PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA
(Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH
VI BESITANG)
SKRIPSI
Oleh:
RICKY DARMAWAN PRIATMOJO
071201030
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA
(Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH
VI BESITANG)
SKRIPSI
Oleh:
RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030/MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi :Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah Vi Besitang)
Nama : Ricky Darmawan Priatmojo
NIM : 071201030
Program Studi : Kehutanan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Ketua
Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D Anggota
Mengetahui
Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRAK
RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Pemetaan Satwa Mangsa Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY.
Pemetaan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilakukan di Taman Nasoinal Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 sampai dengan April 2011. Bertujuan untuk memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dan untuk mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Metode pemetaan satwa mangsa dilakukan dengan menggunakan camera trap dan program Arc-View 3.3. Camera trap dipasang berpasangan di tiap sel dan aktif di lapangan selama 60 hari. Satwa mangsa dipetakan berdasarkan titik camera trap yang merekam satwa dan dipetakan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan. Ketinggian tempat dibagi menjadi 5 kelas yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, 1.500-2.000-2.500 mdpl.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah hutan sekunder. Satwa mangsa harimau sumatera yang paling sering muncul adalah landak, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan.
ABSTRACK
RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Mapping Animal Prey Sumatran Tiger
(Panthera tigris sumatrae) in Gunung Leuser National Park (SPTN BESITANG Region VI), supervised by PINDI PATANA and RAHMAWATY.
Mapping of the Sumatran tiger prey species (Panthera tigris sumatrae) conducted in Taman Gunung Leuser Nasoinal SPTN Besitang Region VI. This research was conducted from March 2010 until April 2011 as a purpose to map the exisiting of sumatran tiger prey species and to determine the frequency of appears of species based on altitude (masl) and land cover types. Mapping method of prey animals is done by using camera traps and the program Arc-View 3.3. Camera traps set in pairs in each cell and it active for 60 days. Animal prey mapped based on the point of recording wildlife camera traps and mapped based on elevation and land cover types. Elevation is divided into 5 classes; 0-500 masl, 500-1.000 masl, 1.000-1.500 masl, 1.500-2.000 masl, 2.000-2.500 masl.
The results showed that the Sumatran tiger prey species appears most at altitude classes 0-500 and 500-1.000 masl with land cover type is secondary forest. Sumatran tiger prey animals that most frequently appear are hedgehogs, both based on altitude and land cover types.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 19 November 1989 dari ayah
Supriyono dan ibu Sri Darwati. Penulis merupakan putra pertama dari empat
bersaudara.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Medan dan pada tahun yang
sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru memilih jurusan Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti kuliah, penulis aktif sebagai anggota mahasiswa
Kehutanan USU dan pernah menjadi Asisten Praktik Pengenalan Ekosisten Hutan
(PEH) tahun 2010. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi ekstrauniversitas
Himpunan Mahasiswa Silva.
Penulis mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di
Hutan Daratan Rendah Aras Napal dan Hutan Mangrove Pulau Sembilan
Kabupaten Langkat tahun 2009. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di KPH Randublatung Unit I Jawa Tengah dari tanggal 1 Januari sampai
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
tepat pada waktunya.
Adapun judul dari penelitian ini adalah “Pemetaan Satwa Mangsa
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser
(SPTN Wilayah VI Besitang)”. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
dosen pembimbing penelitian yaitu Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku ketua
dan Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku anggota, serta kepada kedua
orangtua saya yang telah mendukung saya dalam segi moril dan materiil dan
teman-teman yang telah membantu saya.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh sebab itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi
penyempurnaan penelitian ini.
Akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi para mahasiswa kehutanan.
Medan, Juni 2011
DAFTAR ISI
Aktivitas Harimau Sumatera dan Satwa Mangsanya ... 18
Piramida Makanan ... 19
Pengolahan data spasial sebaran satwa ... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
Lokasi pemasangan camera trap ... 28
Matriks deteksi ... 30
Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera ... 33
Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap .... 42
Frekuensi kemunculan satwa ... 49
KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 55
DAFTAR GAMBAR
No. Hlm.
1. Peta sebaran harimau sumatera ... 7
2. Lokasi penelitian ... 23
3. Camera trap tipe Panthera ... 24
4. Petak (grid) dan anak petak (sel) pemasangan camera trap ... 25
5. Bagan alur proses pengolahan data spasial ... 27
6. Peta lokasi pemasangan camera trap di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser ... 29
7. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) di SPTN Wilayah VI Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser ... 34
8. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser ... 38
9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di lokasi penelitian ... 43
10. Gambar babi hutan hasil camera trap di lokasi penelitian ... 43
11. Gambar kijang hasil camera trap di lokasi penelitian ... 44
12. Gambar kancil hasil camera trap di lokasi penelitian ... 45
13. Gambar beruk hasil camera trap di lokasi penelitian... 45
14. Gambar landak hasil camera trap di lokasi penelitian ... 46
15. Gambar trenggiling hasil camera trap di lokasi penelitian ... 47
16. Gambar beruang madu hasil camera trap di lokasi penelitian ... 48
17. Gambar kuau raja hasil camera trap di lokasi penelitian ... 48
18. Total kemunculan satwa pada tiap kelas ketinggian tempat (mdpl) ... 50
19. Total kemunculan satwa pada hutan primer dan hutan sekunder ... 51
20. Total jenis satwa yang muncul berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tutupan lahan ... 52
DAFTAR TABEL
No. Hlm.
1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian... 30
2. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya... 31
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hlm.
1. Titik koordinat pemasangan camera trap ... 58
2. Lokasi kemunculan satwa mangsa harimau sumatera ... 60
3. Frekuensi kehadiran satwa mangsa harimau sumatera ... 64
4. Jenis-jenis satwa yang terekam oleh camera trap ... 69
5. Gambar satwa lain yang terekam camera trap ... 71
6. Surat ijin masuk kawasan konservasi (SIMAKSI) ... 74
ABSTRAK
RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Pemetaan Satwa Mangsa Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY.
Pemetaan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilakukan di Taman Nasoinal Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 sampai dengan April 2011. Bertujuan untuk memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dan untuk mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Metode pemetaan satwa mangsa dilakukan dengan menggunakan camera trap dan program Arc-View 3.3. Camera trap dipasang berpasangan di tiap sel dan aktif di lapangan selama 60 hari. Satwa mangsa dipetakan berdasarkan titik camera trap yang merekam satwa dan dipetakan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan. Ketinggian tempat dibagi menjadi 5 kelas yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, 1.500-2.000-2.500 mdpl.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah hutan sekunder. Satwa mangsa harimau sumatera yang paling sering muncul adalah landak, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan.
ABSTRACK
RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Mapping Animal Prey Sumatran Tiger
(Panthera tigris sumatrae) in Gunung Leuser National Park (SPTN BESITANG Region VI), supervised by PINDI PATANA and RAHMAWATY.
