• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah Vi Besitang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah Vi Besitang)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA

(Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH

VI BESITANG)

SKRIPSI

Oleh:

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO

071201030

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA

(Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH

VI BESITANG)

SKRIPSI

Oleh:

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi :Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah Vi Besitang)

Nama : Ricky Darmawan Priatmojo

NIM : 071201030

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Ketua

Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D Anggota

Mengetahui

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan

(4)

ABSTRAK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Pemetaan Satwa Mangsa Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY.

Pemetaan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilakukan di Taman Nasoinal Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 sampai dengan April 2011. Bertujuan untuk memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dan untuk mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Metode pemetaan satwa mangsa dilakukan dengan menggunakan camera trap dan program Arc-View 3.3. Camera trap dipasang berpasangan di tiap sel dan aktif di lapangan selama 60 hari. Satwa mangsa dipetakan berdasarkan titik camera trap yang merekam satwa dan dipetakan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan. Ketinggian tempat dibagi menjadi 5 kelas yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, 1.500-2.000-2.500 mdpl.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah hutan sekunder. Satwa mangsa harimau sumatera yang paling sering muncul adalah landak, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan.

(5)

ABSTRACK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Mapping Animal Prey Sumatran Tiger

(Panthera tigris sumatrae) in Gunung Leuser National Park (SPTN BESITANG Region VI), supervised by PINDI PATANA and RAHMAWATY.

Mapping of the Sumatran tiger prey species (Panthera tigris sumatrae) conducted in Taman Gunung Leuser Nasoinal SPTN Besitang Region VI. This research was conducted from March 2010 until April 2011 as a purpose to map the exisiting of sumatran tiger prey species and to determine the frequency of appears of species based on altitude (masl) and land cover types. Mapping method of prey animals is done by using camera traps and the program Arc-View 3.3. Camera traps set in pairs in each cell and it active for 60 days. Animal prey mapped based on the point of recording wildlife camera traps and mapped based on elevation and land cover types. Elevation is divided into 5 classes; 0-500 masl, 500-1.000 masl, 1.000-1.500 masl, 1.500-2.000 masl, 2.000-2.500 masl.

The results showed that the Sumatran tiger prey species appears most at altitude classes 0-500 and 500-1.000 masl with land cover type is secondary forest. Sumatran tiger prey animals that most frequently appear are hedgehogs, both based on altitude and land cover types.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 19 November 1989 dari ayah

Supriyono dan ibu Sri Darwati. Penulis merupakan putra pertama dari empat

bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Medan dan pada tahun yang

sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru memilih jurusan Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan.

Selama mengikuti kuliah, penulis aktif sebagai anggota mahasiswa

Kehutanan USU dan pernah menjadi Asisten Praktik Pengenalan Ekosisten Hutan

(PEH) tahun 2010. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi ekstrauniversitas

Himpunan Mahasiswa Silva.

Penulis mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di

Hutan Daratan Rendah Aras Napal dan Hutan Mangrove Pulau Sembilan

Kabupaten Langkat tahun 2009. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang

(PKL) di KPH Randublatung Unit I Jawa Tengah dari tanggal 1 Januari sampai

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

tepat pada waktunya.

Adapun judul dari penelitian ini adalah “Pemetaan Satwa Mangsa

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser

(SPTN Wilayah VI Besitang)”. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada

dosen pembimbing penelitian yaitu Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku ketua

dan Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku anggota, serta kepada kedua

orangtua saya yang telah mendukung saya dalam segi moril dan materiil dan

teman-teman yang telah membantu saya.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,

baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh sebab itu, penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi

penyempurnaan penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca, khususnya bagi para mahasiswa kehutanan.

Medan, Juni 2011

(8)

DAFTAR ISI

Aktivitas Harimau Sumatera dan Satwa Mangsanya ... 18

Piramida Makanan ... 19

Pengolahan data spasial sebaran satwa ... 26

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Lokasi pemasangan camera trap ... 28

Matriks deteksi ... 30

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera ... 33

Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap .... 42

Frekuensi kemunculan satwa ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hlm.

1. Peta sebaran harimau sumatera ... 7

2. Lokasi penelitian ... 23

3. Camera trap tipe Panthera ... 24

4. Petak (grid) dan anak petak (sel) pemasangan camera trap ... 25

5. Bagan alur proses pengolahan data spasial ... 27

6. Peta lokasi pemasangan camera trap di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser ... 29

7. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) di SPTN Wilayah VI Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser ... 34

8. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser ... 38

9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di lokasi penelitian ... 43

10. Gambar babi hutan hasil camera trap di lokasi penelitian ... 43

11. Gambar kijang hasil camera trap di lokasi penelitian ... 44

12. Gambar kancil hasil camera trap di lokasi penelitian ... 45

13. Gambar beruk hasil camera trap di lokasi penelitian... 45

14. Gambar landak hasil camera trap di lokasi penelitian ... 46

15. Gambar trenggiling hasil camera trap di lokasi penelitian ... 47

16. Gambar beruang madu hasil camera trap di lokasi penelitian ... 48

17. Gambar kuau raja hasil camera trap di lokasi penelitian ... 48

18. Total kemunculan satwa pada tiap kelas ketinggian tempat (mdpl) ... 50

19. Total kemunculan satwa pada hutan primer dan hutan sekunder ... 51

20. Total jenis satwa yang muncul berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tutupan lahan ... 52

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hlm.

1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian... 30

2. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya... 31

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hlm.

1. Titik koordinat pemasangan camera trap ... 58

2. Lokasi kemunculan satwa mangsa harimau sumatera ... 60

3. Frekuensi kehadiran satwa mangsa harimau sumatera ... 64

4. Jenis-jenis satwa yang terekam oleh camera trap ... 69

5. Gambar satwa lain yang terekam camera trap ... 71

6. Surat ijin masuk kawasan konservasi (SIMAKSI) ... 74

(13)

ABSTRAK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Pemetaan Satwa Mangsa Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY.

Pemetaan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilakukan di Taman Nasoinal Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 sampai dengan April 2011. Bertujuan untuk memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dan untuk mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Metode pemetaan satwa mangsa dilakukan dengan menggunakan camera trap dan program Arc-View 3.3. Camera trap dipasang berpasangan di tiap sel dan aktif di lapangan selama 60 hari. Satwa mangsa dipetakan berdasarkan titik camera trap yang merekam satwa dan dipetakan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan. Ketinggian tempat dibagi menjadi 5 kelas yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, 1.500-2.000-2.500 mdpl.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah hutan sekunder. Satwa mangsa harimau sumatera yang paling sering muncul adalah landak, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan.

(14)

ABSTRACK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Mapping Animal Prey Sumatran Tiger

(Panthera tigris sumatrae) in Gunung Leuser National Park (SPTN BESITANG Region VI), supervised by PINDI PATANA and RAHMAWATY.

