• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat."

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) adalah satu dari tiga subspesies harimau yang masih hidup di Indonesia saat ini. Dua subspesies lain

yaitu harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigris

sondaica) telah dinyatakan punah, meskipun ada beberapa pihak yang masih meyakini harimau jawa masih ada.

Populasi harimau sumatera pada saat ini cukup menghawatirkan seiring

dengan semakin berkurangnya hutan sebagai habitatnya. Menurut Siswomartono et. al (1994), jumlah populasi harimau sumatera di alam diperkirakan tinggal 400-500

ekor. Harimau sumatera merupakan satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah

No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Harimau sumatera

juga masuk dalam kategori Apendix I dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang berarti bahwa harimau

sumatera merupakan satwa yang terancam punah dan tidak diijinkan diperdagangkan

dalam bentuk apapun. Berdasarkan IUCN (The International Union for Conservation of Nature and Resources), sejak tahun 1994 harimau sumatera merupakan satwa sangat terancam punah (critically endangered) dalam daftar Red Data Book of

Endangered Species.

Pengurangan hutan sebagai habitat harimau sumatera juga diduga

berpengaruh terhadap jumlah satwa mangsanya. Satwa mangsa merupakan salah satu

kebutuhan utama harimau sumatera demi kelangsungan hidupnya. Berkurangnya

satwa mangsa merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan hidup

harimau sumatera (Karanth dan Stith, 1999). Sebagai satwa karnivora sejati, harimau

sangat menggantungkan hidupnya pada keberadaan satwa mangsa sebagai sumber

pakannya (Kitcherner, 1991). Ketersediaan satwa mangsa yang cukup di dalam

habitatnya menjadi syarat yang harus terpenuhi agar harimau sumatera tetap lestari.

(2)

memilih terhadap jenis satwa tertentu yang dijadikan sebagai pakan utamanya

(Schaller, 1967 dalam Endri, 2006).

Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki berbagai jenis satwa mangsa

harimau sumatera, seperti babi jenggot, babi hutan, kijang, kambing hutan, rusa,

kelinci sumatera (Rizwar et al.2001 dan Supriyanto et al. 2000). Kondisi hutan yang masih baik sangat mendukung kehidupan harimau sumatera dan satwa mangsanya.

Walaupun demikian, kawasan hutan TNKS tetap tidak terlepas dari berbagai macam

ancaman perusakan hutan seperti illegal logging, perburuan, pencurian kayu dan perambahan lahan. Jika ancaman tersebut terus berlangsung, maka kelangsungan

hidup harimau sumatera tentu akan terancam dan bila terus terjadi maka secara tidak

langsung akan menyebabkan populasi harimau sumatera di TNKS punah.

Oleh karena itu, penelitian terhadap sebaran spasial aktivitas sangat penting

dilakukan. Dari penelitian tersebut, diharapkan dapat memberikan informasi dan data

mengenai bentuk dari sebaran spasial aktivitas harimau sumatera yang menyangkut

penggunaan habitat yang ada di TNKS. Pengetahuan tentang informasi tersebut

sangat berguna untuk membantu dalam upaya pengelolaan dan perlindungan

lokasi-lokasi yang merupakan habitat dari harimau sumatera dan satwa mangsanya yang

merupakan upaya-upaya untuk pelestarian harimau sumatera saat ini dan masa yang

akan datang.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera di wilayah studi.

2. Membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh harimau

sumatera dengan karakteristik habitat di wilayah studi.

(3)

C. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data

mengenai sebaran spasial aktivitas harimau sumatera yang berkaitan dengan habitat

yang digunakan. Informasi dan data tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai

bahan pertimbangan dalam menentukan pengelolaan dan perlindungan daerah

prioritas pengamanan untuk kelestarian harimau sumatera dan habitatnya yang ada di

wilayah studi khususnya dan umumnya di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi Harimau 1. Taksonomi

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang masuk ke dalam

keluarga kucing. Slater dan Alexander (1986) mengklasifikasikan harimau

sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Sub Spesies : Panthera tigris sumatrae (Pocock,1929)

Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya sudah

dinyatakan punah (Grzimek, 1975), subspesies tersebut yaitu :

1. Panthera tigris altaica (Temminck, 1984) ; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.

2. Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer, 1905) ; Harimau Cina, terdapat di Cina.

3. Panthera tigris corbetti (Mazak, 1968) ; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.

4. Panthera tigris tigris (Linnaeus, 1758) ; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.

(5)

6. Panthera tigris sondaica (Temminck, 1844) ; Harimau Jawa, terdapat di Pulau

Jawa, dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980.

7. Panthera tigris balica (Schwarz, 1912) ; Harimau bali, terdapat di Pulau Bali, sudah dinyatakan punah pada tahun 1937.

8. Panthera tigris virgata (IIIiger, 1815) ; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950.

2. Morfologi

Menurut Mazak (1981) harimau sumatera merupakan subspesies yang

mempunyai ukuran tubuh paling kecil dibandingkan dengan 5 subspesies harimau

lain yang masih ada. Harimau Sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata

antara 75-110 kg dengan panjang 2,15-2,30 m. Umumnya ukuran harimau jantan

lebih besar dibandingkan dengan harimau betina. Hewan ini memiliki rambut pada

badannya sepanjang 8 – 11mm, surai pada harimau sumatera jantan berukuran

panjang 11 – 13 cm. Rambut di dagu, pipi dan belakang kepala lebih pendek. Panjang

ekor sekitar 65 – 95 cm (Mountfort, 1973 ; Treep, 1973 ; Hafild dan Aniger, 1984 ;

Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; MacDonald, 1986; Sutedja dan Taufik, 1993 ;

Saleh dan Kambey, 2003 dalam Lestari 2006).

Harimau sumatera mempunyai warna tubuh bagian atas lebih gelap dari pada

subspesies lain, dan bergaris yang lebih jelas. Warna dasar dari harimau adalah jingga

(orange) dengan garis-garis belang berwarna hitam sampai coklat tua yang lebih lebar

sehingga cenderung lebih jarang (Mazak, 1981; MacDonald, 1984). Garis belang

yang kecil dan hitam akan terlihat diantara garis yang biasa terdapat pada belakang

punggung, panggul, dan kaki belakang. Belang pada harimau menurut beberapa ahli

berfungsi untuk kamuflase dan bersembunyi dari mangsa incaran (gambar 1). Sebagai

perbandingan, harimau sumatera memiliki belang yang paling banyak diantara

subspesies lainnya, sedangkan harimau siberia merupakan spesies yang memiliki

(6)

Gambar 1 Morfologi Harimau Sumatera (FFI-MHS KS 2008).

3.Populasi dan Distribusi

Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah

pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan

dataran rendah hingga hutan sub-pegunungan dan hutan pegunungan. Harimau di

Aceh hidup di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungai Litur, Batang

Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak. Di daerah Silindung, harimau

kebanyakan terdapat di daerah padang alang-alang dan bahkan di daerah hutan pantai

yang berlumpur. Mereka juga hidup di dataran Bengkalis (Suwelo dan Sumantri,

1978 dalam Lestari, 2006).

Menurut perkiraan pada saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah

500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di

Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi

dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan

(7)

Tabel 1 Perkiraan Populasi Harimau Sumatera di Kawasan Lindung Utama

TN Kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76

TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68

TN Berbak 163.000 14.000 50

Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan taktik perburuan

individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh

mangsanya. Namun, tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada

beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam

dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian

tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin

berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe

habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan

pengalaman (Sunquist et al., 1999). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling

(Manis javanica).

