• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, Dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, Dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

KOEFISIEN INBREEDING , PERILAKU HARIAN DAN CIRI

FISIK HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)

DI KEBUN BINATANG BANDUNG, JAWA BARAT

FARADINA PUSPITA RIVANISA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

(4)

ABSTRAK

FARADINA PUSPITA RIVANISA. Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kebun Binatang

Bandung, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan

DONES RINALDI.

Kebun Binatang Bandung merupakan salah satu lembaga konservasi eks-situ yang menangkarkan harimau sumatera. Penangkaran eks-eks-situ dalam kebun binatang memiliki resiko terjadinya inbreeding yang tinggi, yang dapat menyebabkan adanya perubahan atau abnormalitas pada satwa. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi inbreeding melalui hubungan kekerabatan dan koefisien inbreeding, menganalisis manajemen perkawinan dan inbreeding dan untuk mengetahui perilaku harian serta ciri fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung sebagai parameter terjadinya inbreeding. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode studi pustaka, observasi lapang, dan wawancara. Hasil identifikasi inbreeding yang diperoleh menunjukkan bahwa telah terjadi inbreeding pada harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung, sedangkan pada pengamatan perilaku harian dan ciri fisik harimau sumatera ditemukan bahwa inbreeding belum bisa ditentukan sebagai faktor utama penentu yang berpengaruh langsung pada abnormalitas satwa, karena terdapat faktor lain seperti lingkungan dan kondisi satwa tersebut.

Kata kunci : ciri fisik, harimau sumatera, inbreeding, Kebun Binatang Bandung, perilaku harian

ABSTRACT

FARADINA PUSPITA RIVANISA. Inbreeding Coefficient, Daily Behaviour, dan Physical Appearance of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) in

Bandung Zoo, West Java. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and

DONES RINALDI.

Bandung Zoo is one of ex-situ conservation organization that breed sumatran tiger. The risk of inbreeding is very high in zoo as an animal captivity. This research is to identify the inbreeding from kinship and inbreeding coefficient, analyze the management of breding and to observe daily behaviour and physical appearance as inbreeding parameters of sumatran tiger in BandungZoo. Literature study, observation, interview, and analysis of sumatran tiger pedigreeis used in this research. The identification of inbreeding showed that there is indeed inbreeding occured in Bandung Zoo, and although inbreeding can affect sumatran tiger behaviour and physical appearance, it is not the primary factor as there are other factors like environment, and the condition of the animal.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

KOEFISIEN INBREEDING , PERILAKU HARIAN DAN CIRI

FISIK HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)

DI KEBUN BINATANG BANDUNG, JAWA BARAT

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian yang telah dilakukan sejak bulan April 2015 ini adalah mengenai harimau sumatera dalam penangkaran, dengan judul Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS dan Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan saran dan arahan selama penyusunan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penyusunan skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Kebun Binatang Bandung yang telah mengijinkan, memfasilitasi, dan membantu penulis sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar sampai selesai.

Di samping itu, penghargaan sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah memberikan do’a dan dukungan bagi penulis. Tak lupa ucapan terima kasih kepada keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) IPB, Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam (LAWALATA) IPB, Solidaritas IPB Peduli Petani (SIPP), Do Something Project Climbing Share Community, dan seluruh sahabat-sahabat atas

bantuan dan do’anya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat dan Obyek Penelitian 2

Jenis Data 2

Metode Pengambilan Data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Demografi 5

Silsilah Harimau Sumatera dan Inbreeding 6

Manajemen Perkawinan dan Inbreeding 9

Analisis Tekanan Inbreeding 10

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

(10)

DAFTAR TABEL

1 2

Data harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

Nilai koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

6 8 3 Durasi perilaku harian siang harimau sumatera di Kebun Binatang

Bandung 11

4 Durasi perilaku harian malam harimau sumatera di Kebun Binatang

Bandung 13

5 Deskripsi ciri fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung 17

DAFTAR GAMBAR

1 Silsilah dalam bentuk tanda panah 4

2 Silsilah harimau sumatera Kebun Binatang Bandung 6 3 Diagram panah hubungan kekerabatan harimau sumatera di Kebun

Binatang Bandung 7

4 Perilaku siang harimau sumatera Wage (a), Perilaku siang harimau sumatera Melino (b), Perilaku siang harimau sumatera Yopi (c), Perilaku siang harimau sumatera Marti (d) di Kebun Binatang

Bandung 12

5 Perilaku malam harimau sumatera Wage (a), Perilaku malam harimau sumatera Yopi (b), Perilaku malam harimau sumatera Melino (c), Perilaku malam harimau sumatera Marti (d) di Kebun Bintang

Bandung 14

6 Foto perbandingan Melino (a) Wage (b) Yopi (c) Marti (d) 18 7 Foto Marti yang tidak memiliki gigi taring bawah sebelah kiri 19

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu hewan asli Indonesia adalah harimau sumatera. Harimau sumatera termasuk dalam spesies kunci Indonesia dan merupakan spesies yang berada di puncak rantai makanan sebagai predator utama dan mempertahankan populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya sehingga keberadaannya sangat penting untuk keseimbangan ekosistem. Harimau sumatera hanya terdapat di Sumatera dan merupakan sub spesies dengan ukuran tubuh rata rata terkecil di antara sub spesies harimau yang ada saat ini (Kitchener 1991). Menurut Siswomartono et al. (1994), jumlah populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal 400-500 ekor, begitu pula data WWF tahun 2004, hanya sekitar 400 ekor saja. Harimau sumatera telah masuk ke dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) redlist dengan status critically endangered (kritis terancam punah) (Cat Specialized Group 2002) dan daftar Appendix 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) sehingga dilarang untuk diperjualbelikan.

Salah satu tindakan konservasi yang dilakukan untuk pencegahan kepunahan harimau sumatera adalah dengan pengembangbiakan ex-situ atau penangkaran. Penangkaran merupakan kegiatan pengembangbiakan jenis satwaliar dan tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan (Thohari 1986). Saat ini, upaya konservasi ex-situ harimau sumatera telah tersebar di berbagai macam daerah di Indonesia, bahkan di dunia. Dengan keberadaan harimau sumatera di ex-situ, maka bukan hanya upaya perbanyakannya dapat dilakukan dengan maksimal, penelitian juga dapat dilakukan demi memperoleh pengetahuan yang dapat membantu konservasi harimau sumatera. Sistem pencatatan yang baik pun diperlukan untuk mempermudah pemantauan akan pengelolaan perkawinan harimau sumatera yang berada di ex-situ.

