V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Pembahasan
5.2.2 Karakteristik Habitat Harimau
5.2.2 Karakteristik habitat harimau 5.2.2.1 Cover
Cover bagi harimau adalah tempat yang digunakan sebagai tempat berlindung dari panas sinar matahari. Stuktur vegetasi hutan sebagai salah satu bentuk pelindung, berfungsi sebagai tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Hal ini dapat dilihat dari kondisi kerapatan vegetasi yang berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan (Alikodra, 1990).
Kondisi penutupan tajuk yang beragam pada tipe semua hutan dapat memenuhi segala kebutuhan utama bagi harimau. Hal ini terkait dengan kebutuhan harimau terhadap sinar cahaya yang akan mempengaruhi aktivitas pergerakan hariannya. Pada siang hari, harimau akan menghabiskan waktunya untuk berteduh dan bernaung pada pepohonan yang rimbun. Endri (2006) menyatakan hutan yang disukai harimau adalah hutan dengan tutupan tajuk yang rimbun tetapi lantai hutannya tidak dipenuhi oleh semak belukar atau tumbuhan berduri yang terlalu rapat.
Kondisi penutupan tajuk pada jalan bekas logging dapat dikatakan belum dapat memenuhi kebutuhan harimau akan cover sebagai pelindung dari panas matahari. Pada lokasi ini harimau cenderung menggunakan cover untuk berburu dan istirahat. Pemanfaatan cover oleh harimau dapat dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu pemanfaatan penutupan tajuk atas (overstory), penutupan semak (understory), dan penutupan lantai hutan (ground story) (Alikodra, 2002). Pemanfaatan understory digunakan pada aktifitas berburu yang bertujuan untuk menyamarkan tubuhnya. Kondisi semak belukar yang tidak terlalu rapat merupakan tempat yang disukai oleh harimau ketika berburu. Harimau
merupakan satwa karnivora yang menangkap mangsanya dengan teknik mendekat secara diam-diam dari dalam semak-semak atau alang-alang dan kemudian langsung menyergapnya dalam sekali terkam (Sangkhala, 2004)
. T
ipe hutan perbukitan memiliki tingkat kerapatan tajuk yang tinggi sehingga kondisi semak belukar atau tumbuhan bawah tidak terlalu rapat (Rudiansyah, 2007). Sedangkan bentuk ground story yang digunakan oleh harimau berupa serasah yang berguna untuk menghangatkan tubuh. Cover bagi beberapa jenis satwa mungkin berbeda dengan cover untuk jenis satwa liar lainnya. Pada lokasi ini, kondisi ground story berupa lumut yang tebal dan serasah (Suryana, 2004). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, bentuk cover yang digunakan oleh harimau sebagai tempat berkembang biak dan membesarkan anak yaitu berupa bekas jalan logging yang telah tertutup semai dan alang-alang.Lokasi hutan sub pegunungan merupakan hutan peralihan menuju hutan pegunungan. Pohon-pohon yang terdapat pada tipe hutan ini memiliki batang yang tertutup lumut dan selalu dalam kondisi basah. Van Steenis (2006) mengatakan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi dan semakin kecil ukuran vegetasi. Faktor elevasi atau ketinggian tempat memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang sering terjadi di tipe hutan perbukitan. Hutan sub pegunungan masih dalam kondisi sangat baik daripada tipe hutan perbukitan yang sering dilalui oleh masyarakat. Harimau sumatera memiliki kecendrungan tidak melalui semak belukar pada hutan sub pegunungan dalam pergerakannya dan memilih jalur yang ada seperti bekas jalur yang dibuat oleh manusia dan binatang. Hal ini dikarenakan pada semak belukar yang rapat juga banyak terdapat jenis-jenis rotan dan pandan yang berduri (Riansyah, 2007). Udara yang sejuk dan suhu yang rendah membuat lokasi ini selalu dalam kondisi lembab. Tipe hutan sub pegunungan memiliki banyak tebing batu. Tempat tersebut sering dijadikan cover dan shelter bagi kambing hutan.