Seperti kucing besar lainnya, harimau memiliki adaptasi morfologi yang

memudahkannya untuk berburu mangsa dengan ukuran yang cukup besar, tungkai

belakang memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding dengan tungkai depan,

dengan keadaan ini akan memungkinkan bagi harimau untuk melakukan lompatan

secara maksimal, tungkai depan dan bahu memiliki otot yang lebih padat dan lebih

(8)

panjang dan tajam, tengkorak rahang memendek sehingga dapat meningkatkan daya

gigit atau jepit (MacDonald, 1984).

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali

tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor

kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200

kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan 5-6 kg daging

per hari (Seidensticker et al,. 1999).

b. Perilaku Reproduksi

Harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan

sengatan cahaya matahari langsung. Biasanya harimau aktif pada pagi, sore dan

malam hari. Waktu siang hari digunakan untuk beristirahat dan tidur di tempat

yang teduh dan terlindung dari sinar matahari (Tilson et al., 1997). Harimau merupakan satwa yang hidup soliter, namun akan berkelompok jika pada saat masa

kawin. Masa kehamilan harimau 103 hari, masa estrus betina ( harimau betina mau

menerima jantan untuk melakukan perkawinan) sangat cepat diikuti dengan pergi

atau matinya harimau muda (Sunquist et al., 1999).

Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari

aroma khas urinnya (McDougal 1979). Selama masa birahi, harimau betina lebih

agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit beristirahat.

c. Daya Jelajah dan Teritori

Harimau merupakan satwa yang hidup soliter. Umumnya individu harimau

memiliki daerah teritori yang selalu dijaga agar tidak dilalui oleh individu harimau

lain. Setiap jenis harimau memiliki daerah jelajah (home range) yang berbeda-beda.

Umumnya harimau jantan memiliki daerah jelajah yang lebih luas dibandingkan

dengan harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dari

pada harimau betina, sebagian harimau betina philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith, 1993 dalam Rudiansyah 2007). Lebih lanjut mengemukakan,

(9)

jelajah rata-rata harimau betina adalah kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. hal ini

bukan berarti harimau tidak mampu menjelajah lebih jauh, akan tetapi daya jelajah

harimau tergantung dari daya tahan tubuhnya.

Harimau meninggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses untuk menandakan daerah teritorinya. Ukuran teritori untuk seekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya

persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (Mac Donald, 1986; Treep, 1973

dalam Hutabarat, 2005). Luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah

harimau akan menjadi lebih luas (Tilson, et al., 1997).

5. Habitat

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik

fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat

hidup dan berkembangbiak satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut mengemukakan,

bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung,

serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis

lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.

Harimau sumatera tersebar merata di Sumatera akan tetapi keadaan populasi

dan persebarannya sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, karena belum

ada penelitian khusus tentang hal itu. Harimau merupakan jenis kucing besar yang

mampu beradaptasi pada habitat yang berbeda-beda. Satwa ini hidup menyebar di

delapan tipe habitat penting di Asia meliputi : hutan hujan dataran rendah, hutan

tropis kering dan mangrove, hutan subtropis dan hutan musim, hutan subtropis basah,

padang rumput, hutan konifer, dan hutan boreal taiga (Sherpa dan Makey 1998).

Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami

daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan

menyerang mangsanya secara tiba-tiba (MacDonald, 1984). Secara umum harimau

memiliki sifat soliter terutama pada yang jantan dan harimau betina yang sedang

(10)

bahwa harimau sumatera yang ada di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dapat

hidup dengan baik pada daerah yang ada di TNWK mulai dari habitat alang-alang,

padang rumput, hutan sekunder, daerah rawa serta semak belukar. Bahkan harimau

di TNWK dapat menyeberangi sungai untuk bisa menjangkau daerah lainnya yang

masih ada dalam teritorinya.

Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau

dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan

perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah

perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni

oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil.

Harimau Sumatra menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar

sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992).

Menurut Santiapillai dan Ramono (1985), distribusi harimau sumatera tidak

hanya ditentukan oleh jumlah ketersediaan habitat atau vegetasi hutan yang cocok.

Adanya pemangsa dan kompetisi dengan karnivora yang lain juga merupakan salah

satu ancaman. Tidak seperti keluarga kucing lainnya, harimau sangat suka air dan

dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera sangat mudah

beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi satwa ini

kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Tipe habitat yang

biasanya menjadi pilihan bagi harimau sumatera di Indonesia sangat bervariasi

(Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006) yaitu sebagai berikut :

1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah

sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan hutan

pantai.

2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar.

3. Padang rumput terutama padang alang-alang.

4. Daerah datar sepanjang aliran sungai.

5. Daerah perkebunan dan tanah pertanian.

Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau

(11)

mendukung kelangsungan hidup harimau karena terdapat kepadatan populasi mangsa

yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau jarang

menjelajah sampai ke hutan mangrove, satwa ini lebih memilih daerah yang tidak

selalu tergenang dan terdapat areal yang kering.

6. Satwa Mangsa

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora pemakan daging yang tidak

dapat menggantikan pakannya dengan tumbuhan karena struktur anatomi alat

pencernaannya khusus sebagai pemakan daging. Oleh karena keberadaan satwa

mangsa sangat penting sebagai pakan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keluarga kucing besar seperti harimau merupakan satwa karnivora spesialis yang

cenderung untuk menangkap beberapa jenis mangsa dengan rata-rata kurang lebih

empat jenis (Kitcherner, 1991 ; Jackson, 1990).

Jenis-jenis felidae termasuk harimau merupakan satwa opportunis, namun

dalam pemilihan makan, harimau cenderung melakukan pemilihan. Satwa mangsa

utama harimau adalah satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae (Karanth dan

Sunquist, 1995). Namun demikian dalam pemilihan makan biasanya satwaliar

digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002).

B. Pola Sebaran Spasial Satwaliar

Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak, kelompok,

dan sistematis. Pola penyebaran tersebut merupakan bentuk strategi untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Menurut Kartono

(2000) pola penyebaran suatu jenis satwaliar disebabkan oleh adanya hubungan

kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya (pakan dan

ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas

sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar.

Ada dua tipe satwa dalam beraktivitas, yaitu soliter dan agregatif. Satwa

(12)

sedangkan satwa agregatif adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya

hidup dalam kelompok. Harimau sumatera merupakan satwa yang hidup soliter,

tetapi pada saat tertentu hidup berkelompok seperti saat kawin dan mengasuh anak.

Pola sebaran spasial adalah pola penyebaran satwaliar pada wilayah

jelajahnya. Menurut Tarumingkeng (1994) bahwa pola sebaran spasial dapat

berbentuk acak, berkelompok, dan sistematik. Pola sebaran spasial acak adalah

satwaliar menyebar secara acak atau tidak tentu, baik dalam jumlah maupun

wilayahnya. Pola sebaran spasial berkelompok adalah penyebaran satwaliar dalam

satu atau beberapa kelompok saja. Pola sebaran spasial sistematik adalah satwaliar

menyebar secara merata dalam suatu wilayah tertentu. Pola sebaran spasial sangat

ditentukan oleh sumberdaya yang tersedia dan juga predator satwa tersebut.

Tarumingkeng (1994) menjelaskan bahwa untuk pola sebaran spasial

mengelompok dapat disebabkan oleh sifat spesies yang gregarious (bergerombol) atau adanya keragaman (heterogeneity) habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang terdapat banyak sumberdaya seperti makanan dan sebagainya.

