I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) adalah satu dari tiga subspesies harimau yang masih hidup di Indonesia saat ini. Dua subspesies lain
yaitu harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigris
sondaica) telah dinyatakan punah, meskipun ada beberapa pihak yang masih meyakini harimau jawa masih ada.
Populasi harimau sumatera pada saat ini cukup menghawatirkan seiring
dengan semakin berkurangnya hutan sebagai habitatnya. Menurut Siswomartono et. al (1994), jumlah populasi harimau sumatera di alam diperkirakan tinggal 400-500
ekor. Harimau sumatera merupakan satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Harimau sumatera
juga masuk dalam kategori Apendix I dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang berarti bahwa harimau
sumatera merupakan satwa yang terancam punah dan tidak diijinkan diperdagangkan
dalam bentuk apapun. Berdasarkan IUCN (The International Union for Conservation of Nature and Resources), sejak tahun 1994 harimau sumatera merupakan satwa sangat terancam punah (critically endangered) dalam daftar Red Data Book of
Endangered Species.
Pengurangan hutan sebagai habitat harimau sumatera juga diduga
berpengaruh terhadap jumlah satwa mangsanya. Satwa mangsa merupakan salah satu
kebutuhan utama harimau sumatera demi kelangsungan hidupnya. Berkurangnya
satwa mangsa merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan hidup
harimau sumatera (Karanth dan Stith, 1999). Sebagai satwa karnivora sejati, harimau
sangat menggantungkan hidupnya pada keberadaan satwa mangsa sebagai sumber
pakannya (Kitcherner, 1991). Ketersediaan satwa mangsa yang cukup di dalam
habitatnya menjadi syarat yang harus terpenuhi agar harimau sumatera tetap lestari.
memilih terhadap jenis satwa tertentu yang dijadikan sebagai pakan utamanya
(Schaller, 1967 dalam Endri, 2006).
Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki berbagai jenis satwa mangsa
harimau sumatera, seperti babi jenggot, babi hutan, kijang, kambing hutan, rusa,
kelinci sumatera (Rizwar et al.2001 dan Supriyanto et al. 2000). Kondisi hutan yang masih baik sangat mendukung kehidupan harimau sumatera dan satwa mangsanya.
Walaupun demikian, kawasan hutan TNKS tetap tidak terlepas dari berbagai macam
ancaman perusakan hutan seperti illegal logging, perburuan, pencurian kayu dan perambahan lahan. Jika ancaman tersebut terus berlangsung, maka kelangsungan
hidup harimau sumatera tentu akan terancam dan bila terus terjadi maka secara tidak
langsung akan menyebabkan populasi harimau sumatera di TNKS punah.
Oleh karena itu, penelitian terhadap sebaran spasial aktivitas sangat penting
dilakukan. Dari penelitian tersebut, diharapkan dapat memberikan informasi dan data
mengenai bentuk dari sebaran spasial aktivitas harimau sumatera yang menyangkut
penggunaan habitat yang ada di TNKS. Pengetahuan tentang informasi tersebut
sangat berguna untuk membantu dalam upaya pengelolaan dan perlindungan
lokasi-lokasi yang merupakan habitat dari harimau sumatera dan satwa mangsanya yang
merupakan upaya-upaya untuk pelestarian harimau sumatera saat ini dan masa yang
akan datang.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera di wilayah studi.
2. Membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh harimau
sumatera dengan karakteristik habitat di wilayah studi.
C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data
mengenai sebaran spasial aktivitas harimau sumatera yang berkaitan dengan habitat
yang digunakan. Informasi dan data tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam menentukan pengelolaan dan perlindungan daerah
prioritas pengamanan untuk kelestarian harimau sumatera dan habitatnya yang ada di
wilayah studi khususnya dan umumnya di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi Harimau 1. Taksonomi
Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang masuk ke dalam
keluarga kucing. Slater dan Alexander (1986) mengklasifikasikan harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Spesies : Panthera tigris sumatrae (Pocock,1929)
Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya sudah
dinyatakan punah (Grzimek, 1975), subspesies tersebut yaitu :
1. Panthera tigris altaica (Temminck, 1984) ; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.
2. Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer, 1905) ; Harimau Cina, terdapat di Cina.
3. Panthera tigris corbetti (Mazak, 1968) ; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.
4. Panthera tigris tigris (Linnaeus, 1758) ; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.
6. Panthera tigris sondaica (Temminck, 1844) ; Harimau Jawa, terdapat di Pulau
Jawa, dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980.
7. Panthera tigris balica (Schwarz, 1912) ; Harimau bali, terdapat di Pulau Bali, sudah dinyatakan punah pada tahun 1937.
8. Panthera tigris virgata (IIIiger, 1815) ; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950.
2. Morfologi
Menurut Mazak (1981) harimau sumatera merupakan subspesies yang
mempunyai ukuran tubuh paling kecil dibandingkan dengan 5 subspesies harimau
lain yang masih ada. Harimau Sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata
antara 75-110 kg dengan panjang 2,15-2,30 m. Umumnya ukuran harimau jantan
lebih besar dibandingkan dengan harimau betina. Hewan ini memiliki rambut pada
badannya sepanjang 8 – 11mm, surai pada harimau sumatera jantan berukuran
panjang 11 – 13 cm. Rambut di dagu, pipi dan belakang kepala lebih pendek. Panjang
ekor sekitar 65 – 95 cm (Mountfort, 1973 ; Treep, 1973 ; Hafild dan Aniger, 1984 ;
Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; MacDonald, 1986; Sutedja dan Taufik, 1993 ;
Saleh dan Kambey, 2003 dalam Lestari 2006).
Harimau sumatera mempunyai warna tubuh bagian atas lebih gelap dari pada
subspesies lain, dan bergaris yang lebih jelas. Warna dasar dari harimau adalah jingga
(orange) dengan garis-garis belang berwarna hitam sampai coklat tua yang lebih lebar
sehingga cenderung lebih jarang (Mazak, 1981; MacDonald, 1984). Garis belang
yang kecil dan hitam akan terlihat diantara garis yang biasa terdapat pada belakang
punggung, panggul, dan kaki belakang. Belang pada harimau menurut beberapa ahli
berfungsi untuk kamuflase dan bersembunyi dari mangsa incaran (gambar 1). Sebagai
perbandingan, harimau sumatera memiliki belang yang paling banyak diantara
subspesies lainnya, sedangkan harimau siberia merupakan spesies yang memiliki
Gambar 1 Morfologi Harimau Sumatera (FFI-MHS KS 2008).
3.Populasi dan Distribusi
Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah
pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan
dataran rendah hingga hutan sub-pegunungan dan hutan pegunungan. Harimau di
Aceh hidup di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungai Litur, Batang
Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak. Di daerah Silindung, harimau
kebanyakan terdapat di daerah padang alang-alang dan bahkan di daerah hutan pantai
yang berlumpur. Mereka juga hidup di dataran Bengkalis (Suwelo dan Sumantri,
1978 dalam Lestari, 2006).
Menurut perkiraan pada saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah
500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di
Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi
dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan
Tabel 1 Perkiraan Populasi Harimau Sumatera di Kawasan Lindung Utama
TN Kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76
TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68
TN Berbak 163.000 14.000 50
Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan taktik perburuan
individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh
mangsanya. Namun, tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada
beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam
dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian
tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin
berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe
habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan
pengalaman (Sunquist et al., 1999). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling
(Manis javanica).
