km/hari. Jarak tempuh terjauh pun hanya 5,81 km pada bulan Maret. Ini menunjukkan bahwa harimau ini telah mendapat area yang mampu mendukung kebutuhan hidupnya sehingga harimau ini tidak perlu bersusahpayah lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun tiba-tiba pada bulan Maret, harimau translokasi berpindah sejauh 23 km ke Utara. Ia kemudian membentuk daerah jelajah baru di sana. Pergerakannya pun berbeda, tiap bulannya angka pergerakannya bertambah, dari 1,82 km/hari pada bulan April, 1,94 km/hari bulan Mei, hingga 2,17 km/hari di bulan Juni. Secara angka memang terlihat lebih besar dibanding di Selatan, tetapi arah pergerakannya ternyata bolak-balik sehingga terlihat membentuk daerah

jelajah yang lebih solid.

5.2.1.1. Awal Pergerakan Harimau Translokasi

Harimau translokasi tidak serta merta mendapatkan daerah untuk dikuasai selepas ditranslokasi. Ia harus berjuang untuk mendapatkan daerah jelajahnya dengan mengeksplorasi daerah yang cukup aman dari harimau lain untuk mendapatkan sumberdayanya. Hal inilah yang menyebabkan harimau translokasi ini bergerak cukup jauh pada bulan-bulan awal pelepasannya.

(40)

Pada beberapa lokasi ditemukan titik-titik koordinat harimau yang terlihat mengumpul, ini menunjukkan bahwa harimau sedang tidak banyak bergerak di suatu tempat dalam waktu yang lama, hal ini biasa terjadi ketika harimau sedang mendapatkan mangsa yang cukup untuk beberapa hari.

5.2.1.2. Berpindah ke Utara

Harimau berpindah dari Selatan ke Utara untuk mendapatkan daerah yang aman untuk mendapatkan sumberdayanya karena ternyata terdapat lima ekor harimau yang memiliki daerah jelajah di sekitar savana. Pada awal perpindahannya, harimau translokasi tidak menghabiskan banyak waktunya untuk mengeksplorasi daerah Utara ini. Rataan pergerakan harian setelah ia berpindah hanya sebesar 1,82 km/hari.

Kisaran rataan harian bulanan harimau tidak jauh berbeda, antara 1,47 km/hari hingga 2,88 km/hari dengan rataan total untuk pergerakan harian adalah 1,83 km/hari. Lebih rendah dari temuan Sunquist (1981) di Nepal yaitu 2,2 km/hari dan sedikit lebih tinggi dari temuan Barlow (2009) di Bangladesh sebesar

1,72 km/hari. Sebagai perbandingan, disajikan data dari pergerakan harimau di beberapa lokasi (tabel 10.)

Tabel 10. Perbandingan pergerakan harimau di beberapa lokasi

Jenis Kelamin dan Kelas Umur

Rataan (km/hari)

SD Lokasi Sumber

Jantan Dewasa 13,69 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Jantan Dewasa 10,84 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 7,23 Rimbang Baling, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 4,32 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Jantan Dewasa 2,8 0,3 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 2,2 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 2,2 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981)

Betina Dewasa 1,84 1,41 Sumatera, Indonesia Riset ini

Jantan Remaja 1,8 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Remaja 1,8 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 1,72 1,69 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 1,65 1,4 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 1,4 0,2 Chitawan, Nepal Sunquist (1981)

(41)

sampel yang diambil, yaitu hanya sekitar 3 sampai 4 titik sehingga hasilnya bisa dikatakan kurang akurat.

Sayang sekali jarang dilakukan penelitian mengenai pergerakan harimau sumatera. Jika dibandingkan secara morfologis, tubuh harimau benggala lebih besar dari harimau sumatera. Beberapa daerah di India pun memiliki empat musim sehingga ada kemungkinan bulan-bulan tertentu seperti pada musim dingin akan menyulitkan harimau untuk menemukan mangsanya. Perbedaan ini bisa menyebabkan perbedaan pergerakan yang dilakukan oleh kedua jenis harimau tersebut.

