V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil5.1.1 Kondisi Habitat Harimau
Tipe hutan yang masuk kedalam lokasi penelitian terdiri atas dua yaitu hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan. Perbedaan tipe hutan ini dibagi berdasarkan ketinggian pada masing masing lokasi, dimana tipe hutan perbukitan berada pada ketinggian antara 600 – 900 mdpl dan tipe hutan sub pegunungan berada pada ketinggian 900 – 1500 mdpl. Vegetasi dominan yang menyusun habitat pada kedua tipe hutan tersebut adalah famili Dipterocarpaceae (4 jenis), Fabaceae (2 jenis), dan Ebenaceae (2 jenis). Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian adalah jenis Meranti, Borneo, dan Damar.
Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan
No Nama lokal Jumlah F FR (%) K KR (%) INP 1 Meranti 15 1 8.89 375 20.00 62.26 2 Borneo 10 1 8.89 250 13.33 23.11 3 Pening-pening kapur 3 0.75 6.67 75 4.00 11.22 4 Asem-asem 1 0.25 2.22 25 1.33 4.01 5 Medang sungai 3 0.5 4.44 75 4.00 9.57 6 Melangir 2 0.5 4.44 50 2.67 20.88 7 Kalek 2 0.5 4.44 50 2.67 7.90 8 Keling 1 0.25 2.22 25 1.33 4.22 9 Ulin 1 0.25 2.22 25 1.33 20.22 10 Rambutan 1 0.25 2.22 25 1.33 6.84 11 Arang-arang 1 0.25 2.22 25 1.33 4.36 12 Beringin hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 7.39 13 Damar 6 0.5 4.44 150 8.00 13.62 14 Durian hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 8.08 15 Medang kunyit 3 0.5 4.44 75 4.00 9.57 16 Ketapang hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 7.88 Jumlah 55 8 1375
Tipe hutan perbukitan memiliki kondisi topografi sebagian besar bergelombang dan sedikit datar yang memudahkan harimau dalam melakukan pergerakan hariannya. Sungai pada hutan perbukitan memiliki lebar antara 20 – 35 m dan mengalir sepanjang tahun. Sungai pada lokasi penelitian merupakan sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan dan juga satwa yang ada didalam hutan. Sumber air lainnya yaitu cekungan yang terisi oleh air hujan atau bekas kubangan satwa. Lokasi yang biasa digunakan untuk mengasin bagi satwa
terdapat di pinggir sungai besar. Sekitar lokasi tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa seperti rusa sambar dan kijang. Harimau melakukan pengintaian di tempat-tempat yang sering didatangi oleh satwa mangsa seperti sungai dan tempat mengasin
Pohon-pohon berukuran sedang hingga besar dengan diameter 100 - 150 cm banyak terdapat pada tipe hutan perbukitan. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat membantu mengurangi panas sinar matahari. Strata tajuk pembentuk cover pada lokasi ini terdiri atas lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan atau strata B (10-25 m), strata C dan lapisan vegetasi pembentuk tumbuhan bawah atau strata D dan E. Strata tajuk yang berlapis memenuhi kriteria habitat bagi harimau untuk menghindari panas dan dalam melakukan pengintaian.
Gambar 3. Hamparan kawasan hutan Batang hari
Lokasi hutan sub pegunungan memiliki tingkat topografi yang lebih curam dan banyak terdapat tebing batu. Tebing batu ini digunakan kambing hutan yang merupakan satwa mangsa harimau untuk cover. Lokasi hutan sub pegunungan sangat jarang ditemukan sumber air di sepanjang jalur pengamatan. Sumber air kecil biasanya terdapat pada lereng-lereng curam dengan kemiringan hampir 70o dengan beda ketinggian lebih dari 100 m. Sumber air pada lokasi ini tergantung oleh hujan yang akan membuka mata air atau mengisi cekungan-cekungan.
Harimau akan menggunakan sumbaer air tersebut jika tidak menemukan sumber air lainnya.
Kondisi lantai hutan berupa lumut tebal dan serasah yang selalu basah, sehingga tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Kondisi penutupan tajuknya yang rapat membuat udara pada lokasi ini terasa lebih sejuk dan selalu basah. Penutupan tajuk pada lokasi ini berlapis seperti pada hutan perbukitan yang terdiri dari strata A hingga E. Pohon-pohon besar dominan penyusun tajuk hutan diantaranya adalah meranti (Shorea spp), borneo (Dipterocarpus borneensis) dan damar (Agathis damara).
Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan sub pegunungan
No Nama lokal Jumlah F FR K KR INP
1 Meranti 11 1 8.89 275 14.67 43.14 2 Borneo 8 1 8.89 200 10.67 20.44 3 Kalek 2 0.5 4.44 50 2.67 7.90 4 Pening-pening hitam 3 0.5 4.44 75 4.00 12.06 5 Rambutan 1 0.25 2.22 25 1.33 6.84 6 Beringin hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 7.39 7 Medang batu 2 0.25 2.22 50 2.67 7.21 8 Damar 4 0.5 4.44 100 5.33 21.68 9 Kecapi hutan 2 0.5 4.44 50 2.67 11.92 Jumlah 35 5 875 5.1.1.1 Satwa Mangsa
Tingkat keanekaragaman satwa ungulata di kawasan hutan Batang hari cukup tinggi. Variasi ini lebih disebabkan kebutuhan pakan yang berbeda-beda dari tiap jenis satwa karnivora sehingga lokasi tempat ditemukannya satwa mangsa juga berbeda-beda. Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari antara lain rusa sambar, kambing hutan, kijang, dan babi jenggot.
Tabel 5. Tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau
No Nama Lokal Nama Ilmiah ∑ Foto
Independen
Tingkat perjumpaan
Standar deviasi
1 Landak Hystrix braciura 39 2.07 5.22
2 Beruk Macaca nemestrina 56 3.21 5.09
3 Kijang Muntiacus muntjak 16 1.00 1.52
4 Beruang Helarctos malayanus 46 2.68 4.79
5 Babi jenggot Sus Barbatus 33 1.73 5.56
6 Tapir Tapirus indicus 2 0.10 0.45
7 Kancil Tragulus napu 1 0.06 0.27
8 Rusa sambar Cervus unicolor 1 0.05 0.24
(a) (b)
Gambar 4. Kijang (a) dan Babi jenggot (b) merupakan satwa mangsa harimau yang ada di kawasan hutan batang hari.
Berdasarkan jumlah foto independen yang didapat selama perangkap kamera terpasang, satwa mangsa dominant yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah beruk (56 foto), beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto). Selain jenis satwa mangsa utama, beberapa jenis satwa menjadi alternatif sasaran mangsa bagi harimau, seperti pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus).
Satwa mangsa yang tertangkap kamera pada lokasi hutan perbukitan adalah beruang madu (Hystrix brachyura), babi jenggot (Sus Barbatus), beruk (Macaca nemestrina), kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor) dan landak (Hystrix brachyura). Sedangkan jenis satwa mangsa yang terdapat pada lokasi hutan sub pegunungan adalah beruang madu (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), kijang (Muntiacus muntjak), pelanduk napu (Tragulus napu), tapir (Tapirus indicus) dan landak (Hystrix brachyura). Beruk sering tertangkap kamera karena aktivitas hariannya dilakukan di tanah (terrestrial)
Jenis satwa yang paling sering tertangkap oleh kamera adalah kuau raya (Argusianus argus). Jenis ini merupakan salah satu mangsa potensial bagi harimau. Kuau sering tertangkap pada salah satu titik kamera karena satwa ini membuat gelanggang untuk menarik pasangannya.