Mapping of the Sumatran tiger prey species (Panthera tigris sumatrae) conducted in Taman Gunung Leuser Nasoinal SPTN Besitang Region VI. This research was conducted from March 2010 until April 2011 as a purpose to map the exisiting of sumatran tiger prey species and to determine the frequency of appears of species based on altitude (masl) and land cover types. Mapping method of prey animals is done by using camera traps and the program Arc-View 3.3. Camera traps set in pairs in each cell and it active for 60 days. Animal prey mapped based on the point of recording wildlife camera traps and mapped based on elevation and land cover types. Elevation is divided into 5 classes; 0-500 masl, 500-1.000 masl, 1.000-1.500 masl, 1.500-2.000 masl, 2.000-2.500 masl.

The results showed that the Sumatran tiger prey species appears most at altitude classes 0-500 and 500-1.000 masl with land cover type is secondary forest. Sumatran tiger prey animals that most frequently appear are hedgehogs, both based on altitude and land cover types.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di dunia ada delapan subspesies harimau. Tiga diantaranya terdapat di

Indonesia yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), harimau jawa

(Panthera tigris sondaica), dan harimau bali (Panthera tigris balica). Namun

harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah, masing-masing pada

tahun 1940-an dan 1980-an (Seidensticker dkk., 1999). Harimau sumatera

(Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu satwa langka kebanggaan yang

hanya hidup di Pulau Sumatera. Jenis satwa yang menempati puncak piramida

dalam ekosistem hutan Sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh

pemerintah Indonesia dan dikategorikan oleh International Union for

Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa yang mendekati kepunahan.

Sementara itu Convention on International Trade in Dangered Species (CITES)

telah melarang perdagangan dan perburuan satwa ini

(Departemen Kehutanan, 2007).

Pertemuan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) yang

diselenggarakan pada tahun 1992 oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan

dan Pelestarian Alam (PHPA) Republik Indonesia dengan IUCN Species Survival

Commission and Conservation Breeding Specialist Group (CBSG), menyatakan

bahwa hanya ada 400 ekor harimau yang masih bertahan hidup di lima taman

nasional utama di Pulau Sumatera. Dari kelima taman nasional yang ada, populasi

terbanyak adalah 110 ekor, terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser di

(16)

jumlahnya diperkirakan separuh atau bahkan lebih sedikit dari populasi yang ada

disana (Franklin dkk., 1999).

Harimau sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar untuk

mempertahankan hidup yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup, sumber air,

dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa

(Lynam dkk.,2000). Apabila salah satu dari kebutuhan dasar tersebut tidak

terpenuhi, maka akan mengancam keberadaan harimau sumatera yang sudah

semakin berkurang populasinya saat ini.

Kelimpahan dan penyebaran satwa mangsa secara merata mempengaruhi

wilayah jelajah dari harimau sumatera. Satwa mangsa yang sedikit dan

penyebarannya yang tidak merata akan memperjauh wilayah jelajah dari harimau

sumatera. Hal itu disebabkan karena harimau sumatera akan memburu mangsanya

sampai dapat untuk mempertahankan hidupnya. Apabila ketersediaan satwa

mangsa sedikit dan tidak merata, secara tidak langsung akan meningkatkan

persaingan antara individu harimau yang satu dengan yang lainnya dalam

mendapatkan mangsa. Apabila hal tersebut dibiarkan terus-menerus terjadi, sangat

mungkin populasi harimau akan berkurang akibat kematian. Hal tersebut yang

menyebabkan mengapa perlu dilakukannya upaya perlindungan atau konservasi

terhadap satwa mangsa harimau sumatera.

Salah satu bentuk upaya perlindungan atau konservasi terhadap satwa

mangsa harimau sumatera adalah dengan memetakan sebaran satwa mangsa.

Keberadaan dan kelimpahan satwa mangsa akan dapat dilihat dari peta tersebut.

Daerah yang sudah memiliki kelimpahan satwa mangsa dan penyebarannya

(17)

memiliki kelimpahan satwa mangsa dan penyebaran yang merata, perlu dilakukan

tindak lanjut dalam upaya peningkatan populasi satwa mangsa. Dengan begitu,

kita dapat mengetahui daerah mana saja yang memiliki potensi besar untuk

dijadikan sebagai daerah konservasi bagi harimau sumatera.

Fungsi penggunaan lahan mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Satwa

mangsa harimau sumatera biasanya banyak dijumpai di hutan primer, namun tidak

sedikit juga yang ditemukan di hutan sekunder. Bahkan beberapa jenis dari satwa

tersebut ada yang memasuki perkebunan milik masyarakat. Hal tersebut

dikarenakan banyaknya perambahan hutan yang terjadi saat ini yang

mengakibatkan berkurangnya habitat dari satwa tersebut.

Ketinggian tempat juga mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Satwa

mangsa harimau sumatera kebanyakan hidup di dataran rendah dan dataran tinggi.

Hal tersebut dapat disebabkan karena ketersediaan pohon pakan dari satwa

mangsa yang sebagian besar merupakan herbivora masih melimpah dan jenisnya

yang beragam. Sedangkan di daerah pegunungan, keberadaan satwa mangsa lebih

sedikit, karena ketersediaan pohon pakan semakin sedikit dan jenisnya yang

terbatas.

Perburuan liar juga salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan

satwa mangsa. Tingginya aktifitas perburuan liar akan menyebabkan turunnya

populasi dari satwa mangsa. Satwa mangsa akan sulit ditemukan di daerah yang

sering dijadikan sebagai kawasan perburuan liar.

Penelitian ini merupakan salah satu upaya konservasi harimau sumatera di

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser bekerjasama dengan Yayasan Leuser

(18)

kelimpahan satwa mangsa harimau sumatera. Sehingga nantinya akan membantu

pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam upaya

konservasi harimau sumatera yang sudah terancam punah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera di SPTN

Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan

ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan.

2. Mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat

(mdpl) dan tipe tutupan lahan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan menjadi referensi bagi pemerintah, lembaga

swadaya masyarakat, dan masyarakat, serta peneliti yang ingin melakukan

penelitian lebih lanjut dalam upaya konservasi harimau sumatera yang sudah

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat hutan dataran tinggi yang tersisa saat ini tidak dapat mendukung

biomassa jenis-jenis ungulata besar sebagai hewan mangsa. Sebaliknya,

keberadaan hutan dataran rendah sangat penting karena dapat mendukung

biomassa hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar

(Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak) sebagai hewan mangsa.

Namun, luasan hutan dataran rendah yang tersisa secara cepat menyusut akibat

alih fungsi menjadi lahan pertanian. Diperkirakan antara 65-80% hutan dataran

rendah di Sumatera telah hilang atau beralih fungsi menjadi peruntukan lain

(Dinata dan Sugardjito, 2008).

Harimau menggunakan teknik perburuan yang mengandalkan taktik

perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu

membunuh mangsanya. Keuletan dalam cara harimau menangkap dan membunuh

mangsanya memungkinkan mereka memangsa berbagai jenis dan ukuran mangsa

(Sunquist dkk., 1999).