5.2.2.2 Satwa mangsa
Mangsa yang cukup banyak, air tersedia dan tanaman pelindung (cover) merupakan tiga hal yang berpengaruh penting sebagai faktor ekologi harimau (Grzimek, 1975). Harimau memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Ketersediaan mangsa yang beragam dengan jumlah yang banyak serta memiliki penyebaran yang merata memungkinkan harimau untuk tidak terkonsentrasi pada satu daerah saja yang memiliki tingkat konsentrasi keberadaan mangsa. Mangsa yang beragam memiliki dampak positif bagi kelangsungan harimau karena tidak akan bergantung pada keberadaan mangsa utama saja (Riansyah, 2007).
Satwa mangsa utama harimau berasal dari jenis ungulata berukuran besar, seperti rusa sambar, babi hutan, kijang, dan kambing hutan. Akan tetapi tidak jarang pula harimau memangsa jenis satwa yang berukuran kecil seperti beruk, landak, dan kancil. Jenis satwa mangsa utama harimau adalah babi hutan (Suryana, 2004). Harimau lebih menyukai mangsa dengan biomass diatas 20 kg sedangkan macan dahan menyukai dengan biomass lebih kecil (Karanth & Sunquist 1995; Sunquist et al. 1999). Keragaman dan kelimpahan jenis satwa mangsa pada satu lokasi dapat mengubah preferensi pemangsaan harimau (Sunquist et al. 1999). Harimau juga cenderung akan memangsa jenis dengan biomass kecil bila keberadaan satwa mangsa dengan biomass besar sudah berkurang.
Pada hutan perbukitan tingkat perjumpaan satwa mangsa tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan faktor pendukung ekologis tersedia dengan baik, terutama air sebagai penunjang kehidupan satwa dan lokasi mengasin yang terletak dipinggir sungai. Jenis satwa mangsa yang dapat ditemukan pada tipe hutan perbukitan adalah beruang madu, babi jenggot, beruk, kijang, rusa sambar, dan landak. Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya,
baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas.
Hutan sub pegunungan yang cenderung memiliki elevasi yang lebih tinggi menyebabkan tingkat perjumpaan satwa mangsa lebih rendah dari tipe hutan perbukitan. Primack et al., (1998) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada tipe hutan perbukitan. Satwa mangsa yang ada pada tipe hutan ini adalah beruang madu, beruk, kambing hutan, kijang, pelanduk napu, tapir dan landak.
Babi merupakan hewan yang mudah berkembang biak; dengan pengembang-biakan pertama di usia dini dan jumlah per kelahirannya yang besar, babi dapat bertahan hidup dengan memakan tanaman, sehingga mereka merupakan menu yang ideal bagi harimau (Mauget, 1991 dalam Sunquist et al., 1999). Penyebarannya yang luas dan jumlahnya yang melimpah membuat satwa ini menjadi sasaran utama bagi harimau.
Beberapa jenis satwa dijadikan alternatif mangsa jika mangsa berukuran besar sulit ditemukan seperti beruang dan tapir. Pada dasarnya satwa karnivora lebih mementingkan kuantitas dan ketersediaan makanan daripada kualitasnya, juga selalu memilih jenis makanan yang tersedia dan mudah untuk dikuasai (Lestari, 2006), dan tidak seperti hewan karnivora yang lainnya, kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat mengganti pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson, 1990; Kitchener, 1991).