5.2.2. Penggunaan Ruang

5.2.2.1. Penggunaan Ruang Total oleh Harimau Translokasi

Luasan ruang total yang digunakan oleh harimau translokasi adalah sebesar 540,60 km2. Luasan ini dihitung menggunakan metode MCP 100%. Ukuran ini sangat luas untuk seekor harimau betina. Waktu yang digunakan untuk mencapai luasan ini adalah sekitar 4 bulan, yaitu ketika harimau translokasi ini

telah mendapatkan daerah jelajah di daerah Utara.

Bulan pertama adalah bulan terberat bagi harimau translokasi. Tercatat selama 41 hari setelah pelepasan, ia telah menempuh daerah seluas 183,48 km2.

Bulan selanjutnya menurun hingga separuhnya, yaitu hanya sebesar 94,04 km2 dan melesat lagi hingga 150,74 km2 pada bulan Maret. Pada bulan-bulan inilah harimau translokasi mengeksplorasi daerah Selatan hingga akhirnya berpindah ke Utara. Setelah di Utara, luas daerah yang dipakai tiap bulannya tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 82,79 km2 pada April, 101,86 km2 pada Mei, dan 79,62 km2 pada Juni.

(42)

ketika masih di Selatan, dan 2,76 km2/hari pada April, 3,29 km2/hari pada Mei, dan 2,65 km2/hari pada bulan Juni ketika berada di Utara.

5.2.2.2. Daerah Jelajah Harimau Translokasi

Analisis lebih lanjut dari pola penggunaan ruang total didapatkan bahwa harimau telah berusaha mendapatkan daerah jelajahnya sebanyak dua kali, yaitu di Selatan dan di Utara. Ketika di Selatan, harimau translokasi menempati daerah jelajah semenentara hingga sebesar 225,54 km2. Daerah seluas ini dicapai dalam waktu hanya 3 bulan. Besarnya daerah jelajah sementara di Selatan ini disebabkan harimau translokasi sedang melakukan eksplorasi daerah barunya. Terlihat pada peta di Gambar 4 harimau hanya berputar di daerah jelajah Selatan ini sebanyak tiga kali.

Harimau translokasi kemudian berpindah ke Utara. Mulai bulan Maret, ia menempati dan mengitari daerah jelajahnya tersebut sehingga terbentuk daerah jelajah yang cukup solid. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas daerah jelajah harimau translokasi ini seluas 153,491 km2. Daerah jelajah ini cukup luas untuk

harimau sumatera betina, jauh di atas temuan Hutajulu (2007) seluas 15,76 km2 dan temuan Franklin et al. (1999) seluas 49 km2. Sebagai perbandingan, disajikan data daerah jelajah harimau di beberapa lokasi dalam Tabel 11. Dalam tabel ini

daerah jelajah di Selatan tidak diukur sebab harimau tidak pernah kembali ke daerah tersebut sehingga dianggap harimau telah meninggalkan daerah itu dan membentuk daerah jelajah baru. Sunquist (1981) menyatakan bahwa pergerakan satwa di luar daerah jelajahnya dianggap sebagai daerah eksplorasi sehingga tidak dianggap sebagai daerah jelajah.

Tabel 11. Daerah jelajah harimau di beberapa lokasi.

Jenis Kelamin dan

Betina Dewasa 153,49 Aceh, Indonesia Riset ini

(43)

Jenis Kelamin dan Kelas Umur

Luas daerah jelajah (km2)

Lokasi Sumber

Jantan Dewasa 43,50 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Jantan Dewasa 34,80 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Betina Dewasa 27,00 Panna, India Chundawat et al. (1999) Jantan Dewasa 26,60 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007)

Betina Dewasa 18,10 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Betina Dewasa 16,20 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009)

Betina Dewasa 15,76 Kerumutan, Indonesia Hutajulu (2007) Jantan Dewasa 12,48 Rimbang Baling, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 12,20 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 7,18 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007)

Luas daerah jelajah harimau translokasi mencapai tiga kali lipat lebih besar dari luasan daerah jelajah harimau betina di Way Kambas yang diteliti oleh Franklin et al. (1999). Penelitian tersebut menggunakan kamera perangkap untuk mengukur daerah jelajahnya sehingga Franklin (2002) menyatakan bahwa ada kemungkinan harimau yang ia teliti bergerak ke daerah yang tidak teramati oleh kamera perangkap. Sebagian besar harimau yang menjadi obyek penelitian pada Tabel 11 adalah harimau yang memang menempati habitat tersebut, kemudian ditangkap dan ditandai dengan radio-telemetri atau GPS collar. Namun berbeda dengan penelitian Sankar et al. (2010) yang menggunakan harimau translokasi, ukuran daerah jelajah menjadi sangat besar. Sankar et al. (2010) menyatakan bahwa besarnya luasan daerah jelajah yang dipakai adalah eksplorasi habitat baru

setelah dilakukan translokasi.