Hutchinson (1953) dalam Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa penyebab perbedaan pola sebaran spasial diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu :

1. Faktor vektoral, yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah aliran air dan intensitas cahaya.

2. Faktor reproduktif, yang berkaitan dengan cara berkembang biak suatu organisme. 3. Faktor sosial, sebagai sifat yang dimiliki spesies tertentu atau perilaku bawaan

waktu lahir, misalnya perilaku teritori. Penyebab terjadinya karena sifat social

pada spesies-spesies tertentu seperti pada beberapa jenis kera yang membentuk

kelompok pada suatu areal tertentu.

4. Faktor koaktif, yang timbul sebagai akibat interaksi interen dan inter spesies,

seperti persaingan ruang, pakan dan pasangan.

(13)

Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola

penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran

spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera

juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera

menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya

seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran

spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan

perilaku) dari satwa itu sendiri. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola

sebaran spasial suatu ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks

penyebaran (dispersion index), yaitu : indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan indeks Greens (GI).

C. Pola Penggunaan Ruang

Habitat sebagai ruang bagi satwaliar dalam melakukan berbagai aktivitas

hidupnya digunakan dalam suatu pola tersendiri yang menjadikan ciri khas bagi jenis

satwa tertentu. Pola sebaran spasial sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang,

hal ini untuk mengetahui jenis habitat seperti apa yang ditempati oleh harimau

tersebut. Menurut Legay dan Debouzie (1985) dalam Santosa (1990), pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwaliar dengan

habitatnya. Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diteliti ada dua hal yaitu

wilayah jelajah dan pergerakan. Hal ini untuk mengetahui seberapa jauh satwa

berjalan setiap hari dan seberapa besar home range mereka.

Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa

keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik

dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Anderson, 1985; Bailey, 1984 dalam

Alikodra, 1990). Menurut Weirsung (1973) dalam Hernowo et al. (1991), pembagian pola penggunaan ruang oleh satwaliar di hutan tropika karena adanya stratifikasi tajuk

vegetasi. Strata hutan tropika yang digunakan digolongkan sebagai berikut :

1. Above of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di atas tajuk pohon.

(14)

3. Midle of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah.

4. Scansorial canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah tetapi sering turun ke tanah.

5. Ground living animal, yaitu satwaliar yang hidup di lantai hutan.

Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwaliar di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sejarah penyebaran masa lalu, jenis satwaliar,

kemampuan gerak, penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi

dan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwaliar pada suatu tempat sesuai

dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan yang mendukung.

Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh

keterbatasan, distribusi makanan dan cover, sedangkan pola penggunaan ruang oleh

jantan dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial betina (Osfield et al., 1985

dalam Mauziah, 1994). Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Santosa, 1990). Mobilitas dan wilayah jelajah

merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator strategi

(15)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah dan Status Kawasan

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pertama kali diusulkan menjadi

taman nasional melalui Ketetapan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/x/1982, tanggal

10 Oktober 1982 dengan luas sekitar 1.480.000 ha. TNKS ditetapkan sebagai salah

satu calon taman nasional bertepatan dengan kongres taman nasional sedunia III di

Bali. TNKS merupakan gabungan kelompok hutan yang ada terutama hutan lindung,

cagar alam, dan suaka margasatwa.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dinyatakan secara resmi sebagai

taman nasional pada tahun 1992. Kemudian menteri kehutanan dan perkebunan

menetapkan luas taman nasional ini dengan SK No. 192/Kpts-II/1996 dengan luas

sebesar lebih dari 1.368.000 ha. Setelah penataan batas, berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 901/Kpts-II/1999 luas TNKS menjadi

1.375.349,867 ha. Sesuai dengan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya, alasan utama penetapan kawasan hutan

sebagai Taman Nasional adalah untuk melindungi keanekaragaman hayati yang

terdapat di dalamnya.

Kawasan hutan TNKS sangat kaya akan biodiversity, pentingnya TNKS telah diakui di dunia internasional dengan ditetapkannya TNKS sebagai situs warisan

ASEAN (ASEAN Heritage Site) pada tahun 1991. Pada awal 2004, TNKS, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser

(TNGL) sudah ditetapkan menjadi salah satu Cluster World Heritage Site. Pada tahun 2005, berdasarkan SK No.420/Menhut-II/2004, tanggal 19 Oktober 2004, tentang

Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Produksi Tetap, dilakukan repatriasi

terhadap kawasan Kelompok Hutan Sipurak Hook seluas ± 14,160 ha sehingga luas keseluruhan menjadi ± 1.389.549,867 ha yang meliputi 4 wilayah Propinsi yaitu

Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan atau meliputi 12 (dua belas)

(16)

Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Dharmasraya, Rejang Lebong, Bengkulu Utara,

Muko-Muko Selatan, Musi Rawas dan Kotif Lubuk Linggau).

B. Letak dan Luas

Secara geografis kawasan TNKS terletak pada 100º31’18” – 102º44’1” Bujur

Timur dan 1º7’13” – 3º26’14” Lintang Selatan. Luas keseluruhan TNKS menjadi ±

1.389.549,867 ha setelah dimasukkannya kelompok hutan Sipurak hook. Kawasan hutan Ipuh-seblat secara administratif terletak di Provinsi Bengkulu dengan luas ±

831,02 km². adapun luas dari TNKS terbagi ke dalam 4 Propinsi yaitu sebagai

berikut:

1. Seluas 347.109 Ha terletak di Propinsi Sumatera Barat

2. Seluas 418.051 Ha terletak di Propinsi Jambi

3. Seluas 345.591 Ha terletak di Propinsi Bengkulu, dan

4. Seluas 245.126 Ha terletak di Propinsi Sumatera Selatan

C. Kondisi Fisik Kawasan C.1. Topografi

Kondisi topografi TNKS adalah bergelombang, berlereng curam dan tajam

dengan ketinggian 200 sampai dengan 3.805 meter dpl. Gunung kerinci merupakan

puncak tertinggi dari pegunungan yang ada di kawasan TNKS. Sedangkan topografi

di kawasan Ipuh-seblat berupa dataran rendah, berbukit curam yang ketinggiannya

berkisar 100-1000 mdpl dengan kelerengan sebagian besar 0-30º. Jenis tanah di

kawasan ini adalah berupa Latosol dan atau gabungan antara Latosol dengan podsolik

Merah Kuning, sebagian lainnya adalah campuran Podsolik Merah Kuning dengan

Litosol. Komposisi lainnya berupa Aluvial, Andosol, Regosol dan Organosol

(Supriyanto et al. 2000).

C.2. Iklim

Sebagai bagian dari iklim pulau Sumatera, TNKS memiliki iklim tropis basah

(17)

berkisar antara 3.000 mm. musim hujan berlangsung dari bulan September - Februari

dengan puncak musim hujan pada bulan Desember. Sedangkan musim kemarau

berlangsung dari bulan April – Agustus. Suhu udara rata-rata bervariasi yaitu 28º C di

dataran rendah, 20º C di Lembah Kerinci dan 9º C di puncak Gunung Kerinci.

Sedangkan kelembaban udara mencapai 80% - 100%.

C.3. Hidrologi

Sebelum disahkan sebagai Taman Nasional, kawasan TNKS merupakan

penyatuan dari Kawasan Cagar Alam Indera Pura dan Bukit Tapan, Suaka

Margasatwa Rawasa Huku Lakitan, Bukit Kayu Embun dan Gedang Seblat, serta

hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang memiliki fungsi Hidrologis penting

terhadap wilayah sekitarnya.

Kelompok hutan tersebut merupakan daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu

DAS Batang Hari, DAS Musi dan DAS wilayah pesisir bagian barat. DAS tersebut

sangat vital peranannya terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bagi hidup dan

kehidupan jutaan orang yang tinggal di daerah tersebut.