Tabel 6. Jenis satwa mangsa potensial pada masing-masing tipe hutan
No Jenis satwa Nama Ilmiah Hutan
perbukitan
Hutan sub pegunungan
1 Beruang madu Helarctos malayanus √ √
2 Musang galing Paguma larvata √
3 Musang leher kuning Martes flavigulata √
4 Beruk Macaca nemestrina √ √
5 Babi jenggot Sus Barbatus √
6 Rusa sambar Cervus unicolor √
7 Kambing hutan Capricornis sumatraensis √
8 Kijang Muntiacus muntjak √ √
9 Pelanduk napu Tragulus napu √
10 Tapir Tapirus indicus √
11 Landak Hystrix brachyura √ √
12 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis √
13 Kuau raya Argusianus argus √
14 Sempidan sumatera Lophura inornata √ √
5.1.1.2 Cover
Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki strata tajuk dari lapisan A hingga E. Berdasarkan hasil pengukuran analisis vegetasi diketahui bahwa jenis pohon dominan yang menjadi cover pada habitat harimau sumatra di kawasan hutan batang hari adalah jenis meranti (Shorea spp.), borneo (Dipterocarpus borneensis), dan damar (Agathis spp.). Hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging di hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk yang jarang hingga terbuka,
dan di sepanjang jalan banyak ditumbuhi semak belukar yang rapat. Kondisi hutan perbukitan memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi pada tingkat pohon, sehingga membantu harimau menghindari panas matahari dan membantu dalam pengintaian. Hutan sub pegunungan juga memiliki tingkat kerapatan pohon yang tinggi dengan komposisi vegetasi pembentuk tumbuhan bawah berupa rotan. Pada lokasi ini harimau menggunakan cover untuk berlindung dari gangguan yang banyak terdapat di hutan perbukitan.
Gambar 6. Lapisan tajuk utama atau strata A pada hutan sub pegunungan
5.1.1.3 Air
Air merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup satwaliar. Air menjadi komponen habitat yang penting bagi harimau untuk berendam dan mandi karena satwa ini tidak suka denganudara panas. Sumber air pada lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi sungai, kubangan atau cekungan yang terisi air hujan, dan mata air. Sumber air berupa sungai hanya terdapat di tipe hutan perbukitan. Sungai yang terdapat di lokasi ini adalah sungai Batang hari, Anduring, Gumanti, Kandi dan Batarum gadang.
Karakteristik sungai yang ada di lokasi penelitian adalah berarus deras, berbatu, serta memiliki substrat berpasir. Sungai Batang hari memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, airnya berwarna kuning kecoklatan karena substratnya yang berlempung dan berpasir. Sungai Anduring memiliki air yang jernih, berarus deras, dan berbatu. Sungai ini sering menjadi tempat perlintasan satwa. Beberapa kali pergerakan satwa seperti rusa sambar, kijang, dan musang leher kuning terlihat langsung. Selain itu, di tepi sungai anduring ditemukan tempat mengasin bagi satwa. Jejak kaki rusa sambar dan kijang banyak ditemukan di sekitar lokasi tersebut, dan beberapa kali rusa sambar terlihat langsung melakukan aktifitas disana. Sungai Gumanti, sungai Kandi dan sungai Batarum gadang memilki karakter yang tidak jauh berbeda dengan sungai Anduring yang berbatu dan memiliki substrat tanah berpasir, hanya saja pada ketiga sungai tersebut arusnya tidak terlalu deras dan berukuran lebih kecil.
Sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun tersebut cenderung terletak pada tipe hutan perbukitan. Sedangkan pada tipe hutan sub pegunungan hanya terdapat sumber-sumber air kecil, kubangan, dan cekungan yang terisi oleh air hujan. Lokasi hutan sub pegunungan banyak ditemukan sumber-sumber air kecil yang berasal dari mata air. Biasanya sumber air yang kecil ini bersifat sementara dan akan hilang pada saat musim kemarau. Kubangan pada lokasi ini ada yang masih aktif dan ada yang sudah lama tidak dijadikan tempat berkubang bagi satwa.
(a) (b)
(c)
Gambar 8. Karakteristik fisik sungai di lokasi penelitian yang berbatu (a,b dan c), memiliki arus deras (a dan c) dan terbentuk dari substrat tanah berpasir
5.1.2 Karakteristik Habitat Harimau Sumatera 5.1.2.1 Cover
Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m). Harimau butuh perlindungan dari panas matahari, sehingga bentuk tajuk yang berlapis pada hutan sangat membantu. Selain itu strata tajuk yang berlapis mengurangi ancaman dari perburuan oleh manusia serta menambah efektifitas dalam perburuan.
Penutupan tajuk tipe hutan perbukitan bervariasi dari mulai terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging penutupan tajuk berada pada lapisan tajuk pertengahan dan terbuka. Akan tetapi pada jalur ini banyak ditumbuhi oleh semak dan belukar yang yang tidak terlalu rapat, sehingga dapat membantu menyamarkan tubuh harimau dalam melakukan pemangsaan. Walaupun arealnya yang sedikit terbuka dan cenderung lebih panas, tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak kaki (pugmark) dan garukan pada tanah (scrape) lebih banyak ditemukan pada lokasi ini. Begitu pula dengan satwa mangsanya, pada jalur bekas logging juga banyak ditemukan tanda-tanda keberadaannya.
Gambar 9. Jalan bekas logging yang sering dijadikan perlintasan oleh harimau
Berdasarkan kondisi di lokasi pada tiap-tiap tipe habitat, keberadaan jejak harimau lebih mudah dideteksi pada tipe hutan perbukitan daripada tipe hutan sub pegunungan. Pada umumnya kedua tipe hutan tersebut masih dalam kondisi yang baik, hal ini didasari masih dapat ditemukannya satwa dengan perilaku yang sensitif terhadap perubahan lingkungannya, selain itu kawasan hutan Batang hari merupakan daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya dan juga merupakan sumber air bagi sungai Batang hari.
Harimau di tipe hutan sub pegunungan lebih cenderung menggunakan tutupan tajuk untuk menghindari sinar matahari dan menghindari gangguan oleh manusia. Gangguan yang banyak terjadi pada lokasi hutan perbukitan membuat harimau lebih sering melalui lokasi ini. Walaupun tingkat perjumpaan satwa mangsa pada hutan sub pegunungan terbilang rendah, namun jumlah jenis yang terdapat pada lokasi ini tidak jauh berbeda dengan hutan perbukitan. Strata tajuk pada lokasi hutan sub pegunungan didominasi oleh pohon borneo pada lapisan tajuk utama. Lapisan tajuk pertengahan banyak didominasi oleh meranti dan borneo.
Semak belukar banyak ditumbuhi oleh rotan dan pandan yang cukup rapat. Harimau cenderung menghindari jalur ini dan memilih jalur yang sudah ada. Tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Lantai hutannya yang ditutupi oleh lumut tebal dan serasah tidak memungkinkan ditemukannya jejak tapak kaki. Tanda keberadaan yang dapat dijumpai pada lokasi ini hanya sebatas kotoran.
Gambar 11. Kondisi habitat pada tipe hutan sub pegunungan
5.1.2.2 Satwa Mangsa
Satwa mangsa yang berhasil diidentifikasi melalui fofo hasil perangkap kamera adalah sebanyak 9 jenis. Satwa mangsa utama harimau merupakan satwa ungulata dengan biomassa yang besar. Namun tidak jarang harimau memangsa satwa yang lebih kecil ukurannya seperti pelanduk napu, landak, dan beruk. Hal tersebut dilakukannya sebagai alternatif jika sulit mendapatkan mangsa yang lebih besar. Babi jenggot merupakan satwa mangsa yang penyebarannya merata hampir di seluruh lokasi kamera pada tipe hutan perbukitan.
Pola penyebaran satwa mangsa yang ditemukan bersifat acak dan tersebar pada kedua tipe hutan, akan tetapi ada beberapa jenis satwa yang hanya tertangkap pada satu salah satu tipe hutan saja. Rusa sambar dan kambing hutan merupakan satwa mangsa utama harimau, namun selama perangkap kamera aktif, kedua satwa ini hanya satu kali tertangkap kamera dan hanya ada di satu titik lokasi kamera. Rusa sambar tertangkap kamera pada jalur bekas logging di hutan perbukitan, sedangkan kambing hutan tertangkap kamera pada hutan sub pegunungan. Kebutuhan akan habitat bagi satwa mangsa lebih terpenuhi pada tipe hutan perbukitan.
Tempat mengasin (Salt lick) yang digunakan satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan mineralnya ditemukan di pinggir sungai pada tipe hutan ini. Aktifitas yang tinggi terlihat dari beberapa kali perjumpaan langsung yang terjadi. Beberapa jenis satwa yang terlihat langsung melakukan aktifitas di lokasi mengasin dan kubangan adalah kijang dan rusa sambar.
Gambar 12. Tempat mengasin (salt lick) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mineral satwa
Tabel 7. Jenis satwa mangsa potensial yang tertangkap oleh kamera selama penelitian.
