• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT

HARIMAU SUMATERA

DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN,

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI

HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929)

DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN,

SUMATERA BARAT

RHAMA BUDHIANA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

DAN POPULASI

Pocock, 1929)

DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN,

(2)

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI

HARIMAU SUMATERA (

DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN,

Sebagai salah satu syarat

Di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

KONSERVASI SUMBER

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI

HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929)

DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN,

SUMATERA BARAT

RHAMA BUDHIANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan Di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI

, Pocock 1929)

DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN,

memperoleh gelar sarjana kehutanan

(3)

Judul Skripsi : Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan batang Hari, Solok Selatan, Sumatera Barat

Nama Mahasiswa : Rhama Budhiana

NIM : E34104078

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F NIP. 195811111987031003

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 196111261986011001

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Wali Achmad dan Ibu Djumsih. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di SD Negeri 01 Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pada tahun 1998 melanjutkan ke SLTP Negeri 223 Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Kemudian, penulis melanjutkan ke SLTA Negeri 104 Jakarta dan pada tahun 2004 penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Uni Konservasi Fauna (UKF) pada tahun 2005 sampai sekarang, serta menjadi kepala departemen kemasyarakatan pada periode kepengurusan 2005-2006 dan kepala departemen eksternal pada periode kepengurusan 2006-2007. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Cimais. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur pada tahun 2008. Penulis juga pernah menjabat sebagai koordinator volunteer di Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) pada tahun 2006.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ” Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan Batan Hari, Solok Selatan, Sumatera Barat” dibawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya. Alhamdulillah atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul “Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan Batan Hari, Solok Selatan, sumatera Barat” dibawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F.

Informasi mengenai karakteristik habitat harimau dan penyebaran populasi harimau di luar kawasan konservasi perlu mendapatkan perhatian lebih. Skripsi ini membahas mengenai karakteristik habitat dan populasi dari harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari, Solok Selatan, Sumatera Barat. Dengan selesainya penulisan karya ilmiah ini, diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Terima kasih Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Perkembangan Pelestarian Harimau di Indonesia ... 3

2.2 Populasi dan Distribusi ... 5

2.3 Habitat ... 7

2.4 Satwa Mangsa ... 8

2.5 Wilayah Jelajah dan Teritory ... 8

2.6 Perilaku ... 9

2.6.1 Perilaku Berburu ... 9

2.6.2 Perilaku Reproduksi ... 10

2.7 Perangkap Kamera (Camera trap) ... 11

2.8 Program Capture ... 12

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 13

3.1 Status Kawasan ... 13

3.2 Kondisi Fisik Kawasan ... 13

3.2.1 Topografi ... 13

3.2.2 Iklim ... 14

3.2.3 Hidrologi ... 14

3.3 Kondisi Biologis Kawasan ... 14

3.3.1 Flora ... 14

3.3.2 Fauna ... 15

IV. METODE PENELITIAN ... 16

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

4.2 Peralatan Studi ... 16

4.3 Jenis Data ... 17

4.3.1 Data Primer ... 17

4.3.2 Data Sekunder ... 17

4.4 Teknik Pengambilan Data ... 17

4.4.1 Metode captured-mark-recaptured ... 17

4.4.2 Metode Garis Berpetak ... 18

4.5 Analisis Data ... 19

4.5.1 Analisis Foto untuk Individu Harimau ... 19

4.5.2 Kepadatan Absolut Harimau ... 20

(7)

4.5.4 Analisis Vegetasi ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

5.1 Hasil ... 23

5.1.1 Kondisi Habitat Harimau ... 23

5.1.1.1 Satwa Mangsa ... 26

5.1.1.2 Cover ... 28

5.1.1.3 Air ... 30

5.1.2 Karakteristik Habitat Harimau Sumatera ... 31

5.1.2.1 Cover ... 31

5.1.2.2 Satwa Mangsa ... 33

5.1.3 Populasi Harimau Sumatera ... 38

5.1.3.1 Kepadatan ... 38

5.1.3.2 Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) ... 39

5.1.3.3 Struktur Umur ... 39

5.1.4 Wilayah Jelajah ... 40

5.1.5 Perilaku Harimau ... 42

5.1.5.1 Pola Aktifitas Harian ... 42

5.1.5.2 Mengasuh Anak ... 42

5.1.6 Gangguan Habitat Harimau ... 43

5.2 Pembahasan ... 46

5.2.1 Kondisi Habitat Harimau ... 46

5.2.1.1 Satwa Mangsa ... 47

5.2.1.2 Cover. ... 49

5.2.1.3 Air ... 50

5.2.2 Karakteristik Habitat Harimau ... 51

5.2.2.1 Cover ... 51

5.2.2.2 Satwa Mangsa ... 53

5.2.3 Populasi Harimau Sumatera ... 56

5.2.3.1 Kepadatan ... 56

5.2.3.2 Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) ... 58

5.2.3.3 Struktur Umur ... 59

5.2.4 Wilayah Jelajah ... 59

5.2.5 Perilaku Harimau ... 61

5.2.5.1 Pola Aktifitas Harimau ... 61

5.2.5.2 Mengasuh Anak ... 62

5.2.6 Gangguan Habitat Harimau ... 63

5.2.6.1 Perburuan dan Penambanggan Illegal ... 63

5.2.6.2 Perambahan Hutan dan Pembalakan liar ... 64

5.2.7 Implikasi Pengelolaan ... 64

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

6.1 Kesimpulan ... 66

6.2 Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Status Harimau ... 4

Tabel 2. Daerah konservasi utama dan perkiraan luasan habitat harimau sumatera ... 6

Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan ... 23

Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada tipe hutan perbukitan ... 24

Tabel 5. Hasil analisis vegetasi tingkat semai pada tipe hutan perbukitan ... 24

Tabel 6. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon tipe hutan sub pegunungan ... 25

Tabel 7. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang tipe hutan sub pegunungan ... 26

Tabel 8. Hasil analisis vegetasi tingkat semai pada tipe hutan sub pegunungan 26 Tabel 9. Tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau ... 27

Tabel 10. Jenis satwa mangsa potensial pada masing-masing tipe hutan ... 28

Tabel 11. Jenis satwa mangsa potensial yang tertangkap oleh kamera selama penelitian... 35

Tabel 12. Daftar jenis satwa yang tertangkap pada masing-masing lokasi kamera selama penelitian ... 37

Tabel 13. Hasil dari analisa program CAPTURE ... 38

Tabel 14. Penyebaran individu harimau pada masing-masing tipe hutan ... 38

Tabel 15. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing tipe hutan ... 39

Tabel 16. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada masing-masing tipe hutan ... 39

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta lokasi penelitian ... 16

Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi ... 18

Gambar 3. Hamparan kawasan hutan Batang hari ... 25

Gambar 4. Kijang (a) dan Babi jenggot (b) merupakan satwa mangsa harimau yang ada di kawasan hutan batang hari ... 27

Gambar 5. Kancil merupakan salah satu satwa alternatif bagi harimau ... 28

Gambar 6. Lapisan tajuk utama atau strata A pada hutan sub pegunungan ... 29

Gambar 7. Lapisan tajuk pertengahan atau strata B pada hutan perbukitan ... 29

Gambar 8. Karakteristik fisik sungai di lokasi penelitian yang berbatu (a,b dan c), memiliki arus deras (a dan c) dan terbentuk dari substrat tanah berpasir ... 31