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi inbreeding pada harimau sumatera melalui analisis hubungan kekerabatan dengan menghitung koefisien inbreeding, menganalisis manajemen perkawinan dan inbreeding, serta mengidentifikasi ada tidaknya tekanan inbreeding melalui perilaku harian dan ciri fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam perbaikan dan peningkatan pengelolaan dan pengembangbiakan harimau sumatera secara ex-situ sebagai upaya pengendalian inbreeding. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi pengelola yang berguna dalam pengelolaan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung. Selain itu juga diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Kebun Binatang Bandung, Jl. Kebon Binatang No. 6, Bandung, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung pada bulan April 2015 selama dua minggu.

Alat dan Obyek Penelitian

Alat yang digunakan selama penelitian ini adalah kamera CCTV, voice recorder, kamera, alat tulis, tallysheet, dan panduan wawancara. Obyek yang diamati selama penelitian ini adalah harimau sumatera dengan jenis kelamin yang berbeda. Total harimau sumatera yang diamati sejumlah 4 ekor

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

Data primer

Data primer yang diambil antara lain :

a. Data perkawinan harimau sumatera yang terdiri dari silsilah harimau sumatera, dan koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung. b. Data perilaku harian harimau sumatera yang diamati meliputi jenis perilaku,

frekuensi dan durasi dari perilaku tersebut.

(13)

3 Data sekunder

Data sekunder yang diambil meliputi data harimau sumatera yang ada di studbook atau buku catatan informasi harimau sumatera regional Indonesia dan data mengenai harimau sumatera berdasarkan literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, dan artikel.

Metode Pengumpulan Penelitian

Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang mendukung penelitian mengenai harimau sumatera dan inbreeding yang dapat mendukung penelitian dan memperkuat keabsahan analisis data hasil penelitian.

Pengamatan lapang

Pengamatan lapang dilakukan dengan mengamati langsung obyek di lapangan. Pengamatan yang dilakukan antara lain :

a. Pengumpulan data silsilah harimau sumatera dan hubungan kekerabatannya untuk menjadi dasar analisis koefisien inbreeding.

b. Pengamatan perilaku harian harimau sumatera yang dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling yaitu menggunakan individu tertentu sebagai obyek pengamatan dan menggunakan teknik pencatatan perilaku satwa tersebut pada interval waktu tertentu (Altmann 1974). Teknik pengamatan menggunakan bantuan video recorder untuk merekam perilaku harian harimau sumatera. Pemilihan sample harimau sumatera yang diamati adalah dengan memilih harimau sumatera memiliki jenis kelamin dan koefisien inbreeding yang berbeda .

Pengamatan terdiri dari 2 jenis pengamatan yaitu pengamatan siang dan pengamatan malam. Pengamatan siang dilakukan pada pukul 06.00-18.00 dan pengamatan malam pada pukul 18.00-06.00. Masing-masing pengamatan yang dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk masing-masing harimau sehingga total waktu pengamatan adalah selama 72 jam. Pengambilan data perilaku dilakukan dengan cara memasang kamera CCTV di kandang malam dan kandang siang harimau sumatera yang diamati.

c. Pengambilan data ciri fisik harimau sumatera dilakukan dengan metode pengambilan foto masing-masing harimau sumatera yang diamati. Aspek-aspek yang diamati dalam pengamatan ciri fisik harimau sumatera ini antara lain ukuran tubuh secara kualitatif, kondisi dan kelengkapan anggota tubuh, warna tubuh, bentuk dan warna loreng, dan cacat tubuh.

Wawancara

(14)

4

pengelolaan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dari perspektif pengelola, baik animal keeper yang banyak berinteraksi dengan harimau sumatera, maupun dokter hewan yang melakukan pemantauan terhadap kondisi harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung. Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Wawancara menggunakan alat perekam atau voice recorder dan dibantu dengan menggunakan catatan.

Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil dari pengamatan yang dilakukan. Analisis data yang dilakukan antara lain analisis silsilah, analisis perhitungan koefisien inbreeding, analisis perilaku harian dan analisis ciri fisik.

Analisis silsilah

Langkah-langkah untuk membuat silsilah harimau sumatera adalah dengan merunut dan menggambarkan asal-usul satwa sampai asal-usulnya tidak diketahui atau berasal dari alam. Jika tidak terdapat keterangan inbreeding dalam keluarga pada silsilah maka koefisien inbreedingnya sama dengan 0. Setelah itu, ditentukan koefisien nenek moyang yang sama (Fc) dengan rumus koefisien inbreeding. Koefisien nenek moyang ini perlu diketahui sebelum menghitung koefisien inbreeding satwa yang ingin dihitung koefisien inbreedingnya (Fx) (Nurana 1989). Dalam membuat silsilah satwa digunakan metode dengan diagram panah, yakni salah satu metode untuk menghitung koefisien inbreeding dengan cara memasukan setiap individu masing-masing sekali dalam diagram panah walaupun pada kenyataannya individu-individu tersebut muncul beberapa kali (Noor 1996).

Sebagai contoh, perhitungan koefisien inbreeding dari harimau X yang dihasilkan dari satu generasi perkawinan saudara kandung dimana moyang bersamanya bukan inbred dapat digambarkan seperti Gambar 1 (Warwick et al. 1990)

X

Gambar 1 Silsilah dalam bentuk tanda panah

A

C

(15)

5

Analisis perhitungan koefisien inbreeding

Koefisien inbreeding adalah kemungkinan suatu individu mengalami autozygous (menerima dua alel yang sama pada lokus identik yang diturunkan tetuanya). Nilai F berkisar antara 0 atau tidak ada perkawinan sedarah sama sekali hingga 1 atau kawin sedarah total (Allendorf dan Luikart 2008). Perhitungan koefisien inbreeding pada dasarnya adalah mengalikan koefisien kekerabatan dengan ½ . Rumus untuk mengukur koefisien inbreeding Fx yang memiliki tetua bersama yang inbreed dilakukan dengan menggunakan rumus (Stansfield 1991) :

Fx= ∑[ ] Fx : Koefisien Inbreeding satwa X

Fa : Koefisien Inbreeding tetua bersama

N : Banyaknya langkah dari X ke nenek moyang bersama dan kembali ke X Analisis perilaku harian

Analisis perilaku harian dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan menjabarkan hasil pengamatan mengenai perilaku harian harimau sumatera berdasarkan data yang berupa tabel. Selain itu, terdapat pula analisis perhitungan persentasi perilaku harian dengan menggunakan persamaan menurut Martin and Bateson (1993) :

% Perilaku :

x 100%

Perbandingan perilaku juga dilakukan dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan jenis perilaku, frekuensi perilaku, dan durasi perilaku dari harimau sumatera yang dijadikan objek pembanding berdasarkan perbedaan koefisien inbreedingnya.