Ada beberapa kemungkinan yang memungkinkan besarnya ukuran daerah

(44)

5.2.3. Faktor Habitat Penentu Pergerakan Harimau Hasil Translokasi 5.2.3.1. Harimau Residen

Harimau residen adalah faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan harimau hasil translokasi. Harimau adalah satwa soliter sehingga memiliki kecenderungan untuk menghindari pertemuan dengan harimau lain kecuali saat musim kawin. Begitu juga dengan harimau hasil translokasi ini, dari awal pelepasan di Selatan padang rumput Blangraweu, terlihat bahwa harimau langsung berpindah ke Selatan dan berputar mengelilingi padang rumput tersebut.

Dari hasil perangkap kamera yang dipasang, diketahui bahwa populasi harimau sumatera di daerah ini diperkirakan mencapai 3.11±2.45 ekor/100 km2 (Fata 2011) dengan tingkat perjumpaan relatif yang berkumpul di sekitar padang rumput. Banyaknya jumlah harimau yang ditemukan secara tidak langsung mengindikasikan kelimpahan pakan yang padat di padang rumput. Hal ini sependapat dengan Siswomartono et al. (1994) yang menyatakan bahwa habitat yang optimal untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan

padang rumput. Lokasi seperti ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau sumatera karena tingginya kepadatan mangsa harimau.

Harimau translokasi ini berjenis kelamin betina, dan umurnya masih cukup

(45)

Karena padatnya harimau di daerah tersebut serta harimau translokasi kalah bersaing maka harimau translokasi pun berpindah. Perilaku harimau yang soliter menjadikannya memiliki naluri untuk membentuk daerah jelajahnya masing-masing. Hal ini memaksa harimau translokasi berpindah dari Selatan ke Utara. Daerah padang rumput yang dianggap optimal untuk harimau justru dihindari oleh harimau translokasi ini. Ia justru bergerak melingkari padang rumput dan hanya sekali memotong padang rumput yang terletak di sebelah Utara. Terlihat jelas bahwa harimau translokasi cenderung untuk menghindari daerah yang telah penuh oleh harimau residen dan akhirnya bergerak meninggalkan daerah tersebut ke arah Utara.

5.2.3.2. Pakan Harimau

Pakan merupakan faktor penting dalam pergerakan harimau. Harimau bergerak mengikuti mangsa dan akan memangsanya dalam jarak yang cukup dekat (Grzimek 1975). Seidensticker et al. (1999) menyatakan bahwa setiap harinya harimau membutuhkan sekitar 5-6 kg daging dan berburu hingga 3-6 hari

sekali, tergantung ukuran mangsanya.

Blangraweu sendiri memiliki kelimpahan pakan yang cukup tinggi. Hasil perangkap kamera menunjukkan bahwa pakan harimau yang paling banyak

ditemukan adalah dari suku Cervidae yang beranggotakan rusa dan kijang. Kepadatan untuk kedua mangsa tersebut mencapai 75 ekor/km2 untuk kijang dan 59 ekor/km2 untuk rusa (Fata 2011). Dengan kepadatan mangsa seperti ini, mudah bagi harimau untuk menemukan mangsanya. Harimau tidak perlu bergerak jauh untuk menemukan mangsa. Hal ini terbukti dengan pendeknya jarak tempuh harian harimau translokasi yang hanya sebesar 1,84 km/hari. Berbeda dengan hasil penelitian Hutajulu (2007) yang menunjukkan angka pergerakan sebesar 7,23 km/hari untuk betina dewasa dengan kondisi satwa mangsa yang relatif sedikit, dalam artian tumpang tindih harimau dengan mangsa didominasi oleh beruk dan tidak ditemukan rusa sambar.