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berukuran lebar di kawasan ini antara lain

Air Ipuh, Air Seblat, Air Ikan, Air Retak, Air Teramang dan Air Berau. Kemudian

juga terdapat sungai besar lainnya yaitu Air Seblat Merah, Tembulun Air Rami, Air

Madu dan Air Lupu.

C.4. Aksesibilitas

Kota terdekat dengan TNKS yang memiliki pelabuhan udara adalah Padang,

Jambi dan Bengkulu. Perjalanan darat dari jambi ke Sungai Penuh (Lokasi kantor

TN) dapat ditempuh dengan kendaraan umum (bus) melalui bangko selama 24 jam

perjalanan. Selain itu dapat pula ditempuh melalui Padang, Lubuk Linggau dan

Bengkulu. Kemudian dari Sungai Penuh, lokasi yang selanjutnya akan dituju dapat

dicapai dengan kendaraan sewaan dari Sungai Penuh. Waktu tempu Sungai Penuh –

(18)

D. Kondisi Biologi

Secara umum, TNKS memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena

mempunyai keanekaragaman tipe habitat yang sangat kaya dan bervariasi mulai

dari tipe hutan dataran rendah sampai dengan alpin. Kawasan ini merupakan

bagian terbesar dari hutan hujan tropis dari sumatera bagian selatan. Kekayaan

jenisnya sangat tinggi dan telah mewakili seluruh tipe habitat yang terdapat di

Sumatera bagian selatan.

Secara umum kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki

karakteristik hutan yang sangat unik dan khas yang terbagi dalam tipe ekosistem

hutan :

1. Hutan dataran rendah (low land forest).

2. Hutan bukit (hill forest)

3. Hutan sub-montana (sub-montane forest) 4. Hutan montana rendah (lower montane forest) 5. Hutan montana sedang (mid-montane forest)

6. Hutan montana tinggi (upper montane forest), dan 7. Padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket)

8. Lahan basah lain pada wilayah ber rawa, danau dan sungai sungai besar

D.1. Flora

Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki kurang lebih 4000 jenis tumbuhan

yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, termasuk juga terdapat flora yang

langka dan endemik yaitu pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia arborea), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi dan R. hasseltii), dan bunga bangkai (Amorphophallus titanum dan A. decussilvae). Beberapa jenis tumbuhan obat

yang biasa digunakan masyarakat sekitar taman nasional, antara lain paku gajah, akar

tik ulat, akar kepuh, pinang, kunyit, akar sepakis, ubi itam dan lain-lain. Beberapa

jenis anggrek antara lain Spathoglotis plicata, Pholodita articulata, Calanthe triplicata, C. plava, Coelogyne pandura, C. suiphorea, Dendrobium crumenatum,

(19)

Menurut Rizwar et al.(2001) dan Supriyanto et al. (2000), bahwa jenis flora

yang ada di TNKS (kawasan Ipuh-Seblat) diantaranya adalah: Shorea sp., Macaranga gigantean, Calamus sp., Artocarpus sp., Dyera sp., Hopea sp., Mallotus sp., Bamboosa sp. Dan lain-lain.

D.2. Fauna

Mamalia; jenis mamalia yang ada di TNKS, langka dan terancam punah

antara lain adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah sumatera (Elephas

maximus sumatranus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan kucing emas (Felis temminckii) yang misterius. Selain itu terdapat juga mamalia lain seperti

siamang (Hylobathes syndactylus), babi jenggot (Sus barbatus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), rusa (Cervus unicolor), kelinci sumatera (Nesolagus netscheri), macan dahan (Neofelis nebulosa), binturong (Arctictis binturong), dan lain-lain.

Burung; antara lain elang alap besar (Accipiter virgatus), elang kelelawar (Macheiramphus alcinus), elang gunung (Spitazatus alboniger), cekakak batu (Lacedo pulchella), belibis kembang (Dendrocygna arcuata), walet (Collocalia spp), enggang jambul (Aceros comatus), kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), rangkong papan (Buceros bicornis), pergam gunung (Ducula bargia), poksai mantel (Garrulax palliatus), tiong emas (Gracula religiosa), rangkong (Buceros rhinoceros),

(20)

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III

Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman

Nasional Kerinci Seblat (TNKS) (gambar 2). Luas TNKS yang ada di Propinsi

Sumatera Selatan yaitu 245.126 Ha yang terletak di Kabupaten Musi Rawas dan

Kotif Lubuk Linggau. Secara umum, kawasan tersebut memiliki 4 tipe hutan yaitu

hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan sub pegunungan, dan hutan

pegunungan. Kondisi topografinya bergelombang, berlereng curam dan tajam dengan

ketinggian antara 200 sampai 2300 meter dpl. Kawasan tersebut merupakan daerah

aliran sungai (DAS) utama Sumatera Selatan yaitu DAS Musi yang merupakan

sungai yang membelah kota-kota di Sumatera Selatan.

(21)

Akses menuju kantor SPTN V Lubuk Linggau sangat mudah. Dari kota

Sunagia Penuh dapat ditempuh dengan kendaraan umum melalui Bangko selama 6-8

jam perjalanan. Selain itu dapat pula ditempuh dari kota Bengkulu dengan kendaraan

umum melalui Curup selama 3-4 jam perjalanan. Dari kantor SPTN V Lubuk

Linggau menuju kawasan hutan taman nasional dapat ditempuh dengan kendaraan

umum dengan lama perjalanan 12-15 jam. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 29

Juni sampai 9 Desember 2008.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah harimau sumatera dan

satwa mangsanya serta vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Alat yang digunakan

pada penelitian ini adalah peta lokasi SPTN V Lubuk Linggau yaitu berupa peta

topografi, GPS Garmin 76 CSX untuk menandakan koordinat titik jejak yang

ditemukan, tali tambang, meteran untuk mengukur jejak dan diameter pohon, kompas

menentukan arah jalur, golok, kamera Olympus FE 230 7,1 Megapixel untuk

mendokumentasikan temuan, dan alat pengukur waktu.

C. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data hasil pengamatan sepanjang jalur

transek yang telah ditentukan. Data yang diambil berupa data primer dan sekunder.

C.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan. Data primer

merupakan data yang digunakan untuk menganalisis bentuk sebaran spasial aktivitas

harimau sumatera dan hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh harimau

sumatera dengan habitat yang ada di lokasi penelitian. Data primer terdiri dari :

1. Karakteristik habitat, meliputi kondisi fisik habitat dan komposisi vegetasi.

2. Data mengenai aktivitas harimau sumatera. Data ini didapatkan dari kegiatan

pengamatan yaitu berupa perjumpaan tidak langsung (jejak kaki, cakaran di tanah,

cakaran di pohon, kotoran, dan cover). Pengamatan dilakukan mulai pukul 08.00

(22)

Metode yang digunakan yaitu dengan mengamati aktivitas harimau sumatera

dari tanda-tanda yang ditemukan pada jalur pengamatan. Pada setiap wilayah kerja

dibuat jalur transek, disesuaikan dengan jalur yang telah ada di lokasi penelitian.

Dengan pertimbangan tipe habitat, luasan serta waktu yang dibutuhkan, maka

penelitian ini dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut :

1. Hutan dataran rendah : 5 jalur

2. Hutan perbukitan : 30 jalur

3. Hutan sub pegunungan : 12 jalur

4. Hutan pegunungan : 9 jalur

Setiap jalur merupakan garis lurus sepanjang 2,5 km. Jadi panjang total jalur

yang diamati adalah sepanjang 140 km dengan luasan total hutan yaitu 1.601,422

km². Luasan masing-masing sebagai berikut: hutan dataran rendah (188,453 km²),

hutan perbukitan (755,094 km²), hutan subpegunungan (461,950 km²) dan hutan

pegunungan (195,925 km²).