Analisis ciri fisik

Data ciri fisik dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dijabarkan dalam uraian atau penjelasan disertai dengan gambar atau foto untuk memperjelas kriteria atau indikator tentang ada tidaknya pengaruh inbreeding terhadap kondisi fisik satwa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demografi

(16)

6

Tabel 1 Data harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

Nama Jenis Kelamin Umur Lokasi

Marti Betina 14 tahun Kandang 1

Marta Jantan 14 tahun Kandang 1

Melino Jantan 15 tahun Kandang 2

Wage Betina 23 tahun Kandang 2

Yopi Betina 4 tahun Kandang 2

Manik Betina 11 tahun Kandang 2

Fitra Betina 13 tahun Kandang 3

Fitri Betina 13 tahun Kandang 3

Harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung memiliki perbandingan jantan dan betina 2:6 atau sex ratio 1:3. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sherpa & Maskey (1998) bahwa harimau jantan memiliki teritori yang paling kuat di dalam areal habitat utama yang mencakup beberapa teritori harimau betina dengan rasio 1 jantan : 3 betina.

Silsilah, Hubungan Kekerabatan, dan Koefisien Inbreeding

Harimau sumatera yang terdapat di kebun binatang ini asalnya berupa sumbangan dari Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta yaitu Budi (jantan) dengan nomor studbook 942 dan Wage (betina) dengan nomor studbook 953 pada tahun 1996. Berikut silsilah harimau sumatera yang berada di Kebun Binatang Bandung menurut studbook harimau sumatera yang berasal dari Kebun Binatang Gembiraloka dalam penelitian Kurniawan (2001) dan studbook harimau sumatera yang berada di Kebun Binatang Bandung (Gambar 2).

Keterangan : Jantan/Betina yang berada di Kebun Binatang Bandung

Jantan/Betina tidak berada/sudah tidak berada di Kebun Binatang Bandung

(17)

7 Pada silsilah tersebut dapat dilihat bahwa induk asal dari harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung adalah 387, 386, 370, dan 371 dengan tetua nenek moyang yan tidak diketahui sehingga diasumsikan berasal dari alam dengan koefisien inbreeding 0 dan kemudian ditangkarkan di Kebun Binatang Gembiraloka. Pasangan 387 dan 386 menghasilkan anakan jantan 532, dan pasangan 370 dan 371 menghasilkan anakan betina 528. Namun inbreeding terjadi pada perkawinan antara harimau jantan 370 dengan 528 dan menghasilkan harimau betina 887 yang telah memiliki koefisien inbreeding. Setelah itu harimau jantan 532 kawin dengan betina 887 dan menghasilkan anakan harimau jantan 942 atau Budi dan betina 953 atau Wage, yang kemudian disumbangkan ke Kebun Binatang Bandung. Dikarenakan harimau 532 dan 887 merupakan harimau yang tidak memiliki tetua sedarah, keturunannya kembali tidak memiliki koefisien inbreeding atau tidak inbred.

Wage dan Budi yang disumbangkan ke Kebun Binatang Bandung kemudian menjadi induk dan pejantan bagi harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung. Namun Wage dan Budi merupakan saudara sedarah sehingga perkawinan antara kedua harimau ini menghasilkan anakan yang inbred atau memiliki koefisien inbreeding. Anak dari perkawinan dari 942 dan 953 antara lain 1125 atau Oksi, 1126 atau Melino, 1187 atau Marta, 1188, atau Marti, Fitra, dan Fitri. Harimau betina 1125 kemudian kawin dengan harimau jantan 1033 yang berasal dari luar Kebun Binatang Bandung dan kemudian menghasilkan anakan harimau betina Manik, yang dikembalikan lagi ke Kebun Binatang Bandung. Inbreeding tidak terjadi pada Manik karena adanya darah baru dari pejantan 1033 sehingga koefisien inbreeding Manik menjadi 0 atau tidak inbred.

Setelah harimau pejantan Budi mati, harimau betina Wage dikawinkan dengan harimau jantan Melino yang merupakan anaknya sehingga terjadi inbreeding. Pengawinan ini menghasilkan anak harimau betina yang inbred yaitu Yopi. Hal ini menghasilkan data diagram panah kekerabatan seperti dalam Gambar 3.

Keterangan : : Hubungan antara induk ke anak harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

Gambar 3 Diagram panah hubungan kekerabatan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

(18)

8

Tabel 2 Nilai koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung Nama Harimau koefisien inbreeding yang berbeda. Pada generasi pertama atau induk terdapat Wage dengan koefisien inbreeding 0 karena memiliki induk dan pejantan yang tidak memiliki tetua bersama. Namun inbreeding terjadi pada generasi kedua yang merupakan hasil dari perkawinan Wage dan Budi yang merupakan saudara sedarah, yaitu Melino, Oksi, Marta, Marti, Fitra, dan Fitri dengan koefisien inbreeding 0,125. Generasi ketiga adalah Yopi yang merupakan hasil perkawinan dari Melino dan Wage dengan koefisien inbreeding 0,313, dan Manik yang merupakan hasil perkawinan antara Oksi dan pejantan 1033 dengan koefisien inbreeding 0.

Cervantes et al. (2007) menyajikan nilai koefisien inbreeding berdasarkan selang angka tertentu. Dalam selang tersebut, nilai F=0 termasuk kategori non inbred, nilai F di selang 0%-6,25% masuk ke dalam kategori rendah, nilai F= 6,25%-12,5% termasuk kategori sedang, dan nilai F di atas 12,5% termasuk kategori tinggi. Secara umum, rata-rata koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung adalah 0,117 atau 11,7 % sehingga termasuk kedalam kategori sedang. Menurut dokter hewan Kebun Binatang Bandung, tidak adanya pasokan darah baru membuat potensi naiknya laju inbreeding di Kebun Binatang Bandung tinggi sehingga apabila terus dilakukan breeding, maka kategori inbreeding yang ada dapat meningkat yang disebabkan keterbatasan jumlah pasangan jantan dan betina dalam populasi harimau sumatera yang bisa dikawinkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiener (1994) bahwa pada populasi yang terbatas, inbreeding tidak dapat dihindari namun hanya dapat dikurangi.

(19)

9 Manajemen Perkawinan dan Inbreeding

Manajemen perkawinan atau reproduksi merupakan salah satu komponen pengelolaan yang penting dalam penangkaran satwa. Dalam manajemen perkawinan satwa, perlu diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses reproduksi satwa seperti usia dewasa kelamin satwa, waktu kawin satwa, kondisi yang berpengaruh pada perkawinan satwa, dan lain-lain.

