• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi pemasangan camera trap

Berdasarkan metode yang digunakan untuk memetakan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan menggunakan camera trap, penelitian ini dilakukan pada 2 grid penelitian, yaitu Grid N25W27 (Grid I) dan Grid N26W26 (Grid II), dengan jumlah sel yang terpasang camera trap pada masing-masing grid adalah 16 sel, sehingga total seluruhnya adalah 32 sel. Namun, penambahan grid dilakukan (yaitu Grid N26W27/Grid III) karena pada beberapa sel pada Grid II tidak dimungkinkan untuk dilakukan pemasangan

camera trap, sehingga digantikan dengan beberapa sel pada Grid III yang masih

bersebelahan dengan Grid II.

Ada 6 sel yang tidak dipasang camera trap pada Grid II, yaitu Sel 20, Sel 24, Sel 27, Sel 28, Sel 31, dan Sel 32. Pada Sel 20 tidak dipasang camera trap karena sel tersebut berada di luar kawasan TNGL, sedangkan pada sel-sel yang lainnya karena telah terjadi perambahan hutan pada lokasi tersebut, sehingga

camera trap tidak dipasang dengan alasan keamanan. Sebagai gantinya, camera trap dipasang di 6 sel pada Grid III yang bersebelahan dengan Grid II, yaitu Sel

39, Sel 40, Sel 43, Sel 44, Sel 47, dan Sel 48.

Selama camera trap terpasang di lokasi penelitian, terdapat satu sel yang kehilangan camera trap, yaitu Sel 40 pada Grid III. Camera trap tersebut diketahui hilang pada saat dilakukan pengecekan, dan belum ditemukan sampai saat ini. Diduga yang mengambil camera trap tersebut adalah pemburu satwa liar, karena menurut masyarakat masih sering terjadi perburuan satwa di lokasi

Camera trap dipasang pada berbagai tipe tutupan lahan dan ketinggian tempat (mdpl). Data koordinat pemasangan camera trap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian

Grid Sel

Koordinat

Ketinggian

(mdpl) Tipe Tutupan Lahan Bujur Timur (BT) Lintang Utara (LU) I 1 97° 54' 43" 3° 49' 38" 1870 Hutan Sekunder I 2 97° 55' 51" 3° 49' 08" 1038 Hutan Sekunder I 3 97° 58' 42" 3° 49' 43" 846 Hutan Sekunder I 4 98° 00' 22" 3° 50' 08" 247 Hutan Sekunder I 5 97° 54' 27" 3° 46' 14" 736 Hutan Primer I 6 97° 55' 22" 3° 46' 16" 1972 Hutan Primer I 7 97° 57' 16" 3° 46' 31" 947 Hutan Primer I 8 97° 59' 43" 3° 46' 25" 1717 Hutan Sekunder I 9 97° 54' 39" 3° 44' 07" 2192 Hutan Primer I 10 97° 56' 16" 3° 43' 52" 1798 Hutan Primer I 11 97° 59' 07" 3° 44' 45" 706 Hutan Primer I 12 98° 00' 43" 3° 44' 04" 609 Hutan Sekunder I 13 97° 54' 27" 3° 43' 39" 1965 Hutan Primer I 14 97° 58' 22" 3° 43' 03" 1710 Hutan Primer I 15 97° 58' 31" 3° 42' 58" 539 Hutan Primer I 16 98° 00' 19" 3° 42' 49” 430 Hutan Sekunder II 17 98° 03' 03" 3° 58' 13" 106 Hutan Sekunder II 18 98° 04' 28" 3° 58' 42" 80 Hutan Sekunder II 19 98° 06' 23" 3° 57' 46" 71 Hutan Sekunder II 21 98° 03' 14" 3° 56' 47" 72 Hutan Sekunder II 22 98° 04' 48" 3° 56' 26" 95 Hutan Sekunder II 23 98° 06' 27" 3° 56' 47" 57 Hutan Sekunder II 25 98° 03' 21" 3° 54' 45" 60 Hutan Sekunder II 26 98° 04' 47" 3° 55' 04" 118 Hutan Sekunder II 29 98° 02' 46" 3° 52' 23" 104 Hutan Sekunder II 30 98° 04' 36" 3° 52' 27" 98 Hutan Sekunder