Tahapan dalam kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut :

1. Menentukan jumlah, letak, serta arah jalur pengamatan pada peta.

2. Melakukan pengamatan, seluruh perjumpaan baik secara langsung atau tidak

langsung. Selanjutnya perjumpaan dicatat dalam tabel pengamatan dan difoto

sebagai dokumentasi temuan di lapangan.

Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tumbuhan dilakukan dengan

cara analisis vegetasi yang dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian.

Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak dengan lebar jalur 20 m dan

panjang jalur 200 m. Jumlah plot yang digunakan sebanyak 10 plot pengamatan atau

(23)

Arah jalur 20 m aaaaaa

Gambar 3 Perencanaan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak.

Keterangan :

wawancara dengan masyarakat setempat yang ada di lokasi penelitian. Data sekunder

ini dibutuhkan untuk mendukung data primer yang didapatkan.

Adapun data sekunder yang didapatkan adalah keberadaan satwa mangsa,

kondisi harimau sumatera dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, ancaman

dan gangguan yang terjadi, interaksi antara harimau sumatera dengan masyarakat,

serta kondisi penduduk di sekitar TNKS.

D. Analisis Data D.1. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan

struktur vegetasi. Hasil dari analisis vegetasi akan dihitung sehingga didapatkan

Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui jenis suatu vegetasi yang paling

(24)

Kerapatan (K) : Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) : Kerapatan suatu jenis X 100%

Kerapatan seluruh jenis

Frekwensi (F) : Jumlah plot ditemukan suatu jenis

Jumlah seluruh plot

D.2. Analisis Bentuk Sebaran Spasial Aktivitas Harimau sumatera

Bentuk sebaran spasial aktivitas dari harimau sumatera ditentukan dengan

menggunakan pendekatan nilai indeks penyebaran sebagai berikut :

X

Untuk menentukan pola sebarannya digunakan uji Chi-Square dengan

persamaan sebagai berikut :

Keterangan : X² = Nilai hitung chi square

(25)

Kriteria uji yang digunakan untuk N<30, sebagai berikut :

X ≤ maka pola sebaran spasial aktivitas, seragam

2. Jika 2

X < < maka pola sebaran spasial aktivitas, acak

3. Jika 2

X maka pola sebaran spasial aktivitas, kelompok

D. 3. Analisis Hubungan Antara Tipe Aktivitas dan Karakteristik Habitat

Analisis hubungan dilakukan antara aktivitas harimau sumatera dengan

karakteristik habitat yang ada di TNKS. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki

hubungan antara tipe habitat dengan jenis-jenis aktivitas yang dilakukan oleh harimau

sumatera. Hubungan tersebut dianalisis dengan menggunakan chi kuadrat. Adapun

tahapannya sebagai berikut :

D.3.1. Pengisian Tabel Penggunaan Habitat oleh Harimau Sumatera

Untuk mempermudah pengelompokan data mengenai aktivitas harimau

sumatera, maka setiap perjumpaan baik langsung maupun tidak langsung yang

mengindikasikan keberadaan harimau sumatera beserta aktivitasnya dimasukan ke

dalam tabel isian.

Tabel 2 Tabel isian aktivitas harimau sumatera

(26)

Setiap temuan yang ada dimasukkan ke dalam tabel sehingga dapat diketahui

frekuensi keseluruhan dari aktivitas harimau sumatera pada suatu tipe habitat tertentu.

Hal ini juga untuk mengetahui karakteristik habitat yang disukai oleh harimau

sumatera, dengan indikasi bahwa tempat yang lebih disukai akan lebih banyak

digunakan oleh harimau sumatera untuk beraktivitas.

D.3.2. Analisis Hubungan Parameter Penduga

Selanjutnya data aktivitas harimau sumatera akan dianalisis menggunakan

metode uji chi-kuadrat yaitu antara tipe aktivitas harimau sumatera dengan

karakteristik habitat yang digunakan. Langkah pengiujian yang dilakukan adalah

sebagai berikut :

1. Hipotesis

Ho : tidak ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat

H1 : ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat

2.Kriteria Pengujian

Jika X² hitung kurang dari X²tabel maka terima H0 pada taraf nyata, dengan

derajat bebas (v) = (b-1) (k-1) dimana b dan k masing-masing menyatakan baris dan

kolom.

Keterangan : Oi =Frekuensi hasil pengamatan ke-i

(27)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Karakteristik Habitat A. Kondisi Vegetasi

Kawasan hutan di wilayah SPTN V Lubuk Linggau terdiri dari: hutan dataran

rendah (low land forest), hutan bukit (hill forest), hutan sub-montana (sub-montane

forest), hutan montana rendah (lower montane forest), hutan montana sedang ( mid-montane forest), hutan montana tinggi (upper montane forest), dan padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket), lahan basah lain pada wilayah ber rawa, danau dan sungai-sungai besar.

Hutan yang cukup luas dengan keanekaragaman yang tinggi tentunya akan

sangat mendukung bagi kehidupan satwaliar yang tinggal di dalamnya. Dengan

kondisi hutan yang seperti ini tentunya sangat dibutuhkan oleh harimau sumatera

untuk kehidupanya karena tersedianya komponen habitat seperti pakan, air dan cover.

A.1. Hutan Dataran Rendah

Hutan dataran rendah merupakan ekosistem yang paling kaya akan

keanekaragaman hayatinya baik tumbuhan maupun satwaliarnya. Hutan dataran

rendah yang ditemukan dilokasi penelitian ada yang kondisi vegetasinya masih baik

dan juga sudah rusak akibat perambahan dan illegal logging. Pada tingkat pohon

tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu, medang, dan bandotan

(Polyalthi rumphii). Untuk tingkat pancang yang memiliki kerapatan tinggi adalah jenis jambu-jambu (Eugenia malaccensis) dan meranti, dengan kerapatan (18,75 %). Sedangkan pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu, medang, dan meranti

dengan kerapatan (25%). Pada tingkat semai dan pancang jenis yang masih

(28)

kemungkinan jenis meranti dan jambu-jambu akan terus mendominasi pada masa

yang akan datang. Dari hasil inventarisasi vegetasi, bahwa jenis-jenis dari famili

Dipterocarpaceae dan Myrtaceae adalah jenis yang mendominasi vegetasi hutan

dataran rendah (Tabel 3).

Tabel 3 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan dataran rendah

Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

Struktur vegetasi di Taman nasional kerinci Seblat terdiri dari berbagai strata.

Strata A merupakan lapisan teratas dari pohon-pohon yang tinggi totalnya lebih dari

30 meter, strata B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 15-30 meter, strata C

dengan tinggi 5-15 meter, strata D merupakan lapisan perdu dan semak dengan tinggi

1-4 meter dan strata E merupakan lapisan tumbuhan penutup tanah dengan tinggi 0-1

meter (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Pada hutan dataran rendah terdapat strata yang cukup lengkap (Gambar 4).

Strata A antara lain terdiri dari jenis meranti, jambu-jambu, keruing, dan medang.

Strata B terdiri dari jenis pasang, jengkol, berangan dan melangir. Strata A dan B

merupakan jenis yang memiliki tutupan tajuk yang lebar yang berfungsi sebagai

lindungan bagi harimau dari sinar matahari yang masuk. Jenis yang termasuk strata C

dan D antara lain kopi-kopi, arang-arang, dan salam. Strata ini dapat berfungsi

sebagai pelindung dan sumber pakan bagi satwa mangsa harimau yang merupakan

(29)

Gambar 4 Strata pada hutan dataran rendah.