Perkembangbiakan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung diawali dengan melihat hubungan kekerabatan harimau yang tertera dalam studbook harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung (Lampiran 1). Apabila dari contoh tersebut diketahui bahwa harimau jantan dan betina itu dapat dikawinkan, maka langkah selanjutnya adalah harimau akan dilihat kecocokan satu sama lain. Apabila harimau cocok satu sama lain dan dapat dipasangkan bersama tanpa adanya perkelahian atau reaksi negatif, maka harimau akan seterusnya dipasangkan bersama di kandang peraga atau kandang siang. Pada malam hari, harimau akan dipisahkan kembali agar tidak terjadi perkelahian. Apabila harimau dapat kawin, maka keeper bertugas untuk mendampingi dan mencatat kopulasi hingga terjadi kebuntingan. Salah satu indikator bahwa harimau betina sudah bunting dari proses kopulasi yang telah terjadi adalah melihat kondisi puting susunya. Felisia (2014) menyatakan bahwa harimau sumatera yang bunting akan terlihat dari puting susunya yang berwarna merah muda dan terlihat turun.

Harimau di penangkaran masuk usia dewasa kelamin pada umur 3-6 tahun (Schaller 1967). Harimau sumatera jantan mengalami dewasa kelamin pada usia 4-5 tahun, sedangkan harimau betina mengalami dewasa kelamin pada usia sekitar 3-4 tahun (Putra 2011). Idealnya pada sebuah penangkaran, perkawinan dilakukan apabila satwa telah memasuki usia dewasa kelamin dan telah mengalami pubertas atau gejala berahi dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi yang ditandai dengan kemampuan untuk pertama kalinya satwa dapat memproduksi benih (Partodihardjo 1980). Smith (1994) mengatakan bahwa usia produktif harimau jantan adalah 2-6 tahun dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai usia 15 tahun. Pernyataan tentang usia produktif harimau ini agak berbeda dengan fakta yang diperoleh di Kebun Binatang Bandung. Data studbook harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung mencerminkan bahwa usia produktif dan masa hidupnya jauh lebih lama. Sebagai contoh, Wage, harimau betina berusia 23 tahun dan masih bereproduksi aktif, begitu pula Melino, harimau jantan berusia 15 tahun ternyata masih dapat bereproduksi aktif.

(20)

10

Pengaruh dari terjadinya inbreeding dapat menyebabkan peningkatan derajat homosigositas dan menurunkan derajat heterosigositas (Noor 1996). Dilihat dari derajat heterosigositasnya pun, peningkatan inbreeding mengakibatkan penurunan angka keanekaragaman relatif (Senner 1980) dan peningkatan homosigositas yang dapat menyebabkan tekanan inbreeding (Ralls et al. 1986). Hal ini menyebabkan penurunan produksi yang sangat signifikan, peningkatan kematian dan peningkatan frekuensi munculnya cacat. Penurunan performa ini diduga berhubungan dengan perubahan akibat gen-gen resesif terkumpul (Noor 1996). Kebijakan penghentian mengawinkan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung tersebut antara lain juga didasarkan pada fakta telah mulai terlihat adanya gejala terjadinya tekanan inbreeding yakni sudah adanya kegagalan kawin dan kegagalan melahirkan pada harimau. Selain itu, terjadi juga penurunan performa aktivitas perkembangbiakan pada harimau sumatera yang berada di Kebun Binatang Bandung.

Di alam, keadaan populasi harimau terfragmentasi dalam kantong-kantong habitat yang kecil dan terisolasi dengan jumlah harimau per habitat berkisar antara 36-170 ekor (Shepherd & Magnus 2004), sedangkan jumlah harimau sumatera di alam saat ini hanya sekitar 250 ekor (Nowell et al. 2003) sehingga wilayah jelajah satwa sangat terbatas dan kemungkinan terjadinya inbreeding antar harimau sumatera di alam tinggi dan sulit dihindarkan. Namun pengendalian inbreeding di alam sangat sulit dilakukan karena sulitnya mengidentifikasi satwa dari masing-masing kelompok dan memantau perkembangbiakan satwa di alam. Upaya pengendalian inbreeding seharusnya dilakukan di lokasi konservasi ex-situ untuk menjaga pasokan harimau sumatera dengan koefisien inbreeding 0. Apabila kondisi jumlah harimau sumatera dengan hubungan sedarah tinggi maka kemungkinan munculnya gejala efek gen lethal pada harimau pun tinggi dan akan memicu terjadinya pengurangan, atau bahkan kepunahan satwa baik di alam dan dalam penangkaran.

Analisis Tekanan Inbreeding

Perilaku Harian

Perilaku satwa adalah tindak-tanduk yang terlihat dan saling berkaitan baik secara individual maupun secara bersama-sama atau kolektif (Tanudimadja 1978). Alikodra (1983) mengatakan bahwa perilaku satwa adalah strategi satwa dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam lingkungannya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa disebut sebagai rangsangan, stimuli, atau agent. Sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan disebut respon (Teage 1971).

(21)

11 di Kebun Binatang Bandung hanya berjumlah 2 ekor dengan koefisien inbreeding yang sama.

Pengamatan perilaku harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dibagi menjadi dua macam pengamatan berdasarkan waktu pengamatan, yaitu pengamatan siang dan malam. Pengamatan siang dilakukan sejak pukul 06.00-18.00, sedangkan pengamatan malam dilakukan sejak pukul 18.00-06.00. Lama durasi perilaku harian harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung pada pengamatan siang (06.00-18.00) selama 3 hari pengamatan dapat dilihat di Tabel 3.

Beberapa perilaku yang diamati antara lain perilaku tidur, berbaring, duduk yang termasuk kedalam perilaku istirahat, berpindah dan berenang yang termasuk ke dalam perilaku bergerak (moving), perilaku makan, minum, buang air, grooming, berjalan mondar-mandir (pacing), waspada (vigilant) atau perilaku mengawasi dengan cara berdiri diam sambil mengawasi lingkungan sekitar, dan berinteraksi sosial. Interaksi sosial pada harimau terdiri dari interaksi sosial dengan harimau lain, interaksi sosial dengan keeper, dan interaksi sosial dengan pengunjung. Bentuk dari perilaku sosial harimau dapat berbentuk perilaku mengendus, growling atau bersuara, dan bertengkar.

(22)

12

dipindahkan ke kandang peraga pada sekitar pukul 09.00 setelah selesai proses pembersihan kandang peraga.