Jumlah foto independen rusa sambar dan kambing hutan yang menjadi mangsa utama harimau sangat sedikit. Selama penelitian, foto yang berhasil dikumpulkan untuk kedua jenis satwa mangsa tersebut hanya 1 foto. Rusa sambar terfoto pada kamera K16 sedangkan kambing hutan terfoto pada kamera K01. Rusa sambar terfoto di jalur bekas logging pada hutan perbukitan yang masih digunakan oleh masyarakat untuk masuk kedalam hutan. Sepanjang jalur tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa lainnya seperti babi jenggot, kijang, dan napu.
(a) (b)
Gambar 13. Kambing hutan (a) dan rusa sambar (b) sebagai satwa mangsa utama harimau
No Nama lokal Nama inggris Total Foto ∑Foto
Independen
1 Harimau sumatera Sumatran Tiger 33 23
2 Kucing emas Asian Golden Cat 29 27
3 Kucing batu Marbled Cat 5 5
4 Macan dahan Clouded leopard 43 34
5 Beruang madu Malayan Sun Bear 48 46
6 Ajag Asian wild dog 3 2
7 Musang galing Masked palm civet 8 8
8 Musang leher kuning Yellow throated marten 2 2
9 Beruk Pig tailed macaque 52 56
10 Babi jenggot Bearded Pig 39 33
11 Rusa sambar Sambar Deer 1 1
12 Kambing hutan Serow 2 1
13 Kijang Red muntjac 18 16
14 Pelanduk napu Grater mouse-Deer 1 1
15 Tapir Malayan tapir 4 2
16 Landak Common porcupine 41 39
17 Bajing tanah bergaris tiga Three-striped Ground Squirrel 1 1
18 Kuau raya Great argus 117 51
19 Sempidan sumatera Salvadori's Pheasant 6 5
20 Unidentified 3 3
21 Manusia 29 20
Beruk adalah satwa mangsa yang paling sering tertangkap oleh kamera dan memiliki kelimpahan yang bervariasi pada berbagai kondisi habitat karena tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Kambing hutan tertangkap kamera pada hutan sub pegunungan yang banyak terdapat tebing batu. Tanda-tanda keberadaan kambing hutan seperti gua peristirahatan dan shelter banyak ditemukan di sekitar lokasi tebing.
(a) (b)
Gambar 14. Beruk (a) dan (b) landak adalah satwa mangsa potensial bagi harimau
Tapir yang merupakan satwa mangsa potensial bagi harimau hanya terfoto dua kali pada hutan sub pegunungan, setelah itu tidak pernah tertangkap oleh kamera lagi. Tapir merupakan satwa mangsa potensial bagi harimau yang memiliki biomassa besar, namun satwa ini dijadikan pilihan terakhir dalam hal pemangsaannya.
Tabel 8. Daftar jenis satwa yang tertangkap pada masing-masing lokasi kamera selama penelitian No Nama lokal Nama latin Titik kamera 1 2 3 4 5 6 7 8 9 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
1 Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Kucing emas Catopuma temminckii √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Kucing batu Pardofelis marmorata √ √ √
4 Macan dahan Neofalis nebulosa √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Beruang madu Helarctos malayanus √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
6 Ajag Cuon alpinus √ √
7 Musang galing Paguma larvata √ √ √
8 Musang leher kuning Martes flavigulata √
9 Beruk Macaca nemestrina √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
10 Babi jenggot Sus barbatus √ √ √ √ √
11 Rusa sambar Cervus unicolor √
12 Kambing hutan Capricornis sumatraensis √
13 Kijang Muntiacus muntjak √ √ √ √ √ √ √ √
14 Pelanduk napu Tragulus napu √
15 Tapir Tapirus indicus √
16 Landak Hystrix brachyura √ √ √ √ √ √ √
17 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis √
18 Kuau raja Argusianus argus √ √ √ √
19 Sempidan sumatera Lophura inornata √ √ √
20 Manusia √ √ √
5.1.3 Populasi Harimau Sumatera 5.1.3.1 Kepadatan
Hasil analisis program CAPTURE menyatakan bahwa populasi (N) harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 (4,88) ekor dengan nilai standar error sebesar 1,35. Dengan menggunakan selang kepercayaan 95%, individu harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari berkisar antara 5 – 11 ekor dengan kepadatan 1,43 – 3,13 ekor/100 km2.
Tabel 9. Hasil dari analisa program CAPTURE
Dengan menggunakan asumsi populasi tertutup, didapatkan nilai rata-rata probablitas capture (p-hat) sebesar 0,22. Nilai ini mempengaruhi besarnya peluang suatu jenis tertangkap oleh kamera dalam satu ulangan. Peluang tertangkapnya suatu jenis oleh kamera sangat dipengaruhi oleh lokasi pemasangan kamera dan perilaku keberadaan suatu jenis (penetap atau penjelajah). Peluang kemungkinan harimau tertangkap oleh kamera pada seluruh occasion adalah sebesar 80%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa mudah untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatra.
Tabel 10. Jumlah foto individu harimau pada masing-masing tipe hutan
No Jenis satwa Jumlah foto
Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan
1 Damar 7 8
2 Gumanti 3 0
3 Meranti 5 1
4 Bulan 1 4
Pergerakan individu harimau yang berbeda-beda menyebabkan sebaran lokal harimau pada tiap tipe hutan menjadi berbeda. Jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah yang paling luas berhasil tertangkap kamera yang terletak pada kedua tipe hutan. Berdasarkan tabel 12, sebaran lokal harimau pada hutan perbukitan lebih tinggi daripada hutan sub pegunungan.
Effektif sampling area 351,26 Kriteria model yang digunakan Mh Jumlah Individu (Mt+1) 4
Rata-rata (p-hat) 0,22
Peluang capture 0,8
Populasi (N) dan standar error (SE) 4,88 (1,35) Populasi Cl 95% (individu) 5-11 ekor
5.1.3.2 Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio)
Sex ratio dari individu yang terfoto oleh kamera adalah 1 jantan dan 3 betina. Satu dari betina dewasa tersebut memiliki 2 ekor anak. Hal ini dapat dipastikan karena salah satu dari anak tersebut tertangkap kembali oleh kamera, namun yang lainnya tidak tertangkap kamera lagi sehingga tidak dapat diidentifikasi. Setelah semua individu harimau berhasil diidentifikasi lalu diberi identitas (ID) atau nama harimau yaitu Gumanti, Bulan, Damar, dan Meranti.
Tabel 11. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing tipe hutan No ID Harimau kelamin Jenis
Tipe hutan Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Damar Jantan √ √ 2 Gumanti Betina √ 3 Meranti Betina √ √ 4 Bulan Betina √ √
5 Anak Gumanti 2 Unidentified √
5.1.3.3 Struktur Umur
Proses identifikasi individu harimau dilakukan dari foto hasil camera trap dengan membandingkan 2 sisi tubuh harimau yang tertangkap oleh perangkap, dan diketahui bahwa terdapat 4 ekor harimau sumatera. Berdasarkan tingkat umurnya individu harimau yang terfoto merupakan individu sub-adult hingga dewasa. Individu dewasa berjumlah 3 ekor, sedangkan individu sub adult berjumlah 2 ekor. Individu dengan tingkat umur sub adult merupakan anak dari salah satu individu betina dewasa yaitu Gumanti.
Tabel 12. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada masing-masing tipe hutan.
No ID Harimau Kelas umur
Tipe hutan Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Damar Dewasa √ √ 2 Gumanti Dewasa √ 3 Meranti Dewasa √ √
4 Bulan Sub adult √ √
5.1.4 Wilayah Jelajah
Dari hasil analisis dengan menggunakan program ArcGis 9.2 dan ArcView 3.2 diketahui bahwa Damar merupakan individu jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah yang paling luas. Titik kamera yang paling sering menangkap keberadaan Damar adalah K02 dengan jumlah 4 foto. Sedangkan 3 individu lainnya yaitu Gumanti, Meranti, dan Bulan hanya tertangkap di beberapa lokasi kamera saja. Gumanti dan Meranti hanya ditemukan di tiga lokasi kamera, sedangkan Bulan hanya ditemukan di dua lokasi kamera saja.
Aktifitas harimau lebih banyak terlihat pada lokasi kamera yang terletak pada tipe hutan perbukitan. Dari keseluruhan harimau yang berhasil diidentifikasi, hampir semua individu harimau memiliki daerah jelajah yang melewati kedua tipe hutan. Berdasarkan peta penyebaran harimau, Damar lebih banyak melewati daerah hutan sub pegunungan.