Mapping of the Sumatran tiger prey species (Panthera tigris sumatrae) conducted in Taman Gunung Leuser Nasoinal SPTN Besitang Region VI. This research was conducted from March 2010 until April 2011 as a purpose to map the exisiting of sumatran tiger prey species and to determine the frequency of appears of species based on altitude (masl) and land cover types. Mapping method of prey animals is done by using camera traps and the program Arc-View 3.3. Camera traps set in pairs in each cell and it active for 60 days. Animal prey mapped based on the point of recording wildlife camera traps and mapped based on elevation and land cover types. Elevation is divided into 5 classes; 0-500 masl, 500-1.000 masl, 1.000-1.500 masl, 1.500-2.000 masl, 2.000-2.500 masl.
The results showed that the Sumatran tiger prey species appears most at altitude classes 0-500 and 500-1.000 masl with land cover type is secondary forest. Sumatran tiger prey animals that most frequently appear are hedgehogs, both based on altitude and land cover types.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dunia ada delapan subspesies harimau. Tiga diantaranya terdapat di
Indonesia yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), harimau jawa
(Panthera tigris sondaica), dan harimau bali (Panthera tigris balica). Namun
harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah, masing-masing pada
tahun 1940-an dan 1980-an (Seidensticker dkk., 1999). Harimau sumatera
(Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu satwa langka kebanggaan yang
hanya hidup di Pulau Sumatera. Jenis satwa yang menempati puncak piramida
dalam ekosistem hutan Sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh
pemerintah Indonesia dan dikategorikan oleh International Union for
Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa yang mendekati kepunahan.
Sementara itu Convention on International Trade in Dangered Species (CITES)
telah melarang perdagangan dan perburuan satwa ini
(Departemen Kehutanan, 2007).
Pertemuan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) yang
diselenggarakan pada tahun 1992 oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Pelestarian Alam (PHPA) Republik Indonesia dengan IUCN Species Survival
Commission and Conservation Breeding Specialist Group (CBSG), menyatakan
bahwa hanya ada 400 ekor harimau yang masih bertahan hidup di lima taman
nasional utama di Pulau Sumatera. Dari kelima taman nasional yang ada, populasi
terbanyak adalah 110 ekor, terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser di
jumlahnya diperkirakan separuh atau bahkan lebih sedikit dari populasi yang ada
disana (Franklin dkk., 1999).
Harimau sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar untuk
mempertahankan hidup yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup, sumber air,
dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa
(Lynam dkk.,2000). Apabila salah satu dari kebutuhan dasar tersebut tidak
terpenuhi, maka akan mengancam keberadaan harimau sumatera yang sudah
semakin berkurang populasinya saat ini.
Kelimpahan dan penyebaran satwa mangsa secara merata mempengaruhi
wilayah jelajah dari harimau sumatera. Satwa mangsa yang sedikit dan
penyebarannya yang tidak merata akan memperjauh wilayah jelajah dari harimau
sumatera. Hal itu disebabkan karena harimau sumatera akan memburu mangsanya
sampai dapat untuk mempertahankan hidupnya. Apabila ketersediaan satwa
mangsa sedikit dan tidak merata, secara tidak langsung akan meningkatkan
persaingan antara individu harimau yang satu dengan yang lainnya dalam
mendapatkan mangsa. Apabila hal tersebut dibiarkan terus-menerus terjadi, sangat
mungkin populasi harimau akan berkurang akibat kematian. Hal tersebut yang
menyebabkan mengapa perlu dilakukannya upaya perlindungan atau konservasi
terhadap satwa mangsa harimau sumatera.
Salah satu bentuk upaya perlindungan atau konservasi terhadap satwa
mangsa harimau sumatera adalah dengan memetakan sebaran satwa mangsa.
Keberadaan dan kelimpahan satwa mangsa akan dapat dilihat dari peta tersebut.
Daerah yang sudah memiliki kelimpahan satwa mangsa dan penyebarannya
memiliki kelimpahan satwa mangsa dan penyebaran yang merata, perlu dilakukan
tindak lanjut dalam upaya peningkatan populasi satwa mangsa. Dengan begitu,
kita dapat mengetahui daerah mana saja yang memiliki potensi besar untuk
dijadikan sebagai daerah konservasi bagi harimau sumatera.
Fungsi penggunaan lahan mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Satwa
mangsa harimau sumatera biasanya banyak dijumpai di hutan primer, namun tidak
sedikit juga yang ditemukan di hutan sekunder. Bahkan beberapa jenis dari satwa
tersebut ada yang memasuki perkebunan milik masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya perambahan hutan yang terjadi saat ini yang
mengakibatkan berkurangnya habitat dari satwa tersebut.
Ketinggian tempat juga mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Satwa
mangsa harimau sumatera kebanyakan hidup di dataran rendah dan dataran tinggi.
Hal tersebut dapat disebabkan karena ketersediaan pohon pakan dari satwa
mangsa yang sebagian besar merupakan herbivora masih melimpah dan jenisnya
yang beragam. Sedangkan di daerah pegunungan, keberadaan satwa mangsa lebih
sedikit, karena ketersediaan pohon pakan semakin sedikit dan jenisnya yang
terbatas.
Perburuan liar juga salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan
satwa mangsa. Tingginya aktifitas perburuan liar akan menyebabkan turunnya
populasi dari satwa mangsa. Satwa mangsa akan sulit ditemukan di daerah yang
sering dijadikan sebagai kawasan perburuan liar.
Penelitian ini merupakan salah satu upaya konservasi harimau sumatera di
Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser bekerjasama dengan Yayasan Leuser
kelimpahan satwa mangsa harimau sumatera. Sehingga nantinya akan membantu
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam upaya
konservasi harimau sumatera yang sudah terancam punah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera di SPTN
Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan
ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan.
2. Mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat
(mdpl) dan tipe tutupan lahan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan menjadi referensi bagi pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat, serta peneliti yang ingin melakukan
penelitian lebih lanjut dalam upaya konservasi harimau sumatera yang sudah
TINJAUAN PUSTAKA
Habitat hutan dataran tinggi yang tersisa saat ini tidak dapat mendukung
biomassa jenis-jenis ungulata besar sebagai hewan mangsa. Sebaliknya,
keberadaan hutan dataran rendah sangat penting karena dapat mendukung
biomassa hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar
(Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak) sebagai hewan mangsa.
Namun, luasan hutan dataran rendah yang tersisa secara cepat menyusut akibat
alih fungsi menjadi lahan pertanian. Diperkirakan antara 65-80% hutan dataran
rendah di Sumatera telah hilang atau beralih fungsi menjadi peruntukan lain
(Dinata dan Sugardjito, 2008).
Harimau menggunakan teknik perburuan yang mengandalkan taktik
perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu
membunuh mangsanya. Keuletan dalam cara harimau menangkap dan membunuh
mangsanya memungkinkan mereka memangsa berbagai jenis dan ukuran mangsa
(Sunquist dkk., 1999).