Perilaku secara keseluruhan yang dialami oleh harimau sumatera dalam sehari sejak pukul 06.00-18.00 adalah seperti tertera pada Gambar 4.

(a) (b)

(23)

13 tahan akan panasnya matahari dan cenderung lebih aktif pada saat sore hari atau ketika cuaca sedang mendung (Seidensticker et al. 1999). Selain itu terdapat juga perilaku lainnya antara lain perilaku bergerak, perilaku makan, perilaku minum, perilaku waspada (vigilant) atau perilaku mengawasi, perilaku merawat diri (grooming), perilaku buang air (urinating), perilaku sosial, baik terhadap sesama harimau sumatera maupun terhadap pihak luar seperti pengunjung dan keeper, dan perilaku pacing atau mondar-mandir.

Sedangkan untuk lama durasi perilaku harimau pada saat malam hari (18.00-06.00) selama 3 hari dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 4 Durasi perilaku harian malam harimau sumatera di Kebun Binatang

Yopi (menit) Melino (menit) Marta (menit)

Harimau Sumatera merupakan hewan yang aktif pada malam hari di alam. Malam hari biasanya digunakan harimau sumatera untuk aktivitas berburu, makan, dan berinteraksi (REI 1988). Pada saat pengamatan ditemukan bahwa harimau sumatera di kebun binatang menggunakan nyaris seluruh waktunya pada malam hari untuk beristirahat. Hal ini kemungkinan terjadi akibat sudah beradaptasinya harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dengan kondisi lingkungan sekitarnya dimana tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan sehingga harimau sumatera memilih untuk istirahat. Menurut pihak pengelola, sistem memang dirancang sedemikian rupa untuk seluruh satwa di Kebun Binatang Bandung agar meminimalkan aktivitas malam satwa di Kebun Binatang Bandung untuk meminimalkan resiko dan memudahkan pemantauan dan pengelolaan satwa.

Perilaku lain yang dilakukan pada saat pengamatan malam adalah perilaku minum, perilaku buang air (urinating), dan perilaku mondar-mandir (pacing) yang dilakukan oleh harimau sumatera ketika sekali-sekali terbangun.Perilaku istirahat dilakukan paling banyak oleh Melino yaitu 2027 menit atau 33 jam 47 menit selama pengamatan 3 malam atau 36 jam, atau rata-rata 11 jam 16 menit per malam. Sedangkan perilaku istirahat paling sedikit dilakukan oleh Marti yaitu 1978 menit atau 32 jam 58 menit selama pengamatan 3 malam atau 36 jam, atau rata-rata 10 jam 59 menit per malam.

(24)

14

dengan kondisi stress yang dialami oleh Marti. Hal ini berlaku terbalik dengan kondisi Marti pada siang hari yang lebih banyak melakukan perilaku istirahat dibandingkan dengan harimau lainnya.

Perilaku secara keseluruhan yang dialami oleh harimau sumatera dalam sehari sejak pukul 18.00-06.00 dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 Perilaku malam harimau sumatera Wage (a), Perilaku malam harimau sumatera Yopi (b), Perilaku malam harimau sumatera Melino (c), Perilaku malam harimau sumatera Marti (d) di Kebun Bintang Bandung Dari pengamatan yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan jenis perilaku yang ditunjukkan oleh keempat harimau yaitu Wage, Yopi, Melino, dan Marti. Hal ini diduga terjadi karena perilaku yang ditunjukkan oleh harimau tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor inbreeding juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kondisi kandang, kondisi cuaca, pengunjung, kondisi kesehatan harimau tersebut, dan lain-lain. Namun, nilai koefisien inbreeding juga dapat

97,87% 1,81%

0,14% 0,19%

Perilaku Malam Wage

Istirahat Pacing Buang Air Minum

97,27% 2,41% 0,23% 0,09%

Perilaku Malam Yopi

Istirahat Pacing Buang Air Minum

97,87% 1,67%

0,23% 0,23%

Perilaku Malam Melino

Istirahat Pacing Buang Air Minum

96,90% 2,69% 0,14%

0,28%

Perilaku Malam Marti

(25)

15 berdampak secara tidak langsung. Menurut Thohari (1986), individu hasil perkawinan silang dalam atau inbreeding umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki kemampuan reproduksi kurang, dan memiliki ketahanan tubuh yang buruk. Hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan-kekurangan pada individu harimau yang berdampak pada perilakunya.

Perilaku dominan yang dilakukan oleh satwa adalah perilaku istirahat. Menurut Aunurohim dan Ganesa (2012) perilaku istirahat merupakan kondisi saat harimau sama sekali tidak melakukan aktivitas apapun sebagai aktivitas utamanya. Meliputi kondisi dimana harimau berada pada posisi istirahat, antara lain berbaring, tidur-tiduran, dan duduk baik dengan mata terbuka maupun tertutup. Perilaku istirahat yang terlalu banyak menandakan kurangnya aktivitas yang dilakukan oleh harimau sumatera sehingga dapat menjadi parameter untuk melihat keaktifan satwa dan juga dapat dijadikan indikator adanya tekanan inbreeding pada satwa. Semakin besar persentase aktivitas istirahatnya, maka dapat dikatakan bahwa harimau semakin tidak aktif. Selain dari perilaku istirahatnya, keaktifan juga dapat dilihat dari perilaku bergerak satwa. Perilaku bergerak adalah perilaku berpindahnya harimau, baik dengan cara berjalan maupun berenang.

Dari segi keaktifan, Marti yang memiliki jenis kelamin betina, berumur 14 tahun, dan memiliki koefisien inbreeding 0,125 memiliki persentase perilaku istirahat yang paling tinggi dan persentase bergerak yang paling rendah dibandingkan harimau lainnya. Wage, harimau betina berumur 23 tahun dengan koefisien inbreeding 0 memiliki persentase istirahat yang paling kecil dibandingkan harimau lainnya, walaupun umurnya merupakan yang paling tua diantara harimau lainnya. Melino, harimau jantan berumur 15 tahun dengan koefisien inbreeding 0,125 memiliki persentase bergerak yang lebih tinggi dibandingkan dengan harimau lainnya. Sedangkan Yopi, harimau betina berumur 4 tahun dengan koefisien inbreeding 0,313 memiliki persentase istirahat yang lebih tinggi daripada Wage dan Melino, walaupun masih lebih rendah dibandingkan Marti. Yopi juga memiliki persentase bergerak yang lebih rendah dibandingkan Wage dan Melino, namun masih lebih tinggi dibandingkan Marti. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa harimau yang memiliki tingkat keaktifan terendah adalah Marti. Hal ini juga dapat terlihat dari kondisi kesehatannya yang paling kurang baik dibandingkan kondisi harimau lainnya. Sedangkan Wage dan Melino merupakan harimau sumatera yang memiliki tingkat keaktifan paling tinggi.