Gambar 9. Jalan bekas logging yang sering dijadikan perlintasan oleh harimau ... 32

Gambar 10. Jejak kaki (pugmark) harimau yang ditemukan di jalan bekas logging ... 32

Gambar 11. Kondisi habitat pada tipe hutan sub pegunungan ... 33

Gambar 12. Tempat mengasin (salt lick) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mineral satwa ... 34

Gambar 13. Kambing hutan (a) dan rusa sambar (b) sebagai satwa mangsa utama harimau ... 35

Gambar 14. Beruk (a) dan (b) landak adalah satwa mangsa potensial bagi harimau ... 36

Gambar 15. Damar, individu harimau jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah paling luas ... 40

Gambar 16. Peta penyebaran lokasi kamera dan wilayah jelajah harimau ... 41

Gambar 17. Harimau yang tertangkap kamera sedang melakukan pergerakan pada sore hari dan menjelang pagi ... 42

Gambar 18. Induk harimau sedang bersama dengan kedua anaknya ... 43

Gambar 19. Jerat yang digunakan oleh masyarakat untuk berburu satwaliar di dalam hutan ... 44

Gambar 20. Kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat di pinggir kawasan hutan ... 44 Gambar 21. Bangunan sisa kegiatan logging yang sudah tidak digunakan lagi,

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto individu harimau yang berhasil diidentifikasi

Lampiran 2. Hasil analisa pendugaan kepadatan dan populasi harimau dengan menggunakan software CAPTURE

Lampiran 3. Tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa Lampiran 4. Frekuensi Individu tertangkap kamera

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Harimau merupakan salah satu satwa pemangsa teratas didalam jaring makanan. Dari 8 subspesies harimau (Grzimek, 1975) yang ada didunia, kini hanya tersisa 5 subspesies yang masih bertahan hidup di muka bumi. Indonesia memiliki peranan penting dalam hal pelestarian harimau di dunia karena memiliki 3 subspesies, 2 spesies diantaranya yaitu Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan Harimau Bali (Panthera tigris balica) telah dinyatakan punah. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) kini menjadi satu-satunya kucing besar yang ada di Indonesia, juga sedang menunggu nasib kepunahannya.

Laju deforestasi yang tinggi, perburuan, dan perubahan alih fungsi hutan menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah harimau di alam. Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik dan faktor-faktor lingkungan. Selain itu, angka kelahiran rendah, angka kematian anak cukup tinggi, tingkat ancaman tinggi dan rendahnya populasi mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi jenis di alam (Alikodra 2002).

Sebelum tahun 1990, status, distribusi dan ancaman terhadap populasi harimau sumatera di alam sebagian besar tidak diketahui. Berdasarkan survei wawancara pada akhir tahun 1970-an, populasi harimau sumatera diperkirakan 500-1000 ekor (Borner, 1978). Pada tahun 1985, angka tersebut direvisi menjadi maksimum 800 ekor (Santiapillai & Widodo, 1985). Saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah sekitar 500 ekor. Siswomartono (1994) menyatakan 400 ekor harimau diduga hidup dikawasan-kawasan konservasi, sedangkan 100 ekor lainnya hidup di kawasan yang tidak dilindungi, yang cepat atau lambat areal non konservasi tersebut akan berubah menjadi lahan perkebunan atau pertanian. Angka tersebut perlu terus dimonitor dan dievaluasi agar dapat dijadikan gambaran bagi populasi harimau mengingat banyaknya kasus perburuan dan pengurangan habitat disetiap tahunnya. Saat ini, harimau sumatera dinyatakan terancam punah (Critically Endangered) oleh The International Union for Conservation of Nature and Resources (IUCN) atau satwa langka yang kritis yang merupakan kategori tertinggi dari ancaman kepunahan.

Penyebaran populasi harimau sumatera masih belum sepenuhnya teridentifikasi dengan akurat. Masih banyak kawasan-kawasan hutan yang belum

(12)

dilakukan survei untuk mengidentifikasi status penyebarannya. Kawasan hutan Batang hari merupakan salah satu kawasan hutan yang memiliki populasi harimau. Belum adanya data yang pasti mengenai populasi menjadi kendala utama bagi pengelolaan kawasan ini. Kawasan hutan Batang hari terbagi menjadi 6 bentuk pengelolaan yaitu hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi, area penggunaan lain, dan hutan produksi dapat di konversi.

Pentingnya kegiatan pemantauan dan penelitian mengenai segala hal informasi yang menyangkut Harimau Sumatra akan sangat membantu pembuatan kebijakan pelestarian. Kawasan hutan batang hari memiliki potensi yang besar dalam pelestarian harimau. Kondisi hutan yang masih terjaga membuat keanekaragaman satwa tergolong tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk membantu melengkapi informasi mengenai keberadaan harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

a. Mempelajari karakteristik habitat Harimau Sumatera di kawasan hutan Batang hari

b. Mengetahui populasi Harimau Sumatera di kawasan hutan Batang hari

c. Identifikasi bentuk gangguan habitat harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi harimau sumatera berdasarkan karakteristik habitat dan populasinya. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan kebijakan pengelolaan pelestarian harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari.

(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Pelestarian Harimau di Indonesia

Sumatera adalah pulau terakhir di Indonesia yang memiliki populasi harimau setelah harimau bali dan harimau jawa telah punah di akhir abad 20. Harimau bali terakhir kali tertangkap pada akhir tahun 1930. Taman Nasional Bali Barat yang dibangun pada tahun 1941 di tengah-tengah habitat harimau bali ternyata tidak dapat mencegah kepunahan satwa tersebut. Harimau Bali dinyatakan punah pada tahun 1950an. Penyebab kepunahan tidak lain disebabkan oleh perburuan dan pengurangan areal hutan sebagai habitat harimau dan juga mangsanya (Nowell, 2003).

Penyebaran harimau jawa pernah merata di seluruh pulau, namun pada tahun 1970an habitat mereka hanya berada di ujung timur pulau jawa, tepatnya di Cagar Alam Meru Betiri. Keberadaan harimau jawa terdeteksi terakhir kali pada survey terakhir pada tahun 1976 dan tidak pernah tertangkap lagi setelah itu. Beberapa kali dilakukan kegiatan survey dan hanya mendapatkan hasil yang bias, karena terjadi kesalahan identifikasi tanda-tanda keberadaan macan tutul yang dianggap harimau. Penyebab utama pengurangan harimau jawa adalah hilangnya hutan sebagai habitat dan perburuan, hal ini juga ditandai dengan berkurangnya satwa mangsa bagi harimau jawa. Tidak adanya subspesies ini di penangkaran membuat dunia kehilangan untuk selamanya.