Seperti kucing besar lainnya, harimau memiliki adaptasi morfologi yang
memudahkannya untuk berburu mangsa dengan ukuran yang cukup besar, tungkai
belakang memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding dengan tungkai depan,
dengan keadaan ini akan memungkinkan bagi harimau untuk melakukan lompatan
secara maksimal, tungkai depan dan bahu memiliki otot yang lebih padat dan lebih
panjang dan tajam, tengkorak rahang memendek sehingga dapat meningkatkan daya
gigit atau jepit (MacDonald, 1984).
Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali
tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor
kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200
kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan 5-6 kg daging
per hari (Seidensticker et al,. 1999).
b. Perilaku Reproduksi
Harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan
sengatan cahaya matahari langsung. Biasanya harimau aktif pada pagi, sore dan
malam hari. Waktu siang hari digunakan untuk beristirahat dan tidur di tempat
yang teduh dan terlindung dari sinar matahari (Tilson et al., 1997). Harimau merupakan satwa yang hidup soliter, namun akan berkelompok jika pada saat masa
kawin. Masa kehamilan harimau 103 hari, masa estrus betina ( harimau betina mau
menerima jantan untuk melakukan perkawinan) sangat cepat diikuti dengan pergi
atau matinya harimau muda (Sunquist et al., 1999).
Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari
aroma khas urinnya (McDougal 1979). Selama masa birahi, harimau betina lebih
agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit beristirahat.
c. Daya Jelajah dan Teritori
Harimau merupakan satwa yang hidup soliter. Umumnya individu harimau
memiliki daerah teritori yang selalu dijaga agar tidak dilalui oleh individu harimau
lain. Setiap jenis harimau memiliki daerah jelajah (home range) yang berbeda-beda.
Umumnya harimau jantan memiliki daerah jelajah yang lebih luas dibandingkan
dengan harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dari
pada harimau betina, sebagian harimau betina philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith, 1993 dalam Rudiansyah 2007). Lebih lanjut mengemukakan,
jelajah rata-rata harimau betina adalah kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. hal ini
bukan berarti harimau tidak mampu menjelajah lebih jauh, akan tetapi daya jelajah
harimau tergantung dari daya tahan tubuhnya.
Harimau meninggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses untuk menandakan daerah teritorinya. Ukuran teritori untuk seekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya
persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (Mac Donald, 1986; Treep, 1973
dalam Hutabarat, 2005). Luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah
harimau akan menjadi lebih luas (Tilson, et al., 1997).
5. Habitat
Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik
fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup dan berkembangbiak satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut mengemukakan,
bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung,
serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis
lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.
Harimau sumatera tersebar merata di Sumatera akan tetapi keadaan populasi
dan persebarannya sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, karena belum
ada penelitian khusus tentang hal itu. Harimau merupakan jenis kucing besar yang
mampu beradaptasi pada habitat yang berbeda-beda. Satwa ini hidup menyebar di
delapan tipe habitat penting di Asia meliputi : hutan hujan dataran rendah, hutan
tropis kering dan mangrove, hutan subtropis dan hutan musim, hutan subtropis basah,
padang rumput, hutan konifer, dan hutan boreal taiga (Sherpa dan Makey 1998).
Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami
daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan
menyerang mangsanya secara tiba-tiba (MacDonald, 1984). Secara umum harimau
memiliki sifat soliter terutama pada yang jantan dan harimau betina yang sedang
bahwa harimau sumatera yang ada di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dapat
hidup dengan baik pada daerah yang ada di TNWK mulai dari habitat alang-alang,
padang rumput, hutan sekunder, daerah rawa serta semak belukar. Bahkan harimau
di TNWK dapat menyeberangi sungai untuk bisa menjangkau daerah lainnya yang
masih ada dalam teritorinya.
Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau
dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan
perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah
perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni
oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil.
Harimau Sumatra menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar
sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992).
Menurut Santiapillai dan Ramono (1985), distribusi harimau sumatera tidak
hanya ditentukan oleh jumlah ketersediaan habitat atau vegetasi hutan yang cocok.
Adanya pemangsa dan kompetisi dengan karnivora yang lain juga merupakan salah
satu ancaman. Tidak seperti keluarga kucing lainnya, harimau sangat suka air dan
dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera sangat mudah
beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi satwa ini
kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Tipe habitat yang
biasanya menjadi pilihan bagi harimau sumatera di Indonesia sangat bervariasi
(Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006) yaitu sebagai berikut :
1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah
sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan hutan
pantai.
2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar.
3. Padang rumput terutama padang alang-alang.
4. Daerah datar sepanjang aliran sungai.
5. Daerah perkebunan dan tanah pertanian.
Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau
mendukung kelangsungan hidup harimau karena terdapat kepadatan populasi mangsa
yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau jarang
menjelajah sampai ke hutan mangrove, satwa ini lebih memilih daerah yang tidak
selalu tergenang dan terdapat areal yang kering.
6. Satwa Mangsa
Harimau sumatera merupakan satwa karnivora pemakan daging yang tidak
dapat menggantikan pakannya dengan tumbuhan karena struktur anatomi alat
pencernaannya khusus sebagai pemakan daging. Oleh karena keberadaan satwa
mangsa sangat penting sebagai pakan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keluarga kucing besar seperti harimau merupakan satwa karnivora spesialis yang
cenderung untuk menangkap beberapa jenis mangsa dengan rata-rata kurang lebih
empat jenis (Kitcherner, 1991 ; Jackson, 1990).
Jenis-jenis felidae termasuk harimau merupakan satwa opportunis, namun
dalam pemilihan makan, harimau cenderung melakukan pemilihan. Satwa mangsa
utama harimau adalah satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae (Karanth dan
Sunquist, 1995). Namun demikian dalam pemilihan makan biasanya satwaliar
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002).
B. Pola Sebaran Spasial Satwaliar
Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak, kelompok,
dan sistematis. Pola penyebaran tersebut merupakan bentuk strategi untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Menurut Kartono
(2000) pola penyebaran suatu jenis satwaliar disebabkan oleh adanya hubungan
kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya (pakan dan
ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas
sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar.
Ada dua tipe satwa dalam beraktivitas, yaitu soliter dan agregatif. Satwa
sedangkan satwa agregatif adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya
hidup dalam kelompok. Harimau sumatera merupakan satwa yang hidup soliter,
tetapi pada saat tertentu hidup berkelompok seperti saat kawin dan mengasuh anak.
Pola sebaran spasial adalah pola penyebaran satwaliar pada wilayah
jelajahnya. Menurut Tarumingkeng (1994) bahwa pola sebaran spasial dapat
berbentuk acak, berkelompok, dan sistematik. Pola sebaran spasial acak adalah
satwaliar menyebar secara acak atau tidak tentu, baik dalam jumlah maupun
wilayahnya. Pola sebaran spasial berkelompok adalah penyebaran satwaliar dalam
satu atau beberapa kelompok saja. Pola sebaran spasial sistematik adalah satwaliar
menyebar secara merata dalam suatu wilayah tertentu. Pola sebaran spasial sangat
ditentukan oleh sumberdaya yang tersedia dan juga predator satwa tersebut.
Tarumingkeng (1994) menjelaskan bahwa untuk pola sebaran spasial
mengelompok dapat disebabkan oleh sifat spesies yang gregarious (bergerombol) atau adanya keragaman (heterogeneity) habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang terdapat banyak sumberdaya seperti makanan dan sebagainya.