Sebagai hewan pemangsa utama, harimau memerlukan wilayah habitat
yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, kepadatan
hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor yang sangat penting
dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau. Ketersediaan hewan mangsa
ini juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah jelajah individu
harimau (Dinata dan Sugardjito, 2008).
Penelitian-penelitian terdahulu (Schaller 1967; Sunquist 1981) secara
pengurangan jumlah harimau liar saat ini. Apabila kepadatan mangsa berkurang
jelas menimbulkan faktor yang sangat negatif, sehingga pengurangan tekanan
melalui perburuan pada harimau itu sendiri bukanlah merupakan jawaban
konservasi yang memadai. Hilang atau langkanya harimau di wilayah yang luas
selama beberapa dekade bahkan dimana perburuan harimau yang terorganisir
tidak lagi merupakan hal yang biasa, mungkin sebagian besar dikarenakan oleh
rendahnya kepadatan mangsa. Oleh karena itu, penyusutan mangsa perlu diakui
secara eksplisit sebagai ancaman nyata terhadap penyusutan fisik atau degradasi
struktural dari habitat harimau (Karanth dan Stith, 1999).
Taksonomi Harimau Sumatera
Taksonomi harimau sumatera dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Carnivora
Famili : Felidae
Genus : Panthera
Spesies : Panthera tigris
Subspesies : Panthera tigris sumatrae
Habitat Harimau Sumatera
Harimau sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini
mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan,
dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi (Dinata dan Sugardjito, 2008).
Peta sebaran harimau sumatera oleh Santiapillai dan Ramono (1985) dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera
Harimau sumatera dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan
pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0- 2.000 mdpl, tetapi
kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400 mdpl. Hutan dataran
rendah merupakan habitat utama harimau sumatera dengan kepadatan 1-3 ekor per
100 km2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per 100 km2. Namun, tingginya
kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (65-80%) menyebabkan harimau
Aceh
North Sumatra
West Sumatra
Bengkulu
South Sumatra
bergerak ke atas menuju hutan perbukitan dan pegunungan
(Dinata dan Sugardjito, 2008).
Daerah Jelajah Harimau Sumatera
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harimau membutuhkan daerah
yang luas yang biasa disebut dengan daerah jelajah. Departemen Kehutanan
(2007) menyebutkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa
berkisar antar 40-70 km2. Kemudian daerah jelajah harimau sumatera jantan
sangat bervariasi yaitu antara 180 km2 pada kisaran ketinggian antara 100-600
mdpl, 274 km2 pada kisaran ketinggian antara 600-1700 mdpl, dan 380 km2 pada
ketinggian 1700 mdpl.
Pakan Harimau Sumatera
Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran
besar dan Suidae, seperti rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan
(Sus scrofa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai
jenis mangsa alternatif lain, seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil
(Tragulus javanicus), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura),
trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kuau raja
(Argusianus argus) (Departemen Kehutanan, 2007).
Keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan
ketinggian 100-600 mdpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian
600- 1.700 mdpl. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil
1. Rusa Sambar
Taksonomi rusa sambar dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo :
Famili :
Genus :
Spesies : Cervus unicolor
(IUCN, 2010).
Rusa sambar mempunyai kaki yang panjang, dan pada dasarnya ia
merupakan jenis menjangan Indonesia terbesar. Tingginya pada bagian bahu
kira-kira 140 cm dan beratnya kira-kira-kira-kira 300 kg. Warnanya ada yang coklat ke
hitam-hitaman, dan ada pula yang gelap sekali. Telinga binatang ini besar, dan lebih
mengandalkan pendengaran daripada penglihatan dalam kehidupannya sehari-hari
di dalam hutan (Veevers dan Carter, 1987).
Rusa sambar termasuk hewan yang aktif terutama pada malam hari, juga
pagi hari dan menjelang petang. Makanannya meliputi rumput-rumputan, perdu,
dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan buah-buahan yang jatuh. Rusa sering
mengunjungi sumber mineral alami. Rusa sambar biasanya hidup soliter, tetapi
kelompok yang terdiri dari dua ekor juga kadang terlihat. Paling umum terdapat
di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi di daerah
2. Babi hutan
Taksonomi babi hutan dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo :
Famili :
Genus :
Spesies : Sus scrofa
(IUCN, 2010).
Binatang ini sangat pandai menyesuaikan diri, dan makan segala macam
makanan. Mereka cepat sekali berkembang biak, meskipun sering diburu manusia
ataupun dijadikan mangsa oleh binatang buas di rimba. Kakinya punya empat jari,
jari belakang lebih kecil yang sangat membantunya kalau berjalan di atas tanah
berlumpur. Babi selalu aktif siang dan malam, tetapi suka makan waktu pagi dan
senja (Veevers dan Carter, 1987).
Sebagian besar babi hutan aktif pada malam hari, tetapi juga secara
periodik pada siang hari, terutama ketika cuaca sejuk. Makanannya meliputi
buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya,
cacing tanah, dan binatang kecil lainnya. Tidak sedikit babi hutan yang merusak
di perkebunan dan memakan bagian tumbuh pohon palem muda dan buah coklat.
Populasi kecil menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan
kebun. Sarang babi hutan terbuat dari anakan pohon dan perdu yang digigit atau
3. Kijang
Taksonomi kijang dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo :
Famili :
Genus : Muntiacus
Spesies : Muntiacus muntjak
(IUCN, 2010).
Kijang jarang terdapat di tempat-tempat yang jauh dari hutan. Mereka
terdapat di hutan-hutan primer dan sekunder dengan pohon-pohon yang rapat
mulai dari daerah tepi pantai sampai daerah dengan ketinggian 2500 mdpl atau
lebih lagi. Jenis binatang ini bisa bertahan hidup dan berkembang biak meskipun
banyak musuh seperti manusia dan pemangsa-pemangsa lain, seperti harimau,
macan tutul, dan lain-lain. Warna kijang adalah coklat kekuningan, sedangkan
kaki dan dahinya lebih kehitam-hitaman. Di dagu, leher, perut, kaki bagian dalam
dan di bawah ekornya terdapat warna putih (Veevers dan Carter, 1987).
Kijang aktif terutama pada siang hari. Makanannya meliputi dedaunan
muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh (termasuk
yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae). Kijang sering ditemukan
secara kebetulan sebagai pasangan jantan/betina dewasa, kadang sendiri
4. Kancil
Taksonomi kancil dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo :
Famili :
Genus :
Spesies : Tragulus javanicus
(IUCN, 2010).
Panjang tubuh kancil sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil
berwarna coklat kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih
gelap daripada bagian tubuh lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas
sedikit kecoklatan di tengah, tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas
berwarna coklat tua. Kancil merupakan binatang herbivora yang menyukai
rumput, daun-daunan yang berair, kecambah, buah-buahan yang jatuh di tanah,
kulit pisang, pepaya, ubi, dan ketela. Habitat Kancil (Tragulus javanicus) di
hutan primer dan sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah
atau kaki bukit tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat (Ihsan, 2010).