Individu betina (Gumanti dan Meranti) lebih banyak melakukan pergerakan di lokasi hutan perbukitan. Sedangkan jantan dewasa (Damar) melintasi kedua tipe hutan baik perbukitan maupun sub pegunungan. Namun berdasarkan analisis yang dilakukan melalui foto, individu jantan lebih banyak melintas di hutan sub pegunungan. Individu sub adult (Bulan) terlihat pada kedua tipe hutan, namun berulang kali tertangkap pada lokasi kamera di hutan sub pegunungan.
5.1.5 Perilaku Harimau 5.1.5.1 Pola Aktifitas Harian
Aktifitas harimau di lokasi penelitian lebih banyak dilakukan pada malam hari (58%) daripada siang hari (42%). Pola aktifitas harimau dapat dikategorikan crepuscular dan diurnal. Hal ini ditandai dengan adanya aktifitas harimau pada pukul 03.00 dini hari hingga 06.00. Pada siang hari aktifitas harimau mulai tertangkap oleh kamera pada pukul 14.00 hingga sore hari pukul 18.00. Tingkat perjumpaan harimau lebih tinggi pada hutan perbukitan diikuti dengan tingginya tingkat perjumpaan satwa mangsa.
Gambar 17. Harimau yang tertangkap kamera sedang melakukan pergerakan pada sore hari dan menjelang pagi
5.1.5.2 Mengasuh Anak
Perilaku membesarkan anak ditunjukkan oleh Gumanti yang terlihat masih bersama kedua anaknya. Gumanti tertangkap bersama kedua anaknya pada lokasi kamera K 04. Lokasi kamera terletak di hutan perbukitan pada jalan bekas logging. Tanda-tanda keberadaan induk dan anaknya ini terdeteksi pada dua tempat. Lokasi pertama pada titik kamera, dan lokasi kedua pada tanah lapang di jalan bekas logging. Setelah berpisah dengan induknya, masing-masing anaknya memiliki daerah jelajah sendiri namun masih dalam pengawasan induknya. Bulan, salah satu anak dari Gumanti tertangkap melakukan pergerakan harian sendiri pada lokasi kamera yang tidak terlalu jauh menangkap kehadiran Gumanti.
Gambar 18. Induk harimau sedang bersama dengan kedua anaknya
5.1.6 Gangguan Habitat Harimau
Tingkat aktifitas masyarakat yang tinggi didalam maupun dipenggir hutan dapat mempengaruhi kualitas hutan sebagai habitat. Beberapa hasil pengamatan selama di lapangan masih ditemukan sisa-sisa kegiatan masyarakat yang dilakukan di dalam hutan. Kegiatan berburu dan mencari hasil tambang seperti emas merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Minimal dalam waktu satu bulan mereka akan kembali kedalam hutan. Kegiatan berburu masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan memasang jerat. Di beberapa jalur ditemukan jerat-jerat yang terpasang. Jerat dipasang untuk menjerat satwa dari ukuran kecil seperti kancil hingga besar seperti rusa sambar.
Kegiatan perambahan dilakukan dengan cara mengkonversi lahan hutan menjadi kebun. Komoditi utama hasil perkebunan dari desa sekitar kawasan hutan Batang hari adalah Kapulaga dan kopi. Kegiatan perambahan juga terjadi akibat perjalanan yang mereka lakukan didalam kawasan. Sisa-sisa sampah plastik dan botol yang mereka bawa dari desa berserakan di sepanjang jalur, sehingga kondisi lantai hutan menjadi telihat kumuh.
Gambar 19. Jerat yang digunakan oleh masyarakat untuk berburu satwaliar di dalam hutan.
Kegiatan penebangan liar masih terjadi disekitar pinggiran hutan. Kegiatan penebangan olh masyarakat dilakukan dengan skala kecil namun rutin. Meski rumah bekas kegiatan penebangan sudah tidak dipakai lagi, terkadang masih digunakan untuk tempat bermalam bagi masyarakat yang masuk ke dalam kawasan.
Didalam hutan masih terdapat balok-balok kayu siap angkut yang sudah terbengkalai, karena jalur yang rusak dan pertimbangan biaya maka kayu tersebut dibiarkan begitu saja. Di desa masih terdapat tempat-tempat pengolahan kayu (sawmill) dengan skala kecil. Kayu yang diambil dari hutan selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juga untuk memenuhi pesanan dari luar desa.
Tabel 13. Jenis gangguan habitat di dalam kawasan hutan Batang hari
No Jenis gangguan Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Penambangan liar √ √ 2 Perburuan √ √ 3 Perambahan √ 4 Illegal logging √
Gambar 21. Bangunan sisa kegiatan logging yang sudah tidak digunakan lagi, dan balok kayu yang ttidak sempat terangkut dari dalam kawasan
5.2 Pembahasan
5.2.1 Kondisi Habitat Harimau
Kawasan hutan Batang hari memiliki dua tipe hutan yaitu hutan perbukitan dan sub pegunungan. Jenis pohon yang paling banyak ditemui yaitu meranti (Shorea spp) dan borneo (Dipterocarpus borneensis). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, pohon dominan yang ada di hutan perbukitan berasal dari famili Dipterocarpaceae, Fabaceae, dan Ebenaceae. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat sangat berguna bagi harimau untuk menghindari panas matahari pada siang hari. Keanekaragaman vegetasi yang tinggi mengindikasikan struktur komunitas yang mantap dan stabil. Suatu keanekaragaman yang besar mengenai bentuk kehidupan mengisyaratkan terdapat suatu keanekaragaman yang besar juga pada rantai makanan dengan tingkat trofik, yaitu penyediaan makanan dan kebutuhan nutrisi (Kartawinata et al., 1991 dalam Lestari, 2006). Sungai sebagai sumber air bagi satwaliar menjadi tempat yang vital bagi pemenuhan kebutuhan akan air. Alikodra (2002) menyatakan bahwa ketersedian air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal. Karakteristik sungai yang besar, berbatu, dan panjang menjadi salah satu tempat yang sering di kunjungi oleh satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan akan air. Harimau mengunjungi kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan akan air dan satwa mangsa.
Hutan sub pegunungan memiliki kontur yang lebih curam dan terjal karena banyak terdapat tebing batu. Tanda-tanda keberadaan harimau di kawasan hutan Batang hari dapat dijumpai hingga ketinggian 1500 mdpl pada daerah yang berlereng curam. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Harimau dapat hidup dan berkembang biak dengan baik di kawasan hutan yang relatif dekat dengan aktivitas manusia yang tinggi selama di hutan tersebut masih tersedia cukup satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhannya (Endri, 2006). Lokasi yang berlereng curam dan banyak tebing berbatu merupakan ciri khas dari habitat kambing hutan yang menjadi satwa mangsa harimau. Kambing hutan suka menghuni tebing-tebing yang menghadap ke lembah atau jurang untuk bersembunyi pada siang hari (Endri,2006). Sumber air yang terdapat di lokasi
hutan sub pegunungan berupa cekungan-cekungan atau sisa kubangan. Sumber air tersebut bersifat temporal, sehingga pemenuhan kebutuhan akan air bagi harimau tidak dilakukan di lokasi ini melainkan pada sungai-sungai besar yang terdapat di hutan perbukitan. Kondisi habitat menjelaskan keadaan harimau dan satwa mangsanya dalam memilih tempat hidupnya. Jika salah satu komponen dalam habitat terganggu, maka baik harimau dan satwa mangsanya akan mengalami pergeseran ekosistem. Berkurangnya satwa mangsa bagi harimau berarti penurunan populasi bagi harimau. Kegiatan pembinaan habitat yang maksimum merupakan langkah awal pencegahan kepunahan harimau.
5.2.1.1 Satwa mangsa
Kondisi habitat dapat dikenali dari keadaan kelimpahan satwaliar yang dimangsa, sedang pemangsa tidak mencerminkan keadaan habitatnya (Alikodra, 2002). Satwa mangsa harimau berupa satwa-satwa herbivor yang bergantung pada kelimpahan dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan sebagai pakannya.