Hutchinson (1953) dalam Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa penyebab perbedaan pola sebaran spasial diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu :
1. Faktor vektoral, yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah aliran air dan intensitas cahaya.
2. Faktor reproduktif, yang berkaitan dengan cara berkembang biak suatu organisme. 3. Faktor sosial, sebagai sifat yang dimiliki spesies tertentu atau perilaku bawaan
waktu lahir, misalnya perilaku teritori. Penyebab terjadinya karena sifat social
pada spesies-spesies tertentu seperti pada beberapa jenis kera yang membentuk
kelompok pada suatu areal tertentu.
4. Faktor koaktif, yang timbul sebagai akibat interaksi interen dan inter spesies,
seperti persaingan ruang, pakan dan pasangan.
Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola
penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran
spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera
juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera
menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya
seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran
spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan
perilaku) dari satwa itu sendiri. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola
sebaran spasial suatu ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks
penyebaran (dispersion index), yaitu : indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan indeks Greens (GI).
C. Pola Penggunaan Ruang
Habitat sebagai ruang bagi satwaliar dalam melakukan berbagai aktivitas
hidupnya digunakan dalam suatu pola tersendiri yang menjadikan ciri khas bagi jenis
satwa tertentu. Pola sebaran spasial sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang,
hal ini untuk mengetahui jenis habitat seperti apa yang ditempati oleh harimau
tersebut. Menurut Legay dan Debouzie (1985) dalam Santosa (1990), pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwaliar dengan
habitatnya. Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diteliti ada dua hal yaitu
wilayah jelajah dan pergerakan. Hal ini untuk mengetahui seberapa jauh satwa
berjalan setiap hari dan seberapa besar home range mereka.
Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa
keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik
dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Anderson, 1985; Bailey, 1984 dalam
Alikodra, 1990). Menurut Weirsung (1973) dalam Hernowo et al. (1991), pembagian pola penggunaan ruang oleh satwaliar di hutan tropika karena adanya stratifikasi tajuk
vegetasi. Strata hutan tropika yang digunakan digolongkan sebagai berikut :
1. Above of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di atas tajuk pohon.
3. Midle of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah.
4. Scansorial canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah tetapi sering turun ke tanah.
5. Ground living animal, yaitu satwaliar yang hidup di lantai hutan.
Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwaliar di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sejarah penyebaran masa lalu, jenis satwaliar,
kemampuan gerak, penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi
dan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwaliar pada suatu tempat sesuai
dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan yang mendukung.
Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh
keterbatasan, distribusi makanan dan cover, sedangkan pola penggunaan ruang oleh
jantan dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial betina (Osfield et al., 1985
dalam Mauziah, 1994). Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Santosa, 1990). Mobilitas dan wilayah jelajah
merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator strategi
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah dan Status Kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pertama kali diusulkan menjadi
taman nasional melalui Ketetapan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/x/1982, tanggal
10 Oktober 1982 dengan luas sekitar 1.480.000 ha. TNKS ditetapkan sebagai salah
satu calon taman nasional bertepatan dengan kongres taman nasional sedunia III di
Bali. TNKS merupakan gabungan kelompok hutan yang ada terutama hutan lindung,
cagar alam, dan suaka margasatwa.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dinyatakan secara resmi sebagai
taman nasional pada tahun 1992. Kemudian menteri kehutanan dan perkebunan
menetapkan luas taman nasional ini dengan SK No. 192/Kpts-II/1996 dengan luas
sebesar lebih dari 1.368.000 ha. Setelah penataan batas, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 901/Kpts-II/1999 luas TNKS menjadi
1.375.349,867 ha. Sesuai dengan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya, alasan utama penetapan kawasan hutan
sebagai Taman Nasional adalah untuk melindungi keanekaragaman hayati yang
terdapat di dalamnya.
Kawasan hutan TNKS sangat kaya akan biodiversity, pentingnya TNKS telah diakui di dunia internasional dengan ditetapkannya TNKS sebagai situs warisan
ASEAN (ASEAN Heritage Site) pada tahun 1991. Pada awal 2004, TNKS, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) sudah ditetapkan menjadi salah satu Cluster World Heritage Site. Pada tahun 2005, berdasarkan SK No.420/Menhut-II/2004, tanggal 19 Oktober 2004, tentang
Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Produksi Tetap, dilakukan repatriasi
terhadap kawasan Kelompok Hutan Sipurak Hook seluas ± 14,160 ha sehingga luas keseluruhan menjadi ± 1.389.549,867 ha yang meliputi 4 wilayah Propinsi yaitu
Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan atau meliputi 12 (dua belas)
Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Dharmasraya, Rejang Lebong, Bengkulu Utara,
Muko-Muko Selatan, Musi Rawas dan Kotif Lubuk Linggau).
B. Letak dan Luas
Secara geografis kawasan TNKS terletak pada 100º31’18” – 102º44’1” Bujur
Timur dan 1º7’13” – 3º26’14” Lintang Selatan. Luas keseluruhan TNKS menjadi ±
1.389.549,867 ha setelah dimasukkannya kelompok hutan Sipurak hook. Kawasan hutan Ipuh-seblat secara administratif terletak di Provinsi Bengkulu dengan luas ±
831,02 km². adapun luas dari TNKS terbagi ke dalam 4 Propinsi yaitu sebagai
berikut:
1. Seluas 347.109 Ha terletak di Propinsi Sumatera Barat
2. Seluas 418.051 Ha terletak di Propinsi Jambi
3. Seluas 345.591 Ha terletak di Propinsi Bengkulu, dan
4. Seluas 245.126 Ha terletak di Propinsi Sumatera Selatan
C. Kondisi Fisik Kawasan C.1. Topografi
Kondisi topografi TNKS adalah bergelombang, berlereng curam dan tajam
dengan ketinggian 200 sampai dengan 3.805 meter dpl. Gunung kerinci merupakan
puncak tertinggi dari pegunungan yang ada di kawasan TNKS. Sedangkan topografi
di kawasan Ipuh-seblat berupa dataran rendah, berbukit curam yang ketinggiannya
berkisar 100-1000 mdpl dengan kelerengan sebagian besar 0-30º. Jenis tanah di
kawasan ini adalah berupa Latosol dan atau gabungan antara Latosol dengan podsolik
Merah Kuning, sebagian lainnya adalah campuran Podsolik Merah Kuning dengan
Litosol. Komposisi lainnya berupa Aluvial, Andosol, Regosol dan Organosol
(Supriyanto et al. 2000).
C.2. Iklim
Sebagai bagian dari iklim pulau Sumatera, TNKS memiliki iklim tropis basah
berkisar antara 3.000 mm. musim hujan berlangsung dari bulan September - Februari
dengan puncak musim hujan pada bulan Desember. Sedangkan musim kemarau
berlangsung dari bulan April – Agustus. Suhu udara rata-rata bervariasi yaitu 28º C di
dataran rendah, 20º C di Lembah Kerinci dan 9º C di puncak Gunung Kerinci.
Sedangkan kelembaban udara mencapai 80% - 100%.
C.3. Hidrologi
Sebelum disahkan sebagai Taman Nasional, kawasan TNKS merupakan
penyatuan dari Kawasan Cagar Alam Indera Pura dan Bukit Tapan, Suaka
Margasatwa Rawasa Huku Lakitan, Bukit Kayu Embun dan Gedang Seblat, serta
hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang memiliki fungsi Hidrologis penting
terhadap wilayah sekitarnya.