Kancil aktif pada malam dan siang hari. Makanannya meliputi
buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Biasanya hidup menyendiri
(soliter). Dewasa dan anakan beristirahat di tempat yang terlindung di bawah
tajuk hutan. Terdapat di hutan yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki
5. Beruk
Taksonomi beruk dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo :
Famili :
Genus : Macaca
Spesies : Macaca nemestrina
(IUCN, 2010).
Beruk merupakan jenis monyet yang mempunyai ekor pendek, lebih
kurang sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut mulai dari coklat sampai
coklat kekuningan, dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Jenis macaca
ini hidup di hutan primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai,
hutan rawa atau dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian
lebih kurang 1.000 mdpl. Dalam usahanya mencari pakan, umumnya beruk
sering menempuh perjalanannya di tanah daripada melalui pepohonan. Aktif
pada siang hari (diurnal), menjelang petang mereka tidur pada pohon bersama
kelompoknya. Beruk tidak membuat sarang (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Hewan ini hidup berkelompok, biasanya 15-40 ekor, tetapi hidup soliter
juga sesekali ditemukan. Makanan meliputi buah-buahan yang masak dan
vertebrata dan invertebrate kecil. Sebagian besar sering ditemukan di hutan
yang berdekatan dengan hutan. Kelompok hewan ini dapat menyebabkan
kerusakan yang besar pada tanaman padi dan buah-buahan (Payne dkk., 2000).
6. Landak
Taksonomi beruk dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo : Rodentia
Famili :
Genus : Hystrix
Spesies : Hystrix brachyura
(IUCN, 2010).
Duri – duri dibagian atas badannya kasar dan liar seta berwarna putih. Dan
hitam atau berjalur kekuning-kuningan. Duri-duri dibagian bawah badannya jauh
lebih halus, jarang, pendek dan berwarna hitam. Landak mempunyai empat kuku
pada kaki depan dan lima kuku pada kaki belakang (Wildlife, 2010).
Landak dapat ditemukan di berbagai habitat hutan. Satwa ini juga dapat
ditemukan di daerah pertanian, tetapi perlu memiliki singkapan berbatu atau
daerah lain di mana ia dapat menciptakan sebuah lubang sarang atau menggali
(Lunde dkk., 2008). Biasanya landak memakan buah-buahan yang jatuh,
termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas. Terdapat di hutan dan lahan budidaya
7. Trenggiling
Taksonomi Trenggiling dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo : Pholidota
Famili : Manidae
Genus :
Spesies : Manis javanica
(IUCN, 2010).
Trenggiling senang hidup di dalam hutan dan seringkali datang ke daerah
perkebunan atau tanah-tanah pertanian. Trenggiling melindungi diri dari serangan
musuhnya dengan cara menggulungkan dirirnya. Kalau seekor trenggiling sudah
bergelung , tidak ada binatang lain kecuali barangkali harimau yang sanggup
membuka gelungannya itu atau menggigitnya melalui sisik-sisiknya yang keras
itu (Veevers dan Carter, 1987).
Umumnya aktif pada malam hari, siang hari trenggiling tidur di liang
bawah tanah. Makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang diambil dari
sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah. Sarang serangga
dibuka dengan kaki yang bercakar kuat dan isinya dijilat dengan lidah yang
panjang dan lengket. Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder,
dan lahan budidaya termasuk kebun-kebun. Trenggiling sering terlihat di jalan
pada malam hari, bergerak perlahan dan tidak mencolok, matanya berpendar jika
8. Beruang madu
Taksonomi beruang madu dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo : Carnivora
Famili : Ursidae
Genus : Helarctos
Spesies : Helarctos malayanus
(IUCN, 2010).
Beruang madu adalah satu-satunya jenis beruang yang hidup di
hutan-hutan tropis di Indonesia. Beruang madu adalah pemakan campuran, artinya
binatang ini selain memakan binatang kecil dan serangga, juga sayur-sayuran dan
buah-buahan. Makanan yang paling disukainya ialah sarang lebah (anak beserta
dengan madunya). Beruang madu kebanyakan makan malam hari, pada saat lebah
sedang tidur. Siang hari tidur di dalam sarang yang sederhana terbuat dari
dahan-dahan kayu, jauh tinggi di atas pohon (Veevers dan Carter, 1987).
Beruang Madu aktif secara teratur pada siang dan malam hari, hidup di
permukaan tanah dan pada pepohonan yang tinggi. Hewan ini membuat sarang
dari dahan-dahan kecil di atas pepohonan untuk tidur, mirip dengan yang
dilakukan orangutan, tetapi biasanya lebih dekat ke batang pohon dan kurang
tersusun rapi. Makanan meliputi seluruh sarang lebah, rayap, binatang kecil, dan
buah-buahan. Terdapat di kawasan hutan yang luas dan kadang memasuki
9. Kuau Raja
Taksonomi kuau raja dalam biologi adalah sebagai berikut:
Kerajaan :
Filum :
Kelas :
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Argusianus
Spesies : Argusianus argus
(IUCN, 2010).
Umumnya berada di hutan tinggi, dataran rendah primer hingga 1.300
mdpl, tetapi terutama berada di bawah 900 mdpl. Namun, spesies ini mungkin
telah tidak menurun sangat cepat karena berkisar sampai dengan ketinggian di
mana hilangnya hutan kurang parah dan terjadi di lokasi tebang pilih. Perangkap
berlebihan terjadi di banyak daerah Kalimantan (BirdLife International, 2008).
Burung kuau termsuk jenis burung yang sangat sensitif terhadap gangguan
sehingga menyukai tinggal didalam hutan yang sepi tanpa gangguan. Kuau jantan
mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan
dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang
mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik
dari daun-daunan maupun semak. Setiap pagi burung jantan selalu menari di
tempat ini, jika ada gangguan dengan cepat lari masuk kedalam semak dan hutan
Aktivitas Harimau Sumatera dan Satwa Mangsanya
Pola aktivitas Harimau Sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas
satwa mangsa, yaitu krepuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan dan
pelanduk) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut
berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau
sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak
beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan
perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama
(Hutajulu, 2007).
Hewan nokturnal adalah binatang yang melakukan aktifitas di malam hari.
Sedangkan siang hari bagi binatang nokturnal adalah waktu untuk beristirahat
(tidur). Lawan dari hewan
aktifitas pada siang hari dan malam harinya digunakan untuk istirahat. Selain
nokturnal dan diurnal juga masih terdapat binatang-binatang yang mempunyai
waktu beraktifas tertentu seperti hewan matutinal (fajar menjelang pagi), hewan
krepuskular (senja menjelang malam), dan hewan metaturnal (aktif di sebagian
malam juga sebagian siang) (Alamendah, 2010).