III 39 97° 58' 33" 3° 55' 59" 470 Hutan Sekunder

III 40 98° 00' 56" 3° 56' 38" 89 Hutan Sekunder

III 43 97° 58' 29" 3° 53' 15" 757 Hutan Sekunder

III 44 98° 00' 39" 3° 54' 10" 144 Hutan Sekunder

III 47 97° 59' 08" 3° 51' 58" 599 Hutan Sekunder

III 48 98° 00' 54" 3° 51' 26" 110 Hutan Sekunder

Matriks deteksi

Hasil camera trap menunjukkan bahwa sebaran satwa mangsa harimau berbeda-beda tiap jenisnya. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya

Jenis Satwa

Grid I Grid II Grid III

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 25 26 29 30 39 40 43 44 47 48 Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Rusa sambar (Cervus unicolor) 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 Babi hutan (Sus barbatus) 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 Kijang (Muntiacus muntjak) 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 Kancil (Tragulus javanicus) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 Beruk (Macaca nemestrina) 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Landak (Hystrix brachyura) 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Trenggiling (Manis javanica) 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Beruang madu (Helarctos malayanus) 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 Kuau raja (Argusianus argus) 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 Total Jenis 1 1 5 5 2 2 3 5 0 3 6 5 0 2 6 6 5 6 2 6 5 6 5 5 7 8 4 4 5 4 5

Data pada Sel 40 Grid III tidak diperoleh dikarenakan camera trap yang hilang. Akibatnya, terjadi kekosongan data mengenai keberadaan harimau sumatera maupun satwa mangsanya pada lokasi tersebut.

Harimau sumatera terekam hanya pada Grid I, yaitu pada Sel 6, Sel 7, Sel 10, Sel 11, Sel 14, dan Sel 15, sedangkan satwa mangsa yang juga terekam pada sel-sel tersebut adalah kijang, rusa sambar, beruang madu, babi hutan, beruk, landak, dan kuau raja. Pada Grid II dan Grid III tidak terekam harimau sumatera, namun satwa mangsa harimau sumatera yang terekam pada grid tersebut lebih banyak dibandingkan dengan Grid I. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan yang ada pada Grid II dan Grid III lebih sesuai bagi kelangsungan hidup satwa mangsa harimau sumatera.

Satwa mangsa harimau sumatera paling banyak ditemukan di hutan sekunder. Sementara harimau sumatera hanya ditemukan di hutan primer. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh lokasi penelitian yang dahulunya merupakan bekas HPH PT. Raja Garuda Mas yang rusak parah pada tahun 1980-an. Akibat tingginya aktifitas manusia pada saat itu diduga menjadi penyebab harimau sumatera yang berada di lokasi tersebut menghindar dan pindah ke tempat yang tidak ada aktifitas manusia, yaitu pada ketinggian yang lebih tinggi dari daerah asalnya dengan kondisi hutan yang masih alami (hutan primer). Diduga hingga saat ini harimau sumatera cenderung tidak menjelajah sampai ke daerah asalnya yang saat ini telah berubah menjadi hutan sekunder. Hal tersebut sangat berbeda dengan satwa mangsanya yang lebih menyukai hutan sekunder karena ketersediaan sumber pakan yang sangat banyak bagi satwa mangsa tersebut yang umumnya menyukai dedaunan muda dan buah-buahan. Ketinggian tempat pada

hutan sekunder tersebut juga sangat sesuai sebagai habitat bagi satwa mangsa harimau sumatera. Apabila kondisi tersebut tetap bertahan, maka akan berakibat pada ekosistem yang tidak seimbang akibat pertumbuhan satwa mangsa harimau sumatera yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan harimau sumatera di lokasi tersebut. Berbeda halnya dengan harimau sumatera yang cukup kesulitan untuk mendapatkan mangsa pada daerah jelajahnya akibat tipe habitat yang berbeda antara harimau sumatera dengan satwa mangsanya. Dengan demikian, lama-kelamaan satwa mangsa harimau sumatera pada lokasi tersebut akan menjadi hama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Untuk itu, perlu adanya tindakan serius yang melibatkan semua pihak yang berhubungan, yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat yang berada di sekitar hutan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan beserta seluruh yang termasuk di dalamnya dan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga masyarakat tidak akan mengambil sesuatu dari hutan secara illegal. Dengan berkurangnya aktifitas manusia di hutan diduga dapat mendukung upaya konservasi harimau sumatera beserta satwa mangsanya di lokasi tersebut.