Harimau sumatera (Panthera tigris sumaterae) kini telah masuk kedalam red list IUCN sebagai endangered species. Jumlahnya yang semakin sedikit membuat para ahli berpikir untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada harimau jawa dan bali. Borner (1978) memperkirakan populasi harimau sumatera berada pada angka 1000 ekor, namun 10 tahun kemudian, Santipillai dan Ramono (1985) menyatakan bahwa populasi harimau tidak berada pada angka ribuan melainkan hanya ratusan. Status konservasinya yang semakin meningkat menjadi critically endangered menandakan satwa ini melangkah dengan pasti menuju kepunahannya. Pada konferensi internasional pada tahun 1992 (Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis), menyatakan bahwa kurang dari 400 ekor harimau sumatera yang hidup di alam, sedangkan 100 ekor lainnya hidup di luar area pelestarian kemungkinan tidak akan bertahan lama (Tilson, 1994). Hasil dari konfrensi pada tahun 1992 tersebut membantu pemerintah Indonesia dalam mengambil langkah pelestarian harimau sumatra

(14)

adalah dengan membuat Strategi Konservasi Harimau Sumatra pada tahun 1994. Dengan strategy plan tersebut diharapkan dapat menyaring pihak-pihak yang ingin bekerja sama dengan pihak pemerintah Indonesia dalam pelestarian harimau sumatera.

Tabel 1. Status harimau (Panthera tigris Linnaeus, 1758) pada bulan Mei 1998.

Sub spesies harimau Minimum Maksimum

Harimau Benggala (P. t. tigris Linnaeus, 1758) • Bangladesh

• Bhutan • China • India

• Myanmar, bagian barat • Nepal 3716 362 67 (dewasa) 30 2500 124 93 (dewasa) 4556 362 81 (dewasa) 35 3750 231 97 (dewasa)

Harimau Amur (P t altaica Temminck, 1844) • China • Korea (utara) • Rusia 360 30 < 10 330 (dewasa) 406 35 < 10 371 (dewasa)

Harimau Jawa (P. t javanica Temminck, 1844) Punah 1980

Harimau Amoy (P t amoyensis Hilzheimer, 1905) 20 30

Harimau Bali (P. t balica Schwarz, 1912) Punah 1940

Harimau Sumatera (P. t sumatrae Pocock, 1929) 400 500

Harimau Indochina (P. t corbetti Mazak, 1968) • Kamboja

• China • Laos • Malaysia

• Myanmar (bagian timu) • Thailand • Vietnam 1227 150 30 (650) 491 106 250 200 1785 300 40 510 234 501 200 Total

Total rata – rata (mendekati 500)

5183 5000

7277 7000 Harimau Kaspia ( P. t virgata Illiger, 1815) Afghanistan, Iran, China dan

Turketan, Turki

Punah 1970

Sebelumnya pada tahun 1990 perusahaan industri minyak Exxon mobil mendirikan Save the Tiger Fund dan menggunakan harimau sebagai logonya. Organisasi tersebut mengelola dana pelestarian harimau yang berasal dari seluruh dunia. Kegiatan pelestarian harimau di Indonesia mendapatkan dukungan penuh dari pendonor seluruh dunia sebagai usaha pelestarian harimau sumatera. Informasi terbaru mengenai perkiraan populasi harimau yang berasal

(15)

dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sudah ada, tapi estimasi populasi harimau 400-500 ekor tetap digunakan untuk acuan umum oleh IUCN dan Cat spesialis Group (Seidensticker et al., 1999).

2.2 Populasi dan Distribusi

Penyebaran harimau sumatera hanya terletak di pulau Sumatera. Harimau sumatera tesebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan. Hasil analisa terkini mengenai status harimau sumatera, secara global menetapkan dua belas bentang alam konservasi harimau (Tiger Conservation Landscape) di pulau Sumatera. Dua di antaranya dikategorikan sebagai prioritas global, Kerinci Seblat dan Bukit Tiga Puluh, sedangkan prioritas regional terletak di Kuala Kampar dan Bukit Balai Rejang Selatan (Sanderson et al,, 2006). Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Sebelumnya, harimau sumatera banyak terdapat di Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungan Litur, Batang Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak (Suwelo dan Somantri, 1978),

Pada tahun 1800-1900, jumlah harimau sumatera masih mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978 diperkirakan jumlah harimau sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Menurut perkiraan pada saat ini jumlah yang tersisa adalah 500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan perkebunan (Siswomartono et al, 1994).

Wikramanayake et al. (1998) menganalisis luasan habitat harimau Sumatera pada area yang dilindungi di kawasan dikonservasi. Sistem yang digunakan oleh TCU (Tiger Conservation Unit) telah banyak digunakan oleh praktisi konservasi. Tiga wilayah terbesar yang ada di Sumatera masuk kedalam level 1, yang mempunyai peluang terbaik bagi keberlangsungan yang panjang bagi populasi harimau adalah daerah sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Gunung Leuser, dan Bukit Barisan Selatan. Wikramanayake et al (1998) menyatakan bahwa Sumatera diperkirakan masih mempunyai area seluas 130.000 km2 untuk menjadi habitat harimau sumatera, dan hanya sepertiganya

(16)

atau sekitar 42.000 km2 yang masuk kedalam kawasan bebas pembangunan dan logging.

Tabel 2. Daerah konservasi utama dan perkiraan luasan habitat harimau sumatra (Wikramanayake et al., 1998)

Enam Taman Nasional di Sumatera memberikan proteksi tingkat tinggi bagi harimau sumatera. Namun sayangnya area tersebut telah terisolasi begitu jauh dari bagian habitat yang lainnya oleh kegiatan logging dan konversi hutan menjadi area pertanian dan pembudidayaan masyarakat, sehingga meninggalkan sedikit atau bahkan tidak ada lagi populasi harimau didalamnya dan juga memisahkan aliran genetik diantara populasi tersebut (Tilson, et al., 1994).

Tiger Conservation Unit Total area of unit (km2)

Total protected of area Unit (km2)

Level 1 : Highest probaility of persistence of tiger populations over the long term

Kerinci seblat-Seberida 50,884 16,605

Gunung Leuser-Lingga Isaq 36,530 11,403

Bukit Barisan Selatan-Bukit hitam

6,594 4,784

Level II : Medium probability of persistence of tiger populations over the long term

Kerumutan-Istana Sultan Siak 11,816 1,742

Berbak-Sembilang 6,670 2,196

Siak Kecil-Pdang Lawas 2,235 1,995

Way Kambas 1,300 1,300

Level III : Low probability of persistence of tiger populations over the long term

four small areas were identified 1,309 0

Areas recommended for immediate survey as potential significant tiger habitat

Sibolga-Dolok Surungan 4,685 594

Dangku 3,341 106

Padang Sugihan 2,505 652

Air Sawan 2,444 605

(17)

2.3 Habitat

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.

Sunquist et al (1999) menyatakan bahwa harimau dapat hidup mulai dari daerah hutan dataran rendah, tepi pantai, hutan rawa, hutan savana, daerah hutan perbukitan dan pegunungan hingga hutan primer sepanjang khatulistiwa dan hutan cemara di semenanjung Kamchatka, Rusia. Harimau dapat ditemukan di berbagai tipe habitat asal tersedia makanan berupa satwa mangsa yang cukup, terdapat sumber air yang selalu tersedia dan adanya vegetasi cover sebagai pelindung dari sinar matahari. Tempat yang memungkinkan bagi harimau untuk bertemu dengan lawan jenisnya, kadang-kadang juga berpengaruh terhadap pemilihan habitat oleh harimau (McDougal, 1979).

Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder,padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau sumatera menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992). Sedangkan menurut Siswomartono et al., (1994) habitat yang optimal untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput.

Tidak seperti keluarga kucing yang lain, harimau sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera, seperti halnya jenis-jenis harimau lainnya adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas, akan tetapi satwa ini bersifat neofobi, yaitu kurang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan terutama perubahan panas.

(18)

2.4 Satwa Mangsa

Pengurangan jumlah satwa mangsa merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan populasi harimau, namun faktor ini sering dilupakan oleh para ahli pelestarian. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, pertama efek pengurangan jumlah hewan mangsa nyaris tidak kentara, tidak seperti perburuan harimau dan musnahnya habitat yang dramatis; kedua, penurunan kepadatan hewan mangsa tidak dirasakan karena tidak adanya survey tentang kepadatan hewan mangsa yang dilakukan secara rutin (Karanth, 1998 dan Singh, 1999). Kitchener (1991) juga melaporkan bahwa kajian jenis pakan dari kucing besar di hutan tropis yang telah ada sangat sedikit, bahkan preferensi pakan sangat jarang diketahui khususnya pakan harimau sumatera. Hewan mangsa harimau sumatera belum dikaji secara mendalam. Diduga jenis-jenis hewan mangsa mempengaruhi dinamika dan ekologi harimau sumatra di area yang bersangkutan.

Tidak seperti hewan karnivora lainnya, kelompok kucing besar termasuk harimau tidak dapat menggantikan pakannya dengan pakan berupa tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson, 1990; Kitcener, 1991; Sriyanto, 2003). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), landak (Hystrik brachyura), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), monyet (Macaca sp), dan trenggiling (Manis javanica). Selain itu juga memangsa jenis– jenis reptil seperti kura–kura, ular dan biawak serta berbagai jenis ikan dan burung. Hewan peliharaan seperti kambing, domba, sapi dan ayam juga menjadi incaran harimau. (Heryatin dan Resubun, 1992; McDougal, 1979; Lekagul dan McNeely, 1977).

2.5 Wilayah Jelajah dan Teritori

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa harimau merupakan jenis satwa yang soliter kecuali selama musim kawin atau melahirkan anak. Wilayah jelajah untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60-100 km2. Angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Harimau harus mendapatkan semua komponen habitat di dalam wilayah jelajahnya (Bailey, 1982).

(19)

Harimau meniggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses, untuk menandakan daerah teritorinya. Biasanya daerah teritori jantan lebih besar 3-4 kali lebih luas dibandingkan dengan harimau betina. Ukuran teritori untuk sekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (MacDonald, 1984 ; Treep, 1973 dalam Hutabarat, 2005). Untuk harimau jantan, teritori merupakan hal yang sangat penting dan tidak boleh dibagi dengan harimau lainnya, tetapi kadang-kadang tidak keberatan jika ada satu atau lebih harimau betina di daerah tersebut, terutama pada musim kawin. Harimau betina memiliki toleransi yang lebih tinggi sehubungan dengan teritorinya, baik terhadap harimau jantan maupun sesama harimau betina lainnya (McDougal, 1979).

2.6 Perilaku

2.6.1 Perilaku Berburu

Harimau sering mengintai mangsanya di sekitar sumber air atau di alang-alang yang tinggi. Ia selalu memilih tempat di bawah angin, sehingga angin yang bertiup tidak akan membawa baunya ke penciuman calon mangsa. Harimau mendapatkan mangsanya pada saat berburu dengan cara mengintai dan menunggu dengan sabar pada jarak tertentu untuk menunggu waktu yang tepat (Mountfort, 1973 ; Soeseno, 1977 ; Treep, 1973 dalam hutabarat 2005).

Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan tak-tik perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Namun tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan pengalaman (Sunquist et al., 1999).

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Seekor harimau membutuhkan 5-6 kg

(20)

daging per hari (Seidensticker et al,. 1999). Besarnya jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari apakah harimau tersebut mancari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anaknya.

Bila mangsa merupakan jenis satwa yang berukuran besar, bagian kepala dan kaki tidak dimakan sedangkan bila mangsa berukuran kecil akan dimakan sampai habis. Biasanya mangsa tidak dihabiskan seluruhnya, melainkan hanya sekitar 70 % dimakan. Setelah makan, sisa makanan yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan binatang lain (Mountfort, 1973 ; Soeseno, 1977 ; Treep, 1973 dalam Hutabarat 2005).

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyuran) dan trenggiling (Manis javanica). Selain itu juga memangsa jenis reptil seperti kura-kura, ular dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan dan kodok. Hewan peliharaa seperti kambing, domba, sapi dan ayam juga menjadi incaran harimau (Heryatin dan Resubun, 1992 ; McDougal, 1979).

2.6.2 Perilaku Reproduksi

Masa hidup harimau adalah sekitar 10-15 tahun. Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya dapat mencapai 16-25 tahun. Populasi dapat berkembang dengan pesat pada situasi yang menguntungkan. Masa kehamilannya pendek yaitu sekitar 103 hari. Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua atau tiga ekor anak dan kadang-kadang sampai 4 ekor anak (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Suryana, 2004).

Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urinnya. Bila terdapat dua ekor harimau jantan mengikuti seekor harimau betina yang sedang birahi maka akan terjadi perkelahian antara kedua harimau jantan untuk memperebutkan harimau betina. Perkawinan harimau dapat berlangsung setiap waktu sepanjang tahun. Selama masa birahi harimau betina memperihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara badan dan hanya sedikit beristirahat.

Tingkah laku yang menunjukkan seekor harimau betina dalam masa birahi : sikap tubuh lordosis atau melengkung yaitu suatu sikap yang menunjukkan

(21)

kesiapan untuk kopulasi (telungkup dan bagian belakang tubuhnya diangkat sehingga membentuk lengkungan), berguling-guling pada punggung, menggosok-gosokkan tubuh dan pipi ke benda lain, mengeluarkan suara yang disebut “prusten” yaitu jenis suara yang dihasilkan oleh udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan (McDougal, 1979).

2.7 Peragkap kamera (Camera trap)

Metode yang efisien dan dapat dipercaya bagi kegiatan assessment kekayaan dan kepadatan suatu jenis menjadi sangat penting dalam kegiatan mengetahui keberadaan mamalia mungkin sudah menjadi metode yang kuno saat ini. Beberapa tahun belakangan ini telah ditemukan metode baru yang lebih efisien dalam melakukan kegiatan invetarisasi mamalia yaitu dengan menggunakan perangkap kamera atau kamera trap. Metode ini dinilai sangat efisien dalam kegiatan inventarisasi satwa terutama untuk satwa yang samar, untuk mempelajari populasi dari spesies tersebut karena masing masing individu dapat dibedakan berdasarkan tanda atau pola pada tubuhnya (Karanth, 1995; Carbone, 2001; diacu dalam Silveira, 2003).

Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera trap merupakan suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara lebih efektif dan akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya untuk pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karanth & Nichols, 2002), situasi perubahan satwa karnivora dan herbivora di hutan tropika (Sanderson et al., 2004). Generasi kamera trap dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan keefektifan dalam metode survey dan monitoring untuk sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols, 2002). Teknologi berupa kamera trap telah banyak membantu usaha konservasi satwa liar di dunia termasuk Indonesia. Dengan adanya sistem kamera trap dapat digunakan untuk memantau populasi satwa liar yang terancam punah keberadaannya di alam liar. Penggunaan metode kamera trap untuk memantau populasi karnivora besar pertama kali dilakukan oleh Karanth (1995) di empat taman nasional di India. Di Indonesia, metode ini pertama kali diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara (Griffith, 1994).

Kamera trap bekerja dengan menggunakan sistem infra merah yang dapat mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Setiap satwa yang melintas akan terekam gambarnya oleh kamera.

(22)

Gambar-gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan, bulan, tanggal dan nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan di transformasikan kedalam sofware komputer. Keberadaan set kamera tidak mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas didepan kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan hariannya. Penempatan kamera diusahakan tidak pada celah yang lebar sehingga pada saat harimau melintasi kamera trap akan mengaktifkan secara otomatis dan menangkap gambar individu yang melintas (Karanth & Nichols, 2002).

2.8 Program CAPTURE

Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa sofware komputer yang dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi. Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth dan Nichols (2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera trap tidak mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data capture-recapture populasi tertutup (Closed Population). Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera trap tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut dikategorikan terbuka satu dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al., 1978 dalam Linkie, 2006a). Linkie (2006a) selanjutnya menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen. b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan

melihat pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan kanan harimau terlihat berbeda).

c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling, kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah individu untuk kemungkinan menghindari bias.

(23)

Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model yang cocok untuk untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Linkie, 2006a) yaitu :

a. M

0, yaitu kemungkinan penangkapan seluruh harimau adalah sama dan

tidak terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t), atau heterogenitas individu (h).

b. M

h (Jackknife, Nh), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada

masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon perangkap dan waktu. Hal ini mungkin dikarenakan aksesbilitas trap yang ditentukan oleh status kediaman (penetap atau tidak) dari harimau.

c. M

b (Zippin, Nb) yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan

sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau waktu. Model M

b memperkirakan untuk trap happines atau trap shyness

yaitu satwa tersebut merubah perilakunya setelah tertangkap kamera untuk pertama kalinya. Walaupun trap secara fisik tidak menandai satwa tekanan mungkin karena adanya kilatan atau flash kamera.

d. M

t (Darroch, Nt) yaitu kemungkinan penangkapan adalah sama untuk seluruh

individu harimau, tetapi bervariasi selama survey yang hanya disebabkan faktor waktu spesifik. Misalnya tangkapan sedikit jika cuaca tidak menentu yang selanjutnya akan mengurangi aktivitas satwa seperti selama musim hujan harimau mengurangi ukuran daerah jelajahnya. Seekor harimau saat setelah melahirkan akan mengurangi peningkatan aktivitas berburunya yang biasanya 9 hari menjadi 7 hari, peluang tangkap harimau pada masa tersebut akan semakin kecil karena harimau tersebut akan tetap selalu dekat dengan anaknya.

(24)

III.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Status Kawasan

Kawasan hutan batang hari yang terletak di provinsi Sumatera Barat memiliki luas + 300.000 ha. Secara administratif kawasan hutan batang hari terletak di 4 kabupaten yaitu Solok, Solok selatan, Dhamasraya, dan Sijunjung. Kawasan ini merupakan hasil pemekaran kabupaten berdasarkan penetapan pemerintah provinsi Sumatera Barat. Kawasan hutan Batang hari masuk ke dalam wilayah sebelum terjadi pemekaran kabupaten,Taman Nasional Kerinci Seblat. Saat ini pengelolaan kawasan tersebut diserahkan kepada dinas kehutanan masing-masing kabupaten. Pengelolaan kawasan hutan batang hari terbagi atas 6 fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Suaka Alam dan Wisata, Hutan Produksi dapat di Konversi, dan Areal Penggunaan Lain. Berdasarkan klasifikasi hutannya kawasan hutan batang hari terbagi atas 3 yaitu pegunungan, sub-pegunungan, perbukitan. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati yang ada di kawasan hutan batang hari menjadi salah satu alasan utama perlunya perhatian khusus dalam hal pengelolaan kawasan. Kawasan ini juga menjadi habitat bagi harimau sumatera yang kini semakin terdesak keberadaannya karena fragmentasi habitat. Disamping itu kawasan hutan batang hari juga memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, yaitu sebagai daerah pencipta iklim mikro yang berguna mengatur siklus air bagi desa di sekitar kawasan tersebut, merupakan daerah tangkapan air, juga sebagai sumber air bagi masyarakat. Daerah ini juga merupakan hulu sungai Batang hari, sungai terpanjang di Sumatera.

3.2 Kondisi Fisik Kawasan 3.2.1 Topografi

Kondisi topografi kawasan hutan Batang hari adalah bergelombang, berlereng curam dan tajam dengan ketinggian 300 sampai dengan 1600 meter dpl. Daerah pinggir kawasan hutan batang hari merupakan hutan perbukitan yang disambung dengan rangkaian hutan sub pegunungan hingga ketinggian 1500 mdpl. Kondisi topografi hutan perbukitan yang datar hingga bergelombang terbentuk dari tanah Latosol dan atau gabungan antara Latosol dengan podsolik merah kuning, sedangkan topografi di tipe hutan sub pegunungan didominasi oleh tebing batu yang curam dengan kemiringan hingga 70%.

(25)

3.2.2 Iklim

Sebagai bagian dari iklim pulau Sumatera, kawasan hutan Batang hari memiliki iklim tropis basah dengan curah hujan yang relatif tinggi dan merata. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 2.500 mm. Musim hujan berlangsung dari bulan September - Februari dengan puncak musim hujan pada bulan Desember. Sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan April – Agustus. Suhu udara rata-rata bervariasi yaitu mulai dari 20º C hingga 28º C. Sedangkan kelembaban udara mencapai 80% - 90%.

3.2.3 Hidrologi

Pengelolaan kawasan hutan batang hari yang terdiri atas 6 fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Suaka Alam dan Wisata, Hutan Produksi dapat di Konversi, dan Areal Penggunaan Lain. kesatuan hutan tersebut telah membentuk fungsi hidrologis yang sangat penting bagi daerah di sekitarnya.

Kelompok hutan tersebut memiliki daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Batang Hari, DAS Batarum Gadang dan DAS Gumanti, dan DAS Anduring. DAS tersebut sangat vital peranannya terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bagi hidup dan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tersebut. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berukuran lebar di kawasan ini antara lain Batang hari, Batarum gadang, Gumanti, Anduring, Sungai Batang hari sebagai sungai terpanjang di pulau Sumatra jelas memiliki peran hidrologis yang tinggi sebagai pemasok air bagi daerah sepanjang alirannya.

3.3 Kondisi Biologis Kawasan 3.3.1 Flora

Kawasan hutan Batang hari menyimpan keanekaragamn hayati yang tinggi didalamnya. Hal ini dikarenakan masih banyak spesies-spesies penting sebagai indikator kelestarian alam. Selain itu kondisi hutan primer yang masih dalam kondisi baik membuat ekosistem didalamnya tetap terjaga. Kawasan ini merupakan bagian dari hutan hujan tropis terbesar Sumatera bagian selatan.