Pada siang hari, kemungkinan harimau memangsa jenis-jenis yang
melakukan aktivitas seperti Babi Hutan, Beruk dan Kijang, dan pada malam hari
melakukan pemangsaan terhadap Rusa dan Kancil (Hutajulu, 2007). Babi
sebagian besar aktif pada malam hari, tetapi juga secara periodik pada siang hari,
terutama ketika cuaca sejuk. Beruk dan kijang adalah hewan yang aktif pada siang
hari. Kancil aktif pada malam dan siang hari. Rusa aktif terutama pada malam
pada siang dan malam hari.Trenggiling dan landak umumnya aktif pada malam
hari, siang hari trenggiling tidur di liang bawah tanah (Payne dkk, 2000).
Piramida Makanan
Di dalam struktur piramida makanan, harimau terletak paling atas atau
dikenal dengan top predator, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap
kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan
terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi
hewan mangsa (Dinata dan Sugardjito, 2008).
Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai
makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,
menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang berperan penting dalam
keseimbangan ekosistem. Keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan
dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah
menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan
mangsa (Woodroffe dan Ginsberg, 1998).
Camera Trap
Untuk melakukan monitoring mamalia besar dengan perilaku menghindar
(elusive) dan menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera digunakan perangkap
kamera (camera trap). Camera trap dapat memberikan data akurat di antaranya
keberadaan jenis, sebaran, aktivitias satwa, daerah jelajah dan sebagainya
(Hutajulu, 2007).
Kelimpahan harimau sumatera di alam sangat sulit untuk ditaksir. Hal ini
dan secara alamiah memiliki kepadatan yang rendah. Harimau sangat sulit
dijumpai secara langsung di alam, maka kemungkinan memperoleh foto harimau
menjadi sangat rendah. Oleh karena itu, camera trap harus ditempatkan pada
lokasi-lokasi dimana kemungkinan mendapatkan foto harimau lebih tinggi.
Namun demikian, sejauh ini belum ada rekomendasi mengenai jumlah set data
minimum yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya
(Wibisono, 2007).
Sistem Informasi Geografi (SIG)
SIG merupakan sebuah system yang saling berangkaian satu dengan yang
lain. BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir
dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang
didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,
menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi
geografi. Dengan demikian, basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam
bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi.
Analisis SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras
computer, dan software pendukung (Budiyanto, 2002).
Pemetaan kesesuaian habitat satwaliar (Wildlife habitat suitability
mapping) merupakan suatu analisis hubungan komplek diantara beberapa variasi
faktor lingkungan yang tersedia dalam bentuk geografis. Model kesesuaian habitat
setiap spesies satwaliar yang menjadi spesies kunci (key spesies) suatu kawasan
konservasi telah terlebih dahulu diidentifikasi. Setiap model membutuhkan data
kondisi makanan dan tutupan vegetasi. Faktor lainnya yang diperlukan adalah tipe
lain-lain. Analisis ini menjalankan setiap model dalam GIS dengan tujuan untuk
mengidentifikasi kawasan-kawasan yang sangat dan cukup sesuai sebagai habitat
satwaliar kunci tersebut. Dalam system zonasi, studi/analisis ini sangat cocok
dalam menentukan kawasan zona inti suatu taman nasional (Ayudi, 2009).
Hutan Hujan Tropika
Salah satu formasi hutan di Indonesia adalah hutan hujan tropika.
Berdasarkan ketinggian, hutan hujan tropika terbagi menjadi 3 zone yaitu : Hutan
hujan bawah (2-1000 mdpl), Hutan hujan tengah (1000-3000 mdpl) dan hutan
hujan atas (3000-4000 mdpl). Jenis pohon pada hutan hujan bawah terdiri dari
suku Dipterocarpaceae. Jenis pohon hutan hujan tengah terdiri dari suku
Lauraceae, Fagaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, dan Ericaceae. Jenis
pohon hujan hujan atas terdiri dari suku Conifer, Ericaceae, Loptospermum,
Clearia dan Quercus (Onrizal dan Kusmana, 2005).
Vegetasi hutan dataran rendah memiliki keunikan tersendiri. Dua
karakteristik utama yang membedakan hutan dataran rendah dengan bioma
terestrial lainnya adalah tingginya kerapatan jenis pohon dan status konservasi
tumbuhannya yang hampir sebagian besar dikategorikan jarang secara lokal
(Clark dkk., 1999). Komposisi jenis dan keanekaragaman tumbuhan di hutan
tergantung pada beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban, nutrisi, cahaya
matahari, topografi, batuan induk, karateristik tanah, struktur kanopi dan sejarah
tataguna lahan (Hutchincson dkk., 1999).
Hutan Primer mengacu pada tidak disentuh, hutan murni yang ada dalam
kondisi aslinya. Hutan ini belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Hutan hujan
beberapa lapis. Lantai hutan umumnya dari vegetasi berat karena kanopi yang
penuh memungkinkan cahaya masuk yang sangat kecil. Hutan primer adalah jenis
yang paling beragam secara hayati hutan. Hutan sekunder adalah hutan yang telah
terganggu dalam beberapa cara, alami maupun buatan. Hutan sekunder dapat
dibuat dalam beberapa cara, dari hutan terdegradasi pulih dari tebang pilih, ke
daerah dibersihkan dengan garis miring dan bakar pertanian yang telah
direklamasi oleh hutan. Umumnya, hutan sekunder ditandai (tergantung tingkat
degradasi) oleh struktur kanopi kurang berkembang, pohon-pohon yang lebih
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 s.d. April 2011.
Pemasangan camera trap dilakukan pada dua grid, yaitu Grid N25W27 (Grid I)
dan N26W26 (Grid II) yang berada di areal Taman Nasional Gunung Leuser
SPTN Wilayah VI Besitang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara
(Gambar 1).
Gambar 2. Lokasi penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah Peta Kelas Ketinggian
SPTN Wilayah VI Besitang, Peta Tipe Tutupan Lahan SPTN Wilayah VI
Panthera, GPS Garmin 76CSX, kompas, kamera digital, laptop dengan program
Arcview 3.3, meteran, dan alat tulis.
Gambar 3. Camera trap tipe Panthera
Prosedur Penelitian
• Penentuan sampling
Populasi dari penelitian ini adalah Taman Nasional Gunung Leuser SPTN
Wilayah VI Besitang dengan luas 125.825 Ha. Penelitian ini menggunakan petak
contoh (grid) dengan luas 28900 Ha (17 km x 17 km) sebagai sampel, dengan
pertimbangan bahwa daerah jelajah terluas harimau di Asia Tenggara
diperkirakan 250 km2. Oleh sebab itu, penentuan petak seluas 289 km2
diperkirakan cukup luas untuk memungkinkan penaksiran penggunaan wilayah
yang sebenarnya oleh harimau (Wibisono, 2007). Tiap petak diberi identitas (ID
Petak) untuk kepentingan pengelolaan data. Sistem petak (grid system) yang
meliputi seluruh pulau Sumatera telah dikembangkan oleh proyek konservasi
lain, seperti ZSL, FFI, dan WWF-Riau, dan saat ini telah digunakan untuk survai
mamalia besar di seluruh Pulau Sumatera. Setiap petak dibagi menjadi 16 anak
petak (sel) berukuran identik 4,25 km x 4,25 km (atau dengan luas 1.806,25 Ha).