Sebagai hewan pemangsa utama, harimau memerlukan wilayah habitat

yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, kepadatan

hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor yang sangat penting

dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau. Ketersediaan hewan mangsa

ini juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah jelajah individu

harimau (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Penelitian-penelitian terdahulu (Schaller 1967; Sunquist 1981) secara

(20)

pengurangan jumlah harimau liar saat ini. Apabila kepadatan mangsa berkurang

jelas menimbulkan faktor yang sangat negatif, sehingga pengurangan tekanan

melalui perburuan pada harimau itu sendiri bukanlah merupakan jawaban

konservasi yang memadai. Hilang atau langkanya harimau di wilayah yang luas

selama beberapa dekade bahkan dimana perburuan harimau yang terorganisir

tidak lagi merupakan hal yang biasa, mungkin sebagian besar dikarenakan oleh

rendahnya kepadatan mangsa. Oleh karena itu, penyusutan mangsa perlu diakui

secara eksplisit sebagai ancaman nyata terhadap penyusutan fisik atau degradasi

struktural dari habitat harimau (Karanth dan Stith, 1999).

Taksonomi Harimau Sumatera

Taksonomi harimau sumatera dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Ordo : Carnivora

Famili : Felidae

Genus : Panthera

Spesies : Panthera tigris

Subspesies : Panthera tigris sumatrae

(21)

Habitat Harimau Sumatera

Harimau sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini

mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan,

dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Peta sebaran harimau sumatera oleh Santiapillai dan Ramono (1985) dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera

Harimau sumatera dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan

pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0- 2.000 mdpl, tetapi

kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400 mdpl. Hutan dataran

rendah merupakan habitat utama harimau sumatera dengan kepadatan 1-3 ekor per

100 km2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per 100 km2. Namun, tingginya

kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (65-80%) menyebabkan harimau

Aceh

North Sumatra

West Sumatra

Bengkulu

South Sumatra

(22)

bergerak ke atas menuju hutan perbukitan dan pegunungan

(Dinata dan Sugardjito, 2008).

Daerah Jelajah Harimau Sumatera

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harimau membutuhkan daerah

yang luas yang biasa disebut dengan daerah jelajah. Departemen Kehutanan

(2007) menyebutkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa

berkisar antar 40-70 km2. Kemudian daerah jelajah harimau sumatera jantan

sangat bervariasi yaitu antara 180 km2 pada kisaran ketinggian antara 100-600

mdpl, 274 km2 pada kisaran ketinggian antara 600-1700 mdpl, dan 380 km2 pada

ketinggian 1700 mdpl.

Pakan Harimau Sumatera

Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran

besar dan Suidae, seperti rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan

(Sus scrofa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai

jenis mangsa alternatif lain, seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil

(Tragulus javanicus), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura),

trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kuau raja

(Argusianus argus) (Departemen Kehutanan, 2007).

Keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan

ketinggian 100-600 mdpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian

600- 1.700 mdpl. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil

(23)

1. Rusa Sambar

Taksonomi rusa sambar dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Cervus unicolor

(IUCN, 2010).

Rusa sambar mempunyai kaki yang panjang, dan pada dasarnya ia

merupakan jenis menjangan Indonesia terbesar. Tingginya pada bagian bahu

kira-kira 140 cm dan beratnya kira-kira-kira-kira 300 kg. Warnanya ada yang coklat ke

hitam-hitaman, dan ada pula yang gelap sekali. Telinga binatang ini besar, dan lebih

mengandalkan pendengaran daripada penglihatan dalam kehidupannya sehari-hari

di dalam hutan (Veevers dan Carter, 1987).

Rusa sambar termasuk hewan yang aktif terutama pada malam hari, juga

pagi hari dan menjelang petang. Makanannya meliputi rumput-rumputan, perdu,

dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan buah-buahan yang jatuh. Rusa sering

mengunjungi sumber mineral alami. Rusa sambar biasanya hidup soliter, tetapi

kelompok yang terdiri dari dua ekor juga kadang terlihat. Paling umum terdapat

di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi di daerah

(24)

2. Babi hutan

Taksonomi babi hutan dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Sus scrofa

(IUCN, 2010).

Binatang ini sangat pandai menyesuaikan diri, dan makan segala macam

makanan. Mereka cepat sekali berkembang biak, meskipun sering diburu manusia

ataupun dijadikan mangsa oleh binatang buas di rimba. Kakinya punya empat jari,

jari belakang lebih kecil yang sangat membantunya kalau berjalan di atas tanah

berlumpur. Babi selalu aktif siang dan malam, tetapi suka makan waktu pagi dan

senja (Veevers dan Carter, 1987).

Sebagian besar babi hutan aktif pada malam hari, tetapi juga secara

periodik pada siang hari, terutama ketika cuaca sejuk. Makanannya meliputi

buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya,

cacing tanah, dan binatang kecil lainnya. Tidak sedikit babi hutan yang merusak

di perkebunan dan memakan bagian tumbuh pohon palem muda dan buah coklat.

Populasi kecil menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan

kebun. Sarang babi hutan terbuat dari anakan pohon dan perdu yang digigit atau

(25)

3. Kijang

Taksonomi kijang dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus : Muntiacus

Spesies : Muntiacus muntjak

(IUCN, 2010).

Kijang jarang terdapat di tempat-tempat yang jauh dari hutan. Mereka

terdapat di hutan-hutan primer dan sekunder dengan pohon-pohon yang rapat

mulai dari daerah tepi pantai sampai daerah dengan ketinggian 2500 mdpl atau

lebih lagi. Jenis binatang ini bisa bertahan hidup dan berkembang biak meskipun

banyak musuh seperti manusia dan pemangsa-pemangsa lain, seperti harimau,

macan tutul, dan lain-lain. Warna kijang adalah coklat kekuningan, sedangkan

kaki dan dahinya lebih kehitam-hitaman. Di dagu, leher, perut, kaki bagian dalam

dan di bawah ekornya terdapat warna putih (Veevers dan Carter, 1987).

Kijang aktif terutama pada siang hari. Makanannya meliputi dedaunan

muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh (termasuk

yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae). Kijang sering ditemukan

secara kebetulan sebagai pasangan jantan/betina dewasa, kadang sendiri

(26)

4. Kancil

Taksonomi kancil dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Tragulus javanicus

(IUCN, 2010).

Panjang tubuh kancil sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil

berwarna coklat kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih

gelap daripada bagian tubuh lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas

sedikit kecoklatan di tengah, tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas

berwarna coklat tua. Kancil merupakan binatang herbivora yang menyukai

rumput, daun-daunan yang berair, kecambah, buah-buahan yang jatuh di tanah,

kulit pisang, pepaya, ubi, dan ketela. Habitat Kancil (Tragulus javanicus) di

hutan primer dan sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah

atau kaki bukit tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat (Ihsan, 2010).

Kancil aktif pada malam dan siang hari. Makanannya meliputi

buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Biasanya hidup menyendiri

(soliter). Dewasa dan anakan beristirahat di tempat yang terlindung di bawah

tajuk hutan. Terdapat di hutan yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki

(27)

5. Beruk

Taksonomi beruk dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus : Macaca

Spesies : Macaca nemestrina

(IUCN, 2010).