Beberapa jenis tumbuhan langka yang dapat ditemukan di dalam kawasan hutan Batang hari adalah bunga Rafflesia (Rafflesia hasselti), bunga bangkai (Amorpophallus titanium), kantung semar (Nephenthes spp), dan jenis anggrek hutan yang dilindungi, sedangkan beberapa jenis pohon dominan yang

(26)

menyusun hutan ini adalah Damar (Aghatis spp), Meranti (Shorea spp), Paning-paning (Quercus spp), Banio (Dipterocarpus borneensis), Keling (Dalbergia latifolia), dan Ulin (Eusideroxylon zwagerii).

3.3.2 Fauna

Fauna yang terdapat di dalam kawasan hutan Batang hari antara lain adalah : babi jenggot (Sus barbatus), kijang (Muntiacus muntjak), harimau (Panthera tigris sumatrae), ajag (Cuon alpinus), macan dahan (Neofelis nebulosa), kucing mas (Catopuma temincki), kucing batu (Felis marmorata), siamang (Sympalangus syndactilus), ungko (Hylobates agilis), simpai (Presbytis melalophos), Beruk (Macaca nemestrina), tapir (Tapirus indicus), kura-kura darat (Tryonix sp.), gagak (Corvus sp.), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), dan lain-lain. Sedangkan beberapa jenis burung yang ada di kawasanbutan batang hari adalah rangkong badak, rangkong vigil, julang mas, serak jawa, kuau sumatera, kuau kerdil sumatera, elang ular, elang tikus.

(27)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

4.2 Peralatan Studi

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah perangkap kamera Photoscout TM (Highlander sport, Inc. Huntsville,Alabama) dan stealth cam, LLC (805 W.N Carrier Parkway, Grand Prairie, Texas) yang dilengkapi sensor pendeteksi panas (infra red), Roll Fuji Film ASA 100 (24 film), baterai Alkaline dan Energizer, Silica gel, kamera digital olympus 10.2 Megapixel, Global Positioning System (GPS), kompas, peta kerja kawasan hutan Batang hari 1 : 50.000, A Guide Tracks Mammals (Van strien, 1983), panduan lapang mamalia (Payne, 2000), alkohol 70 %, pengukur waktu (jam), meteran, worksheet dan alat tulis. Program software Arc View versi 3.3, Arc GIS versi 9.2 dan program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Bahan penelitian ini adalah hutan Batang hari sebagai habitat, harimau dan satwa mangsanya.

(28)

4.3 Jenis Data 4.3.1 Data Primer

Data primer yaitu berupa foto yang diperoleh dari perangkap kamera. Hasil pengukuran analisis vegetasi pada tingkat pohon untuk mengetahui struktur dan komposisi vagetasi pembentuk cover.

4.3.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari berbagai sumber antara lain: buku teks, laporan, makalah dan skripsi. Wawancara dengan masyarakat mengenai kondisi kawasan hutan juga menjadi informasi penting.

4.4 Teknik Pengambilan Data

4.4.1 Metode Capture-Mark-Recaptured

Metode penelitian yang digunakan adalah metode tangkap tandai (capture-mark-recapture) menggunakan perangkap kamera. Data pada kamera mencetak foto dengan waktu dan tanggal kejadian. Kamera dipasang sebanyak 36 unit di 20 titik lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 3 grid atau 3 km pada peta. Kamera trap dipasang pada batang pohon dengan ketinggian rata-rata 40 cm di atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 2 meter (Karanth & Nichols, 2000). Setiap unit di program untuk merekam gambar satwa dengan selang waktu 1 menit dan beroperasi selama 24 jam/hari. Pengecekan kamera dilakukan satu kali dalam periode 2 minggu untuk penggantian film, baterai, silica gel dan sebagainya.

Perangkap kamera ditempatkan di lapangan tidak secara random tetapi berdasarkan probabilitas optimum untuk mendapatkan foto harimau (Karanthet al. 2002; McClurgh et al. 2000; Silver 2004). Lama periode sampling adalah tiga bulan dengan asumsi populasi tertutup yaitu tidak ada perubahan jumlah populasi selama periode sampling. Pembagian waktu periode sampling digunakan sebagai ulangan (occassion) captures (Karanth 1995; Karanth & Nichols 1998; 2000) untuk mengestimasi jumlah populasi suatu jenis pada suatu lokasi dan waktu tertentu. Pembagian waktu periode sampling dibagi per 10 hari kamera aktif.

(29)

4.4.2 Metode Garis Berpetak

Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis penyusun cover dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak contoh disepanjang jalur pengamatan. Pengukuran dilakukan hanya pada tingkat pohon, yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik pohon pembentuk cover hutan. Ukuran petak adalah 20 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi

Keterangan:

A = Petak pengamatan tingkat semai dan herba B = Petak pengamatan tingkat pancang

C = Petak pengamatan tingkat tiang D = Petak pengamatan tingkat pohon

10m 10m A B C D A B C D Lintasan pengamatan 20m 1000m

(30)

4.5 Analisis data

4.5.1 Analisis Foto Untuk Identifikasi Individu Harimau

Harimau diidentifikasi berdasarkan pola loreng (McDougal, 1979; Karanth, 1995; Franklin et al., 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pengembangan database dilakukan untuk memilih foto-foto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al., 1999). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991) dan Arc View 3.3.

Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu:

1. Trap night merupakan lama hari aktual camera trap beroperasi selama 24 jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu lokasi kamera dengan memperhitungkan camera trap yang tidak beroperasi baik karena hilang atau rusak.

2. Trap night effective merupakan lama hari aktual camera trap aktif beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu camera trap yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan.

3. Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu jenis adalah nol (0).

4. Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan memiliki isi 36 frame.

5. Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu (t).

6. Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu camera trap beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.

7. Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada suatu lokasi dan occassion tertentu.

8. Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila

(31)

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto independen ini merujuk pada O’Brien et al. (2003).

4.5.2 Kepadatan Absolut Harimau

Analisis kepadatan absolut (harimau/100km

2

) digunakan dengan mengetahui jumlah individu yang telah diidentifikasi. Selanjutnya data hasil identifikasi foto untuk analisis capture recapture untuk memperkirakan populasi (N-hat). Dengan asumsi tertutup (Closure Test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik dari harimau (Karanth, 2002) melalui Program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Asumsi menggunakan capture-recapture model M

h dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup

secara demografi dengan asumsi tak ada kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi selama survey.

Keterangan :

D : Estimasi kepadatan harimau

N : Jumlah individu yang telah diidentifikasi A (W) : Efektif sampling area

Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols, 1998) yang didapatkan dari ½ Mean Maximum Distance Move (½MMDV) (Karanth & Nichols, 1998, 2000) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda (Linkie, 2005b).

(32)

Keterangan :

w = lebar garis batas

m = Jumlah recapture Individu d = rata-rata jarak individu recapture di = Jarak dari tiap individu recapture ke

4.5.3 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa

Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total

jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi 100 hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (Lynam, 2000).