Berdasarkan jumlah foto independent, jenis satwa mangsa yang sering tertangkap kamera adalah beruk (Macaca nemestrina). Populasinya yang menyebar pada kedua tipe hutan membuat satwa ini mudah dijumpai. Satwa ini sering melakukan aktifitas hariannya di atas tanah (terrestrial) walaupun sering di jumpai berada di atas pohon. Perilaku sosial yang bergerombol membuat satwa ini selalu melakukan pergerakan hariannya dalam kelompok. Sistem berkelompok satwa ini juga berfungsi sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan predator (Dinata, 2002). Jumlah kelompok dapat mencapai 40 ekor dan paling sering ditemukan dihutan perbukitan (Payne et al., 2000). Selain beruk jenis satwa mangsa yang memiliki foto independent tertinggi adalah beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto).
Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari adalah babi jenggot (Sus barbatus). Penyebaran satwa ini tergolong luas namun hanya terkonsentrasi pada hutan perbukitan saja. Satwa ini memiliki perilaku sosial dalam melakukan pergerakan hariannya. Jenis babi ini hidup dalam kelompok-kelompok besar dan dalam pergerakan hariannya sering dijumpai secara bergerombol (Riansyah, 2007). Penyebaran kijang terdapat pada kedua tipe hutan, namun tingkat perjumpaan kijang lebih sering pada tipe hutan perbukitan. Kijang merupakan jenis satwa mangsa bertipe browser yang lebih menyukai memakan tunas-tunas daun (Endri, 2006).
Jenis satwa mangsa alternatif biasanya berukuran kecil dan cenderung mudah didapatkan. Jenis satwa ini menjadi pilihan bagi harimau karena lebih mudah didapat dalam proses pemangsaannya. Jenis satwa mangsa alternatif bagi harimau antara lain adalah pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus).
Tapir merupakan satwa mangsa potensial dengan biomassa yang besar bagi harimau. Namun dalam hal pemangsaannya, tapir dijadikan pilihan terakhir dalam daftar menu mangsa harimau. Tapir merupakan satwa nokturnal yang ketika mencari makan selalu bergerak dalam jalur zig-zag (Anonimus, 2004) dan berjalan melalui semak-semak. Perilaku tapir tersebut menyebabkan jejak tapir lebih mudah dijumpai karena secara proporsi tapir mampu memanfaatkan ruang habitat yang lebih luas (Endri, 2006). Tanda keberadaan tapir dan foto hasil perangkap kamera dijumpai pada tipe hutan sub pegunungan. Jenis ini menunjukkan kecenderungan yang signifikan terhadap tipe hutan dengan elevasi yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jejak tapir lebih banyak dijumpai di tipe hutan yang memiliki elevasi lebih tinggi. Meijaard & Van Strien (2003) menyatakan bahwa di Sumatera, tapir sering terdapat di pegunungan karena di daerah pegunungan sering ditemukan daerah yang ada mineralnya seperti ”saltlick”.
Jenis satwa mangsa potensial harimau cenderung lebih mudah dijumpai pada hutan perbukitan. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor habitat yang terdapat pada hutan berbukitan lebih lengkap dibandingkan hutan sub pegunungan. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi harimau untuk menjelajah hutan sub pegunungan karena masih terdapat satwa mangsa yang merupakan faktor utama penunjang habitat. Adanya gangguan yang banyak terjadi di hutan perbukitan membuat harimau menghabiskan waktu di hutan sub pegunungan.
5.2.1.2 Cover
Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki lapisan strata yang cukup lengkap. Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m),. Kondisi strata tajuk pohon yang berlapis tersebut menaungi lantai hutan dari cahaya matahari langsung sehingga menciptakan suasana hutan yang teduh dan sejuk pada waktu siang hari (Endri, 2006).
Pada hutan perbukitan vegetasi pembentuk tajuk didominasi oleh jenis meranti (Shorea spp.) dan borneo (Dipterocarpus borneensis). Tipe hutan ini memiliki tingkat strata A dan B. Kondisi penutupan tajuknya yang berlapis mulai dari jarang pada jalur bekas logging hingga rapat pada jalur hutan primer. Jalur bekas logging yang terdapat pada tipe hutan perbukitan memiliki fungsi cover sebagai tempat membesarkan anak dan berburu. Hal ini diperkuat dari foto hasil kamera trap dan juga jejak tapak kaki yang banyak ditemukan disekitar daerah tersebut selama beberapa kali pengamatan. Walaupun penutupan tajuknya jarang, namun disepanjang jalan terdapat alang-alang yang biasa digunakan dalam berburu. Kondisi tajuk yang terbuka memudahkan harimau dalam melakukan pengintaian, dan kondisi alang-alang tang cukup rapat sangat efektif untuk menyamarkan kehadirannya. Harimau membutuhkan tajuk hutan yang rimbun untuk melindunginya dari sengatan matahari. Harimau juga menghindari hutan yang terbuka karena badannya yang besar dapat dengan mudah terlihat. Untuk itu harimau membutuhkan vegetasi hutan sebagai cover, namun juga menghindari menerobos semak belukar yang rapat (Endri, 2006). Semak sering digunakan untuk menyamarkan tubuh harimau dalam perburuan dan juga untuk menghabiskan sisa makanannya. Karakteristik lantai hutan pada lokasi ini merupakan tanah yang tertutup oleh serasah. Pada lantai hutan, harimau lebih menggunakannya sebagai tempat beristirahat (shelter). Serasah daun pada lantai hutan mampu menghangatkan suhu tubuh harimau dari suhu tanah yang lembab dan dingin (Riansyah, 2007).
Hutan sub pegunungan di kawasan hutan Batang hari merupakan hutan primer. Didalamnya masih banyak terdapat pohon-pohon berdiameter besar dan memiliki tinggi di atas 25 m. Jenis pohon yang mendominasi pada tipe hutan ini adalah meranti. Penutupan tajuknya yang rapat membuat sinar matahari sedikit menyentuh lantai hutan. Kondisi ini membuat keadaan di dalamnya lembab, lantai hutan yang tertutup lumut tebal, dan juga menyebabkan batang pohon
ditumbuhi lumut dan selalu dalam kondisi basah. Fungsi cover pada tipe hutan sub pegunungan bagi harimau lebih kepada pemenuhan kebutuhan tempat berlindung. Harimau melintasi daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada hutan perbukitan juga karena terdapat satwa mangsa didalamnya.
Menurut van Steenis (2006) menyebutkan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi. Ketinggian tempat (elevasi) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Primack et al., (1998) menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Kelimpahan jenis satwa mangsa utama pada lokasi ini memang tergolong rendah, namun tidak berarti pada jumlah jenis yang ditemukan.
5.2.1.3 Air
Air menjadi komponen habitat yang sangat penting bagi harimau untuk memenuhi kebutuhannya untuk, berendam, mandi dan membersihkan tubuhnya karena satwa ini merupakan satwa yang bersih. Perilaku tersebut dikarenakan harimau sebagai satwa pemburu aktif menyebabkan harimau mempunyai kadar metabolisme dan suhu badan yang tinggi (Yong, 2005). Karanth (2001) menyatakan bahwa harimau merupakan jenis yang suka air dan perenang yang handal. Sungai yang dapat di temukan di lokasi penelitian dan mengalir sepanjang tahun adalah Batang hari, Anduring, Gumanti, dan Batarum gadang.
Hutan perbukitan memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun berupa sungai. Sungai-sungai yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki karakter fisik sungai yang hampir sama yaitu bersubstrat tanah berpasir. Dari keseluruhan sungai yang ada hanya sungai Batang hari yang memiliki air yang keruh. Substratnya yang berupa tanah lempung berpasir membuat sungai ini terlihat keruh. Sunquist (1981) menemukan bahwa harimau menyukai habitat pinggir sungai (riverine habitat). Sungai merupakan tempat berkumpul satwa dan keberadaan harimau dekat dengan sungai kemungkinan berhubungan dengan pemangsaan.
Menurut Lestari (2006) karakteristik sumber air yang dipakai oleh harimau secara umum memiliki warna keruh sampai jernih, pH tergolong asam yaitu enam, tepian sumber air yang landai dan teduh, serta dekat dengan jalur satwa mangsa. Contoh sumber air yang tidak jernih airnya yang dijumpai di lokasi
penelitian adalah kubangan dan cekungan yang terisi air hujan ketika hujan. Sumber air tersebut tidaklah jernih namun tetap digunakan oleh satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan akan air pada hutan sub pegunungan. Berdasarkan fakta tersebut diduga harimau juga menggunakan sumber air yang sama. Hutan sub pegunungan tidak memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun seperti sungai. Lokasinya yang lebih banyak berada pada topografi tebing berbatu yang curam menyebabkan sumber air jarang ditemukan. Pada lokasi ini sumber air hanya berupa mata air yang sangat kecil dan bersifat temporary atau sementara.