Beruk merupakan jenis monyet yang mempunyai ekor pendek, lebih

kurang sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut mulai dari coklat sampai

coklat kekuningan, dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Jenis macaca

ini hidup di hutan primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai,

hutan rawa atau dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian

lebih kurang 1.000 mdpl. Dalam usahanya mencari pakan, umumnya beruk

sering menempuh perjalanannya di tanah daripada melalui pepohonan. Aktif

pada siang hari (diurnal), menjelang petang mereka tidur pada pohon bersama

kelompoknya. Beruk tidak membuat sarang (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Hewan ini hidup berkelompok, biasanya 15-40 ekor, tetapi hidup soliter

juga sesekali ditemukan. Makanan meliputi buah-buahan yang masak dan

vertebrata dan invertebrate kecil. Sebagian besar sering ditemukan di hutan

(28)

yang berdekatan dengan hutan. Kelompok hewan ini dapat menyebabkan

kerusakan yang besar pada tanaman padi dan buah-buahan (Payne dkk., 2000).

6. Landak

Taksonomi beruk dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Rodentia

Famili :

Genus : Hystrix

Spesies : Hystrix brachyura

(IUCN, 2010).

Duri – duri dibagian atas badannya kasar dan liar seta berwarna putih. Dan

hitam atau berjalur kekuning-kuningan. Duri-duri dibagian bawah badannya jauh

lebih halus, jarang, pendek dan berwarna hitam. Landak mempunyai empat kuku

pada kaki depan dan lima kuku pada kaki belakang (Wildlife, 2010).

Landak dapat ditemukan di berbagai habitat hutan. Satwa ini juga dapat

ditemukan di daerah pertanian, tetapi perlu memiliki singkapan berbatu atau

daerah lain di mana ia dapat menciptakan sebuah lubang sarang atau menggali

(Lunde dkk., 2008). Biasanya landak memakan buah-buahan yang jatuh,

termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas. Terdapat di hutan dan lahan budidaya

(29)

7. Trenggiling

Taksonomi Trenggiling dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Pholidota

Famili : Manidae

Genus :

Spesies : Manis javanica

(IUCN, 2010).

Trenggiling senang hidup di dalam hutan dan seringkali datang ke daerah

perkebunan atau tanah-tanah pertanian. Trenggiling melindungi diri dari serangan

musuhnya dengan cara menggulungkan dirirnya. Kalau seekor trenggiling sudah

bergelung , tidak ada binatang lain kecuali barangkali harimau yang sanggup

membuka gelungannya itu atau menggigitnya melalui sisik-sisiknya yang keras

itu (Veevers dan Carter, 1987).

Umumnya aktif pada malam hari, siang hari trenggiling tidur di liang

bawah tanah. Makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang diambil dari

sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah. Sarang serangga

dibuka dengan kaki yang bercakar kuat dan isinya dijilat dengan lidah yang

panjang dan lengket. Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder,

dan lahan budidaya termasuk kebun-kebun. Trenggiling sering terlihat di jalan

pada malam hari, bergerak perlahan dan tidak mencolok, matanya berpendar jika

(30)

8. Beruang madu

Taksonomi beruang madu dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Carnivora

Famili : Ursidae

Genus : Helarctos

Spesies : Helarctos malayanus

(IUCN, 2010).

Beruang madu adalah satu-satunya jenis beruang yang hidup di

hutan-hutan tropis di Indonesia. Beruang madu adalah pemakan campuran, artinya

binatang ini selain memakan binatang kecil dan serangga, juga sayur-sayuran dan

buah-buahan. Makanan yang paling disukainya ialah sarang lebah (anak beserta

dengan madunya). Beruang madu kebanyakan makan malam hari, pada saat lebah

sedang tidur. Siang hari tidur di dalam sarang yang sederhana terbuat dari

dahan-dahan kayu, jauh tinggi di atas pohon (Veevers dan Carter, 1987).

Beruang Madu aktif secara teratur pada siang dan malam hari, hidup di

permukaan tanah dan pada pepohonan yang tinggi. Hewan ini membuat sarang

dari dahan-dahan kecil di atas pepohonan untuk tidur, mirip dengan yang

dilakukan orangutan, tetapi biasanya lebih dekat ke batang pohon dan kurang

tersusun rapi. Makanan meliputi seluruh sarang lebah, rayap, binatang kecil, dan

buah-buahan. Terdapat di kawasan hutan yang luas dan kadang memasuki

(31)

9. Kuau Raja

Taksonomi kuau raja dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianidae

Genus : Argusianus

Spesies : Argusianus argus

(IUCN, 2010).

Umumnya berada di hutan tinggi, dataran rendah primer hingga 1.300

mdpl, tetapi terutama berada di bawah 900 mdpl. Namun, spesies ini mungkin

telah tidak menurun sangat cepat karena berkisar sampai dengan ketinggian di

mana hilangnya hutan kurang parah dan terjadi di lokasi tebang pilih. Perangkap

berlebihan terjadi di banyak daerah Kalimantan (BirdLife International, 2008).

Burung kuau termsuk jenis burung yang sangat sensitif terhadap gangguan

sehingga menyukai tinggal didalam hutan yang sepi tanpa gangguan. Kuau jantan

mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan

dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang

mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik

dari daun-daunan maupun semak. Setiap pagi burung jantan selalu menari di

tempat ini, jika ada gangguan dengan cepat lari masuk kedalam semak dan hutan

(32)

Aktivitas Harimau Sumatera dan Satwa Mangsanya

Pola aktivitas Harimau Sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas

satwa mangsa, yaitu krepuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan dan

pelanduk) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut

berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau

sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak

beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan

perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama

(Hutajulu, 2007).

Hewan nokturnal adalah binatang yang melakukan aktifitas di malam hari.

Sedangkan siang hari bagi binatang nokturnal adalah waktu untuk beristirahat

(tidur). Lawan dari hewan

aktifitas pada siang hari dan malam harinya digunakan untuk istirahat. Selain

nokturnal dan diurnal juga masih terdapat binatang-binatang yang mempunyai

waktu beraktifas tertentu seperti hewan matutinal (fajar menjelang pagi), hewan

krepuskular (senja menjelang malam), dan hewan metaturnal (aktif di sebagian

malam juga sebagian siang) (Alamendah, 2010).

Pada siang hari, kemungkinan harimau memangsa jenis-jenis yang

melakukan aktivitas seperti Babi Hutan, Beruk dan Kijang, dan pada malam hari

melakukan pemangsaan terhadap Rusa dan Kancil (Hutajulu, 2007). Babi

sebagian besar aktif pada malam hari, tetapi juga secara periodik pada siang hari,

terutama ketika cuaca sejuk. Beruk dan kijang adalah hewan yang aktif pada siang

hari. Kancil aktif pada malam dan siang hari. Rusa aktif terutama pada malam

(33)

pada siang dan malam hari.Trenggiling dan landak umumnya aktif pada malam

hari, siang hari trenggiling tidur di liang bawah tanah (Payne dkk, 2000).