(46)

teritori yang lebih kecil dibandingkan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung. Harimau translokasi justru menunjukkan tanda-tanda yang sebaliknya. Baik di Utara maupun di Selatan, daerah jelajah harimau translokasi terlalu luas untuk daerah dengan kelimpahan mangsa tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa harimau translokasi masih belum mendapatkan daerah jelajah yang stabil. Kemungkinan yang menyebabkan ketidakstabilan ini adalah ada persaingan dalam memperebutkan ruang antara harimau translokasi dengan harimau residen.

5.2.3.3.Tutupan Lahan

Kawasan Hutan Blangraweu dibedakan menjadi tiga jenis tutupan lahan, yaitu kawasan berhutan, padang rumput, serta kawasan nonhutan berupa ladang dan pemukiman. Pada dasarnya, harimau tidak terlalu tergantung pada tutupan lahan tertentu, tetapi satwa mangsa harimau sangat terkait erat dengan faktor habitat ini. Sedangkan harimau hanya membutuhkan tutupan lahan yang bagus untuk melindungi dirinya dari panas matahari yang menyengat. McDougal (1979)

menyatakan bahwa suhu badan yang terlalu panas dapat membunuh harimau. Maka dari itu harimau menyukai tempat yang rimbun untuk berlindung.

Tutupan lahan di daerah Selatan sebagian besar adalah hutan primer serta

hutan sekunder dan ladang kecil bekas pemukiman transmigran yang sudah tidak dipakai serta padang rumput seluas 9000 ha. Tutupan lahan seperti ini sangat sesuai dengan kebutuhan harimau translokasi. Keberadan padang rumput dikuatkan oleh pernyataan Siswomartono et al. (1994) yang menyebutkan bahwa habitat yang optimal untuk harimau adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Akan tetapi, harimau translokasi menempati daerah ini hanya hingga bulan April.

(47)

5.2.3.4. Keberadaan Air

Sungai merupakan sumber air utama bagi harimau serta satwa mangsanya. Dalam memenuhi kebutuhannya, umumnya pada daerah jelajah individu harimau akan terdapat satu atau beberapa sungai. Bagi harimau, sungai sangat krusial karena selain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, harimau juga membutuhkan air untuk mendinginkan tubuhnya.

Terdapat satu sungai besar yang menjadi muara bagi banyak anak sungai di sekitar Blangraweu yaitu sungai Meureudu. Daerah Blangraweu yang berkontur rapat serta berbukit-bukit membentuk banyak lipatan dan menjadi banyak sungai. Daerah seperti ini sangat cocok untuk menjadi habitat harimau. Selain sungai, keberadaan kubangan juga sangat membantu harimau ketika berjalan cukup jauh dari sungai, terutama ketika musim penghujan.

Meskipun terdesak oleh harimau residen, harimau translokasi tidak ada masalah sama sekali dalam memenuhi kebutuhan airnya. Harimau translokasi menghabiskan sebagian besar perjalanannya tidak jauh dari sungai. Tercatat 55% titik berjarak kurang dari 1 km dari sungai. Hanya 8% titik yang berjarak lebih

dari 3 km. Sebagian besar perjalanannya melewati banyak sungai dan kadang menyeberang sungai besar.

5.2.3.5. Potensi Gangguan

Secara umum keseluruhan kawasan hutan Blangraweu di daerah Selatan memiliki kondisi hutan yang relatif baik. Sedangkan pada daerah Utara, keberadaan ladang yang jauh hingga mendekati daerah padang rumput cukup berpotensi mengganggu habitat hutan Blangraweu. Ancaman tersebut dikategorikan sebagai berikut.

a. Perburuan harimau

(48)

dengan dinas kehutanan propinsi Aceh. Hasil wawancara dengan masyarakat juga menunjukkan bahwa masyarakat telah sadar bahwa harimau penting untuk mengontrol babi agar tidak masuk ke lading. Namun demikian menurut cerita dari ranger perburuan masih terjadi meskipun secara sembunyi-sembunyi. Kemudian di daerah Utara sendiri belum ada penanganan sehingga masyarakat kemungkinan masih memburu harimau. Penjualan kulit harimau hasil translokasi yang mati di daerah ini juga menunjukkan bahwa masih terjadi transaksi untuk tubuh harimau.

b. Perburuan satwa mangsa harimau

Perburuan satwa mangsa harimau pada kawasan ini umumnya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan daging masyarakat sekitar kawasan karena tidak adanya pasokan daging konsumsi baik sapi atau kambing bagi masyarakat sekitar kawasan. Maka dari itu, satwa yang umum ditangkap adalah rusa dan kijang. Perburuan rusa dan kijang dilakukan secara tradisional menggunakan jerat tali atau dalam bahasa lokal disebut taren.