Kijang dan rusa memiliki mobilitas yang tinggi dan dapat menyesuaikan dengan tipe hutan tempat tinggalnya (Endri, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Riansyah (2007) menyatakan bahwa pada saat tingkat perjumpaan kijang meningkat juga diikuti oleh peningkatan tingkat perjumpaan harimau. Penyebaran kijang di kawasan hutan Batang hari meliputi kedua tipe hutan dan selalu diikuti dengan kemunculan harimau. Apabila populasi kijang seimbang maka kijang dapat mendukung populasi harimau secara berkelanjutan (Seidensticker et al., 1999). Griffiths (1996) mengatakan skenario kijang muncak di Taman Nasional Gunung Leuser memberi jaminan tentang makanan untuk
populasi harimau yang berkepadatan rendah (1 ekor individu harimau/100 km 2
). Menurut Seidensticker et al., (1999), pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar mangsa dari harimau sumatera adalah kijang dan
kadang-kadang kambing hutan. Adanya jenis satwa mangsa lain seperti babi dan rusa dapat memungkinkan terjadinya pengembangbiakan kijang secara berkala (Seidensticker, 1999).
Hasil penelitian dari Karanth (1991) dalam Seidensticker (1999) menunjukkan bahwa penyusutan mangsa memiliki efek yang kuat terhadap dinamika populasi harimau. Oleh karena itu penyusutan mangsa mungkin menjadi faktor utama menyusutnya populasi harimau liar. Potensi untuk mempertahankan populasi harimau yang kecil tetapi produktif tergantung terutama pada usaha mempertahankan kepadatan mangsa yang tinggi. Ungulata besar yang merupakan mangsa utama harimau memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada hutan tropis yang sering diganggu oleh manusia. Oleh karena itu penyusutan habitat secara fisik bukanlah kendala bagi pemulihan populasi harimau di sebagian besar wilayah (Seidensticker & McDougal, 1993; Karanth & Sunquist, 1995).
Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1984). Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah rata-rata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997).
5.2.3 Populasi Harimau Sumatera 5.2.3.1 Kepadatan
Sejak pengembangannya pada tahun 1980, camera trap menjadi alat utama bagi kegiatan monitoring satwa cryptic dan juga digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut dengan metode capture recapture (Carbone et. al, 2000 dan Karanth & Nichols, 2002). Jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi selama sembilan periode sampling (satu periode sampling = sepuluh hari) adalah 4 individu. Model yang digunakan dalam program CAPTURE adalah Mh dengan harapan adanya variasi kemungkinan tertangkap pada masing-masing individu (Karanth & Nichols, 2003). Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 – 11 ekor dengan total luas ekektif sampling area 351,26 km2. Sehingga diperoleh kepadatan harimau di kawasan hutan Batang hari dengan selang kepercayaan 95% yaitu (X + SE) 1 – 3 ekor (1,4 – 3,1 + 1,35% individu harimau/100 km2).
Estimasi ini mengatakan bahwa terdapat satu individu harimau per 100 km2. Berdasarkan analisis tersebut kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang Hari tergolong rendah jika dibandingkan dengan kepadatan harimau di Ipuh-Seblat dengan luas efektif sampling area yang tidak terlalu berbeda jauh yaitu 2 – 4 ekor individu/100 km2 (Riansyah, 2007). Akan tetapi hasil ini tidak berbeda jauh dengan Kawanishi (2002) yang melakukan penelitian di kawasan hutan tropis Taman Negara dengan luas efektif sampling area 338,2 km2 (X + SE) (1,18 + 0,54% individu harimau/100 km2). Namun harimau sumatera yang berada pada tingkat kepadatan rendah yaitu 1-3 ekor harimau dewasa/100 km² memiliki daerah jelajah yang luas sekitar 180 km² untuk jantan dewasa (Linkie, 2006b). Selanjutnya Linkie (2005b) mengatakan kamera trap bekerja lebih baik pada wilayah yang mempunyai kepadatan harimau yang tinggi sedangkan pada wilayah yang dengan kepadatan yang rendah seperti hutan pegunungan atau hutan dengan tingkat perburuan yang tinggi, harimau lebih baik dimonitor dan selanjutnya dilakukan perkiraan kelimpahan relatif.