• Penggunaan camera trap
Pada tiap sel dipasang dua buah camera trap yang saling berhadapan
dengan jarak 7-10 meter, sehingga total kamera yang terpasang adalah 32 unit.
Penentuan lokasi pemasangan camera trap berdasarkan atas temuan jejak satwa
yang paling dominan. Jarak rata-rata camera trap antar sel adalah 3-6 km. Jarak
rata-rata ini sesuai dengan penelitian menggunakan camera trap di daerah hutan
tropis lainnya dan juga sesuai rekomendasi dari WCS Program India. Camera trap
akan diaktifkan selama 2 periode dengan lama waktu tiap periode adalah 30 hari,
sehingga total hari aktif kamera adalah 2 bulan.
• Matriks deteksi
Matriks deteksi atau dikenal dengan istilah detection matrix adalah matriks
sejarah rekam dari individu yang berbeda yang terekam camera trap setidaknya
satu kali. Indivudu yang terekam camera trap akan dicatat dalam tabel matriks 17 km
17 km
4,25 km
4,25 km
deteksi. Matriks deteksi terdiri dari baris yang mewakili individu ulangan. Setiap
baris di dalam matriks deteksi terdiri beberapa kolom dari angka “0” dan “1”,
masing-masing mewakili tidak terekam dan terekam (Wibisono, 2007).
• Penentuan koordinat satwa
Satwa mangsa harimau yang tertangkap kamera akan diambil titik
koordinatnya dengan menggunakan GPS Garmin 76CSX. Koordinat tersebut
dapat diperoleh dari titik koordinat kamera yang merekam satwa. Koordinat
tersebut kemudian dicatat dalam tabel koordinat satwa di program Microsoft
Excel 2003 dan disimpan dalam bentuk DBF 4.
• Pengolahan data spasial sebaran satwa
Pengolahan data spasial sebaran satwa mangsa harimau sumatera
dilakukan dengan menggunakan aplikasi Arcview 3.3. Data koordinat satwa dari
Tabel 2 yang telah dikerjakan pada program Microsoft Excel 2003 dan disimpan
dalam file DBF 4 akan dikonversi menjadi file Shapefile pada program Arcview
3.3. Kemudian koordinat tersebut akan di-overlay-kan dengan Peta kelas
ketinggian SPTN Wilayah VI Besitang, Peta tipe tutupan lahan SPTN Wilayah VI
Besitang, dan Peta administrasi SPTN Wilayah VI Besitang, sehingga akan
dihasilkan peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian
tempat (mdpl) dan peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe
tutupan lahan. Proses pengolahan data spasial disajikan dalam bentuk bagan alur
Gambar 5. Bagan Alur Proses pengolahan data spasial
Frekuensi kemunculan satwa
Satwa yang terekam akan diketahui frekuensi kehadirannya dengan
melihat foto yang ada. Kehadiran satwa dilihat berdasarkan ketinggian tempat
(mdpl) dan tipe tutupan lahan. kelas ketinggian yang digunakan adalah 0-500
mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, dan 1.500-2.000
mdpl.
Data koordinat satwa dari Tabel 2 pada Ms. Excel (file dbf)
Konversi data koordinat satwa pada Arcview 3.3 (file shp)
Overlay:
• Peta kelas ketinggian SPTN Wil.VI Besitang • Peta administrasi SPTN Wil.VI Besitang
Overlay:
• Peta tipe tutupan lahan SPTN Wil.VI Besitang • Peta administrasi SPTN Wil.VI Besitang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi pemasangan camera trap
Berdasarkan metode yang digunakan untuk memetakan satwa mangsa
harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan menggunakan camera trap,
penelitian ini dilakukan pada 2 grid penelitian, yaitu Grid N25W27 (Grid I) dan
Grid N26W26 (Grid II), dengan jumlah sel yang terpasang camera trap pada
masing-masing grid adalah 16 sel, sehingga total seluruhnya adalah 32 sel.
Namun, penambahan grid dilakukan (yaitu Grid N26W27/Grid III) karena pada
beberapa sel pada Grid II tidak dimungkinkan untuk dilakukan pemasangan
camera trap, sehingga digantikan dengan beberapa sel pada Grid III yang masih
bersebelahan dengan Grid II.
Ada 6 sel yang tidak dipasang camera trap pada Grid II, yaitu Sel 20, Sel
24, Sel 27, Sel 28, Sel 31, dan Sel 32. Pada Sel 20 tidak dipasang camera trap
karena sel tersebut berada di luar kawasan TNGL, sedangkan pada sel-sel yang
lainnya karena telah terjadi perambahan hutan pada lokasi tersebut, sehingga
camera trap tidak dipasang dengan alasan keamanan. Sebagai gantinya, camera
trap dipasang di 6 sel pada Grid III yang bersebelahan dengan Grid II, yaitu Sel
39, Sel 40, Sel 43, Sel 44, Sel 47, dan Sel 48.
Selama camera trap terpasang di lokasi penelitian, terdapat satu sel yang
kehilangan camera trap, yaitu Sel 40 pada Grid III. Camera trap tersebut
diketahui hilang pada saat dilakukan pengecekan, dan belum ditemukan sampai
saat ini. Diduga yang mengambil camera trap tersebut adalah pemburu satwa liar,
Camera trap dipasang pada berbagai tipe tutupan lahan dan ketinggian
tempat (mdpl). Data koordinat pemasangan camera trap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian
Grid Sel
Koordinat
Ketinggian
(mdpl) Tipe Tutupan Lahan Bujur Timur
Hasil camera trap menunjukkan bahwa sebaran satwa mangsa harimau
berbeda-beda tiap jenisnya. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa
Data pada Sel 40 Grid III tidak diperoleh dikarenakan camera trap yang
hilang. Akibatnya, terjadi kekosongan data mengenai keberadaan harimau
sumatera maupun satwa mangsanya pada lokasi tersebut.
Harimau sumatera terekam hanya pada Grid I, yaitu pada Sel 6, Sel 7, Sel
10, Sel 11, Sel 14, dan Sel 15, sedangkan satwa mangsa yang juga terekam pada
sel-sel tersebut adalah kijang, rusa sambar, beruang madu, babi hutan, beruk,
landak, dan kuau raja. Pada Grid II dan Grid III tidak terekam harimau sumatera,
namun satwa mangsa harimau sumatera yang terekam pada grid tersebut lebih
banyak dibandingkan dengan Grid I. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan yang ada pada Grid II dan Grid III lebih
sesuai bagi kelangsungan hidup satwa mangsa harimau sumatera.