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera

Satwa mangsa harimau sumatera yang tertangkap oleh camera trap dipetakan berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Lokasi kemunculan satwa yang beragam baik menurut kelas ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan akan terlihat pada Gambar 7 dan 8.

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Rusa sambar hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 8 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 2 titik kemunculan. Ketinggian tempat dimana rusa sering muncul adalah 0-1.000 mdpl. Pada ketinggian tersebut, habitat rusa sambar yang ada di lokasi penelitian didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae. Rusa sambar sangat cocok hidup pada habitat tersebut, karena sangat banyak tumbuhan yang menghasilkan buah yang merupakan pakan dari satwa ini. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa rusa sambar paling umum terdapat di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi di daerah berlereng curam dan di hutan rawa. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa Rusa Sambar hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa Rusa sering mengunjungi sumber mineral alami.

Babi hutan hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 11 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa Babi Hutan hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa di kawasan hutan yang luas, secara periodik babi hutan membentuk kelompok yang sangat besar yang berjalan sangat jauh untuk mencari makanan, berenang menyeberangi sungai dan mendaki jajaran gunung.

Kijang muncul pada empat kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 11 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 1 titik kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 4 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kijang hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Kancil muncul pada satu kelas ketinggian saja, yaitu 0-500. Pada kelas ketinggian tersebut terdapat 8 titik kemunculan. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa kancil hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ihsan (2010) yang menyatakan bahwa habitat kancil (Tragulus javanicus) di hutan primer dan sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki bukit tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat.

Beruk muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 6 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa beruk hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriatna dan Wahyono (2000) bahwa jenis macaca ini hidup di hutan primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai, hutan rawa atau dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian lebih kurang 1.000 mdpl. Beruk paling banyak muncul pada ketinggian 0-500 mdpl karena pada ketinggian tersebut banyak terdapat pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae yang merupakan sumber makanan utama bagi satwa ini. Menurut

Mackinnon dkk. (2000), buah yang disukai primata termasuk manggis, rambutan dan juga durian, yaitu buah-buah yang juga dihargai orang dan dipilih untuk dibudidayakan.

Landak muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa landak hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Trenggiling muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 1 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 1 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa trenggiling hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Beruang madu muncul pada tiga kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 5 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 2 titik kemunculan. Gambar 8 juga menunjukkan bahwa beruang madu hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Kuau raja muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 9 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 5 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kuau raja hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Rusa sambar hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Rusa sambar lebih banyak dijumpai di hutan sekunder, delapan dari sepuluh lokasi temuan rusasambar terdapat di hutan sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 8 titik kemunculan. Kemunculan rusa sambar yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Di hutan sekunder juga banyak terdapat rerumputan yang juga merupakan bahan makanan bagi satwa ini. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) Makanannya meliputi rumput-rumputan, perdu, dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan buah-buahan yang jatuh.

Babi hutan hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Babi hutan paling banyak dijumpai di hutan sekunder. Dari 18 lokasi temuan babi hutan, yaitu 16 lokasi kemunculan berada di hutan sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 16 titik kemunculan. Kemunculan babi hutan yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan Payne (2000) bahwa makanannya meliputi buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya, cacing tanah, dan binatang kecil lainnya. Hutan sekunder yang ada di lokasi penelitian didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae karena masih berada pada ketinggian 0-1.000 mdpl. Sebagian besar jenis pohonnya berbuah, sehingga keberadaan babi hutan masih banyak pada tipe tutupan lahan ini. Hasil tersebut

sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa di daerah dimana hutan telah terfragmentasi menjadi petak-petak kecil, populasi kecil menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan kebun.

Kijang hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 3 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 13 titik kemunculan. Kemunculan kijang yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanannya meliputi dedaunan muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh (termasuk yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae).