Kelompok hutan tersebut merupakan daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu
DAS Batang Hari, DAS Musi dan DAS wilayah pesisir bagian barat. DAS tersebut
sangat vital peranannya terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bagi hidup dan
kehidupan jutaan orang yang tinggal di daerah tersebut.
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berukuran lebar di kawasan ini antara lain
Air Ipuh, Air Seblat, Air Ikan, Air Retak, Air Teramang dan Air Berau. Kemudian
juga terdapat sungai besar lainnya yaitu Air Seblat Merah, Tembulun Air Rami, Air
Madu dan Air Lupu.
C.4. Aksesibilitas
Kota terdekat dengan TNKS yang memiliki pelabuhan udara adalah Padang,
Jambi dan Bengkulu. Perjalanan darat dari jambi ke Sungai Penuh (Lokasi kantor
TN) dapat ditempuh dengan kendaraan umum (bus) melalui bangko selama 24 jam
perjalanan. Selain itu dapat pula ditempuh melalui Padang, Lubuk Linggau dan
Bengkulu. Kemudian dari Sungai Penuh, lokasi yang selanjutnya akan dituju dapat
dicapai dengan kendaraan sewaan dari Sungai Penuh. Waktu tempu Sungai Penuh –
D. Kondisi Biologi
Secara umum, TNKS memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena
mempunyai keanekaragaman tipe habitat yang sangat kaya dan bervariasi mulai
dari tipe hutan dataran rendah sampai dengan alpin. Kawasan ini merupakan
bagian terbesar dari hutan hujan tropis dari sumatera bagian selatan. Kekayaan
jenisnya sangat tinggi dan telah mewakili seluruh tipe habitat yang terdapat di
Sumatera bagian selatan.
Secara umum kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki
karakteristik hutan yang sangat unik dan khas yang terbagi dalam tipe ekosistem
hutan :
1. Hutan dataran rendah (low land forest).
2. Hutan bukit (hill forest)
3. Hutan sub-montana (sub-montane forest) 4. Hutan montana rendah (lower montane forest) 5. Hutan montana sedang (mid-montane forest)
6. Hutan montana tinggi (upper montane forest), dan 7. Padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket)
8. Lahan basah lain pada wilayah ber rawa, danau dan sungai sungai besar
D.1. Flora
Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki kurang lebih 4000 jenis tumbuhan
yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, termasuk juga terdapat flora yang
langka dan endemik yaitu pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia arborea), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi dan R. hasseltii), dan bunga bangkai (Amorphophallus titanum dan A. decussilvae). Beberapa jenis tumbuhan obat
yang biasa digunakan masyarakat sekitar taman nasional, antara lain paku gajah, akar
tik ulat, akar kepuh, pinang, kunyit, akar sepakis, ubi itam dan lain-lain. Beberapa
jenis anggrek antara lain Spathoglotis plicata, Pholodita articulata, Calanthe triplicata, C. plava, Coelogyne pandura, C. suiphorea, Dendrobium crumenatum,
Menurut Rizwar et al.(2001) dan Supriyanto et al. (2000), bahwa jenis flora
yang ada di TNKS (kawasan Ipuh-Seblat) diantaranya adalah: Shorea sp., Macaranga gigantean, Calamus sp., Artocarpus sp., Dyera sp., Hopea sp., Mallotus sp., Bamboosa sp. Dan lain-lain.
D.2. Fauna
Mamalia; jenis mamalia yang ada di TNKS, langka dan terancam punah
antara lain adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah sumatera (Elephas
maximus sumatranus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan kucing emas (Felis temminckii) yang misterius. Selain itu terdapat juga mamalia lain seperti
siamang (Hylobathes syndactylus), babi jenggot (Sus barbatus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), rusa (Cervus unicolor), kelinci sumatera (Nesolagus netscheri), macan dahan (Neofelis nebulosa), binturong (Arctictis binturong), dan lain-lain.
Burung; antara lain elang alap besar (Accipiter virgatus), elang kelelawar (Macheiramphus alcinus), elang gunung (Spitazatus alboniger), cekakak batu (Lacedo pulchella), belibis kembang (Dendrocygna arcuata), walet (Collocalia spp), enggang jambul (Aceros comatus), kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), rangkong papan (Buceros bicornis), pergam gunung (Ducula bargia), poksai mantel (Garrulax palliatus), tiong emas (Gracula religiosa), rangkong (Buceros rhinoceros),
IV. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III
Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) (gambar 2). Luas TNKS yang ada di Propinsi
Sumatera Selatan yaitu 245.126 Ha yang terletak di Kabupaten Musi Rawas dan
Kotif Lubuk Linggau. Secara umum, kawasan tersebut memiliki 4 tipe hutan yaitu
hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan sub pegunungan, dan hutan
pegunungan. Kondisi topografinya bergelombang, berlereng curam dan tajam dengan
ketinggian antara 200 sampai 2300 meter dpl. Kawasan tersebut merupakan daerah
aliran sungai (DAS) utama Sumatera Selatan yaitu DAS Musi yang merupakan
sungai yang membelah kota-kota di Sumatera Selatan.
Akses menuju kantor SPTN V Lubuk Linggau sangat mudah. Dari kota
Sunagia Penuh dapat ditempuh dengan kendaraan umum melalui Bangko selama 6-8
jam perjalanan. Selain itu dapat pula ditempuh dari kota Bengkulu dengan kendaraan
umum melalui Curup selama 3-4 jam perjalanan. Dari kantor SPTN V Lubuk
Linggau menuju kawasan hutan taman nasional dapat ditempuh dengan kendaraan
umum dengan lama perjalanan 12-15 jam. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 29
Juni sampai 9 Desember 2008.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah harimau sumatera dan
satwa mangsanya serta vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Alat yang digunakan
pada penelitian ini adalah peta lokasi SPTN V Lubuk Linggau yaitu berupa peta
topografi, GPS Garmin 76 CSX untuk menandakan koordinat titik jejak yang
ditemukan, tali tambang, meteran untuk mengukur jejak dan diameter pohon, kompas
menentukan arah jalur, golok, kamera Olympus FE 230 7,1 Megapixel untuk
mendokumentasikan temuan, dan alat pengukur waktu.
C. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan data hasil pengamatan sepanjang jalur
transek yang telah ditentukan. Data yang diambil berupa data primer dan sekunder.
C.1. Data Primer
Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan. Data primer
merupakan data yang digunakan untuk menganalisis bentuk sebaran spasial aktivitas
harimau sumatera dan hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh harimau
sumatera dengan habitat yang ada di lokasi penelitian. Data primer terdiri dari :
1. Karakteristik habitat, meliputi kondisi fisik habitat dan komposisi vegetasi.
2. Data mengenai aktivitas harimau sumatera. Data ini didapatkan dari kegiatan
pengamatan yaitu berupa perjumpaan tidak langsung (jejak kaki, cakaran di tanah,
cakaran di pohon, kotoran, dan cover). Pengamatan dilakukan mulai pukul 08.00
Metode yang digunakan yaitu dengan mengamati aktivitas harimau sumatera
dari tanda-tanda yang ditemukan pada jalur pengamatan. Pada setiap wilayah kerja
dibuat jalur transek, disesuaikan dengan jalur yang telah ada di lokasi penelitian.