Piramida Makanan

Di dalam struktur piramida makanan, harimau terletak paling atas atau

dikenal dengan top predator, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap

kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan

terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi

hewan mangsa (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai

makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang berperan penting dalam

keseimbangan ekosistem. Keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan

dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah

menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan

mangsa (Woodroffe dan Ginsberg, 1998).

Camera Trap

Untuk melakukan monitoring mamalia besar dengan perilaku menghindar

(elusive) dan menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera digunakan perangkap

kamera (camera trap). Camera trap dapat memberikan data akurat di antaranya

keberadaan jenis, sebaran, aktivitias satwa, daerah jelajah dan sebagainya

(Hutajulu, 2007).

Kelimpahan harimau sumatera di alam sangat sulit untuk ditaksir. Hal ini

(34)

dan secara alamiah memiliki kepadatan yang rendah. Harimau sangat sulit

dijumpai secara langsung di alam, maka kemungkinan memperoleh foto harimau

menjadi sangat rendah. Oleh karena itu, camera trap harus ditempatkan pada

lokasi-lokasi dimana kemungkinan mendapatkan foto harimau lebih tinggi.

Namun demikian, sejauh ini belum ada rekomendasi mengenai jumlah set data

minimum yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya

(Wibisono, 2007).

Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG merupakan sebuah system yang saling berangkaian satu dengan yang

lain. BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir

dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang

didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,

menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi

geografi. Dengan demikian, basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam

bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi.

Analisis SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras

computer, dan software pendukung (Budiyanto, 2002).

Pemetaan kesesuaian habitat satwaliar (Wildlife habitat suitability

mapping) merupakan suatu analisis hubungan komplek diantara beberapa variasi

faktor lingkungan yang tersedia dalam bentuk geografis. Model kesesuaian habitat

setiap spesies satwaliar yang menjadi spesies kunci (key spesies) suatu kawasan

konservasi telah terlebih dahulu diidentifikasi. Setiap model membutuhkan data

kondisi makanan dan tutupan vegetasi. Faktor lainnya yang diperlukan adalah tipe

(35)

lain-lain. Analisis ini menjalankan setiap model dalam GIS dengan tujuan untuk

mengidentifikasi kawasan-kawasan yang sangat dan cukup sesuai sebagai habitat

satwaliar kunci tersebut. Dalam system zonasi, studi/analisis ini sangat cocok

dalam menentukan kawasan zona inti suatu taman nasional (Ayudi, 2009).

Hutan Hujan Tropika

Salah satu formasi hutan di Indonesia adalah hutan hujan tropika.

Berdasarkan ketinggian, hutan hujan tropika terbagi menjadi 3 zone yaitu : Hutan

hujan bawah (2-1000 mdpl), Hutan hujan tengah (1000-3000 mdpl) dan hutan

hujan atas (3000-4000 mdpl). Jenis pohon pada hutan hujan bawah terdiri dari

suku Dipterocarpaceae. Jenis pohon hutan hujan tengah terdiri dari suku

Lauraceae, Fagaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, dan Ericaceae. Jenis

pohon hujan hujan atas terdiri dari suku Conifer, Ericaceae, Loptospermum,

Clearia dan Quercus (Onrizal dan Kusmana, 2005).

Vegetasi hutan dataran rendah memiliki keunikan tersendiri. Dua

karakteristik utama yang membedakan hutan dataran rendah dengan bioma

terestrial lainnya adalah tingginya kerapatan jenis pohon dan status konservasi

tumbuhannya yang hampir sebagian besar dikategorikan jarang secara lokal

(Clark dkk., 1999). Komposisi jenis dan keanekaragaman tumbuhan di hutan

tergantung pada beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban, nutrisi, cahaya

matahari, topografi, batuan induk, karateristik tanah, struktur kanopi dan sejarah

tataguna lahan (Hutchincson dkk., 1999).

Hutan Primer mengacu pada tidak disentuh, hutan murni yang ada dalam

kondisi aslinya. Hutan ini belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Hutan hujan

(36)

beberapa lapis. Lantai hutan umumnya dari vegetasi berat karena kanopi yang

penuh memungkinkan cahaya masuk yang sangat kecil. Hutan primer adalah jenis

yang paling beragam secara hayati hutan. Hutan sekunder adalah hutan yang telah

terganggu dalam beberapa cara, alami maupun buatan. Hutan sekunder dapat

dibuat dalam beberapa cara, dari hutan terdegradasi pulih dari tebang pilih, ke

daerah dibersihkan dengan garis miring dan bakar pertanian yang telah

direklamasi oleh hutan. Umumnya, hutan sekunder ditandai (tergantung tingkat

degradasi) oleh struktur kanopi kurang berkembang, pohon-pohon yang lebih

(37)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 s.d. April 2011.

Pemasangan camera trap dilakukan pada dua grid, yaitu Grid N25W27 (Grid I)

dan N26W26 (Grid II) yang berada di areal Taman Nasional Gunung Leuser

SPTN Wilayah VI Besitang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

(Gambar 1).

Gambar 2. Lokasi penelitian

Bahan dan Alat Penelitian

Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah Peta Kelas Ketinggian

SPTN Wilayah VI Besitang, Peta Tipe Tutupan Lahan SPTN Wilayah VI

(38)

Panthera, GPS Garmin 76CSX, kompas, kamera digital, laptop dengan program

Arcview 3.3, meteran, dan alat tulis.

Gambar 3. Camera trap tipe Panthera

Prosedur Penelitian

Penentuan sampling

Populasi dari penelitian ini adalah Taman Nasional Gunung Leuser SPTN

Wilayah VI Besitang dengan luas 125.825 Ha. Penelitian ini menggunakan petak

contoh (grid) dengan luas 28900 Ha (17 km x 17 km) sebagai sampel, dengan

pertimbangan bahwa daerah jelajah terluas harimau di Asia Tenggara

diperkirakan 250 km2. Oleh sebab itu, penentuan petak seluas 289 km2

diperkirakan cukup luas untuk memungkinkan penaksiran penggunaan wilayah

yang sebenarnya oleh harimau (Wibisono, 2007). Tiap petak diberi identitas (ID

Petak) untuk kepentingan pengelolaan data. Sistem petak (grid system) yang

meliputi seluruh pulau Sumatera telah dikembangkan oleh proyek konservasi

(39)

lain, seperti ZSL, FFI, dan WWF-Riau, dan saat ini telah digunakan untuk survai

mamalia besar di seluruh Pulau Sumatera. Setiap petak dibagi menjadi 16 anak

petak (sel) berukuran identik 4,25 km x 4,25 km (atau dengan luas 1.806,25 Ha).

Penggunaan camera trap

Pada tiap sel dipasang dua buah camera trap yang saling berhadapan

dengan jarak 7-10 meter, sehingga total kamera yang terpasang adalah 32 unit.