Satwa mangsa harimau sumatera paling banyak ditemukan di hutan
sekunder. Sementara harimau sumatera hanya ditemukan di hutan primer. Hal
tersebut dapat dipengaruhi oleh lokasi penelitian yang dahulunya merupakan
bekas HPH PT. Raja Garuda Mas yang rusak parah pada tahun 1980-an. Akibat
tingginya aktifitas manusia pada saat itu diduga menjadi penyebab harimau
sumatera yang berada di lokasi tersebut menghindar dan pindah ke tempat yang
tidak ada aktifitas manusia, yaitu pada ketinggian yang lebih tinggi dari daerah
asalnya dengan kondisi hutan yang masih alami (hutan primer). Diduga hingga
saat ini harimau sumatera cenderung tidak menjelajah sampai ke daerah asalnya
yang saat ini telah berubah menjadi hutan sekunder. Hal tersebut sangat berbeda
dengan satwa mangsanya yang lebih menyukai hutan sekunder karena
ketersediaan sumber pakan yang sangat banyak bagi satwa mangsa tersebut yang
hutan sekunder tersebut juga sangat sesuai sebagai habitat bagi satwa mangsa
harimau sumatera. Apabila kondisi tersebut tetap bertahan, maka akan berakibat
pada ekosistem yang tidak seimbang akibat pertumbuhan satwa mangsa harimau
sumatera yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan harimau sumatera di lokasi
tersebut. Berbeda halnya dengan harimau sumatera yang cukup kesulitan untuk
mendapatkan mangsa pada daerah jelajahnya akibat tipe habitat yang berbeda
antara harimau sumatera dengan satwa mangsanya. Dengan demikian,
lama-kelamaan satwa mangsa harimau sumatera pada lokasi tersebut akan menjadi
hama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Untuk itu, perlu adanya tindakan serius yang melibatkan semua pihak
yang berhubungan, yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat yang berada di sekitar hutan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah
peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan beserta
seluruh yang termasuk di dalamnya dan peningkatan taraf hidup masyarakat
sehingga masyarakat tidak akan mengambil sesuatu dari hutan secara illegal.
Dengan berkurangnya aktifitas manusia di hutan diduga dapat mendukung upaya
konservasi harimau sumatera beserta satwa mangsanya di lokasi tersebut.
Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera
Satwa mangsa harimau sumatera yang tertangkap oleh camera trap
dipetakan berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Lokasi
kemunculan satwa yang beragam baik menurut kelas ketinggian tempat maupun
Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian
tempat (mdpl) dapat dilihat pada Gambar 7.
Rusa sambar hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500
mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 8 titik
kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 2 titik
kemunculan. Ketinggian tempat dimana rusa sering muncul adalah 0-1.000 mdpl.
Pada ketinggian tersebut, habitat rusa sambar yang ada di lokasi penelitian
didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae. Rusa sambar sangat
cocok hidup pada habitat tersebut, karena sangat banyak tumbuhan yang
menghasilkan buah yang merupakan pakan dari satwa ini. Hasil tersebut sesuai
dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa rusa sambar paling
umum terdapat di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi
di daerah berlereng curam dan di hutan rawa. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa
Rusa Sambar hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi
kelangsungan hidupnya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang
menyatakan bahwa Rusa sering mengunjungi sumber mineral alami.
Babi hutan hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl
dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 11 titik
kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik
kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa Babi Hutan hidup tidak jauh
dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa di kawasan
hutan yang luas, secara periodik babi hutan membentuk kelompok yang sangat
besar yang berjalan sangat jauh untuk mencari makanan, berenang menyeberangi
Kijang muncul pada empat kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan
500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl
terdapat 11 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 1
titik kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 4 titik
kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kijang hidup tidak jauh dari
sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.
Kancil muncul pada satu kelas ketinggian saja, yaitu 0-500. Pada kelas
ketinggian tersebut terdapat 8 titik kemunculan. Gambar di atas juga menunjukkan
bahwa kancil hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi
kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ihsan (2010) yang
menyatakan bahwa habitat kancil (Tragulus javanicus) di hutan primer dan
sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki bukit
tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat.
Beruk muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan
500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan,
sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 6 titik kemunculan.
Gambar 7 juga menunjukkan bahwa beruk hidup tidak jauh dari sungai yang
merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Supriatna dan Wahyono (2000) bahwa jenis macaca ini hidup di hutan
primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai, hutan rawa atau
dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian lebih kurang 1.000
mdpl. Beruk paling banyak muncul pada ketinggian 0-500 mdpl karena pada
ketinggian tersebut banyak terdapat pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae
Mackinnon dkk. (2000), buah yang disukai primata termasuk manggis, rambutan
dan juga durian, yaitu buah-buah yang juga dihargai orang dan dipilih untuk
dibudidayakan.
Landak muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan
500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan,
sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan.
Gambar 7 juga menunjukkan bahwa landak hidup tidak jauh dari sungai yang
merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.
Trenggiling muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan
1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 1 titik kemunculan,
sedangkan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 1 titik kemunculan.
Gambar 7 juga menunjukkan bahwa trenggiling hidup tidak jauh dari sungai yang
merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.
Beruang madu muncul pada tiga kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl,
500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl
terdapat 5 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik
kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 2 titik
kemunculan. Gambar 8 juga menunjukkan bahwa beruang madu hidup tidak jauh
dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.
Kuau raja muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan
500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 9 titik kemunculan,
sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 5 titik kemunculan.
Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kuau raja hidup tidak jauh dari sungai yang
Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan
lahan dapat dilihat pada Gambar 8.
Rusa sambar hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan
primer dan hutan sekunder. Rusa sambar lebih banyak dijumpai di hutan
sekunder, delapan dari sepuluh lokasi temuan rusasambar terdapat di hutan
sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan
sekunder terdapat 8 titik kemunculan. Kemunculan rusa sambar yang lebih
dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang
masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Di hutan
sekunder juga banyak terdapat rerumputan yang juga merupakan bahan makanan
bagi satwa ini. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) Makanannya
meliputi rumput-rumputan, perdu, dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan
buah-buahan yang jatuh.
Babi hutan hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan
primer dan hutan sekunder. Babi hutan paling banyak dijumpai di hutan sekunder.