Dengan pertimbangan tipe habitat, luasan serta waktu yang dibutuhkan, maka
penelitian ini dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut :
1. Hutan dataran rendah : 5 jalur
2. Hutan perbukitan : 30 jalur
3. Hutan sub pegunungan : 12 jalur
4. Hutan pegunungan : 9 jalur
Setiap jalur merupakan garis lurus sepanjang 2,5 km. Jadi panjang total jalur
yang diamati adalah sepanjang 140 km dengan luasan total hutan yaitu 1.601,422
km². Luasan masing-masing sebagai berikut: hutan dataran rendah (188,453 km²),
hutan perbukitan (755,094 km²), hutan subpegunungan (461,950 km²) dan hutan
pegunungan (195,925 km²).
Tahapan dalam kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut :
1. Menentukan jumlah, letak, serta arah jalur pengamatan pada peta.
2. Melakukan pengamatan, seluruh perjumpaan baik secara langsung atau tidak
langsung. Selanjutnya perjumpaan dicatat dalam tabel pengamatan dan difoto
sebagai dokumentasi temuan di lapangan.
Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tumbuhan dilakukan dengan
cara analisis vegetasi yang dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian.
Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak dengan lebar jalur 20 m dan
panjang jalur 200 m. Jumlah plot yang digunakan sebanyak 10 plot pengamatan atau
Arah jalur 20 m aaaaaa
Gambar 3 Perencanaan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak.
Keterangan :
wawancara dengan masyarakat setempat yang ada di lokasi penelitian. Data sekunder
ini dibutuhkan untuk mendukung data primer yang didapatkan.
Adapun data sekunder yang didapatkan adalah keberadaan satwa mangsa,
kondisi harimau sumatera dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, ancaman
dan gangguan yang terjadi, interaksi antara harimau sumatera dengan masyarakat,
serta kondisi penduduk di sekitar TNKS.
D. Analisis Data D.1. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan
struktur vegetasi. Hasil dari analisis vegetasi akan dihitung sehingga didapatkan
Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui jenis suatu vegetasi yang paling
Kerapatan (K) : Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh
Kerapatan Relatif (KR) : Kerapatan suatu jenis X 100%
Kerapatan seluruh jenis
Frekwensi (F) : Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
D.2. Analisis Bentuk Sebaran Spasial Aktivitas Harimau sumatera
Bentuk sebaran spasial aktivitas dari harimau sumatera ditentukan dengan
menggunakan pendekatan nilai indeks penyebaran sebagai berikut :
X
Untuk menentukan pola sebarannya digunakan uji Chi-Square dengan
persamaan sebagai berikut :
Keterangan : X² = Nilai hitung chi square
Kriteria uji yang digunakan untuk N<30, sebagai berikut :
X ≤ maka pola sebaran spasial aktivitas, seragam
2. Jika 2
X < < maka pola sebaran spasial aktivitas, acak
3. Jika 2
X ≥ maka pola sebaran spasial aktivitas, kelompok
D. 3. Analisis Hubungan Antara Tipe Aktivitas dan Karakteristik Habitat
Analisis hubungan dilakukan antara aktivitas harimau sumatera dengan
karakteristik habitat yang ada di TNKS. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki
hubungan antara tipe habitat dengan jenis-jenis aktivitas yang dilakukan oleh harimau
sumatera. Hubungan tersebut dianalisis dengan menggunakan chi kuadrat. Adapun
tahapannya sebagai berikut :
D.3.1. Pengisian Tabel Penggunaan Habitat oleh Harimau Sumatera
Untuk mempermudah pengelompokan data mengenai aktivitas harimau
sumatera, maka setiap perjumpaan baik langsung maupun tidak langsung yang
mengindikasikan keberadaan harimau sumatera beserta aktivitasnya dimasukan ke
dalam tabel isian.
Tabel 2 Tabel isian aktivitas harimau sumatera
Setiap temuan yang ada dimasukkan ke dalam tabel sehingga dapat diketahui
frekuensi keseluruhan dari aktivitas harimau sumatera pada suatu tipe habitat tertentu.
Hal ini juga untuk mengetahui karakteristik habitat yang disukai oleh harimau
sumatera, dengan indikasi bahwa tempat yang lebih disukai akan lebih banyak
digunakan oleh harimau sumatera untuk beraktivitas.
D.3.2. Analisis Hubungan Parameter Penduga
Selanjutnya data aktivitas harimau sumatera akan dianalisis menggunakan
metode uji chi-kuadrat yaitu antara tipe aktivitas harimau sumatera dengan
karakteristik habitat yang digunakan. Langkah pengiujian yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Hipotesis
Ho : tidak ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat
H1 : ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat
2.Kriteria Pengujian
Jika X² hitung kurang dari X²tabel maka terima H0 pada taraf nyata, dengan
derajat bebas (v) = (b-1) (k-1) dimana b dan k masing-masing menyatakan baris dan
kolom.
Keterangan : Oi =Frekuensi hasil pengamatan ke-i
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1. Karakteristik Habitat A. Kondisi Vegetasi
Kawasan hutan di wilayah SPTN V Lubuk Linggau terdiri dari: hutan dataran
rendah (low land forest), hutan bukit (hill forest), hutan sub-montana (sub-montane
forest), hutan montana rendah (lower montane forest), hutan montana sedang ( mid-montane forest), hutan montana tinggi (upper montane forest), dan padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket), lahan basah lain pada wilayah ber rawa, danau dan sungai-sungai besar.
Hutan yang cukup luas dengan keanekaragaman yang tinggi tentunya akan
sangat mendukung bagi kehidupan satwaliar yang tinggal di dalamnya. Dengan
kondisi hutan yang seperti ini tentunya sangat dibutuhkan oleh harimau sumatera
untuk kehidupanya karena tersedianya komponen habitat seperti pakan, air dan cover.
A.1. Hutan Dataran Rendah
Hutan dataran rendah merupakan ekosistem yang paling kaya akan
keanekaragaman hayatinya baik tumbuhan maupun satwaliarnya. Hutan dataran
rendah yang ditemukan dilokasi penelitian ada yang kondisi vegetasinya masih baik
dan juga sudah rusak akibat perambahan dan illegal logging. Pada tingkat pohon
tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu, medang, dan bandotan
(Polyalthi rumphii). Untuk tingkat pancang yang memiliki kerapatan tinggi adalah jenis jambu-jambu (Eugenia malaccensis) dan meranti, dengan kerapatan (18,75 %). Sedangkan pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu, medang, dan meranti
dengan kerapatan (25%). Pada tingkat semai dan pancang jenis yang masih
kemungkinan jenis meranti dan jambu-jambu akan terus mendominasi pada masa
yang akan datang. Dari hasil inventarisasi vegetasi, bahwa jenis-jenis dari famili
Dipterocarpaceae dan Myrtaceae adalah jenis yang mendominasi vegetasi hutan
dataran rendah (Tabel 3).
Tabel 3 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan dataran rendah
Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
Struktur vegetasi di Taman nasional kerinci Seblat terdiri dari berbagai strata.
Strata A merupakan lapisan teratas dari pohon-pohon yang tinggi totalnya lebih dari
30 meter, strata B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 15-30 meter, strata C
dengan tinggi 5-15 meter, strata D merupakan lapisan perdu dan semak dengan tinggi
1-4 meter dan strata E merupakan lapisan tumbuhan penutup tanah dengan tinggi 0-1
meter (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Pada hutan dataran rendah terdapat strata yang cukup lengkap (Gambar 4).
Strata A antara lain terdiri dari jenis meranti, jambu-jambu, keruing, dan medang.