Keterangan :

ER : Tingkat perjumpaan (Encounter rate) Σf : Jumlah total foto yang diperoleh Σd : Jumlah total hari operasi kamera

(33)

4.4.4 Analisis Vegetasi

Data kondisi vegetasi yaitu hasil analisis vegetasi di tiap tipe hutan. Data hasil inventarisasi selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Dominasi (D), Dominasi Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR) serta Indeks Nilai Penting (INP). Untuk vegetasi tingkat bawah maka indeks nilai penting merupakan penjumlahan antara kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988) : Kerapatan Jenis (K) = Kerapatan Relatif (KR) = Dominasi Jenis (D) = Dominasi Relatif (DR) = Frekuensi Jenis (F) = Frekuensi Relatif (FR) = INP = KR + DR + FR . contoh petak total Luas i -ke jenis individu Jumlah % 100 x jenis seluruh Kerapatan i -ke jenis Kerapatan contoh plot total Luas dasar bidang Luas % 100 x jenis semua Dominasi jenis suatu Dominasi contoh petak seluruh Jumlah i -ke jenis ditemukan petak Jumlah % 100 x jenis seluruh frekuensi Jumlah i -ke jenis kerapatan Frekuensi

(34)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Kondisi Habitat Harimau

Tipe hutan yang masuk kedalam lokasi penelitian terdiri atas dua yaitu hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan. Perbedaan tipe hutan ini dibagi berdasarkan ketinggian pada masing masing lokasi, dimana tipe hutan perbukitan berada pada ketinggian antara 600 – 900 mdpl dan tipe hutan sub pegunungan berada pada ketinggian 900 – 1500 mdpl. Vegetasi dominan yang menyusun habitat pada kedua tipe hutan tersebut adalah famili Dipterocarpaceae (4 jenis), Fabaceae (2 jenis), dan Ebenaceae (2 jenis). Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian adalah jenis Meranti, Borneo, dan Damar.

Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan

No Nama lokal Jumlah F FR (%) K KR (%) INP 1 Meranti 15 1 8.89 375 20.00 62.26 2 Borneo 10 1 8.89 250 13.33 23.11 3 Pening-pening kapur 3 0.75 6.67 75 4.00 11.22 4 Asem-asem 1 0.25 2.22 25 1.33 4.01 5 Medang sungai 3 0.5 4.44 75 4.00 9.57 6 Melangir 2 0.5 4.44 50 2.67 20.88 7 Kalek 2 0.5 4.44 50 2.67 7.90 8 Keling 1 0.25 2.22 25 1.33 4.22 9 Ulin 1 0.25 2.22 25 1.33 20.22 10 Rambutan 1 0.25 2.22 25 1.33 6.84 11 Arang-arang 1 0.25 2.22 25 1.33 4.36 12 Beringin hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 7.39 13 Damar 6 0.5 4.44 150 8.00 13.62 14 Durian hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 8.08 15 Medang kunyit 3 0.5 4.44 75 4.00 9.57 16 Ketapang hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 7.88 Jumlah 55 8 1375

Tipe hutan perbukitan memiliki kondisi topografi sebagian besar bergelombang dan sedikit datar yang memudahkan harimau dalam melakukan pergerakan hariannya. Sungai pada hutan perbukitan memiliki lebar antara 20 – 35 m dan mengalir sepanjang tahun. Sungai pada lokasi penelitian merupakan sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan dan juga satwa yang ada didalam hutan. Sumber air lainnya yaitu cekungan yang terisi oleh air hujan atau bekas kubangan satwa. Lokasi yang biasa digunakan untuk mengasin bagi satwa

(35)

terdapat di pinggir sungai besar. Sekitar lokasi tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa seperti rusa sambar dan kijang. Harimau melakukan pengintaian di tempat-tempat yang sering didatangi oleh satwa mangsa seperti sungai dan tempat mengasin

Pohon-pohon berukuran sedang hingga besar dengan diameter 100 - 150 cm banyak terdapat pada tipe hutan perbukitan. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat membantu mengurangi panas sinar matahari. Strata tajuk pembentuk cover pada lokasi ini terdiri atas lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan atau strata B (10-25 m), strata C dan lapisan vegetasi pembentuk tumbuhan bawah atau strata D dan E. Strata tajuk yang berlapis memenuhi kriteria habitat bagi harimau untuk menghindari panas dan dalam melakukan pengintaian.

Gambar 3. Hamparan kawasan hutan Batang hari

Lokasi hutan sub pegunungan memiliki tingkat topografi yang lebih curam dan banyak terdapat tebing batu. Tebing batu ini digunakan kambing hutan yang merupakan satwa mangsa harimau untuk cover. Lokasi hutan sub pegunungan sangat jarang ditemukan sumber air di sepanjang jalur pengamatan. Sumber air kecil biasanya terdapat pada lereng-lereng curam dengan kemiringan hampir 70o dengan beda ketinggian lebih dari 100 m. Sumber air pada lokasi ini tergantung oleh hujan yang akan membuka mata air atau mengisi cekungan-cekungan.

(36)

Harimau akan menggunakan sumbaer air tersebut jika tidak menemukan sumber air lainnya.

Kondisi lantai hutan berupa lumut tebal dan serasah yang selalu basah, sehingga tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Kondisi penutupan tajuknya yang rapat membuat udara pada lokasi ini terasa lebih sejuk dan selalu basah. Penutupan tajuk pada lokasi ini berlapis seperti pada hutan perbukitan yang terdiri dari strata A hingga E. Pohon-pohon besar dominan penyusun tajuk hutan diantaranya adalah meranti (Shorea spp), borneo (Dipterocarpus borneensis) dan damar (Agathis damara).

Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan sub pegunungan

No Nama lokal Jumlah F FR K KR INP

1 Meranti 11 1 8.89 275 14.67 43.14 2 Borneo 8 1 8.89 200 10.67 20.44 3 Kalek 2 0.5 4.44 50 2.67 7.90 4 Pening-pening hitam 3 0.5 4.44 75 4.00 12.06 5 Rambutan 1 0.25 2.22 25 1.33 6.84 6 Beringin hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 7.39 7 Medang batu 2 0.25 2.22 50 2.67 7.21 8 Damar 4 0.5 4.44 100 5.33 21.68 9 Kecapi hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 11.92 Jumlah 35 5 875 5.1.1.1 Satwa Mangsa

Tingkat keanekaragaman satwa ungulata di kawasan hutan Batang hari cukup tinggi. Variasi ini lebih disebabkan kebutuhan pakan yang berbeda-beda dari tiap jenis satwa karnivora sehingga lokasi tempat ditemukannya satwa mangsa juga berbeda-beda. Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari antara lain rusa sambar, kambing hutan, kijang, dan babi jenggot.

Tabel 5. Tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau

No Nama Lokal Nama Ilmiah Foto

Independen

Tingkat perjumpaan

Standar deviasi

1 Landak Hystrix braciura 39 2.07 5.22

2 Beruk Macaca nemestrina 56 3.21 5.09

3 Kijang Muntiacus muntjak 16 1.00 1.52

4 Beruang Helarctos malayanus 46 2.68 4.79

5 Babi jenggot Sus Barbatus 33 1.73 5.56

6 Tapir Tapirus indicus 2 0.10 0.45

7 Kancil Tragulus napu 1 0.06 0.27

8 Rusa sambar Cervus unicolor 1 0.05 0.24

(37)

(a) (b)

Gambar 4. Kijang (a) dan Babi jenggot (b) merupakan satwa mangsa harimau yang ada di kawasan hutan batang hari.