Kancil hanya muncul pada satu tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan sekunder. Di tipe tutupan lahan ini terdapat 8 titik kemunculan. Seluruh lokasi kemunculan satwa ini berada di hutan sekunder, yang 5 lokasi di antaranya berada dekat dengan semak belukar dan kebun masyarakat. Keberadaan kancil yang hanya ada di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) bahwa makanan kancil meliputi buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Terdapat di hutan yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki kebun-kebun dan semak belukar.

Beruk hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 1 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan beruk yang lebih

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan beruk meliputi buah-buahan yang masak, vertebrata dan invertebrate kecil.

Landak hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan landak yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya jenis buah-buahan dan tunas tumbuhan muda yang merupakan bahan makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa biasanya landak memakan buah-buahan yang jatuh, termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas. Terdapat di hutan dan lahan budidaya.

Trenggiling hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan trenggiling di hutan primer dan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan bagi kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang diambil dari sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah. Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder, dan lahan budidaya termasuk kebun-kebun.

Beruang madu hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 5 titik kemunculan,

sedangkan di hutan sekunder terdapat 9 titik kemunculan. Kemunculan beruang madu yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan bagi kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan beruang madu meliputi seluruh sarang lebah, rayap, binatang kecil, dan buah-buahan.

Kuau raja hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 12 titik kemunculan. Kemunculan kuau raja yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh keberadaan pohon pakan yang ada di hutan sekunder lebih banyak dibandingkan di hutan primer. Pada lokasi kemunculan satwa ini merupakan hutan sekunder, dimana pepohonan belum begitu besar dan banyak sekali ruang-ruang kecil yang biasanya sering digunakan kuau raja sebagai lokasi untuk menari-nari sambil memamerkan keindahan corak yang ada pada bulunya. Menurut Alikodra (2010), kuau jantan mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik dari daun-daunan maupun semak.

Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap

1. Rusa Sambar (Cervus unicolor)

Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa rusa sambar mempunyai bagian tubuh atas berwarna coklat abu-abu dengan variasi pola warna kecerahan, biasanya lebih gelap sepanjang garis punggung. Rusa sambar aktif

pada malam hari, pagi hari, dan menjelang petang. Gambar rusa sambar yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di Sel 17 Grid II

Rusa sambar hanya muncul di 10 titik dari 32 titik yang terpasang camera

trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak

terlalu banyak.

2. Babi Hutan (Sus scrofa)

Babi hutan cukup sering muncul di lokasi penelitian. Gambar babi hutan yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Gambar babi hutan sambar hasil camera trap di Sel 21 Grid II

Babi hutan muncul di 18 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.

3. Kijang (Muntiacus muntjac)

Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa kijang mempunyai tubuh bagian atas tengguli, agak lebih gelap sepanjang garis punggung, bagian bawah keputih-putihan, sering berulas abu-abu. Ekor coklat tua diatas, putih dibawah. Gambar kijang yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Gambar kijang hasil camera trap di Sel 18 Grid II

Kijang cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan dari kemunculan satwa ini di 16 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.

4. Kancil (Tragulus javanicus)

Menurut Alamendah (2010) kancil mempunyai panjang tubuh sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil atau Pelanduk berwarna coklat kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada bagian tubuh lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah, tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua. Gambar kancil yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar12. Gambar kancil hasil camera trap di Sel 23 Grid II

Kancil hanya muncul di 8 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak terlalu banyak.

5. Beruk (Macaca nemestrina)

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) panjang ekor beruk lebih kurang sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut dari coklat sampai coklat kekuningan dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Panjang tubuh 450 – 600 mm. Gambar beruk yang terekam camera trap ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 13. Gambar beruk hasil camera trap di Sel 23 Grid II

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.

6. Landak (Hystrix brachyura)

Landak Menurut Wildlife (2010) duri – duri dibagian atas badannya kasar dan liar seta berwarna putih. Dan hitam atau berjalur kekuning-kuningan. Duri-duri dibagian bawah badannya jauh lebih halus, jarang, pendek dan berwarna hitam. Landak mempunyai empat kuku pada kaki depan dan lima kuku pada kaki belakang. Gambar landak yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Gambar landak hasil camera trap di Sel 18 Grid II

Landak cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan dari kemunculan satwa ini di 21 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian

Dokumen terkait