Penentuan lokasi pemasangan camera trap berdasarkan atas temuan jejak satwa

yang paling dominan. Jarak rata-rata camera trap antar sel adalah 3-6 km. Jarak

rata-rata ini sesuai dengan penelitian menggunakan camera trap di daerah hutan

tropis lainnya dan juga sesuai rekomendasi dari WCS Program India. Camera trap

akan diaktifkan selama 2 periode dengan lama waktu tiap periode adalah 30 hari,

sehingga total hari aktif kamera adalah 2 bulan.

Matriks deteksi

Matriks deteksi atau dikenal dengan istilah detection matrix adalah matriks

sejarah rekam dari individu yang berbeda yang terekam camera trap setidaknya

satu kali. Indivudu yang terekam camera trap akan dicatat dalam tabel matriks 17 km

17 km

4,25 km

4,25 km

(40)

deteksi. Matriks deteksi terdiri dari baris yang mewakili individu ulangan. Setiap

baris di dalam matriks deteksi terdiri beberapa kolom dari angka “0” dan “1”,

masing-masing mewakili tidak terekam dan terekam (Wibisono, 2007).

Penentuan koordinat satwa

Satwa mangsa harimau yang tertangkap kamera akan diambil titik

koordinatnya dengan menggunakan GPS Garmin 76CSX. Koordinat tersebut

dapat diperoleh dari titik koordinat kamera yang merekam satwa. Koordinat

tersebut kemudian dicatat dalam tabel koordinat satwa di program Microsoft

Excel 2003 dan disimpan dalam bentuk DBF 4.

Pengolahan data spasial sebaran satwa

Pengolahan data spasial sebaran satwa mangsa harimau sumatera

dilakukan dengan menggunakan aplikasi Arcview 3.3. Data koordinat satwa dari

Tabel 2 yang telah dikerjakan pada program Microsoft Excel 2003 dan disimpan

dalam file DBF 4 akan dikonversi menjadi file Shapefile pada program Arcview

3.3. Kemudian koordinat tersebut akan di-overlay-kan dengan Peta kelas

ketinggian SPTN Wilayah VI Besitang, Peta tipe tutupan lahan SPTN Wilayah VI

Besitang, dan Peta administrasi SPTN Wilayah VI Besitang, sehingga akan

dihasilkan peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian

tempat (mdpl) dan peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe

tutupan lahan. Proses pengolahan data spasial disajikan dalam bentuk bagan alur

(41)

Gambar 5. Bagan Alur Proses pengolahan data spasial

Frekuensi kemunculan satwa

Satwa yang terekam akan diketahui frekuensi kehadirannya dengan

melihat foto yang ada. Kehadiran satwa dilihat berdasarkan ketinggian tempat

(mdpl) dan tipe tutupan lahan. kelas ketinggian yang digunakan adalah 0-500

mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, dan 1.500-2.000

mdpl.

Data koordinat satwa dari Tabel 2 pada Ms. Excel (file dbf)

Konversi data koordinat satwa pada Arcview 3.3 (file shp)

Overlay:

• Peta kelas ketinggian SPTN Wil.VI Besitang • Peta administrasi SPTN Wil.VI Besitang

Overlay:

• Peta tipe tutupan lahan SPTN Wil.VI Besitang • Peta administrasi SPTN Wil.VI Besitang

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi pemasangan camera trap

Berdasarkan metode yang digunakan untuk memetakan satwa mangsa

harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan menggunakan camera trap,

penelitian ini dilakukan pada 2 grid penelitian, yaitu Grid N25W27 (Grid I) dan

Grid N26W26 (Grid II), dengan jumlah sel yang terpasang camera trap pada

masing-masing grid adalah 16 sel, sehingga total seluruhnya adalah 32 sel.

Namun, penambahan grid dilakukan (yaitu Grid N26W27/Grid III) karena pada

beberapa sel pada Grid II tidak dimungkinkan untuk dilakukan pemasangan

camera trap, sehingga digantikan dengan beberapa sel pada Grid III yang masih

bersebelahan dengan Grid II.

Ada 6 sel yang tidak dipasang camera trap pada Grid II, yaitu Sel 20, Sel

24, Sel 27, Sel 28, Sel 31, dan Sel 32. Pada Sel 20 tidak dipasang camera trap

karena sel tersebut berada di luar kawasan TNGL, sedangkan pada sel-sel yang

lainnya karena telah terjadi perambahan hutan pada lokasi tersebut, sehingga

camera trap tidak dipasang dengan alasan keamanan. Sebagai gantinya, camera

trap dipasang di 6 sel pada Grid III yang bersebelahan dengan Grid II, yaitu Sel

39, Sel 40, Sel 43, Sel 44, Sel 47, dan Sel 48.

Selama camera trap terpasang di lokasi penelitian, terdapat satu sel yang

kehilangan camera trap, yaitu Sel 40 pada Grid III. Camera trap tersebut

diketahui hilang pada saat dilakukan pengecekan, dan belum ditemukan sampai

saat ini. Diduga yang mengambil camera trap tersebut adalah pemburu satwa liar,

(43)
(44)

Camera trap dipasang pada berbagai tipe tutupan lahan dan ketinggian

tempat (mdpl). Data koordinat pemasangan camera trap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian

Grid Sel

Koordinat

Ketinggian

(mdpl) Tipe Tutupan Lahan Bujur Timur

Hasil camera trap menunjukkan bahwa sebaran satwa mangsa harimau

berbeda-beda tiap jenisnya. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa

(45)
(46)

Data pada Sel 40 Grid III tidak diperoleh dikarenakan camera trap yang

hilang. Akibatnya, terjadi kekosongan data mengenai keberadaan harimau

sumatera maupun satwa mangsanya pada lokasi tersebut.

Harimau sumatera terekam hanya pada Grid I, yaitu pada Sel 6, Sel 7, Sel

10, Sel 11, Sel 14, dan Sel 15, sedangkan satwa mangsa yang juga terekam pada

sel-sel tersebut adalah kijang, rusa sambar, beruang madu, babi hutan, beruk,

landak, dan kuau raja. Pada Grid II dan Grid III tidak terekam harimau sumatera,

namun satwa mangsa harimau sumatera yang terekam pada grid tersebut lebih

banyak dibandingkan dengan Grid I. Hal tersebut dapat disebabkan oleh

ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan yang ada pada Grid II dan Grid III lebih

sesuai bagi kelangsungan hidup satwa mangsa harimau sumatera.