Koefisien inbreeding bukan faktor tunggal yang menentukan keaktifan dan perilaku harimau. Hal ini dapat dilihat pada Yopi yang memiliki koefisien inbreeding terbesar, namun dari segi keaktifan terlihat lebih aktif dibandingkan Marti yang memilliki koefisien inbreeding lebih kecil, walaupun lebih kurang aktif apabila dibandingkan dengan Wage dan Melino. Melino, walaupun memiliki koefisien inbreeding yang sama besar dengan Marti, namun terlihat lebih aktif dan memiliki kondisi tubuh yang lebih baik. Dan walaupun memiliki koefisien inbreeding yang berbeda, namun tingkat keaktifan Melino dan Wage terlihat setara.

(26)

16

meliputi interaksi beberapa komponen sistem saraf hewan dengan efektor, dan juga berbagai interaksi kimia, penglihatan, pendengaran, atau sentuhan dengan organisme lain. Selain itu, faktor lingkungan juga mempengaruhi perilaku satwa, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar.Lingkungan dalam terdiri dari antara lain hormon, rasa sakit, getaran, rasa tidak nyaman, dan metabolisme tubuh. Sedangkan lingkungan luar terdiri atas kondisi, suhu, makanan, air minum, cahaya matahari, gravitasi, tekanan udara, tempat tinggal, hubungan dengan mahluk lain baik intra maupun inter spesies (Campbell et al. 1999).

Yopi, walaupun bukan merupakan yang paling aktif, namun merupakan yang paling agresif diantara harimau lainnya. Hal ini dapat dilihat dari persentase interaksi sosial Yopi yang paling besar. Yopi adalah harimau yang paling sering menyerang harimau lainnya, dan juga yang paling reaktif apabila ada interaksi dengan manusia seperti dengan keeper.

Selain itu, perilaku yang bisa dijadikan indikator terjadinya tekanan inbreeding pada satwa adalah perilaku pacing. Perilaku pacing atau mondar mandir adalah perilaku dimana satwa terus menerus berjalan bolak-balik atau membentuk lingkaran dengan jalur tertentu. Perilaku ini dikategorikan sebagai perilaku abnormal (strereotypic) yang mengindikasikan adanya stress pada satwa (Kurniawan 2001). Perilaku stereotypic adalah perilaku abnormal yang dilakukan secara repetitif dan tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Perilaku abnormal ini disebabkan oleh kurangnya stimuli pada harimau yang menyebabkan timbulnya kebosanan dan kurangnya aktivitas. Perilaku pacing ini juga dikatakan sebagai perilaku yang menandakan keinginan satwa untuk membebaskan diri, namun tidak bisa karena adanya penghalang atau batas pada kandang. Pengaruh adanya hewan lain yang berinteraksi dengan satwa, atau adanya pengunjung juga dapat memicu munculnya perilaku pacing (Stevenson 1983).

Persentase dilakukannya pacing oleh Yopi merupakan yang tertinggi diantara harimau lainnya yaitu 12%. Hal ini menandakan adanya stress pada harimau. Menurut keeper harimau sumatera di Kebun Binatang, Yopi merupakan harimau yang sedang mengalami masa dewasa kelamin, namun pada saat ini Kebun Binatang Bandung tengah melakukan stop breeding atau penghentian upaya pengawinan satwa sehingga diduga Yopi menderita stress akibat tidak dapat tersalurkannya sexual desire atau kebutuhan kawinnya.

(27)

17 Ciri Fisik

Setiap harimau memiliki ciri-ciri yang berbeda antar individunya. Ciri fisik yang dapat diamati pada harimau sumatera antara lain terdiri dari ukuran tubuh, bentuk anggota tubuh, motif loreng harimau, dan kelengkapan anggota tubuh. Inbreeding juga dapat mempengaruhi fisik harimau. Kondisi satwa juga dapat dilihat dari kondisi fisiknya. Fisik satwa dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satu faktor yang mempengarui ciri fisik satwa adalah faktor genetik. Pada satwa yang merupakan hasil dari inbreeding dan mengalami inbreeding depression atau tekanan inbreeding, kelainan fisik atau perubahan ciri fisik sangat mungkin terjadi. Thohari (1986) juga mengatakan bahwa individu hasil perkawinan silang dalam atau inbreeding dapat menyebabkan satwa memiliki kekuatan atau kesegaran badan yang jelek, dan mengurangi penampilan (performance).

Deskripsi ciri fisik atau morfologis dari harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung berdasarkan koefisien inbreeding dan jenis kelaminnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Deskripsi ciri fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung Nama Jenis Kelamin Umur Koefisien

Inbreeding

Ciri Fisik

Melino Jantan 15 tahun 0,125 a. Bentuk badan normal b.Warna loreng terlihat jelas

c. Warna tubuh oranye cokelat terang d.Memiliki surai panjang

e. Memiliki luka di siku kanan

Wage Betina 23 tahun 0 a. Bentuk tubuh normal namun memiliki gelambir di perut bekas melahirkan

b.Warna loreng terlihat jelas

c. Warna tubuh oranye kecokelatan cerah

d.Terdapat luka di sekitar kaki depan Yopi Betina 4 tahun 0,313 a. Bentuk tubuh normal namun

berukuran kecil

b.Warna loreng kurang jelas

c. Warna tubuh oranye kecokelatan gelap

(28)

18

Berikut adalah penampilan fisik dari masing-masing harimau yang diamati, yaitu Melino, Wage, Yopi dan Marti dalam Gambar 6.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6 Foto perbandingan Melino (a) Wage (b) Yopi (c) Marti (d) Dari seluruh harimau sumatera yang ada di Kebun Binatang Bandung, harimau dengan ukuran terbesar adalah Melino. Melino merupakan jantan tertua yang ada di Kebun Binatang Bandung dengan koefisien inbreeding 0,125. Ciri khas dari Melino adalah surainya yang panjang. Melino memiliki kondisi fisik yang baik dengan anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi dengan baik. Ada terdapat luka di siku kanan Melino yang masih berbekas. Menurut keeper, luka pada harimau tersebut kurang jelas disebabkan oleh apa, namun kemungkinan besar disebabkan oleh interaksi dengan harimau lain yang memiliki kandang bersebelahan dengan Melino yaitu Wage, Manik, dan Yopi. Menurut keeper, luka tersebut sudah lama ada pada tubuh Melino dan bekasnya masih jelas terlihat. Warna tubuh Melino oranye kecokelatan cerah dengan loreng yang terlihat jelas.