5.2.2 Karakteristik habitat harimau 5.2.2.1 Cover
Cover bagi harimau adalah tempat yang digunakan sebagai tempat berlindung dari panas sinar matahari. Stuktur vegetasi hutan sebagai salah satu bentuk pelindung, berfungsi sebagai tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Hal ini dapat dilihat dari kondisi kerapatan vegetasi yang berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan (Alikodra, 1990).
Kondisi penutupan tajuk yang beragam pada tipe semua hutan dapat memenuhi segala kebutuhan utama bagi harimau. Hal ini terkait dengan kebutuhan harimau terhadap sinar cahaya yang akan mempengaruhi aktivitas pergerakan hariannya. Pada siang hari, harimau akan menghabiskan waktunya untuk berteduh dan bernaung pada pepohonan yang rimbun. Endri (2006) menyatakan hutan yang disukai harimau adalah hutan dengan tutupan tajuk yang rimbun tetapi lantai hutannya tidak dipenuhi oleh semak belukar atau tumbuhan berduri yang terlalu rapat.
Kondisi penutupan tajuk pada jalan bekas logging dapat dikatakan belum dapat memenuhi kebutuhan harimau akan cover sebagai pelindung dari panas matahari. Pada lokasi ini harimau cenderung menggunakan cover untuk berburu dan istirahat. Pemanfaatan cover oleh harimau dapat dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu pemanfaatan penutupan tajuk atas (overstory), penutupan semak (understory), dan penutupan lantai hutan (ground story) (Alikodra, 2002). Pemanfaatan understory digunakan pada aktifitas berburu yang bertujuan untuk menyamarkan tubuhnya. Kondisi semak belukar yang tidak terlalu rapat merupakan tempat yang disukai oleh harimau ketika berburu. Harimau
merupakan satwa karnivora yang menangkap mangsanya dengan teknik mendekat secara diam-diam dari dalam semak-semak atau alang-alang dan kemudian langsung menyergapnya dalam sekali terkam (Sangkhala, 2004)
. T
ipe hutan perbukitan memiliki tingkat kerapatan tajuk yang tinggi sehingga kondisi semak belukar atau tumbuhan bawah tidak terlalu rapat (Rudiansyah, 2007). Sedangkan bentuk ground story yang digunakan oleh harimau berupa serasah yang berguna untuk menghangatkan tubuh. Cover bagi beberapa jenis satwa mungkin berbeda dengan cover untuk jenis satwa liar lainnya. Pada lokasi ini, kondisi ground story berupa lumut yang tebal dan serasah (Suryana, 2004). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, bentuk cover yang digunakan oleh harimau sebagai tempat berkembang biak dan membesarkan anak yaitu berupa bekas jalan logging yang telah tertutup semai dan alang-alang.Lokasi hutan sub pegunungan merupakan hutan peralihan menuju hutan pegunungan. Pohon-pohon yang terdapat pada tipe hutan ini memiliki batang yang tertutup lumut dan selalu dalam kondisi basah. Van Steenis (2006) mengatakan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi dan semakin kecil ukuran vegetasi. Faktor elevasi atau ketinggian tempat memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang sering terjadi di tipe hutan perbukitan. Hutan sub pegunungan masih dalam kondisi sangat baik daripada tipe hutan perbukitan yang sering dilalui oleh masyarakat. Harimau sumatera memiliki kecendrungan tidak melalui semak belukar pada hutan sub pegunungan dalam pergerakannya dan memilih jalur yang ada seperti bekas jalur yang dibuat oleh manusia dan binatang. Hal ini dikarenakan pada semak belukar yang rapat juga banyak terdapat jenis-jenis rotan dan pandan yang berduri (Riansyah, 2007). Udara yang sejuk dan suhu yang rendah membuat lokasi ini selalu dalam kondisi lembab. Tipe hutan sub pegunungan memiliki banyak tebing batu. Tempat tersebut sering dijadikan cover dan shelter bagi kambing hutan.
5.2.2.2 Satwa mangsa
Mangsa yang cukup banyak, air tersedia dan tanaman pelindung (cover) merupakan tiga hal yang berpengaruh penting sebagai faktor ekologi harimau (Grzimek, 1975). Harimau memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Ketersediaan mangsa yang beragam dengan jumlah yang banyak serta memiliki penyebaran yang merata memungkinkan harimau untuk tidak terkonsentrasi pada satu daerah saja yang memiliki tingkat konsentrasi keberadaan mangsa. Mangsa yang beragam memiliki dampak positif bagi kelangsungan harimau karena tidak akan bergantung pada keberadaan mangsa utama saja (Riansyah, 2007).
Satwa mangsa utama harimau berasal dari jenis ungulata berukuran besar, seperti rusa sambar, babi hutan, kijang, dan kambing hutan. Akan tetapi tidak jarang pula harimau memangsa jenis satwa yang berukuran kecil seperti beruk, landak, dan kancil. Jenis satwa mangsa utama harimau adalah babi hutan (Suryana, 2004). Harimau lebih menyukai mangsa dengan biomass diatas 20 kg sedangkan macan dahan menyukai dengan biomass lebih kecil (Karanth & Sunquist 1995; Sunquist et al. 1999). Keragaman dan kelimpahan jenis satwa mangsa pada satu lokasi dapat mengubah preferensi pemangsaan harimau (Sunquist et al. 1999). Harimau juga cenderung akan memangsa jenis dengan biomass kecil bila keberadaan satwa mangsa dengan biomass besar sudah berkurang.
Pada hutan perbukitan tingkat perjumpaan satwa mangsa tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan faktor pendukung ekologis tersedia dengan baik, terutama air sebagai penunjang kehidupan satwa dan lokasi mengasin yang terletak dipinggir sungai. Jenis satwa mangsa yang dapat ditemukan pada tipe hutan perbukitan adalah beruang madu, babi jenggot, beruk, kijang, rusa sambar, dan landak. Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya,
baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas.
Hutan sub pegunungan yang cenderung memiliki elevasi yang lebih tinggi menyebabkan tingkat perjumpaan satwa mangsa lebih rendah dari tipe hutan perbukitan. Primack et al., (1998) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada tipe hutan perbukitan. Satwa mangsa yang ada pada tipe hutan ini adalah beruang madu, beruk, kambing hutan, kijang, pelanduk napu, tapir dan landak.
Babi merupakan hewan yang mudah berkembang biak; dengan pengembang-biakan pertama di usia dini dan jumlah per kelahirannya yang besar, babi dapat bertahan hidup dengan memakan tanaman, sehingga mereka merupakan menu yang ideal bagi harimau (Mauget, 1991 dalam Sunquist et al., 1999). Penyebarannya yang luas dan jumlahnya yang melimpah membuat satwa ini menjadi sasaran utama bagi harimau.
Beberapa jenis satwa dijadikan alternatif mangsa jika mangsa berukuran besar sulit ditemukan seperti beruang dan tapir. Pada dasarnya satwa karnivora lebih mementingkan kuantitas dan ketersediaan makanan daripada kualitasnya, juga selalu memilih jenis makanan yang tersedia dan mudah untuk dikuasai (Lestari, 2006), dan tidak seperti hewan karnivora yang lainnya, kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat mengganti pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson, 1990; Kitchener, 1991).
Kijang dan rusa memiliki mobilitas yang tinggi dan dapat menyesuaikan dengan tipe hutan tempat tinggalnya (Endri, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Riansyah (2007) menyatakan bahwa pada saat tingkat perjumpaan kijang meningkat juga diikuti oleh peningkatan tingkat perjumpaan harimau. Penyebaran kijang di kawasan hutan Batang hari meliputi kedua tipe hutan dan selalu diikuti dengan kemunculan harimau. Apabila populasi kijang seimbang maka kijang dapat mendukung populasi harimau secara berkelanjutan (Seidensticker et al., 1999). Griffiths (1996) mengatakan skenario kijang muncak di Taman Nasional Gunung Leuser memberi jaminan tentang makanan untuk
populasi harimau yang berkepadatan rendah (1 ekor individu harimau/100 km
2
). Menurut Seidensticker et al., (1999), pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar mangsa dari harimau sumatera adalah kijang dan
kadang-kadang kambing hutan. Adanya jenis satwa mangsa lain seperti babi dan rusa dapat memungkinkan terjadinya pengembangbiakan kijang secara berkala (Seidensticker, 1999).