Strata B terdiri dari jenis pasang, jengkol, berangan dan melangir. Strata A dan B
merupakan jenis yang memiliki tutupan tajuk yang lebar yang berfungsi sebagai
lindungan bagi harimau dari sinar matahari yang masuk. Jenis yang termasuk strata C
dan D antara lain kopi-kopi, arang-arang, dan salam. Strata ini dapat berfungsi
sebagai pelindung dan sumber pakan bagi satwa mangsa harimau yang merupakan
Gambar 4 Strata pada hutan dataran rendah.
Selain cover dan pakan (satwa mangsa) , hal yang dibutuhkan harimau untuk
kebutuhan hidupnya adalah air. Berbeda dengan keluarga kucing yang lain, harimau
sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Saat cuaca
panas, keberadaan air sangat diperlukan sekali untuk menstabilkan suhu badannya.
Harimau sumatera akan memilih tempat-tempat yang menyediakan air untuk
kebutuhan minumnya, sehingga tidak perlu banyak tenaga yang dikeluarkan untuk
mencari sumber air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setijati et al (1992), yang menyatakan harimau sumatera menyukai daerah yang basah seperti daerah rawa dan
sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam. Sumber air yang ditemukan pada
waktu pengamatan adalah sungai (Gambar 5). Pada hutan dataran rendah arusnya
tenang dan airnya jernih. Ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung
dipengaruhi oleh iklim lokal (Alikodra, 2000). Iklim lokal tidak hanya menentukan
banyaknya curah hujan yang turun tetapi juga akan menentukan merata atau tidaknya
Gambar 5 Sungai pada hutan dataran rendah.
Sungai pada hutan dataran rendah memiliki ciri aliran airnya tenang atau tidak
terlalu deras, dangkal, airnya jernih dan berbatu dengan ukuran yang kecil.
Sungai-sungai di hutan dataran rendah sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mencari
ikan, bahkan ada yang digunakan sebagai tempat mencari emas.
A.2. Hutan Perbukitan
Hutan perbukitan memiliki kondisi topografi yang datar dan bergelombang.
Sungai-sungai serta cekungan-cekungan yang menampung air juga banyak dijumpai
pada tipe hutan perbukitan. Kondisi seperti ini yang menyebabkan udara di sekitarnya
menjadi lebih lembab bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang panas
karena sudah terbuka akibat perambahan dan illegal logging. Kondisi tutupan
hutannya mulai dari yang jarang sampai yang sangat rapat serta lantai hutan yang
ditutupi oleh serasah. Pada tingkat pohon terdapat 21 jenis tumbuhan, 15 jenis tingkat
tiang, 10 jenis tingkat pancang, dan 12 jenis tingkat semai.
Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis meranti,
jambu-jambu, dan keruing (Tabel 4). Jenis meranti cukup mendominasi dengan
kerapatan (29,17%) dan penyebaran (18,52%). Pada tingkat tiang jenis yang
mendominasi adalah jambu-jambu, meranti, dan kulit manis. Untuk tingkat pancang
yang memiliki kerapatan tinggi adalah jenis jambu-jambu (27,27%) dan meranti
medang (INP 23,03%), meranti (INP 23,03%) dan kopi-kopi (INP 23,03%). Pada
tingkat semai dan pancang jenis yang masih mendominasi adalah jenis jambu-jambu.
Hal ini menunjukkan ada kemungkinan jenis jambu-jambu akan terus mendominasi
pada masa yang akan datang. Dari hasil inventarisasi vegetasi tersebut dapat
disimpulkan, bahwa jenis dari family Myrtaceae dan Dipterocarpaceae adalah jenis
yang mendominasi vegetasi hutan perbukitan.
Tabel 4 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan perbukitan
Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
2 Jambu-jambu Eugenia malaccensis 19,44 14,81 14,14 48,40
3 Keruing Dipterocarpus sp. 6,94 7,41 8,14 22,49
Pada hutan perbukitan terdapat strata yang cukup lengkap. Strata A antara lain
terdiri dari jenis meranti, jambu-jambu, keruing, dan medang. Strata B terdiri dari
jenis kulit manis, kopi-kopi, semut-semut, kayu gasing, pening-pening dan kayu
pasang. Strata A dan B merupakan jenis yang memiliki tutupan tajuk yang lebar
yang berfungsi sebagai lindungan bagi harimau dari sinar matahari yang masuk
karena harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap panas. Jenis yang
termasuk strata C dan D antara lain bandetan, air-air, kabau, balam, dan nibung.
Strata ini dapat berfungsi sebagai pelindung dan sumber pakan bagi satwa mangsa
harimau yang merupakan satwa herbivora atau pemakan tumbuhan. Kerapatan pada
strata ini juga dapat berfungsi sebagai penghalang sinar matahari yang masuk ke
Gambar 6 Vegetasi hutan perbukitan.
Sumber air yang ditemukan di hutan perbukitan yaitu sungai dan cerukan di
tanah yang menampung air hujan dan sungai (Gambar 7). Kondisi sungainya berarus
deras dan juga berbatu-batu. Selain sungai sebagai sumber kebutuhan air yang utama,
cerukan di tanah juga sangat membantu satwa untuk kebutuhan air. Bila kondisi
sungai yang curam, maka alternatif satwa mencari air adalah pada cerukan-cerukan di
tanah yang menampung air hujan.
Gambar 7 Sungai di hutan perbukitan.
Hutan perbukitan yang memiliki kerapatan tajuk yang cukup rapat yang
membuat teduh lantai hutannya merupakan habitat yang dibutuhkan oleh harimau
saat ini. Ketersediaan satwa mangsa cukup melimpah serta topografi yang landai
banyak menyediakan kebutuhan yang cukup untuk harimau sumatera dan satwa
mangsanya. Hasil penelitian Endri (2006) di Blok hutan sipurak (TNKS) yang
menyatakan bahwa pada hutan perbukitan lebih banyak dijumpai keberadaan harimau
sumatera. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan perbukitan merupakan habitat yang
memiliki daya dukung paling tinggi untuk harimau sumatera bila dibandingkan
dengan hutan dataran rendah yang semakin rusak, yang menyebabkan menyempitnya
habitat bagi harimau sumatera dan satwa mangsanya.
A.3. Hutan Subpegunungan
Seperti pada tipe hutan dataran rendah dan perbukitan, hutan subpegunungan
juga memiliki strata yang lengkap. Ada ciri khas yang membuat beda dengan kedua
hutan tersebut yaitu pada hutan subpegunungan terdapat berbagai jenis epifit, liana,
paku-pakuan dan tumbuhan bawah. Selain itu, ditumbuhi oleh pohon-pohon berlumut
dan juga tutupan serasah yang tebal. Dengan kondisi yang seperti ini, hutan
subpegunungan merupakan daerah yang cocok bagi harimau sumatera untuk tempat
beristirahat dan bermalas-malasan. Hal ini juga didukung dari ditemukannya sungai
yang merupakan tempat untuk minum dan beristirahat yang sesuai.
Secara umum hutan subpegunungan merupakan tipe hutan yang memiliki
strata tajuk yang rapat serta iklim yang selalu basah. Kondisi lantai hutan yang
tertutup serasah dan juga tajuk-tajuk pohon yang rapat, membuat iklim di bawahnya
menjadi lembab dan sejuk. Pada tingkat pohon terdapat 9 jenis tumbuhan, 7 jenis
tingkat tiang, 5 jenis tingkat pancang, dan 4 jenis tingkat semai. Sedikitnya jenis
tumbuhan yang ditemukan menandakan bahwa vegetasi tumbuhan sudah mulai
seragam.
Jenis tumbuhan yang dominan pada tingkat pohon adalah jenis kelat, meranti,
dan beringin (Tabel 5). Jenis kelat cukup mendominasi dengan kerapatan (20%) dan
penyebaran (20%). Pada tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah kabau dan
meranti dengan nilai INP masing-masing (70,15% dan 49,07%). Untuk tingkat
pancang seluruh jenis memiliki nilai kerapatan dan penyebaran yang sama, yaitu
adalah kabau, gondang, kelat, plangas, dan air-air. Begitu juga pada tingkat semai
memiliki nilai kerapatan dan penyebaran yang sama dari semua jenis yang
ditemukan, yaitu dengan nilai kerapatan dan penyebaran 25%. Adapun jenis yang
ditemukan pada semua tingkatan tumbhan adalah jenis kelat, plangas, gondang dan
kabau. Hal ini menunjukkan ada kemungkinan jenis-jenis tersebut akan terus
mendominasi pada masa yang akan datang.
Tabel 5 Indeks Nilai Penting vegetasi tiga besar pada hutan subpegunungan
Tingkat No Jenis Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
Semai 1 Kabau Archidendron bubalinum 25 25 - 50
2 Plangas Aporosa aurita 25 25 - 50
3 Kelat Eugenia spp. 25 25 - 50
4 Meranti Shorea spp. 25 25 - 50
Pancang 1 Kabau Archidendron bubalinum 20 20 - 40
2 Gondang Mangiletia giauca 20 20 - 40
3 Kelat Eugenia spp. 20 20 - 40
4 Plangas Aporosa aurita 20 20 - 40
5 Air-air 20 20 - 40
Tiang 1 Kabau Archidendron bubalinum 25 25 20.15 70.15
2 Meranti Shorea spp. 12.5 12.5 24.07 49.07
Pohon 1 Kelat Eugenia spp. 20 20 16.93 56.93
2 Meranti Shorea spp. 10 10 20.22 40.22
3 Beringin Ficus spp. 10 10 11.11 31.11
Sungai masih dijumpai pada hutan subpegunungan, dengan cirri aliran airnya
deras, airnya jernih dan berbatu-batu besar (Gambar 8). Selain sungai sebagai sumber
kebutuhan air yang utama, cerukan di tanah juga sangat membantu satwa untuk
Gambar 8 Sungai di hutan subpegunungan.
Kondisi tutupan tajuk yang rapat, sungai yang masih ditemukan pada tipe
hutan subpegunungan akan sangat memungkinkan sekali keberadaan harimau
sumatera dapat ditemukan di tipe hutan subpegunungan. Namun, kondisi seperti ini
juga harus didukung oleh tersedianya satwa mangsa. Karena harimau sumatera
merupakan satwa pemakan daging, yang kebutuhannya akan terpenuhi bila satwa
mangsanya masih ada di tipe hutan subpegunungan.
A.4. Hutan Pegunungan
Komposisi vegetasi hutan pegunungan atas memiliki pohon-pohon yang
ditutupi oleh lumut (Gambar 9) serta pada lantai hutannya juga sangat rapat
ditumbuhi oleh tumbuhan bawah berduri, rotan dan pandan. Selain itu, lantai
hutannya juga ditutupi oleh serasah yang tebal. Pada tipe hutan ini, jenis pohonnya
mulai seragam,ini dapat diketahui dari hasil inventarisasi vegetasi yang hanya
menemukan 6 jenis. Jenis pohon yang ditemukan antara lain: jamuju, kelat (Eugenia
spp. ), plangas (Aporosa aurita ), semut-semut, air-air, dan gondang. Untuk jenis pohon yang mendominasi antara lain jamuju dan plangas. Pada tipe hutan
pegunungan, untuk tingkat semai ditemukan 3 jenis, pancang 4 jenis, tiang 6 jenis.
Untuk tingkat pohon tidak ditemukan pada hutan pegunungan, karena pada plot
Gambar 9 Vegetasi hutan pegunungan yang tertutup oleh lumut.
Di hutan ini juga masih ditemukan sungai yang menyediakan air untuk
kebutuhan satwa. Ciri sungainya adalah berarus sangat deras dan dalam, airnya jernih
dan dingin, ada batu-batu besar, serta aliran sungai yang membentuk air terjun
(Gambar 10). Dengan kondisi tutupan tajuk yang rapat, masih adanya sungai sebagai
sumber air masih dapat memungkinkan harimau dapat ditemukan pada tipe hutan
pegunungan.
Gambar 10 Sungai di hutan pegunungan.
V.2. Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera
Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak (independent),
merupakan bentuk strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra,
2002). Menurut Kartono (2000), pola penyebaran satwaliar disebabkan oleh adanya
hubungan kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya
(pakan dan ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan
kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar.
Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola
penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran
spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera
juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera
menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya
seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran
spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan
perilaku) dari satwa itu sendiri.
Pada penelitian studi sebaran spasial aktivitas harimau sumatera di TNKS ini,
pengambilan data dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Untuk pengambilan
data secara langsung yaitu didapatkan dari perjumpaan langsug, namun saat
pengamatan tidak ditemukan perjumpaan secara langsung, sedangkan pengamatan
tidak langsung bersumber dari penemuan jejak yang ditinggalkan oleh harimau
sumatera seperti tapak kaki, kotoran, cover, cakaran di tanah (scrape), dan cakaran di pohon (scratch).
Tabel 6 Frekuensi kontak dengan harimau sumatera
No. Tipe Vegetasi Tanda Keberadaan Harimau Sumatera
Dari data yang didapatkan tersebut, kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan nilai Indeks Dispersi (ID) dan uji chi-square. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa nilai x²hitung (7,227) memiliki nilai lebih besar daripada x²0,025
spasial aktivitas mengelompok (dependent). Hal ini juga dibuktikan dari temuan jejak
diseluruh tempat mengelompok pada daerah-daerah tertentu yang kondisi habitatnya
hampir sama. Dalam hal ini harimau lebih mengelompok pada hutan perbukitan.
Sebaran spasial aktivitas ini dimungkinkan saja karena dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi biologis
dan perilaku harimau sumatera, sedangkan faktor eksternal seperti kondisi ekologis
TNKS. Pada kondisi lapangan juga terlihat jelas bahwa tanda-tanda keberadaan
harimau yang ditemukan mengelompok di suatu daerah pada hutan perbukitan.
Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan dapat menentukan kemampuan
satwaliar untuk bertahan hidup. Kondisi lingkungan yang berbeda-beda disetiap
tempat akan direspon pula dengan tingkat adaptasi yang berbeda pula. Harimau
sumatera akan menanggapi pengaruh lingkugan sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan tingkat bahaya yang ditimbulkan.
Salah satu faktor yang paling dominan dalam pola sebaran spasial harimau
sumatera adalah sifat biologis dan perilaku satwa dari individu harimau sumatera.
Sifat biologis antara lain proses metabolisme tubuh, kepekaan, ekspresi, reproduksi,
adaptasi, dan komposisi fisik dan kimia tubuh. Sifat inilah yang akan menentukan
tingkat kemampuan harimau sumatera dalam mempertahankan kelestariannya baik
persaingan dengan sesama jenis maupun dengan lingkungannya.