Dari 18 lokasi temuan babi hutan, yaitu 16 lokasi kemunculan berada di hutan
sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan
sekunder terdapat 16 titik kemunculan. Kemunculan babi hutan yang lebih
dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang
masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini
sesuai dengan Payne (2000) bahwa makanannya meliputi buah-buahan yang jatuh
dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya, cacing tanah, dan
binatang kecil lainnya. Hutan sekunder yang ada di lokasi penelitian didominasi
oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae karena masih berada pada
ketinggian 0-1.000 mdpl. Sebagian besar jenis pohonnya berbuah, sehingga
sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa di daerah
dimana hutan telah terfragmentasi menjadi petak-petak kecil, populasi kecil
menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan kebun.
Kijang hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer
dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 3 titik kemunculan, sedangkan di
hutan sekunder terdapat 13 titik kemunculan. Kemunculan kijang yang lebih
dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang
masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini
sesuai dengan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanannya meliputi
dedaunan muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh
(termasuk yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae).
Kancil hanya muncul pada satu tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan
sekunder. Di tipe tutupan lahan ini terdapat 8 titik kemunculan. Seluruh lokasi
kemunculan satwa ini berada di hutan sekunder, yang 5 lokasi di antaranya berada
dekat dengan semak belukar dan kebun masyarakat. Keberadaan kancil yang
hanya ada di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon
yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) bahwa makanan kancil
meliputi buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Terdapat di hutan
yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki kebun-kebun dan semak
belukar.
Beruk hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer
dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 1 titik kemunculan, sedangkan di
dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang
masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan beruk
meliputi buah-buahan yang masak, vertebrata dan invertebrate kecil.
Landak hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer
dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di
hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan landak yang lebih
dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya jenis buah-buahan
dan tunas tumbuhan muda yang merupakan bahan makanan bagi satwa ini. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa biasanya landak
memakan buah-buahan yang jatuh, termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas.
Terdapat di hutan dan lahan budidaya.
Trenggiling hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan
primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan,
sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan
trenggiling di hutan primer dan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh
banyaknya serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan
bagi kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne
(2000) yang menyatakan bahwa makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang
diambil dari sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah.
Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder, dan lahan budidaya
termasuk kebun-kebun.
Beruang madu hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan
sedangkan di hutan sekunder terdapat 9 titik kemunculan. Kemunculan beruang
madu yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya
serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan bagi
kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000)
yang menyatakan bahwa makanan beruang madu meliputi seluruh sarang lebah,
rayap, binatang kecil, dan buah-buahan.
Kuau raja hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan
primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan,
sedangkan di hutan sekunder terdapat 12 titik kemunculan. Kemunculan kuau raja
yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh keberadaan pohon
pakan yang ada di hutan sekunder lebih banyak dibandingkan di hutan primer.
Pada lokasi kemunculan satwa ini merupakan hutan sekunder, dimana pepohonan
belum begitu besar dan banyak sekali ruang-ruang kecil yang biasanya sering
digunakan kuau raja sebagai lokasi untuk menari-nari sambil memamerkan
keindahan corak yang ada pada bulunya. Menurut Alikodra (2010), kuau jantan
mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan
dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang
mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik
dari daun-daunan maupun semak.
Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap
1. Rusa Sambar (Cervus unicolor)
Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa rusa sambar
mempunyai bagian tubuh atas berwarna coklat abu-abu dengan variasi pola warna
pada malam hari, pagi hari, dan menjelang petang. Gambar rusa sambar yang
terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di Sel 17 Grid II
Rusa sambar hanya muncul di 10 titik dari 32 titik yang terpasang camera
trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak
terlalu banyak.
2. Babi Hutan (Sus scrofa)
Babi hutan cukup sering muncul di lokasi penelitian. Gambar babi hutan
yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Gambar babi hutan sambar hasil camera trap di Sel 21 Grid II
Babi hutan muncul di 18 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian
3. Kijang (Muntiacus muntjac)
Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa kijang mempunyai
tubuh bagian atas tengguli, agak lebih gelap sepanjang garis punggung, bagian
bawah keputih-putihan, sering berulas abu-abu. Ekor coklat tua diatas, putih
dibawah. Gambar kijang yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Gambar kijang hasil camera trap di Sel 18 Grid II
Kijang cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan
dari kemunculan satwa ini di 16 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian
cukup banyak.
4. Kancil (Tragulus javanicus)
Menurut Alamendah (2010) kancil mempunyai panjang tubuh sekitar
20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil atau Pelanduk berwarna coklat kemerahan,
sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada bagian tubuh
lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah,
tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua. Gambar
Gambar12. Gambar kancil hasil camera trap di Sel 23 Grid II
Kancil hanya muncul di 8 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.
Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak terlalu
banyak.
5. Beruk (Macaca nemestrina)
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) panjang ekor beruk lebih kurang
sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut dari coklat sampai coklat
kekuningan dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Panjang tubuh 450 –
600 mm. Gambar beruk yang terekam camera trap ditunjukkan pada gambar
berikut.
Gambar 13. Gambar beruk hasil camera trap di Sel 23 Grid II
Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian
cukup banyak.
6. Landak (Hystrix brachyura)
Landak Menurut Wildlife (2010) duri – duri dibagian atas badannya kasar
dan liar seta berwarna putih. Dan hitam atau berjalur kekuning-kuningan.
Duri-duri dibagian bawah badannya jauh lebih halus, jarang, pendek dan berwarna
hitam. Landak mempunyai empat kuku pada kaki depan dan lima kuku pada kaki
belakang. Gambar landak yang terekam camera trap ditunjukkan pada
Gambar 14.
Gambar 14. Gambar landak hasil camera trap di Sel 18 Grid II
Landak cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan
dari kemunculan satwa ini di 21 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian
cukup banyak.
7. Trenggiling (Manis javanica)
Menurut Veevers dan Carter (1987) trenggiling, satu-satunya jenis
mamalia di asia yang bersisik. Tetapi sisik itu sendiri sebetulnya adalah semacam
punggung, rusuk, kaki, kepala, dan ekor binatang itu. Rambut yang normal, tetapi
kasar, tumbuh juga pada bagian bawah atau di sela-sela sisik. Pinggir luar sisik itu
sangat keras dan tajam. Gambar trenggiling yang terekam camera trap
ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Gambar trenggiling hasil camera trap di Sel 19 Grid II
Trenggiling sangat jarang muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat
dibuktikan dari kemunculan satwa ini yang hanya muncul di 2 titik dari 32 titik
yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan
satwa ini di lokasi penelitian sangat sedikit. Sedikitnya kemunculan Trenggiling
dapat diprediksi bahwa populasi satwa ini di lokasi penelitian sangat sedikit. Hal
itu dapat disebabkan oleh perburuan liar terhadap satwa ini, karena harganya yang
mahal. Perburuan satwa liar dan dilindungi masih terjadi di lokasi penelitian.
Dugaan tersebut diperkuat oleh hilangnya dua unit camera trap yang sedang aktif
di lokasi penelitian.
8. Beruang Madu (Helarctos malayanus)
Gambar beruang madu yang terekam camera trap ditunjukkan pada