Berdasarkan jumlah foto independen yang didapat selama perangkap kamera terpasang, satwa mangsa dominant yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah beruk (56 foto), beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto). Selain jenis satwa mangsa utama, beberapa jenis satwa menjadi alternatif sasaran mangsa bagi harimau, seperti pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus).

(38)

Satwa mangsa yang tertangkap kamera pada lokasi hutan perbukitan adalah beruang madu (Hystrix brachyura), babi jenggot (Sus Barbatus), beruk (Macaca nemestrina), kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor) dan landak (Hystrix brachyura). Sedangkan jenis satwa mangsa yang terdapat pada lokasi hutan sub pegunungan adalah beruang madu (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), kijang (Muntiacus muntjak), pelanduk napu (Tragulus napu), tapir (Tapirus indicus) dan landak (Hystrix brachyura). Beruk sering tertangkap kamera karena aktivitas hariannya dilakukan di tanah (terrestrial)

Jenis satwa yang paling sering tertangkap oleh kamera adalah kuau raya (Argusianus argus). Jenis ini merupakan salah satu mangsa potensial bagi harimau. Kuau sering tertangkap pada salah satu titik kamera karena satwa ini membuat gelanggang untuk menarik pasangannya.

Tabel 6. Jenis satwa mangsa potensial pada masing-masing tipe hutan

No Jenis satwa Nama Ilmiah Hutan

perbukitan

Hutan sub pegunungan

1 Beruang madu Helarctos malayanus √ √

2 Musang galing Paguma larvata

3 Musang leher kuning Martes flavigulata

4 Beruk Macaca nemestrina √ √

5 Babi jenggot Sus Barbatus

6 Rusa sambar Cervus unicolor

7 Kambing hutan Capricornis sumatraensis

8 Kijang Muntiacus muntjak √ √

9 Pelanduk napu Tragulus napu

10 Tapir Tapirus indicus

11 Landak Hystrix brachyura √ √

12 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis

13 Kuau raya Argusianus argus

14 Sempidan sumatera Lophura inornata √ √

5.1.1.2 Cover

Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki strata tajuk dari lapisan A hingga E. Berdasarkan hasil pengukuran analisis vegetasi diketahui bahwa jenis pohon dominan yang menjadi cover pada habitat harimau sumatra di kawasan hutan batang hari adalah jenis meranti (Shorea spp.), borneo (Dipterocarpus borneensis), dan damar (Agathis spp.). Hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging di hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk yang jarang hingga terbuka,

(39)

dan di sepanjang jalan banyak ditumbuhi semak belukar yang rapat. Kondisi hutan perbukitan memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi pada tingkat pohon, sehingga membantu harimau menghindari panas matahari dan membantu dalam pengintaian. Hutan sub pegunungan juga memiliki tingkat kerapatan pohon yang tinggi dengan komposisi vegetasi pembentuk tumbuhan bawah berupa rotan. Pada lokasi ini harimau menggunakan cover untuk berlindung dari gangguan yang banyak terdapat di hutan perbukitan.

Gambar 6. Lapisan tajuk utama atau strata A pada hutan sub pegunungan

(40)

5.1.1.3 Air

Air merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup satwaliar. Air menjadi komponen habitat yang penting bagi harimau untuk berendam dan mandi karena satwa ini tidak suka denganudara panas. Sumber air pada lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi sungai, kubangan atau cekungan yang terisi air hujan, dan mata air. Sumber air berupa sungai hanya terdapat di tipe hutan perbukitan. Sungai yang terdapat di lokasi ini adalah sungai Batang hari, Anduring, Gumanti, Kandi dan Batarum gadang.

Karakteristik sungai yang ada di lokasi penelitian adalah berarus deras, berbatu, serta memiliki substrat berpasir. Sungai Batang hari memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, airnya berwarna kuning kecoklatan karena substratnya yang berlempung dan berpasir. Sungai Anduring memiliki air yang jernih, berarus deras, dan berbatu. Sungai ini sering menjadi tempat perlintasan satwa. Beberapa kali pergerakan satwa seperti rusa sambar, kijang, dan musang leher kuning terlihat langsung. Selain itu, di tepi sungai anduring ditemukan tempat mengasin bagi satwa. Jejak kaki rusa sambar dan kijang banyak ditemukan di sekitar lokasi tersebut, dan beberapa kali rusa sambar terlihat langsung melakukan aktifitas disana. Sungai Gumanti, sungai Kandi dan sungai Batarum gadang memilki karakter yang tidak jauh berbeda dengan sungai Anduring yang berbatu dan memiliki substrat tanah berpasir, hanya saja pada ketiga sungai tersebut arusnya tidak terlalu deras dan berukuran lebih kecil.

Sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun tersebut cenderung terletak pada tipe hutan perbukitan. Sedangkan pada tipe hutan sub pegunungan hanya terdapat sumber-sumber air kecil, kubangan, dan cekungan yang terisi oleh air hujan. Lokasi hutan sub pegunungan banyak ditemukan sumber-sumber air kecil yang berasal dari mata air. Biasanya sumber air yang kecil ini bersifat sementara dan akan hilang pada saat musim kemarau. Kubangan pada lokasi ini ada yang masih aktif dan ada yang sudah lama tidak dijadikan tempat berkubang bagi satwa.

(41)

(a) (b)

(c)

Gambar 8. Karakteristik fisik sungai di lokasi penelitian yang berbatu (a,b dan c), memiliki arus deras (a dan c) dan terbentuk dari substrat tanah berpasir

5.1.2 Karakteristik Habitat Harimau Sumatera 5.1.2.1 Cover

Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m). Harimau butuh perlindungan dari panas matahari, sehingga bentuk tajuk yang berlapis pada hutan sangat membantu. Selain itu strata tajuk yang berlapis mengurangi ancaman dari perburuan oleh manusia serta menambah efektifitas dalam perburuan.

Penutupan tajuk tipe hutan perbukitan bervariasi dari mulai terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging penutupan tajuk berada pada lapisan tajuk pertengahan dan terbuka. Akan tetapi pada jalur ini banyak ditumbuhi oleh semak dan belukar yang yang tidak terlalu rapat, sehingga dapat membantu menyamarkan tubuh harimau dalam melakukan pemangsaan. Walaupun arealnya yang sedikit terbuka dan cenderung lebih panas, tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak kaki (pugmark) dan garukan pada tanah (scrape) lebih banyak ditemukan pada lokasi ini. Begitu pula dengan satwa mangsanya, pada jalur bekas logging juga banyak ditemukan tanda-tanda keberadaannya.

Gambar

Tabel 1. Status harimau (Panthera tigris Linnaeus, 1758) pada bulan Mei 1998.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi
Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Terdapat perbedaan antara perilaku dan ciri fisik antara harimau dengan koefisien inbreeding yang berbeda, dan beberapa kondisi abnormal pada obyek harimau yang diamati,

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera, membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas

Lokasi penelitian yang berada pada radius 15 km dari padang rumput menunjukan bahwa padang rumput tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi mangsa harimau sumatera hal ini