Selain cover dan pakan (satwa mangsa) , hal yang dibutuhkan harimau untuk

kebutuhan hidupnya adalah air. Berbeda dengan keluarga kucing yang lain, harimau

sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Saat cuaca

panas, keberadaan air sangat diperlukan sekali untuk menstabilkan suhu badannya.

Harimau sumatera akan memilih tempat-tempat yang menyediakan air untuk

kebutuhan minumnya, sehingga tidak perlu banyak tenaga yang dikeluarkan untuk

mencari sumber air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setijati et al (1992), yang menyatakan harimau sumatera menyukai daerah yang basah seperti daerah rawa dan

sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam. Sumber air yang ditemukan pada

waktu pengamatan adalah sungai (Gambar 5). Pada hutan dataran rendah arusnya

tenang dan airnya jernih. Ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung

dipengaruhi oleh iklim lokal (Alikodra, 2000). Iklim lokal tidak hanya menentukan

banyaknya curah hujan yang turun tetapi juga akan menentukan merata atau tidaknya

(30)

Gambar 5 Sungai pada hutan dataran rendah.

Sungai pada hutan dataran rendah memiliki ciri aliran airnya tenang atau tidak

terlalu deras, dangkal, airnya jernih dan berbatu dengan ukuran yang kecil.

Sungai-sungai di hutan dataran rendah sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mencari

ikan, bahkan ada yang digunakan sebagai tempat mencari emas.

A.2. Hutan Perbukitan

Hutan perbukitan memiliki kondisi topografi yang datar dan bergelombang.

Sungai-sungai serta cekungan-cekungan yang menampung air juga banyak dijumpai

pada tipe hutan perbukitan. Kondisi seperti ini yang menyebabkan udara di sekitarnya

menjadi lebih lembab bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang panas

karena sudah terbuka akibat perambahan dan illegal logging. Kondisi tutupan

hutannya mulai dari yang jarang sampai yang sangat rapat serta lantai hutan yang

ditutupi oleh serasah. Pada tingkat pohon terdapat 21 jenis tumbuhan, 15 jenis tingkat

tiang, 10 jenis tingkat pancang, dan 12 jenis tingkat semai.

Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis meranti,

jambu-jambu, dan keruing (Tabel 4). Jenis meranti cukup mendominasi dengan

kerapatan (29,17%) dan penyebaran (18,52%). Pada tingkat tiang jenis yang

mendominasi adalah jambu-jambu, meranti, dan kulit manis. Untuk tingkat pancang

yang memiliki kerapatan tinggi adalah jenis jambu-jambu (27,27%) dan meranti

(31)

medang (INP 23,03%), meranti (INP 23,03%) dan kopi-kopi (INP 23,03%). Pada

tingkat semai dan pancang jenis yang masih mendominasi adalah jenis jambu-jambu.

Hal ini menunjukkan ada kemungkinan jenis jambu-jambu akan terus mendominasi

pada masa yang akan datang. Dari hasil inventarisasi vegetasi tersebut dapat

disimpulkan, bahwa jenis dari family Myrtaceae dan Dipterocarpaceae adalah jenis

yang mendominasi vegetasi hutan perbukitan.

Tabel 4 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan perbukitan

Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

2 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 19,44 14,81 14,14 48,40

3 Keruing Dipterocarpus sp. 6,94 7,41 8,14 22,49

Pada hutan perbukitan terdapat strata yang cukup lengkap. Strata A antara lain

terdiri dari jenis meranti, jambu-jambu, keruing, dan medang. Strata B terdiri dari

jenis kulit manis, kopi-kopi, semut-semut, kayu gasing, pening-pening dan kayu

pasang. Strata A dan B merupakan jenis yang memiliki tutupan tajuk yang lebar

yang berfungsi sebagai lindungan bagi harimau dari sinar matahari yang masuk

karena harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap panas. Jenis yang

termasuk strata C dan D antara lain bandetan, air-air, kabau, balam, dan nibung.

Strata ini dapat berfungsi sebagai pelindung dan sumber pakan bagi satwa mangsa

harimau yang merupakan satwa herbivora atau pemakan tumbuhan. Kerapatan pada

strata ini juga dapat berfungsi sebagai penghalang sinar matahari yang masuk ke

(32)

Gambar 6 Vegetasi hutan perbukitan.

Sumber air yang ditemukan di hutan perbukitan yaitu sungai dan cerukan di

tanah yang menampung air hujan dan sungai (Gambar 7). Kondisi sungainya berarus

deras dan juga berbatu-batu. Selain sungai sebagai sumber kebutuhan air yang utama,

cerukan di tanah juga sangat membantu satwa untuk kebutuhan air. Bila kondisi

sungai yang curam, maka alternatif satwa mencari air adalah pada cerukan-cerukan di

tanah yang menampung air hujan.

Gambar 7 Sungai di hutan perbukitan.

Hutan perbukitan yang memiliki kerapatan tajuk yang cukup rapat yang

membuat teduh lantai hutannya merupakan habitat yang dibutuhkan oleh harimau

saat ini. Ketersediaan satwa mangsa cukup melimpah serta topografi yang landai

(33)

banyak menyediakan kebutuhan yang cukup untuk harimau sumatera dan satwa

mangsanya. Hasil penelitian Endri (2006) di Blok hutan sipurak (TNKS) yang

menyatakan bahwa pada hutan perbukitan lebih banyak dijumpai keberadaan harimau

sumatera. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan perbukitan merupakan habitat yang

memiliki daya dukung paling tinggi untuk harimau sumatera bila dibandingkan

dengan hutan dataran rendah yang semakin rusak, yang menyebabkan menyempitnya

habitat bagi harimau sumatera dan satwa mangsanya.

A.3. Hutan Subpegunungan

Seperti pada tipe hutan dataran rendah dan perbukitan, hutan subpegunungan

juga memiliki strata yang lengkap. Ada ciri khas yang membuat beda dengan kedua

hutan tersebut yaitu pada hutan subpegunungan terdapat berbagai jenis epifit, liana,

paku-pakuan dan tumbuhan bawah. Selain itu, ditumbuhi oleh pohon-pohon berlumut

dan juga tutupan serasah yang tebal. Dengan kondisi yang seperti ini, hutan

subpegunungan merupakan daerah yang cocok bagi harimau sumatera untuk tempat

beristirahat dan bermalas-malasan. Hal ini juga didukung dari ditemukannya sungai

yang merupakan tempat untuk minum dan beristirahat yang sesuai.

Secara umum hutan subpegunungan merupakan tipe hutan yang memiliki

strata tajuk yang rapat serta iklim yang selalu basah. Kondisi lantai hutan yang

tertutup serasah dan juga tajuk-tajuk pohon yang rapat, membuat iklim di bawahnya

menjadi lembab dan sejuk. Pada tingkat pohon terdapat 9 jenis tumbuhan, 7 jenis

tingkat tiang, 5 jenis tingkat pancang, dan 4 jenis tingkat semai. Sedikitnya jenis

tumbuhan yang ditemukan menandakan bahwa vegetasi tumbuhan sudah mulai

seragam.

Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis kelat, meranti,

dan beringin (Tabel 5). Jenis kelat cukup mendominasi dengan kerapatan (20%) dan

penyebaran (20%). Pada tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah kabau dan

meranti dengan nilai INP masing-masing (70,15% dan 49,07%). Untuk tingkat

pancang seluruh jenis memiliki nilai kerapatan dan penyebaran yang sama, yaitu

(34)

adalah kabau, gondang, kelat, plangas, dan air-air. Begitu juga pada tingkat semai

memiliki nilai kerapatan dan penyebaran yang sama dari semua jenis yang

ditemukan, yaitu dengan nilai kerapatan dan penyebaran 25%. Adapun jenis yang

ditemukan pada semua tingkatan tumbhan adalah jenis kelat, plangas, gondang dan

kabau. Hal ini menunjukkan ada kemungkinan jenis-jenis tersebut akan terus

mendominasi pada masa yang akan datang.