Satwa mangsa harimau sumatera paling banyak ditemukan di hutan

sekunder. Sementara harimau sumatera hanya ditemukan di hutan primer. Hal

tersebut dapat dipengaruhi oleh lokasi penelitian yang dahulunya merupakan

bekas HPH PT. Raja Garuda Mas yang rusak parah pada tahun 1980-an. Akibat

tingginya aktifitas manusia pada saat itu diduga menjadi penyebab harimau

sumatera yang berada di lokasi tersebut menghindar dan pindah ke tempat yang

tidak ada aktifitas manusia, yaitu pada ketinggian yang lebih tinggi dari daerah

asalnya dengan kondisi hutan yang masih alami (hutan primer). Diduga hingga

saat ini harimau sumatera cenderung tidak menjelajah sampai ke daerah asalnya

yang saat ini telah berubah menjadi hutan sekunder. Hal tersebut sangat berbeda

dengan satwa mangsanya yang lebih menyukai hutan sekunder karena

ketersediaan sumber pakan yang sangat banyak bagi satwa mangsa tersebut yang

(47)

hutan sekunder tersebut juga sangat sesuai sebagai habitat bagi satwa mangsa

harimau sumatera. Apabila kondisi tersebut tetap bertahan, maka akan berakibat

pada ekosistem yang tidak seimbang akibat pertumbuhan satwa mangsa harimau

sumatera yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan harimau sumatera di lokasi

tersebut. Berbeda halnya dengan harimau sumatera yang cukup kesulitan untuk

mendapatkan mangsa pada daerah jelajahnya akibat tipe habitat yang berbeda

antara harimau sumatera dengan satwa mangsanya. Dengan demikian,

lama-kelamaan satwa mangsa harimau sumatera pada lokasi tersebut akan menjadi

hama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Untuk itu, perlu adanya tindakan serius yang melibatkan semua pihak

yang berhubungan, yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan

masyarakat yang berada di sekitar hutan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah

peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan beserta

seluruh yang termasuk di dalamnya dan peningkatan taraf hidup masyarakat

sehingga masyarakat tidak akan mengambil sesuatu dari hutan secara illegal.

Dengan berkurangnya aktifitas manusia di hutan diduga dapat mendukung upaya

konservasi harimau sumatera beserta satwa mangsanya di lokasi tersebut.

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera

Satwa mangsa harimau sumatera yang tertangkap oleh camera trap

dipetakan berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Lokasi

kemunculan satwa yang beragam baik menurut kelas ketinggian tempat maupun

(48)

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian

tempat (mdpl) dapat dilihat pada Gambar 7.

(49)

Rusa sambar hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500

mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 8 titik

kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 2 titik

kemunculan. Ketinggian tempat dimana rusa sering muncul adalah 0-1.000 mdpl.

Pada ketinggian tersebut, habitat rusa sambar yang ada di lokasi penelitian

didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae. Rusa sambar sangat

cocok hidup pada habitat tersebut, karena sangat banyak tumbuhan yang

menghasilkan buah yang merupakan pakan dari satwa ini. Hasil tersebut sesuai

dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa rusa sambar paling

umum terdapat di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi

di daerah berlereng curam dan di hutan rawa. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa

Rusa Sambar hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi

kelangsungan hidupnya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang

menyatakan bahwa Rusa sering mengunjungi sumber mineral alami.

Babi hutan hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl

dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 11 titik

kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik

kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa Babi Hutan hidup tidak jauh

dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa di kawasan

hutan yang luas, secara periodik babi hutan membentuk kelompok yang sangat

besar yang berjalan sangat jauh untuk mencari makanan, berenang menyeberangi

(50)

Kijang muncul pada empat kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan

500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl

terdapat 11 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 1

titik kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 4 titik

kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kijang hidup tidak jauh dari

sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Kancil muncul pada satu kelas ketinggian saja, yaitu 0-500. Pada kelas

ketinggian tersebut terdapat 8 titik kemunculan. Gambar di atas juga menunjukkan

bahwa kancil hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi

kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ihsan (2010) yang

menyatakan bahwa habitat kancil (Tragulus javanicus) di hutan primer dan

sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki bukit

tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat.

Beruk muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan

500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan,

sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 6 titik kemunculan.

Gambar 7 juga menunjukkan bahwa beruk hidup tidak jauh dari sungai yang

merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Supriatna dan Wahyono (2000) bahwa jenis macaca ini hidup di hutan

primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai, hutan rawa atau

dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian lebih kurang 1.000

mdpl. Beruk paling banyak muncul pada ketinggian 0-500 mdpl karena pada

ketinggian tersebut banyak terdapat pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae

(51)

Mackinnon dkk. (2000), buah yang disukai primata termasuk manggis, rambutan

dan juga durian, yaitu buah-buah yang juga dihargai orang dan dipilih untuk

dibudidayakan.

Landak muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan

500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan,

sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan.

Gambar 7 juga menunjukkan bahwa landak hidup tidak jauh dari sungai yang

merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Trenggiling muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan

1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 1 titik kemunculan,

sedangkan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 1 titik kemunculan.

Gambar 7 juga menunjukkan bahwa trenggiling hidup tidak jauh dari sungai yang

merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Beruang madu muncul pada tiga kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl,

500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl

terdapat 5 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik

kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 2 titik

kemunculan. Gambar 8 juga menunjukkan bahwa beruang madu hidup tidak jauh

dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Kuau raja muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan

500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 9 titik kemunculan,

sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 5 titik kemunculan.

Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kuau raja hidup tidak jauh dari sungai yang

(52)

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan

lahan dapat dilihat pada Gambar 8.

(53)

Rusa sambar hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan

primer dan hutan sekunder. Rusa sambar lebih banyak dijumpai di hutan

sekunder, delapan dari sepuluh lokasi temuan rusasambar terdapat di hutan

sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan

sekunder terdapat 8 titik kemunculan. Kemunculan rusa sambar yang lebih

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang

masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Di hutan

sekunder juga banyak terdapat rerumputan yang juga merupakan bahan makanan

bagi satwa ini. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) Makanannya

meliputi rumput-rumputan, perdu, dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan

buah-buahan yang jatuh.

Babi hutan hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan

primer dan hutan sekunder. Babi hutan paling banyak dijumpai di hutan sekunder.

Dari 18 lokasi temuan babi hutan, yaitu 16 lokasi kemunculan berada di hutan

sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan

sekunder terdapat 16 titik kemunculan. Kemunculan babi hutan yang lebih

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang

masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini

sesuai dengan Payne (2000) bahwa makanannya meliputi buah-buahan yang jatuh

dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya, cacing tanah, dan

binatang kecil lainnya. Hutan sekunder yang ada di lokasi penelitian didominasi

oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae karena masih berada pada

ketinggian 0-1.000 mdpl. Sebagian besar jenis pohonnya berbuah, sehingga

(54)

sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa di daerah

dimana hutan telah terfragmentasi menjadi petak-petak kecil, populasi kecil

menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan kebun.

Kijang hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer

dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 3 titik kemunculan, sedangkan di

hutan sekunder terdapat 13 titik kemunculan. Kemunculan kijang yang lebih

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang

masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini

sesuai dengan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanannya meliputi

dedaunan muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh

(termasuk yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae).