Keberadaan perburuan rusa dan kijang diketahui melalui banyak jerat (taren) terpasang yang ditinggalkan pemburu disepanjang jalur pemasangan perangkap kamera terutama pada hutan-hutan yang dekat dengan pemukiman dan memiliki akses yang realtif mudah. Selain itu juga sempat terjadi perjumpaan langsung dengan 3 orang pemburu rusa yang sedang membawa rusa hasil buruannya. Perangkap kamera juga beberapa kali menangkap pemburu yang sedang pulang membawa hasil buruannya.

c. Penebangan liar

(49)

d. Perambahan/Pembukaan lahan

Perambahan hutan sering terjadi pada kawasan yang dekat dengan pemukiman. Kawasan hutan yang dirambah ada dua tipe yaitu hutan yang dirambah untuk pertama kalinya serta hutan yang dahulunya pernah dirambah untuk perladangan dan sempat ditinggalkan. Perambahan yang dilakukan pada kawasan yang pernah menjadi lahan pertanian dibuka kembali oleh masyarakat umumnya berada pada kawasan ynag tidak jauh dari pemukiman dan secara kasat mata telah terlihat seperti hutan kembali namun masih dijumpai adanya tanaman pertanian didalamnya seperti cabe dan pisang. Lahan yang dirambah masyarakat umumnya dialihfungsikan menjadi ladang kopi, coklat dan sawah. Kopi dan coklat merupakan komuditas pertanian andalan masyarakat kecamatan Mane dan Geumpang.

e. Kebakaran hutan

Kebakaran hutan yang pernah terjadi adalah pada kawasan padang rumput Blangraweu. Menurut informasi pemandu, padang rumput tersebut sengaja dibakar untuk memudahkan para pemburu memburu rusa saat padang rumput mulai pulih karena rumput yang hijau dan segar setelah terbakar sangat disukai rusa sambar. Selain merusak vegetasi padang rumput, kebakaran juga menyebabkan kawasan bekas terbakar menjadi rentan terhadap bahaya longsor. Pengaruh tingginya bahaya longsor akibat kebakaran terlihat saat terjadi hujan deras dimana pada kawasan bekas terbakar banyak dijumpai longsoran sedangkan pada kawasan padang rumput yang tidak terbakar hampir tidak ditemukan adanya kawasan yang longsor.

f. Pencari hasil hutan non kayu

Hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan adalah rotan, jernang, kayu cendana dan gaharu (kayu alin). Pencari cendana dan gaharu merupakan aktivitas pemanfaatan hasil hutan non kayu yang cukup mengganggu kawasan. Gangguan terbesar yang mereka akibatkan adalah kerusakan hutan pada saat mereka bermalam untuk istirahat. Pada saat bermalam mereka akan melakukan

Gambar

Gambar 13. Peta tanda keberadaan harimau residen
Gambar 14. Satwa pakan  potensial harimau. a. babi jenggot (Sus barbatus),
Tabel 7. Jarak titik lokasi harimau translokasi dengan ladang
Gambar 16. Peta keberadaan harimau translokasi berdasarkan tutupan lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah

Faktor-faktor yang menyebabkan pakan alami Harimau sumatera tidak dapat diberikan di penangkaran adalah palatabilitas pakan harimau yaitu keinginan dan kesukaan harimau

[r]

[r]

Terdapat perbedaan antara perilaku dan ciri fisik antara harimau dengan koefisien inbreeding yang berbeda, dan beberapa kondisi abnormal pada obyek harimau yang diamati,

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera, membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas

Lokasi penelitian yang berada pada radius 15 km dari padang rumput menunjukan bahwa padang rumput tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi mangsa harimau sumatera hal ini

Penelitian tentang Kelimpahan Harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae Pocock, 1929) di Suaka Alam Malampah Sumatera Barat, telah dilaksanakan dari bulan November