Tabel 5 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan subpegunungan

Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

Semai 1 Kabau Archidendron bubalinum 25 25 - 50

2 Plangas Aporosa aurita 25 25 - 50

3 Kelat Eugenia spp. 25 25 - 50

4 Meranti Shorea spp. 25 25 - 50

Pancang 1 Kabau Archidendron bubalinum 20 20 - 40

2 Gondang Mangiletia giauca 20 20 - 40

3 Kelat Eugenia spp. 20 20 - 40

4 Plangas Aporosa aurita 20 20 - 40

5 Air-air 20 20 - 40

Tiang 1 Kabau Archidendron bubalinum 25 25 20.15 70.15

2 Meranti Shorea spp. 12.5 12.5 24.07 49.07

Pohon 1 Kelat Eugenia spp. 20 20 16.93 56.93

2 Meranti Shorea spp. 10 10 20.22 40.22

3 Beringin Ficus spp. 10 10 11.11 31.11

Sungai masih dijumpai pada hutan subpegunungan, dengan cirri aliran airnya

deras, airnya jernih dan berbatu-batu besar (Gambar 8). Selain sungai sebagai sumber

kebutuhan air yang utama, cerukan di tanah juga sangat membantu satwa untuk

(35)

Gambar 8 Sungai di hutan subpegunungan.

Kondisi tutupan tajuk yang rapat, sungai yang masih ditemukan pada tipe

hutan subpegunungan akan sangat memungkinkan sekali keberadaan harimau

sumatera dapat ditemukan di tipe hutan subpegunungan. Namun, kondisi seperti ini

juga harus didukung oleh tersedianya satwa mangsa. Karena harimau sumatera

merupakan satwa pemakan daging, yang kebutuhannya akan terpenuhi bila satwa

mangsanya masih ada di tipe hutan subpegunungan.

A.4. Hutan Pegunungan

Komposisi vegetasi hutan pegunungan atas memiliki pohon-pohon yang

ditutupi oleh lumut (Gambar 9) serta pada lantai hutannya juga sangat rapat

ditumbuhi oleh tumbuhan bawah berduri, rotan dan pandan. Selain itu, lantai

hutannya juga ditutupi oleh serasah yang tebal. Pada tipe hutan ini, jenis pohonnya

mulai seragam,ini dapat diketahui dari hasil inventarisasi vegetasi yang hanya

menemukan 6 jenis. Jenis pohon yang ditemukan antara lain: jamuju, kelat (Eugenia

spp. ), plangas (Aporosa aurita ), semut-semut, air-air, dan gondang. Untuk jenis pohon yang mendominasi antara lain jamuju dan plangas. Pada tipe hutan

pegunungan, untuk tingkat semai ditemukan 3 jenis, pancang 4 jenis, tiang 6 jenis.

Untuk tingkat pohon tidak ditemukan pada hutan pegunungan, karena pada plot

(36)

Gambar 9 Vegetasi hutan pegunungan yang tertutup oleh lumut.

Di hutan ini juga masih ditemukan sungai yang menyediakan air untuk

kebutuhan satwa. Ciri sungainya adalah berarus sangat deras dan dalam, airnya jernih

dan dingin, ada batu-batu besar, serta aliran sungai yang membentuk air terjun

(Gambar 10). Dengan kondisi tutupan tajuk yang rapat, masih adanya sungai sebagai

sumber air masih dapat memungkinkan harimau dapat ditemukan pada tipe hutan

pegunungan.

Gambar 10 Sungai di hutan pegunungan.

V.2. Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera

Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak (independent),

(37)

merupakan bentuk strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra,

2002). Menurut Kartono (2000), pola penyebaran satwaliar disebabkan oleh adanya

hubungan kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya

(pakan dan ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan

kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar.

Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola

penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran

spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera

juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera

menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya

seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran

spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan

perilaku) dari satwa itu sendiri.

Pada penelitian studi sebaran spasial aktivitas harimau sumatera di TNKS ini,

pengambilan data dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Untuk pengambilan

data secara langsung yaitu didapatkan dari perjumpaan langsug, namun saat

pengamatan tidak ditemukan perjumpaan secara langsung, sedangkan pengamatan

tidak langsung bersumber dari penemuan jejak yang ditinggalkan oleh harimau

sumatera seperti tapak kaki, kotoran, cover, cakaran di tanah (scrape), dan cakaran di pohon (scratch).

Tabel 6 Frekuensi kontak dengan harimau sumatera

No. Tipe Vegetasi Tanda Keberadaan Harimau Sumatera

Dari data yang didapatkan tersebut, kemudian dianalisis dengan menggunakan

pendekatan nilai Indeks Dispersi (ID) dan uji chi-square. Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa nilai x²hitung (7,227) memiliki nilai lebih besar daripada x²0,025

(38)

spasial aktivitas mengelompok (dependent). Hal ini juga dibuktikan dari temuan jejak

diseluruh tempat mengelompok pada daerah-daerah tertentu yang kondisi habitatnya

hampir sama. Dalam hal ini harimau lebih mengelompok pada hutan perbukitan.

Sebaran spasial aktivitas ini dimungkinkan saja karena dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi biologis

dan perilaku harimau sumatera, sedangkan faktor eksternal seperti kondisi ekologis

TNKS. Pada kondisi lapangan juga terlihat jelas bahwa tanda-tanda keberadaan

harimau yang ditemukan mengelompok di suatu daerah pada hutan perbukitan.

Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan dapat menentukan kemampuan

satwaliar untuk bertahan hidup. Kondisi lingkungan yang berbeda-beda disetiap

tempat akan direspon pula dengan tingkat adaptasi yang berbeda pula. Harimau

sumatera akan menanggapi pengaruh lingkugan sesuai dengan kemampuan,

kebutuhan, dan tingkat bahaya yang ditimbulkan.

Salah satu faktor yang paling dominan dalam pola sebaran spasial harimau

sumatera adalah sifat biologis dan perilaku satwa dari individu harimau sumatera.

Sifat biologis antara lain proses metabolisme tubuh, kepekaan, ekspresi, reproduksi,

adaptasi, dan komposisi fisik dan kimia tubuh. Sifat inilah yang akan menentukan

tingkat kemampuan harimau sumatera dalam mempertahankan kelestariannya baik

persaingan dengan sesama jenis maupun dengan lingkungannya.

Kegiatan penelitian ini dilakukan di empat tipe ekosistem berbeda, yiatu

berdasarkan ketinggian: hutan dataran rendah (0-300 mdpl), hutan perbukitan

(300-800 mdpl), hutan subpegunungan ((300-800-1400 mdpl), dan hutan pegunungan (>1400

mdpl) (Laumonier, 1994). Selama kegiatan penelitian ditemukan lima aktivitas

harimau sumatera, yaitu: berjalan, membuang kotoran, mencakar di tanah, mencakar

(39)

Tabel 7 Jenis aktivitas harimau sumatera di empat tipe ekosistem

No. Tipe Ekosistem Jenis Aktivitas* Jumlah

A B C D E

1 Hutan Dataran Rendah 0 0 0 0 0 0

2 Hutan Perbukitan 3 1 8 1 0 13

3 Hutan Subpegunungan 4 1 3 0 0 8

4 Hutan Pegunungan 2 2 1 0 2 7

Jumlah 9 4 12 1 2 28

*Keterangan: A. Berjalan

B. Membuang kotoran C. Mencakar di tanah D. Mencakar di pohon E. Berlindung

Dari sejumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera yang ditemukan di

lokasi penelitian, tipe hutan perbukitan merupakan habitat yang paling bayak

ditemukan tanda keberadaan harimau sumatera (13 jejak). Selanjutnya hutan

subpegunungan (8 jejak), hutan pegunungan (7 jejak) sedangkan di hutan dataran

rendah tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatera. Adapun jenis

aktivitas dan sebaran harimau sumatera pada tiap tipe hutan berdasarkan ketinggian,

yaitu hutan dataran rendah (warna hijau tua), hutan perbukitan (warna kuning), hutan

subpegunungan (warna hijau muda), dan hutan pegunungan (warna jingga) dapat

(40)

Gambar 11 Peta sebaran aktivitas harimau sumatera.