Periode sampling selama tiga bulan dengan metode capture-mark-recapture untuk estimasi jumlah populasi harimau tidak melanggar asumsi populasi tertutup (Nichols & Karanth 2002). Model ini dalam analisis populasi lebih disukai dengan pertimbangan ketepatan estimasi dan kesempurnaan penduga (estimator robustness) (Karanth et al 2004). Estimasi jumlah populasi secara cepat dalam penelitian tentu dengan pertimbangan waktu dan kecukupan
ketersediaan biaya. Perangkap kamera dapat digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut harimau melalui metode capture-mark-recapture (Karanth & Nichols, 2002) serta kelimpahan relatif harimau. Tiap individu harimau memiliki corak permanen yang spesifik (Karanth & Nichols, 2002). Setiap individu harimau dibedakan berdasarkan pola garis belang (ekor, pundak, badan, kaki, kepala/face) dan pengidentifikasian terhadap individu harimau menggunakan perkiraan presence - absence untuk setiap pengambilan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Karanth dan Sunquist (1992) dan Lynam (2000), kepadatan harimau di pulau Sumatera masih tergolong rendah. Tidak jauh berbeda dengan beberapa penelitian yang dilakukan di Thailand di kawasan Narathiwat, Yala, Chaiyaphum, dan Nakhon Ratchasima, kepadatan harimau hanya berkisar antara 1 – 3 individu/100 km2 (Lynam, 2004, Carbone, 2000). Di India seperti di Bandipur, Nagarahole, Kanha dan Kaziranga tingkat kepadatan tertinggi hingga mencapai 10-20 individu
harimau/100 km2 (Karanth & Sunquist, 1992). Kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari sebesar 1,3 individu /100km2 dapat dikatakan normal. Dengan memepertimbangkan dua faktor yang sama yaitu waktu dan luasan yang tidak jauh berbeda maka daerah yang memiliki kemiripan tipe hutan dengan kawasan hutan Batang Hari akan menghasilkan kepadatan harimau yang tidak jauh berbeda pula. Nilai kepadatan harimau dapat digunakan untuk menjelaskan daya dukung habitat. Dalam hal ini kawasan hutan Batang hari memiliki daya dukung yang mencukupi bagi kehidupan harimau didalamnya. Kepadatan harimau pada hutan perbukitan lebih padat daripada hutan sub pegunungan. Hal ini karena daya dukung habitat yang mencukupi menunjang keberlangsungan hidup suatu makhluk hidup
Periode sampling adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam melakukan analisis kepadatan harimau sumatera dengan menggunakan program CAPTURE. Periode sampling berkaitan dengan capture history, semakin pendek periode sampling maka semakin teliti rata-rata tangkap (P) yang diperoleh, sehingga nilai pendugaan individu dalam luasan efektif sampling area juga akan semakin detail. Jika periode sampling dalam waktu yang relatif panjang, maka asumsi closed population kemungkinan tidak akan tercapai dan akan menghasilkan data yang bias (Linkie, 2005b). Dalam hal ini penggunaan periode sampling selama sepuluh hari sama dengan yang dilakukan di Kaziranga, India, dan memiliki tingkat keakuratan yang cukup baik (Karanth & Nichols, 2000).
Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah jumlah perangkap kamera yang dipasang. Semakin banyak perangkap yang dipasang akan menambah peluang tertangkapnya individu harimau. Selanjutnya penempatan kamera yang dilakukan pada satu sisi juga mempengaruhi jumlah individu yang berhasil diidentifikasi. Sebuah titik penempatan kamera memerlukan dua kamera untuk dipasang di sisi yang berhadapan pada jalur yang sama. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan diperoleh foto dari dua sisi harimau yang melintas dan menghasilkan identifikasi individu-individu harimau yang lebih akurat (Linkie, 2006).