Kancil hanya muncul pada satu tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan

sekunder. Di tipe tutupan lahan ini terdapat 8 titik kemunculan. Seluruh lokasi

kemunculan satwa ini berada di hutan sekunder, yang 5 lokasi di antaranya berada

dekat dengan semak belukar dan kebun masyarakat. Keberadaan kancil yang

hanya ada di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon

yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) bahwa makanan kancil

meliputi buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Terdapat di hutan

yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki kebun-kebun dan semak

belukar.

Beruk hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer

dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 1 titik kemunculan, sedangkan di

(55)

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang

masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan beruk

meliputi buah-buahan yang masak, vertebrata dan invertebrate kecil.

Landak hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer

dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di

hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan landak yang lebih

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya jenis buah-buahan

dan tunas tumbuhan muda yang merupakan bahan makanan bagi satwa ini. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa biasanya landak

memakan buah-buahan yang jatuh, termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas.

Terdapat di hutan dan lahan budidaya.

Trenggiling hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan

primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan,

sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan

trenggiling di hutan primer dan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh

banyaknya serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan

bagi kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne

(2000) yang menyatakan bahwa makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang

diambil dari sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah.

Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder, dan lahan budidaya

termasuk kebun-kebun.

Beruang madu hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan

(56)

sedangkan di hutan sekunder terdapat 9 titik kemunculan. Kemunculan beruang

madu yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya

serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan bagi

kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000)

yang menyatakan bahwa makanan beruang madu meliputi seluruh sarang lebah,

rayap, binatang kecil, dan buah-buahan.

Kuau raja hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan

primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan,

sedangkan di hutan sekunder terdapat 12 titik kemunculan. Kemunculan kuau raja

yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh keberadaan pohon

pakan yang ada di hutan sekunder lebih banyak dibandingkan di hutan primer.

Pada lokasi kemunculan satwa ini merupakan hutan sekunder, dimana pepohonan

belum begitu besar dan banyak sekali ruang-ruang kecil yang biasanya sering

digunakan kuau raja sebagai lokasi untuk menari-nari sambil memamerkan

keindahan corak yang ada pada bulunya. Menurut Alikodra (2010), kuau jantan

mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan

dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang

mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik

dari daun-daunan maupun semak.

Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap

1. Rusa Sambar (Cervus unicolor)

Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa rusa sambar

mempunyai bagian tubuh atas berwarna coklat abu-abu dengan variasi pola warna

(57)

pada malam hari, pagi hari, dan menjelang petang. Gambar rusa sambar yang

terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di Sel 17 Grid II

Rusa sambar hanya muncul di 10 titik dari 32 titik yang terpasang camera

trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak

terlalu banyak.

2. Babi Hutan (Sus scrofa)

Babi hutan cukup sering muncul di lokasi penelitian. Gambar babi hutan

yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Gambar babi hutan sambar hasil camera trap di Sel 21 Grid II

Babi hutan muncul di 18 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian

(58)

3. Kijang (Muntiacus muntjac)

Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa kijang mempunyai

tubuh bagian atas tengguli, agak lebih gelap sepanjang garis punggung, bagian

bawah keputih-putihan, sering berulas abu-abu. Ekor coklat tua diatas, putih

dibawah. Gambar kijang yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Gambar kijang hasil camera trap di Sel 18 Grid II

Kijang cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan

dari kemunculan satwa ini di 16 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian

cukup banyak.

4. Kancil (Tragulus javanicus)

Menurut Alamendah (2010) kancil mempunyai panjang tubuh sekitar

20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil atau Pelanduk berwarna coklat kemerahan,

sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada bagian tubuh

lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah,

tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua. Gambar

(59)

Gambar12. Gambar kancil hasil camera trap di Sel 23 Grid II

Kancil hanya muncul di 8 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.

Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak terlalu

banyak.

5. Beruk (Macaca nemestrina)

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) panjang ekor beruk lebih kurang

sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut dari coklat sampai coklat

kekuningan dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Panjang tubuh 450 –

600 mm. Gambar beruk yang terekam camera trap ditunjukkan pada gambar

berikut.

Gambar 13. Gambar beruk hasil camera trap di Sel 23 Grid II

(60)

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian

cukup banyak.

6. Landak (Hystrix brachyura)

Landak Menurut Wildlife (2010) duri – duri dibagian atas badannya kasar

dan liar seta berwarna putih. Dan hitam atau berjalur kekuning-kuningan.

Duri-duri dibagian bawah badannya jauh lebih halus, jarang, pendek dan berwarna

hitam. Landak mempunyai empat kuku pada kaki depan dan lima kuku pada kaki

belakang. Gambar landak yang terekam camera trap ditunjukkan pada

Gambar 14.

Gambar 14. Gambar landak hasil camera trap di Sel 18 Grid II

Landak cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan

dari kemunculan satwa ini di 21 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian

cukup banyak.

7. Trenggiling (Manis javanica)

Menurut Veevers dan Carter (1987) trenggiling, satu-satunya jenis

mamalia di asia yang bersisik. Tetapi sisik itu sendiri sebetulnya adalah semacam

(61)

punggung, rusuk, kaki, kepala, dan ekor binatang itu. Rambut yang normal, tetapi

kasar, tumbuh juga pada bagian bawah atau di sela-sela sisik. Pinggir luar sisik itu

sangat keras dan tajam. Gambar trenggiling yang terekam camera trap

ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Gambar trenggiling hasil camera trap di Sel 19 Grid II

Trenggiling sangat jarang muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat

dibuktikan dari kemunculan satwa ini yang hanya muncul di 2 titik dari 32 titik

yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan

satwa ini di lokasi penelitian sangat sedikit. Sedikitnya kemunculan Trenggiling

dapat diprediksi bahwa populasi satwa ini di lokasi penelitian sangat sedikit. Hal

itu dapat disebabkan oleh perburuan liar terhadap satwa ini, karena harganya yang

mahal. Perburuan satwa liar dan dilindungi masih terjadi di lokasi penelitian.

Dugaan tersebut diperkuat oleh hilangnya dua unit camera trap yang sedang aktif

di lokasi penelitian.

8. Beruang Madu (Helarctos malayanus)

Gambar beruang madu yang terekam camera trap ditunjukkan pada

Gambar

Gambar rusa sambar  hasil camera trap di lokasi penelitian .................
Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera
Gambar 2. Lokasi penelitian
Gambar 3. Camera trap tipe Panthera
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang dibelajarkan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe talking

Berorientasi Objek Ismi Amalia, S.Si., M.Kom.. Said

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD sebagaimana

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proyek CCDP – IFAD adalah faktor pendidikan, pekerjaan sampingan,

[r]

Keluaran dari penelitian ini adalah sebuah algoritma perencanaan waktu replenishment pada pengendalian persediaan material di sistem produksi continuous flowshop

Pada periode kedua keislaman ikhwan mantan preman, selain mereka bertemu para asatid yang tergabung dalam harokah, mereka juga bergabung dengan laskar.. Pada kondisi ini,

Produk yang akan dihasilkan dalam usaha ini adalah makanan ringan berupa dawet yang dibuat dengan memanfaatkan Jagung, yang digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan Jagung..