V.2. a. Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di empat tipe hutan

Seluruh jejak atau tanda yang ditinggalkan oleh satwa memiliki gambaran dan

informasi mengenai satwa yang meninggalkannya (Knight, 1968). Jika jejak tersebut

tidak ditemukan maka akan sulit untuk menentukan apakah satwa yang dimaksud ada

di lokasi tertentu.

1. Hutan dataran rendah

Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera pada tipe hutan dataran rendah

tidak ditemukan selama pengamatan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerapatan

tumbuhan yang tidak terlalu rapat dan merata pada setiap jenis. Kondisi vegetasi

seperti ini menyebabkan sinar matahari yang masuk tidak terhalang oleh tajuk pohon.

(41)

beristirahat di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Kondisi hutan

dataran rendah yang terbuka menyebabkan kondisi lingkungan habitat harimau

sumatera menjadi berubah panas. Hal ini yang menyebabkan harimau sumatera tidak

ditemukan pada tipe hutan dataran rendah di lokasi penelitian. Bila tidak ada tempat

untuk berlindung, kemungkinan harimau tidak akan berada di tempat tersebut.

Harimau sumatera merupakan satwa yang rentan terhadap perubahan lingkungan

(Lekagul dan McNeely, 1997). Karena memiliki sifat tersebut, harimau sumatera

tentu akan mencari tempat yang lebih sesuai agar dapat bertahan hidup.

Berbeda dengan harimau, kondisi hutan yang terbuka merupakan habitat yang

baik bagi satwa mangsa harimau karena menyediakan banyak makanan khususnya

rumput dan tumbuhan bawah. Di hutan datarn rendah ditemukan sebanyak 7 jenis

satwa mangsa harimau sumatera; 4 jenis dijumpai secara langsung dan 3 jenis secara

tidak langsung (Tabel 8).

Tabel 8 Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada hutan dataran rendah

Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah

Langsung 1 Pelanduk napu Tragulus napu 1

2 Simpai Presbytis melalophos 3

3 Ungko Hylobates agilis 1

4 monyet ekor panjang Macaca fascicularis 1

Jejak kaki 1 Babi hutan Sus sp. 1

2 Rusa sambar Cervus unicolor 2

3 Beruang madu Helarctos malayanus 1

Dalam pemilihan makan biasanya satwaliar digolongkan menjadi dua

kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau

potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002). Dari 7 jenis satwa mangsa yang ditemukan, ada 3 jenis yang merupakan satwa mangsa utama harimau sumatera yaitu

pelanduk napu, rusa sambar dan babi hutan, sedangkan simpai, ungko, monyet ekor

panjang, dan beruang madu merupakan makanan cadangan atau potensial. Menurut

Karanth dan Sunquist (1995), bahwa satwa mangsa utama harimau adalah

satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae. Sedangkan menurut Dinata (2002),

(42)

babi hutan, rusa, kijang, kancil, napu, kambing hutan, dan landak sebagai makann

utama, sedangkan beruk dan tapir sebagai makanan pendukung.

2.Hutan perbukitan

Pada hutan perbukitan banyak ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau

sumatera (Tabel 9). Tanda tersebut berupa jejak kaki, kotoran (feses), cakaran di

tanah (scrape) dan cakaran di pohon (scratch). Scrape dibuat untuk memberi tanda daerah jelajah harimau dan biasanya terdapat di jalan yang biasa dilewati satwa.

Tabel 9 Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di hutan perbukitan

No. Tanda Keberadaan Harimau Sumatera Jumlah Letak

1. Jejak kaki 3 Tanah

2. Kotoran 1 Tanah

3. Cakaran (scrape) 8 Tanah

4. Cakaran (scratch) 1 Pohon

Harimau memiliki kecenderungan membuang kotoran (feses) pada tempat yang terkonsentrasi dan umumnya terbuka (Gambar 12). Rapatnya vegetasi

menyebabkan lantai hutan menjadi teduh dan sejuk karena sinar matahari terhalang

masuk. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya ditemukan tanda keberadaan

harimau sumatera di hutan perbukitan. Selain itu, kondisi topografi yang landai

memudahkan pergerakan harimau dalam mencari mangsa.

(43)

Keberadaan harimau sumatera lebih banyak dijumpai pada hutan perbukitan

bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hal yang sama juga pada penelitian

Endri (2006) di Blok Hutan sipurak (TNKS), yang menyatakan bahwa pada hutan

perbukitan lebih banyak dijumpai keberadaan harimau sumatera, karena satwa

mangsa yang ditemukan lebih banyak dibandingkan pada tipe hutan lainnya.

Jumlah satwa mangsa harimau sumatera yang ditemukan di hutan perbukitan

ada 10 jenis, 3 jenis di jumpai secara langsung dan 7 jenis secara tidak langsung

(Tabel 10). Satwa mangsa yang ditemukan di hutan perbukitan lebih banyak

dibandingkan dengan hutan dataran rendah.

Tabel 10. Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada vegetasi hutan perbukitan

Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah

Jejak Kaki 1 Kuau raya Argusianus argus 1

2 Ungko Hylobates agilis 1

pelanduk napu merupakan makanan utama (preferred foods) bagi harimau sumatera, sedangkan kuau raya, ungko, tapir, dan macan dahan merupakan makanan cadangan

atau potensial (emergency foods). Banyaknya jejak yang ditemukan dari jenis rusa sambar dan kijang serta jenis yang lain menandakan bahwa kebutuhan pakan utuk

harimau sumatera di hutan perbukitan cukup tersedia. Rusa sambar dan kijang

merupakan pakan harimau sumatera. Seidensticker et al (1999) menyatakan bahwa pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar satwa mangsa

Gambar

Tabel 4  Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan perbukitan
Tabel 5  Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan subpegunungan
Gambar 8  Sungai di hutan subpegunungan.
Tabel 7  Jenis aktivitas harimau sumatera di empat tipe ekosistem
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang dibelajarkan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe talking

Berorientasi Objek Ismi Amalia, S.Si., M.Kom.. Said

Produk yang akan dihasilkan dalam usaha ini adalah makanan ringan berupa dawet yang dibuat dengan memanfaatkan Jagung, yang digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan Jagung..

Ê òîìó æå, åñëè âàñ âñå æå, ÷òî-òî íå óñòðîèëî âû ìîæåòå âåðíóòü ëþáîé òîâàð Amway â òå÷åíèè 90 äíåé..  èõ ñîñòàâ âõîäÿò ðàñòèòåëüíûå

Pemimpin pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kultur organisasi serta iklim yang kondusif bagi upaya meningkatkan pertumbuhan dan mempertinggi pengembangan

Sesuai dengan Kohl dan Noah (2005) dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah-masalah fisika dipengaruhi oleh format

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan SEM (Stuctural Equation Modeling) dan pembahasan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan hal-hal untuk

[r]