Hasil penelitian dari Karanth (1991) dalam Seidensticker (1999) menunjukkan bahwa penyusutan mangsa memiliki efek yang kuat terhadap dinamika populasi harimau. Oleh karena itu penyusutan mangsa mungkin menjadi faktor utama menyusutnya populasi harimau liar. Potensi untuk mempertahankan populasi harimau yang kecil tetapi produktif tergantung terutama pada usaha mempertahankan kepadatan mangsa yang tinggi. Ungulata besar yang merupakan mangsa utama harimau memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada hutan tropis yang sering diganggu oleh manusia. Oleh karena itu penyusutan habitat secara fisik bukanlah kendala bagi pemulihan populasi harimau di sebagian besar wilayah (Seidensticker & McDougal, 1993; Karanth & Sunquist, 1995).
Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1984). Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah rata-rata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997).
5.2.3 Populasi Harimau Sumatera 5.2.3.1 Kepadatan
Sejak pengembangannya pada tahun 1980, camera trap menjadi alat utama bagi kegiatan monitoring satwa cryptic dan juga digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut dengan metode capture recapture (Carbone et. al, 2000 dan Karanth & Nichols, 2002). Jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi selama sembilan periode sampling (satu periode sampling = sepuluh hari) adalah 4 individu. Model yang digunakan dalam program CAPTURE adalah Mh dengan harapan adanya variasi kemungkinan tertangkap pada masing-masing individu (Karanth & Nichols, 2003). Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 – 11 ekor dengan total luas ekektif sampling area 351,26 km2. Sehingga diperoleh kepadatan harimau di kawasan hutan Batang hari dengan selang kepercayaan 95% yaitu (X + SE) 1 – 3 ekor (1,4 – 3,1 + 1,35% individu harimau/100 km2).
Estimasi ini mengatakan bahwa terdapat satu individu harimau per 100 km2. Berdasarkan analisis tersebut kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang Hari tergolong rendah jika dibandingkan dengan kepadatan harimau di Ipuh-Seblat dengan luas efektif sampling area yang tidak terlalu berbeda jauh yaitu 2 – 4 ekor individu/100 km2 (Riansyah, 2007). Akan tetapi hasil ini tidak berbeda jauh dengan Kawanishi (2002) yang melakukan penelitian di kawasan hutan tropis Taman Negara dengan luas efektif sampling area 338,2 km2 (X + SE) (1,18 + 0,54% individu harimau/100 km2). Namun harimau sumatera yang berada pada tingkat kepadatan rendah yaitu 1-3 ekor harimau dewasa/100 km² memiliki daerah jelajah yang luas sekitar 180 km² untuk jantan dewasa (Linkie, 2006b). Selanjutnya Linkie (2005b) mengatakan kamera trap bekerja lebih baik pada wilayah yang mempunyai kepadatan harimau yang tinggi sedangkan pada wilayah yang dengan kepadatan yang rendah seperti hutan pegunungan atau hutan dengan tingkat perburuan yang tinggi, harimau lebih baik dimonitor dan selanjutnya dilakukan perkiraan kelimpahan relatif.
Periode sampling selama tiga bulan dengan metode capture-mark-recapture untuk estimasi jumlah populasi harimau tidak melanggar asumsi populasi tertutup (Nichols & Karanth 2002). Model ini dalam analisis populasi lebih disukai dengan pertimbangan ketepatan estimasi dan kesempurnaan penduga (estimator robustness) (Karanth et al 2004). Estimasi jumlah populasi secara cepat dalam penelitian tentu dengan pertimbangan waktu dan kecukupan
ketersediaan biaya. Perangkap kamera dapat digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut harimau melalui metode capture-mark-recapture (Karanth & Nichols, 2002) serta kelimpahan relatif harimau. Tiap individu harimau memiliki corak permanen yang spesifik (Karanth & Nichols, 2002). Setiap individu harimau dibedakan berdasarkan pola garis belang (ekor, pundak, badan, kaki, kepala/face) dan pengidentifikasian terhadap individu harimau menggunakan perkiraan presence - absence untuk setiap pengambilan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Karanth dan Sunquist (1992) dan Lynam (2000), kepadatan harimau di pulau Sumatera masih tergolong rendah. Tidak jauh berbeda dengan beberapa penelitian yang dilakukan di Thailand di kawasan Narathiwat, Yala, Chaiyaphum, dan Nakhon Ratchasima, kepadatan harimau hanya berkisar antara 1 – 3 individu/100 km2 (Lynam, 2004, Carbone, 2000). Di India seperti di Bandipur, Nagarahole, Kanha dan Kaziranga tingkat kepadatan tertinggi hingga mencapai 10-20 individu
harimau/100 km2 (Karanth & Sunquist, 1992). Kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari sebesar 1,3 individu /100km2 dapat dikatakan normal. Dengan memepertimbangkan dua faktor yang sama yaitu waktu dan luasan yang tidak jauh berbeda maka daerah yang memiliki kemiripan tipe hutan dengan kawasan hutan Batang Hari akan menghasilkan kepadatan harimau yang tidak jauh berbeda pula. Nilai kepadatan harimau dapat digunakan untuk menjelaskan daya dukung habitat. Dalam hal ini kawasan hutan Batang hari memiliki daya dukung yang mencukupi bagi kehidupan harimau didalamnya. Kepadatan harimau pada hutan perbukitan lebih padat daripada hutan sub pegunungan. Hal ini karena daya dukung habitat yang mencukupi menunjang keberlangsungan hidup suatu makhluk hidup
Periode sampling adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam melakukan analisis kepadatan harimau sumatera dengan menggunakan program CAPTURE. Periode sampling berkaitan dengan capture history, semakin pendek periode sampling maka semakin teliti rata-rata tangkap (P) yang diperoleh, sehingga nilai pendugaan individu dalam luasan efektif sampling area juga akan semakin detail. Jika periode sampling dalam waktu yang relatif panjang, maka asumsi closed population kemungkinan tidak akan tercapai dan akan menghasilkan data yang bias (Linkie, 2005b). Dalam hal ini penggunaan periode sampling selama sepuluh hari sama dengan yang dilakukan di Kaziranga, India, dan memiliki tingkat keakuratan yang cukup baik (Karanth & Nichols, 2000).
Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah jumlah perangkap kamera yang dipasang. Semakin banyak perangkap yang dipasang akan menambah peluang tertangkapnya individu harimau. Selanjutnya penempatan kamera yang dilakukan pada satu sisi juga mempengaruhi jumlah individu yang berhasil diidentifikasi. Sebuah titik penempatan kamera memerlukan dua kamera untuk dipasang di sisi yang berhadapan pada jalur yang sama. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan diperoleh foto dari dua sisi harimau yang melintas dan menghasilkan identifikasi individu-individu harimau yang lebih akurat (Linkie, 2006).
5.2.3.2 Perbandingan jenis kelamin (Sex ratio)
Keadaan populasi harimau di alam ditunjukkan oleh indikator perbandingan jumlah jantan (male), betina (female). Berdasarkan identifikasi jenis kelamin harimau melalui foto hasil camera trap, sex ratio jantan dan betina secara positif adalah 1:3. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi harimau di kawasan hutan Batang hari adalah normal. Menurut Primack (1999) bahwa populasi stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas, dengan perbandingan khas antara anak, individu muda, dewasa dan tua. Perbandingan jumlah betina yang lebih banyak daripada jantan sesuai dengan kebutuhan akan perilaku reproduksi harimau yang berlangsung sepanjang tahun. Harimau mempunyai struktur sosial pada perkawinan terbatas yaitu poligami, satu jantan dengan banyak betina (Smith, 1994 dalam Suryana, 2004).
Pada harimau betina terdapat periode estrous, yaitu waktu dimana harimau betina mau menerima harimau jantan untuk melakukan perkawinan. Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urin harimau betina. Selama masa birahi harimau betina memperlihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan hanya sedikit beristirahat. Suara yang dikeluarkan harimau betina yang birahi disebut “prusten” yaitu jenis suara yang dihasilkan oleh udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan (McDougal, 1979).
5.2.3.3 Struktur Umur
Struktur umur harimau yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah 3 individu dewasa dan 1 individu sub adult. Kondisi populasi harimau di kawasan hutan batang hari dapat dikatakan baik karena berhasil ditemukan individu muda. Hal ini mengindikasikan populasi akan berada dalam kondisi stabil atau mungkin akan mengalami peningkatan (Primack, 1998).
Gumanti tertangkap pertama kali bersama dua anaknya, akan tetapi hanya satu anaknya (Bulan) yang berhasil tertangkap kembali oleh kamera. Anak harimau disapih ketika berumur 18 - 28 bulan. Beberapa harimau bahkan masih ada yang tetap bersama induknya sampai berumur lebih dari dua tahun, bahkan ketika anak tersebut telah menemukan pasangannya
.
Sherpa dan Makey (1998) dalam Suryana (2004) juga menyebutkan bahwa harimau betina akan mencapai dewasa secara kelamin ketika berumur tiga tahun, sedangkan jantan empat tahun. Setelah berumur tiga tahun, harimau betina dapat melahirkan setiap dua tahun sekali sampai mereka berumur sembilan atau sepuluh tahun. Rata-rata masa berkembang biak bagi tiap harimau betina selama hidupnya adalah 6,1 tahun. Umur harimau di alam adalah antara 10 - 15 tahun. Hanya beberapa saja yang dapat bertahan hidup hingga umur 17 tahun atau lebih.Singh (1999) menyatakan bahwa panjang jejak anak harimau berkisar antara 7-10 cm, sedangkan harimau dewasa memiliki ukuran panjang jejak 10,5-17 cm. Berdasarkan analisis, kedua anak dari Gumanti telah memiliki daerah jelajahnya sendiri, namun masih tidak terlalu jauh dari daerah jelajah induknya. Populasi harimau normal dan berkelanjutan harus memiliki 25 % anak (Karanth & stith, 1999).
5.2.4 Wilayah Jelajah
Tingkat perjumpaan harimau cenderung terlihat merata dimasing-masing lokasi kamera. Hasil dari camera trap menunjukan lokasi kamera K07, K20 dan K22 memiliki tingkat perjumpaan harimau yang tinggi dengan nilai masing-masing 3,85, 3,79, dan 3,19. Lokasi kamera K07 dan K20 terletak pada tipe hutan sub pegunungan, hanya K22 yang terletak di hutan perbukitan. Hasil ini berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Endri (2006) dan Gunawan (2006) yang menyatakan bahwa tingkat perjumpaan harimau paling tinggi yaitu pada hutan dataran rendah lalu hutan perbukitan dan yang terakhir hutan sub
pegunungan. Keduanya merupakan lokasi kamera terluar dan terjauh pembentuk polygon yang hanya didatangi oleh Damar. Sedangkan lokasi kamera K22 merupakan lokasi kamera yang terletak di jalur ex logging dan hanya didatangi oleh Meranti.
Tipe hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan yang mendominasi kawasan hutan Batang hari merupakan hutan primer yang masih alami. Kondisi kawasan hutan yang belum terganggu masih dapat memenuhi kebutuhan dari satwa mangsa yang menjadi kunci keberadaan harimau. Karena apabila kualitas habitat menurun, cenderung mengurangi kepadatan suatu jenis pada wilayah tertentu (Meijaard et al, 2005). Menurunnya kelimpahan satwa mangsa tentunya akan mempengaruhi dinamika populasi harimau di suatu wilayah (Karanth & Stith, 1999). Kawasan hutan Batang hari yang memiliki tipe hutan perbukitan yang tidak terlalu curam dan bergelombang, memudahkan pergerakan harimau dalam mengikuti pergerakan satwa mangsa. Kondisi topografi yang datar dan bergelombang cenderung disukai oleh harimau (Seidensticker et al., 1999). Sedangkan tipe hutan sub pegunungan yang ada di kawasan hutan batang hari memiliki topografi yang curam dan terjal. Banyak ditemukan tebing-tebing batu karang yang menjadi tempat istirahat bagi kambing gunung. Walaupun dengan topografi yang curam dan terjal, pada bagian punggung tebing batu masih dapat ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Kondisi topografi terebut sebenarnya kurang baik bagi harimau. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutajulu (2007) di Suaka Margasatwa Rimbang Baling.pernah ditemukan harimau mati karena jatuh terperosok ke jurang saat mengejar mangsa.
Tingkat perjumpaan harimau terendah terletak pada lokasi kamera K 06 dan K 08 yaitu dengan nilai sama 1,25 foto/100 hari. Hal ini dikuti dengan rendahnya tingkat pertemuan satwa mangsa di lokasi tersebut. Satwa mangsa yang terdapat di kedua lokasi tersebut adalah beruang, kijang, dan landak. Harimau membutuhkan mangsa untuk dapat bertahan hidup, jika pada suatu lokasi dimana tingkat perjumpaan mangsa berkurang, harimau cenderung untuk berpindah dan mencari lokasi dimana terdapat kelimpahan mangsa yang cukup. Sumber makanan yang jumlahnya sedikit akan menyebabkan rendahnya kepadatan herbivora yang kemudian dapat menentukan pola keberadaan karnivora besar.
Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat
tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya, baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas. Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah rata-rata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997). Untuk mengetahui jarak jelajah hariantiidak dapat menggunakan teknologi perangkap kamera. Dibutuhkan teknologi yang lebih maju seperrti radio telemetri untuk mengetahui secara pasti jarak jelajah dari individu harimau.
5.2.5 Perilaku
5.2.5.1 Pola Aktifitas Harimau
Menurut Tilson (1997), harimau umumnya memulai berburu pada sore hari. Pada waktu-waktu tertentu, beberapa jenis satwa mangsa sudah mengurangi pergerakan hariannya. Harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas pada siang hari, seperti babi hutan, beruk dan kijang dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap rusa dan pelanduk. Pada hutan perbukitan harimau banyak menghabiskan waktu pada malam hari menjelang pagi hari karena untuk menghindari gangguan yang disebabkan oleh manusia disekitar daerah ini. Karanth & Sunquist (1995) menyatakan bahwa harimau memerlukan makanan tiga kali lebih banyak daripada macan dahan.
Harimau yang ada di hutan sub pegunungan lebih banyak menghabiskan waktunya pada siang hari. Walaupun dengan kepadatan satwa mangsa yang tidak terlalu tinggi, namun pada daerah ini masih terdapat kambing hutan dan babi hutan yang memiliki biomassa besar. Oleh sebab itu, dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencari mangsa yang juga berhubungan dengan kepadatan satwa mangsa pada suatu lokasi (Hutajulu, 2007). Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama.
5.2.5.2 Mengasuh Anak
Pada lokasi penelitian ditemukan perilaku membesarkan anak oleh harimau. Berdasarkan foto dari perangkap kamera, harimau betina dewasa bernama gumanti sedang bersama dua ekor harimau muda lainnya yang diduga adalah anaknya. Salah satu anak dari gumanti kemudian tertangkap oleh perangkap kamera beberapa kali sedang melakukan pergerakan harian. Tilson dan Jackson (2004) menyatakan bahwa saat umur 6 bulan, anak harimau secara lambat belajar berburu dan membunuh mangsa. Lebih lanjut Tilson dan Jackson (1994) menyatakan bahwa pada umur 18 bulan, anak jantan akan pergi untuk mencari wilayah teritorialnya sendiri. Anak betina cenderung tinggal lebih lama dengan induknya. Dalam membesarkan anaknya pejantan tidak ambil bagian karena diduga kan membahayakan anak-anaknya.
Tilson dan Jackson (1994) menyatakan bahwa pada umumnya betina muda meninggalkan wilayah territorial induknya ketika induknya estrus kembali dan bersikap lebih agresif, namun terkadang induknya memperbolehkan salh satu dari anak betinanya untuk mendirikan wilayahnya sendiri dalam wilayah teritorialnya (wilayah territorial si induk). Anak betina tersebut kemungkinan kawin dengan bapaknya setelah dewasa. Setelah semua anaknya sudah dewasa, induk akan mengusir semua anak-anaknya dari wilayah teritorinya. Selama hidup harimau betina kemungkinan kawin dengan beberapa pejantan, karena struktur social pada perkawinannya yaitu poligami, satu jantan dengan banyak betina (Smith, 1994).