(29)

19 Yopi merupakan harimau dengan ukuran tubuh terkecil diantara harimau lainnya. Walaupun Yopi merupakan harimau yang paling muda diantara harimau lainnya, namun dalam ukuran umur harimau, Yopi telah termasuk ke dalam kategori harimau dewasa sehingga ukurannya yang kecil merupakan sesuatu yang tidak normal. Yopi memiliki warna tubuh oranye kecokelatan yang cenderung lebih gelap dan warna hitam pada loreng-loreng di tubuhnya cenderung kurang pekat. Yopi memiliki sedikit luka-luka di bagian kaki dan ekornya, namun anggota tubuh Yopi dalam kondisi yang normal dan dapat berfungsi dengan baik. Marti merupakan harimau betina yang ukuran tubuhnya juga lebih kecil dibandingkan rata-rata namun masih sedikit lebih besar dibandingkan Yopi. Marti menderita gigi patah pada gigi taring bawah sebelah kirinya yang disebabkan kebiasaannya menggigiti pagar kandang yang terbuat dari besi (Gambar 7). Marti memiliki warna tubuh yang kurang cerah, bulu yang kusam, dan warna hitam pada loreng-lorengnya cenderung kurang terang.

Gambar 7 Foto Marti yang tidak memiliki gigi taring bawah sebelah kiri

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara keempat obyek pengamatan. Wage dan Melino memiliki kondisi fisik yang cenderung lebih baik dibandingkan Marti dan Yopi. Melino dan Marti yang memiliki kondisi fisik yang cukup berbeda memiliki nilai koefisien inbreeding yang sama besar, dan Melino dan Wage, serta Marti dan Yopi yang memiliki kondisi fisik yang cenderung serupa memiliki nilai koefisien inbreeding yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya inbreeding bukan merupakan faktor tunggal terjadinya abnormalitas pada satwa. Faktor lain seperti faktor lingkungan juga dapat berpengaruh.

(30)

20

terbatas dengan tekanan stress yang tinggi. Hal ini menyebabkan satwa di Kebun Binatang rentan mengalami efek dari munculnya gen lethal yang disebabkan oleh adanya tekanan inbreeding. Namun, dikarenakan inbreeding pada harimau sumatera yang sekarang berada di Kebun Binatang Bandung masih tergolong di kategori sedang, maka pengaruh tekanan inbreeding pada kondisi harimau sumatera belum terlihat jelas. Menurut Cervantes et al. (2007) inbreeding baru dikatakan tinggi apabila koefisien inbreeding rata-ratanya berada diatas 12,5%. Sehingga kemungkinan, apabila harimau sumatera yang berada di Kebun Binatang Bandung saling dikawinkan kembali, akan menghasilkan anakan harimau yang memiliki potensi terkena tekanan inbreeding lebih tinggi, seperti perubahan perilaku, cacat, sakit, atau bahkan kematian.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Ditemukan inbreeding pada harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dengan nilai koefisien inbreeding rata-rata 0,117 atau 11,7% yang termasuk ke dalam kategori sedang.

2. Manajemen Kebun Binatang Bandung melakukan pemberhentian pengawinan atau stop breeding terhadap harimau sumatera, namun sebelumnya mengawinkan satwa atas dasar kecocokan satwa.

3. Terdapat perbedaan antara perilaku dan ciri fisik antara harimau dengan koefisien inbreeding yang berbeda, dan beberapa kondisi abnormal pada obyek harimau yang diamati, namun dugaan terjadinya tekanan inbreeding masih harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut karena terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kondisi harimau sumatera yaitu faktor lingkungan, kesehatan, stress, dan keadaan lainnya yang mungkin dialami satwa.

Saran

Berikut beberapa hal yang dapat disarankan dari penelitian ini, antara lain: 1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut menganai dampak inbreeding dari

segi kualitas genetik untuk mengetahui sejauh mana inbreeding dapat mempengaruhi satwa, terutama mengenai pengaruh inbreeding terhadap efek gen lethal pada satwa.

2. Perlu adanya penelitian serupa di lokasi lain dengan menggunakan obyek penelitian dengan jumlah lebih banyak dan variasi koefisien inbreeding yang lebih luas sebagai data pembanding dan untuk mendapatkan hasil data yang lebih valid.

(31)

21

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1983. Ekologi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Allendorf FW, Luikart G. 2008. Conservation and The Genetics of Population. Malden, Oxford (UK): Victoria Blackwell Publishing

Altmann J. 1974. Observational Study of Behavior: Sampling Method. Behavior. 49:227-267.

Armbruster P, Reed DH (2005). Inbreeding Depression in Benign and Stressful Environments. Heredity. 95: 235–242.

Aunurohim, Ganesa A. 2012. Perilaku Harian Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dalam Konservasi Ex-situ Kebun Binatang Surabaya. Jurnal Sains dan

Seni ITS.1(1): 48-53.

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 1999. Biology. 5th ed. Menlo Park (US): Benjamin/Cummings Publishing Co.

Cervantes I, Molina A, Goyache, Gutterrez JP, Valera M. 2007. Population History and Genetic Variability in the Spanish Arab Horse Assessed via Pedigree Analysis. Elsevier B. V. Livestock Science 113: 24-33.

Dinarwati D. 2011. Evaluasi Koefisien dan Laju Inbreeding pada Kuda Militer di Detasemen Kavaleri Berkuda (DENKAVKUD) Parongpong, Bandung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Felisia. 2014. Pengelolaan Penangkaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Taman Safari Indonesia, Cisarua [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Geptner VG, Nasimovich AA, Bannikov AG. 1992. Mammals of the Soviet Union: Carnivora (Hyaenas and Cats). New Delhi (IN): Amerind Publishing.

[IUCN/SSC] The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Cambridge (UK): IUCN Publication Service Unit.

Kitchener AC. 1991. The Natural History of Wild Cats. London (UK): Christopher Helm A & C Black.

Kurniawan HM. 2001. Koefisien Kawin-Dalam Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Empat Kebun Binatang di Jawa. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Lasley JF. 1972. Genetics of Livestock Improvement 2nd ed. USA: Prentice-Hall Inc.

Lacy RC. 2000. Should We Select Genetic Alleles in Our Conservation Breeding Programs. Zoo Biol. 19: 279–282

Martin P, Bateson P. 1993. Measuring Behaviour. An Introductory Guide. Ed 2. Cambridge (UK): Cambridge University Press.

Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

(32)

22

Nurana K. 1989. Studi Teknik Penangkaran Jalak Bali (Leocopsar rothschildi Stresemann 1912) di Taman Nasional Bali Barat dan Kebun Binatang Surabaya [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Partodihardjo S. 1977. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta (ID): Mutiara.

Putra AE. 2011. Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Ralls K, Harvey PH, Lyles AM. 1986. Inbreeding in Natural Populations of Bird and Mammals. Conservation Biology: The Science of Scarcity and Diversity. Massachussets (US): Sinaeur Association Inc. Publ. 1:35-36 [REI] Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1988. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna.

Jakarta (ID): Dai Nippon Printing Indonesia.

Schaller GB. 1967. The Deer and the Tiger: A Study of Wildlife in India. Chicago (US): The University of Chicago Press.

Seidensticker J. 1986. Large Carnivores and The Consequences of Habitat Insularization: Ecology and Conservation of Tigers in Indonesia and Bangladesh. Washington DC (US): National Zoological Park, Smithsonian Institution.

Seidensticker J, Chistie S, Jackson P. 1999. Introducing the Tiger. Cambridge (UK): Cambridge University Pres. Page 1-3

Semiadi G, Nugraha RPT. 2006. Profil Reproduksi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Tingkat Penangkaran. Jurnal Biodiversitas volume 7 nomor 4: 368-371.

Senner JW 1980. Inbreeding Depression and The Survival of Zoo Populations. Conservation Biology: The Science of Scarcity and Diversity. Massachussets (US): Sinaeur Assoc.Inc. Publ. 1:209-242

Shepherd CR, Magnus N. 2004. Nowhere to Hide: The Trade in Sumatran Tiger. TRAFFIC Southeast Asia. Special Report.

Sherpa NM, Maskey TM. 1998. Year for The Tiger: Tiger Manual, Indirect Field Study Techniques for the Kingdom of Nepal. Nepal (NP): WWF Nepal Program

Siswomartono D, Samedi, Andalusi N, Hardjanti FI. 1994. Strategi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929). Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Smith DL. 1994. Population Viability Analysis Data Form-Mammals. Minnesota (US): Fisheries and Wildlife Department.

Stansfield WD. 1991. Genetika. Jakarta (ID): Erlangga.

Stevenson MF. 1983. The Captive Environment: Its Effect On Exploratory and Related Behavioural Responses in Wild Animals. Exploration in Animals and Man. Van Nostrand Rheinhold (UK) : J. Archer and L. Birke, eds. 1983: 176-197.

Tanudimadja K. 1978. Ethologi (diktat). Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Veteriner, Institut Pertanian Bogor.

(33)

23 Thohari M. 1986. Gejala Inbreeding dalam Penangkaran Satwaliar. Media

Konservasi 1(4): 1-10

Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1990. Pemuliaan Ternak. Yogyakata: Gajah Mada University Press.

Wiener G. 1994. Animal Breeding, Centre or Tropical Veterinary Medicine. Edinburgh (UK): University of Edinburgh.

Wiggans GR, Van Raden PM, Zuurbier J. 1995. Calculation and Use of Inbreeding Coefficients for Genetic Evaluation of United States Dairy Cattle. J. Dairy Sci. 78:1584-1590.

(34)

24

Lampiran 1 Studbook Harimau Sumatera di Kebun Binatang Bandung

(35)

25 Lampiran 2 Perhitungan Nilai Koefisien Inbreeding Harimau Sumatera di KBB a). Wage (953) : Betina (♀)

Fx Wage

b). Melino (1126) : Jantan (♂)

Fx Melino

c). Marta (1187) : Jantan (♂)

Fx Marta

Lintasan N Kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N Kontribusi

1126-953-532-942-1126

3

Fx 0,125

Lintasan n Kontribusi

1187-953-532-942-1187

3

(36)

26

Lampiran 2 Perhitungan Nilai Koefisien Inbreeding Harimau Sumatera di KBB (lanjutan)

d). Marti (1188) : Betina (♀)

Fx Marti

e). Fitra : Betina (♀)

Fx Fitra

f). Fitri : Betina (♀)

Fx Fitri

Lintasan n Kontribusi

1188-953-532-942-1188

3

Fx 0,125

Lintasan N Kontribusi

Fitra-953-532-942-Fitra

3

Fx 0,125

Lintasan N Kontribusi

Fitri-953-532-942-Fitri 2

(37)

27 Lampiran 2 Perhitungan Nilai Koefisien Inbreeding Harimau Sumatera di KBB

(lanjutan) g). Manik : Betina (♀)

Fx Manik

h). Yopi : Betina (♀)

Fx Yopi

Lintasan n Kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan n Kontribusi

Yopi-953-1126-Yopi 2

Yopi-953-532-942-1126-Yopi

4

(38)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 18 April 1994 sebagai anak pertama dari dua bersaudara daripasangan Bapak Ir. Achmad Rivani dan Ibu Ir. Riva Loka Agustina. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu SD Priangan Bandung (1999-2005), SMPN 2 Bandung (2006-2008), SMAN 2 Bandung (2009-2011), dan kemudian penulis melanjutkan studi di Departmen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2011 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negara (SNMPTN) ujian tulis.

Selama perkuliahan penulis aktif di Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (LAWALATA IPB) dan pernah menjabat sebagai Koordinator Divisi Panjat (2012-2013), Koordinator Badan Pembinaan Calon Anggota (BPCA) (2013-2014), dan Koordinator Divisi Manusia dan Lingkungan (2013-2014). Penulis juga pernah mengikuti ekspedisi Studi Lapangan Anggota sebagai anggota ekspedisi ke Taman Nasional Siberut di Sumatera Barat dalam penelitian mengenai monyet ekor babi (Simias concolor) pada tahun 2012, sebagai koordinator ekspedisi ke Taman Nasional Manupeu Tanah Daru di Sumba dalam penelitian mengenai Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata ) pada tahun 2013, dan sebagai anggota pendamping ekspedisi ke Taman Nasional Wasur di Merauke dalam penelitian mengenai Walabi Lincah (Macropus agilis) pada tahun 2015. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Papandayan – Sancang Timur (2013), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2015), dan Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (2015). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi

Gambar

Tabel 1 Data harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
Tabel  3  Durasi perilaku harian siang harimau sumatera di Kebun Binatang
Gambar 4   Perilaku siang harimau sumatera Wage (a), Perilaku siang harimau
Gambar 5 Perilaku malam harimau sumatera Wage (a), Perilaku malam harimau
+4

Referensi

Dokumen terkait