5.2.3.2 Perbandingan jenis kelamin (Sex ratio)
Keadaan populasi harimau di alam ditunjukkan oleh indikator perbandingan jumlah jantan (male), betina (female). Berdasarkan identifikasi jenis kelamin harimau melalui foto hasil camera trap, sex ratio jantan dan betina secara positif adalah 1:3. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi harimau di kawasan hutan Batang hari adalah normal. Menurut Primack (1999) bahwa populasi stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas, dengan perbandingan khas antara anak, individu muda, dewasa dan tua. Perbandingan jumlah betina yang lebih banyak daripada jantan sesuai dengan kebutuhan akan perilaku reproduksi harimau yang berlangsung sepanjang tahun. Harimau mempunyai struktur sosial pada perkawinan terbatas yaitu poligami, satu jantan dengan banyak betina (Smith, 1994 dalam Suryana, 2004).
Pada harimau betina terdapat periode estrous, yaitu waktu dimana harimau betina mau menerima harimau jantan untuk melakukan perkawinan. Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urin harimau betina. Selama masa birahi harimau betina memperlihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan hanya sedikit beristirahat. Suara yang dikeluarkan harimau betina yang birahi disebut “prusten” yaitu jenis suara yang dihasilkan oleh udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan (McDougal, 1979).
5.2.3.3 Struktur Umur
Struktur umur harimau yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah 3 individu dewasa dan 1 individu sub adult. Kondisi populasi harimau di kawasan hutan batang hari dapat dikatakan baik karena berhasil ditemukan individu muda. Hal ini mengindikasikan populasi akan berada dalam kondisi stabil atau mungkin akan mengalami peningkatan (Primack, 1998).
Gumanti tertangkap pertama kali bersama dua anaknya, akan tetapi hanya satu anaknya (Bulan) yang berhasil tertangkap kembali oleh kamera. Anak harimau disapih ketika berumur 18 - 28 bulan. Beberapa harimau bahkan masih ada yang tetap bersama induknya sampai berumur lebih dari dua tahun, bahkan ketika anak tersebut telah menemukan pasangannya
.
Sherpa dan Makey (1998) dalam Suryana (2004) juga menyebutkan bahwa harimau betina akan mencapai dewasa secara kelamin ketika berumur tiga tahun, sedangkan jantan empat tahun. Setelah berumur tiga tahun, harimau betina dapat melahirkan setiap dua tahun sekali sampai mereka berumur sembilan atau sepuluh tahun. Rata-rata masa berkembang biak bagi tiap harimau betina selama hidupnya adalah 6,1 tahun. Umur harimau di alam adalah antara 10 - 15 tahun. Hanya beberapa saja yang dapat bertahan hidup hingga umur 17 tahun atau lebih.Singh (1999) menyatakan bahwa panjang jejak anak harimau berkisar antara 7-10 cm, sedangkan harimau dewasa memiliki ukuran panjang jejak 10,5-17 cm. Berdasarkan analisis, kedua anak dari Gumanti telah memiliki daerah jelajahnya sendiri, namun masih tidak terlalu jauh dari daerah jelajah induknya. Populasi harimau normal dan berkelanjutan harus memiliki 25 % anak (Karanth & stith, 1999).
5.2.4 Wilayah Jelajah
Tingkat perjumpaan harimau cenderung terlihat merata dimasing-masing lokasi kamera. Hasil dari camera trap menunjukan lokasi kamera K07, K20 dan K22 memiliki tingkat perjumpaan harimau yang tinggi dengan nilai masing-masing 3,85, 3,79, dan 3,19. Lokasi kamera K07 dan K20 terletak pada tipe hutan sub pegunungan, hanya K22 yang terletak di hutan perbukitan. Hasil ini berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Endri (2006) dan Gunawan (2006) yang menyatakan bahwa tingkat perjumpaan harimau paling tinggi yaitu pada hutan dataran rendah lalu hutan perbukitan dan yang terakhir hutan sub
pegunungan. Keduanya merupakan lokasi kamera terluar dan terjauh pembentuk polygon yang hanya didatangi oleh Damar. Sedangkan lokasi kamera K22 merupakan lokasi kamera yang terletak di jalur ex logging dan hanya didatangi oleh Meranti.