Kegiatan penelitian ini dilakukan di empat tipe ekosistem berbeda, yiatu
berdasarkan ketinggian: hutan dataran rendah (0-300 mdpl), hutan perbukitan
(300-800 mdpl), hutan subpegunungan ((300-800-1400 mdpl), dan hutan pegunungan (>1400
mdpl) (Laumonier, 1994). Selama kegiatan penelitian ditemukan lima aktivitas
harimau sumatera, yaitu: berjalan, membuang kotoran, mencakar di tanah, mencakar
Tabel 7 Jenis aktivitas harimau sumatera di empat tipe ekosistem
No. Tipe Ekosistem Jenis Aktivitas* Jumlah
A B C D E
1 Hutan Dataran Rendah 0 0 0 0 0 0
2 Hutan Perbukitan 3 1 8 1 0 13
3 Hutan Subpegunungan 4 1 3 0 0 8
4 Hutan Pegunungan 2 2 1 0 2 7
Jumlah 9 4 12 1 2 28
*Keterangan: A. Berjalan
B. Membuang kotoran C. Mencakar di tanah D. Mencakar di pohon E. Berlindung
Dari sejumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera yang ditemukan di
lokasi penelitian, tipe hutan perbukitan merupakan habitat yang paling bayak
ditemukan tanda keberadaan harimau sumatera (13 jejak). Selanjutnya hutan
subpegunungan (8 jejak), hutan pegunungan (7 jejak) sedangkan di hutan dataran
rendah tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatera. Adapun jenis
aktivitas dan sebaran harimau sumatera pada tiap tipe hutan berdasarkan ketinggian,
yaitu hutan dataran rendah (warna hijau tua), hutan perbukitan (warna kuning), hutan
subpegunungan (warna hijau muda), dan hutan pegunungan (warna jingga) dapat
Gambar 11 Peta sebaran aktivitas harimau sumatera.
V.2. a. Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di empat tipe hutan
Seluruh jejak atau tanda yang ditinggalkan oleh satwa memiliki gambaran dan
informasi mengenai satwa yang meninggalkannya (Knight, 1968). Jika jejak tersebut
tidak ditemukan maka akan sulit untuk menentukan apakah satwa yang dimaksud ada
di lokasi tertentu.
1. Hutan dataran rendah
Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera pada tipe hutan dataran rendah
tidak ditemukan selama pengamatan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerapatan
tumbuhan yang tidak terlalu rapat dan merata pada setiap jenis. Kondisi vegetasi
seperti ini menyebabkan sinar matahari yang masuk tidak terhalang oleh tajuk pohon.
beristirahat di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Kondisi hutan
dataran rendah yang terbuka menyebabkan kondisi lingkungan habitat harimau
sumatera menjadi berubah panas. Hal ini yang menyebabkan harimau sumatera tidak
ditemukan pada tipe hutan dataran rendah di lokasi penelitian. Bila tidak ada tempat
untuk berlindung, kemungkinan harimau tidak akan berada di tempat tersebut.
Harimau sumatera merupakan satwa yang rentan terhadap perubahan lingkungan
(Lekagul dan McNeely, 1997). Karena memiliki sifat tersebut, harimau sumatera
tentu akan mencari tempat yang lebih sesuai agar dapat bertahan hidup.
Berbeda dengan harimau, kondisi hutan yang terbuka merupakan habitat yang
baik bagi satwa mangsa harimau karena menyediakan banyak makanan khususnya
rumput dan tumbuhan bawah. Di hutan datarn rendah ditemukan sebanyak 7 jenis
satwa mangsa harimau sumatera; 4 jenis dijumpai secara langsung dan 3 jenis secara
tidak langsung (Tabel 8).
Tabel 8 Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada hutan dataran rendah
Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah
Langsung 1 Pelanduk napu Tragulus napu 1
2 Simpai Presbytis melalophos 3
3 Ungko Hylobates agilis 1
4 monyet ekor panjang Macaca fascicularis 1
Jejak kaki 1 Babi hutan Sus sp. 1
2 Rusa sambar Cervus unicolor 2
3 Beruang madu Helarctos malayanus 1
Dalam pemilihan makan biasanya satwaliar digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau
potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002). Dari 7 jenis satwa mangsa yang ditemukan, ada 3 jenis yang merupakan satwa mangsa utama harimau sumatera yaitu
pelanduk napu, rusa sambar dan babi hutan, sedangkan simpai, ungko, monyet ekor
panjang, dan beruang madu merupakan makanan cadangan atau potensial. Menurut
Karanth dan Sunquist (1995), bahwa satwa mangsa utama harimau adalah
satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae. Sedangkan menurut Dinata (2002),
babi hutan, rusa, kijang, kancil, napu, kambing hutan, dan landak sebagai makann
utama, sedangkan beruk dan tapir sebagai makanan pendukung.
2.Hutan perbukitan
Pada hutan perbukitan banyak ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau
sumatera (Tabel 9). Tanda tersebut berupa jejak kaki, kotoran (feses), cakaran di
tanah (scrape) dan cakaran di pohon (scratch). Scrape dibuat untuk memberi tanda daerah jelajah harimau dan biasanya terdapat di jalan yang biasa dilewati satwa.
Tabel 9 Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera di hutan perbukitan
No. Tanda Keberadaan Harimau Sumatera Jumlah Letak
1. Jejak kaki 3 Tanah
2. Kotoran 1 Tanah
3. Cakaran (scrape) 8 Tanah
4. Cakaran (scratch) 1 Pohon
Harimau memiliki kecenderungan membuang kotoran (feses) pada tempat yang terkonsentrasi dan umumnya terbuka (Gambar 12). Rapatnya vegetasi
menyebabkan lantai hutan menjadi teduh dan sejuk karena sinar matahari terhalang
masuk. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya ditemukan tanda keberadaan
harimau sumatera di hutan perbukitan. Selain itu, kondisi topografi yang landai
memudahkan pergerakan harimau dalam mencari mangsa.
Keberadaan harimau sumatera lebih banyak dijumpai pada hutan perbukitan
bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hal yang sama juga pada penelitian
Endri (2006) di Blok Hutan sipurak (TNKS), yang menyatakan bahwa pada hutan
perbukitan lebih banyak dijumpai keberadaan harimau sumatera, karena satwa
mangsa yang ditemukan lebih banyak dibandingkan pada tipe hutan lainnya.
Jumlah satwa mangsa harimau sumatera yang ditemukan di hutan perbukitan
ada 10 jenis, 3 jenis di jumpai secara langsung dan 7 jenis secara tidak langsung
(Tabel 10). Satwa mangsa yang ditemukan di hutan perbukitan lebih banyak
dibandingkan dengan hutan dataran rendah.
Tabel 10. Jenis satwa mangsa yang dijumpai pada vegetasi hutan perbukitan
Jenis Temuan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah
Jejak Kaki 1 Kuau raya Argusianus argus 1
2 Ungko Hylobates agilis 1
pelanduk napu merupakan makanan utama (preferred foods) bagi harimau sumatera, sedangkan kuau raya, ungko, tapir, dan macan dahan merupakan makanan cadangan
atau potensial (emergency foods). Banyaknya jejak yang ditemukan dari jenis rusa sambar dan kijang serta jenis yang lain menandakan bahwa kebutuhan pakan utuk
harimau sumatera di hutan perbukitan cukup tersedia. Rusa sambar dan kijang
merupakan pakan harimau sumatera. Seidensticker et al (1999) menyatakan bahwa pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar satwa mangsa