Tipe hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan yang mendominasi kawasan hutan Batang hari merupakan hutan primer yang masih alami. Kondisi kawasan hutan yang belum terganggu masih dapat memenuhi kebutuhan dari satwa mangsa yang menjadi kunci keberadaan harimau. Karena apabila kualitas habitat menurun, cenderung mengurangi kepadatan suatu jenis pada wilayah tertentu (Meijaard et al, 2005). Menurunnya kelimpahan satwa mangsa tentunya akan mempengaruhi dinamika populasi harimau di suatu wilayah (Karanth & Stith, 1999). Kawasan hutan Batang hari yang memiliki tipe hutan perbukitan yang tidak terlalu curam dan bergelombang, memudahkan pergerakan harimau dalam mengikuti pergerakan satwa mangsa. Kondisi topografi yang datar dan bergelombang cenderung disukai oleh harimau (Seidensticker et al., 1999). Sedangkan tipe hutan sub pegunungan yang ada di kawasan hutan batang hari memiliki topografi yang curam dan terjal. Banyak ditemukan tebing-tebing batu karang yang menjadi tempat istirahat bagi kambing gunung. Walaupun dengan topografi yang curam dan terjal, pada bagian punggung tebing batu masih dapat ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Kondisi topografi terebut sebenarnya kurang baik bagi harimau. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutajulu (2007) di Suaka Margasatwa Rimbang Baling.pernah ditemukan harimau mati karena jatuh terperosok ke jurang saat mengejar mangsa.
Tingkat perjumpaan harimau terendah terletak pada lokasi kamera K 06 dan K 08 yaitu dengan nilai sama 1,25 foto/100 hari. Hal ini dikuti dengan rendahnya tingkat pertemuan satwa mangsa di lokasi tersebut. Satwa mangsa yang terdapat di kedua lokasi tersebut adalah beruang, kijang, dan landak. Harimau membutuhkan mangsa untuk dapat bertahan hidup, jika pada suatu lokasi dimana tingkat perjumpaan mangsa berkurang, harimau cenderung untuk berpindah dan mencari lokasi dimana terdapat kelimpahan mangsa yang cukup. Sumber makanan yang jumlahnya sedikit akan menyebabkan rendahnya kepadatan herbivora yang kemudian dapat menentukan pola keberadaan karnivora besar.
Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat
tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya, baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas. Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah rata-rata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997). Untuk mengetahui jarak jelajah hariantiidak dapat menggunakan teknologi perangkap kamera. Dibutuhkan teknologi yang lebih maju seperrti radio telemetri untuk mengetahui secara pasti jarak jelajah dari individu harimau.
5.2.5 Perilaku
5.2.5.1 Pola Aktifitas Harimau
Menurut Tilson (1997), harimau umumnya memulai berburu pada sore hari. Pada waktu-waktu tertentu, beberapa jenis satwa mangsa sudah mengurangi pergerakan hariannya. Harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas pada siang hari, seperti babi hutan, beruk dan kijang dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap rusa dan pelanduk. Pada hutan perbukitan harimau banyak menghabiskan waktu pada malam hari menjelang pagi hari karena untuk menghindari gangguan yang disebabkan oleh manusia disekitar daerah ini. Karanth & Sunquist (1995) menyatakan bahwa harimau memerlukan makanan tiga kali lebih banyak daripada macan dahan.
Harimau yang ada di hutan sub pegunungan lebih banyak menghabiskan waktunya pada siang hari. Walaupun dengan kepadatan satwa mangsa yang tidak terlalu tinggi, namun pada daerah ini masih terdapat kambing hutan dan babi hutan yang memiliki biomassa besar. Oleh sebab itu, dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencari mangsa yang juga berhubungan dengan kepadatan satwa mangsa pada suatu lokasi (Hutajulu, 2007). Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia