• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (

Panthera

tigris sumatrae)

PADA LEMBAGA KONSERVASI DI

INDONESIA

ANDI EKA PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ANDI EKA PUTRA. Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia. Dibimbing oleh LIGAYA ITA TUMBELAKA.

Harimau Sumatera merupakan satu-satunya subspesies dari Panthera tigris yang masih ada di Indonesia. Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh CITES ke dalam Appendix I critically endangered oleh IUCN. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim kawin harimau Sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi di Indonesia. Data didapatkan

melalui penelusuran daya reproduksi harimau Sumatera berdasarkan studbook

harimau Sumatera regional dan internasional tahun 2004-2010. Data dianalisis secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah anak per kelahiran, musim kawin dan masa produktif. Bulan perkawinan dapat ditentukan berdasarkan bulan terjadinya kelahiran. Penghitungan bulan perkawinan didapatkan dengan cara mengurangi tanggal kelahiran anak dengan rataan lama kebuntingan harimau yang berkisar antara 95 sampai 110 hari atau lebih kurang

tiga bulan. Hasil penelusuran dari studbook didapatkan bahwa perkawinan

harimau Sumatera merata setiap bulan dalam satu tahun sehingga pada harimau Sumatera yang hidup di lembaga konservasi di Indonesia tidak mempunyai musim kawin.

(3)

ABSTRACT

ANDI EKA PUTRA. Study of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) Breeding Season in Conservation Institution in Indonesia. Under the advisory of LIGAYA ITA TUMBELAKA.

The aim of the study is to find out the reproduction pattern especially breeding season of sumateran tiger in ex-situ habitat or conservation institution (zoo and safari park) in Indonesia. The reproductive data were obtained from sumateran tiger regional and international studbook 2004-2010. The time of breeding were decided from the time of birth subtracted by the number of average pregnancy duration that range from 95 to 110 days or three months. The result of this study showed that sumateran tiger breed throughout the year; therefore, the sumatran tiger in conservation institution in Indonesia are non-seasonal breederr.

(4)

KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (

Panthera

tigris sumatrae)

PADA LEMBAGA KONSERVASI DI

INDONESIA

ANDI EKA PUTRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Musim Kawin Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia

adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

Judul Skripsi : Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia

Nama : Andi Eka Putra

NIM : B04070078

Disetujui :

Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc Pembimbing

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah,

rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan, skripsi dengan judul Kajian Musim

Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi

di Indonesia dapat diselesaikan. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat

memberikan informasi berharga mengenai musim kawin harimau Sumatera serta

usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

reproduksinya.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan

seluruh pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada

1 Allah SWT.

2 Ibunda Armilis Tin, ayahanda Margusnil Tangiran, kakanda Mera

Oktaviyanti dan Meri Oktaviyanti serta adinda Riska Amelia atas doa,

kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan sampai saat ini.

3 Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc selaku pembimbing dalam

kajian ini.

4 Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku pembimbing akademik.

5 Sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungan (Dian, Sandra, Arni,

Dara, Nisa, Inez, Niken, Yayan).

6 Rekan-rekan Gianuzzi 44 dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar atas

pengalaman dan pelajaran yang diberikan hingga saat ini.

7 Seluruh pihak yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi

(Febby, Wulan, Ati, Caca, Madu, Adek, Rendy).

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi civitas akademika maupun seluruh pembaca lainnya.

Bogor, Agustus 2011

Andi Eka Putra

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 22 Februari

1989 dari ayah Margusnil Tangiran dan ibunda Armilis Tin. Penulis merupakan

anak kedua dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan mulai dari SDN 19 Padang

Magek Selatan pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1

Rambatan dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan

pendidikan pada SMAN 3 Batusangkar dan pada tahun yang sama diterima

sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada

jurusan Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan

organisasi di dalam kampus. Organisasi dalam kampus yang diikuti oleh penulis

yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa kabinet Sinergis sebagai staf divisi PSDM

(2008-2009) Himpunan Minat Profesi Satwa Liar sebagai kadiv Internal

(2009-2010), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (imakahi) sebagai anggota

divisi Kajian Strategi (2009-2010), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang

FKH IPB dan Ikatan Mahasiswa Serambi Mekah-Pagaruyung. Selama masa

perkuliahan penulis pernah memperoleh penghargaan sebagai Runner up Duta

Lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 2010. Penulis juga

pernah menjadi panitia South East Asia Veterinary School Association

(10)

DAFTAR ISI ... i

Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian ... 6

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(14)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Harimau Sumatera merupakan hewan karnivora asli Indonesia yang

memiliki habitat di pulau Sumatera. Harimau Sumatera merupakan satu dari

sembilan subspesies Panthera tigris (Linnaeus 1758) yang ada di dunia. Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) merupakan subspesies yang

ditemukan di pulau Sumatera yang keberadaannya saat ini diperkirakan tinggal

400-500 ekor di habitatnya. Harimau Sumatera hidup di daerah dataran rendah

dan hutan pegunungan (Krech et al 2004). Selain itu, harimau Sumatera juga

ditemukan di daerah rerumputan alang-alang tinggi dan juga rawa-rawa air tawar.

Harimau Sumatera mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil daripada

jenis harimau lainnya.

Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh Convention on International Trade

in Endangered Species (CITES) ke dalam Appendix I, yakni termasuk spesies

yang terancam kepunahan dan atau mungkin terpengaruh oleh perdagangan

sedangkan berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature

(IUCN) adalah critically endangered, yakni terancam punah. Harimau Sumatera

semakin berkurang populasinya di alam liar karena perburuan liar dan juga karena

tindakan manusia yang menganggap harimau Sumatera sebagai hama yang

menghabisi ternak mereka. Baru-baru ini, satu harimau Sumatera ditangkap warga

dengan menggunakan perangkap berupa kandang dari kayu di hutan Pandawa

Lima, Desa Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kabupaten Padangpariaman,

Sumatera Barat, karena dianggap telah memangsa ternak warga (Marboen 2011).

Akibat berkurangnya habitat harimau Sumatera, hewan ini menjadi semakin

sering berkonflik dengan manusia. Selama ini tuduhan yang sering terlontar oleh

media massa yaitu harimau Sumatera yang memangsa ternak bahkan memangsa

penduduk (Kathy 1992).

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mempertahankan populasi harimau

agar tidak mengalami kepunahan. Usaha ini antara lain dengan menyelaraskan

program konservasi in-situ (di habitatnya) dan ex-situ (di luar habitatnya). Contoh

(15)

contoh habitat ex-situ yaitu lembaga konservasi seperti kebun binatang dan pusat

penyelamatan satwa. Penangkaran merupakan salah satu bentuk dari upaya

pelestarian ex-situ dengan kegiatan pengembangbiakan jenis satwaliar dan

tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan

mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di

alam dapat dipertahankan (Thohari 1986).

Indonesia yang merupakan negara tropis sebagai habitat harimau Sumatera

mempunyai curah hujan yang tinggi dan sinar matahari dengan rasio terang dan

gelap 12:12 jam. Kondisi ini berbeda dengan daerah subtropis sebagai habitat

harimau Siberia yang hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu.

Perbedaan paparan sinar matahari menyebabkan terjadinya perbedaan musim.

Mamalia biasanya memiliki musim kawin atau waktu tertentu untuk bereproduksi.

Musim kawin dapat dipengaruhi oleh lingkungan, makanan, curah hujan dan suhu

(Bronson 1998). Musim kawin dapat berpengaruh terhadap fekunditas dan litter

size pada seekor hewan. Fekunditas adalah kemungkinan kelahiran hidup dalam

satu siklus, sedangkan litter size adalah jumlah anakan yang lahir dalam sekali

kelahiran. Melihat pentingnya mengetahui musim kawin terutama bagi

penangkaran, maka dilakukan kajian untuk mengetahui musim kawin harimau

Sumatera yang ada di Lembaga Konservasi Indonesia.

Tujuan kajian

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim

kawin Harimau sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut

dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis

hitam vertikal pada tubuhnya.

Taksonomi

Klasifikasi harimau Sumatera menurut Pocock 1929 :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Carnivora

Famili : Felidae

Genus : Panthera

Spesies : Panthera tigris

Subspesies : sumatrae

Diketahui ada sembilan subspesies Panthera tigris yaitu Panthera tigris

tigris (harimau Bengala), Panthera tigris corbetti (harimau Indocina), Phantera

tigris altaica (harimau Siberia), Panthera tigris amoyensis (harimau Cina utara),

Panthera tigris virgata (harimau Caspian), Panthera tigris jacksoni (harimau

Malaya), dan tiga subspesies yang terdapat di Indonesia yaitu Panthera tigris

sumatrae (harimau Sumatera), Panthera tigris sondaica (harimau Jawa), dan

Panthera tigris balica (harimau Bali). Disayangkan tiga dari sembilan subspesies

ini dinyatakan telah punah yaitu Panthera tigris virgata (awal tahun 1970),

Panthera tigris sondaica (pertengahan tahun 1970) dan Panthera tigris balica

(sekitar tahun 1940) (IUCN 2011).

Morfologi

Harimau adalah spesies terbesar dari 36 spesies kucing, dan harimau

Sumatera mempunyai ukuran tubuh terkecil dari keseluruhan subspesies harimau

di dunia. Panjang harimau Sumatera rata-rata 2,4 meter untuk jantan dan 2,2 meter

(17)

yang mencapai antara 80-95 cm. Rata-rata berat badan untuk harimau Sumatera

jantan adalah 120 kg dan untuk betina 90 kg (Honolulu Zoo 2011). Hewan ini

mempunyai bulu sepanjang 8-11 mm, surai pada harimau Sumatera jantan

berukuran 11-13 cm.

Harimau Sumatera memiliki bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih

pendek. Dagu, bagian tenggorokan, dan bagian bawah tubuh keputih-putihan.

Warna bulunya lebih gelap dari jenis harimau lainnya dan bervariasi dari warna

kuning-kemerahan sampai oranye gelap dengan belang berwarna hitam. Belang

harimau Sumatera lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Belang harimau

berfungsi sebagai kamuflase di antara alang-alang dan rumput. Pada bagian pipi

terdapat pili yang panjang yang berguna sebagai sensor ketika bergerak di semak

belukar. Rambut-rambut panjang di bagian pipi dapat melindungi mereka dari

cabang pohon dan ranting. Bulunya berubah menjadi hijau gelap ketika

melahirkan (Tilson 1994).

Bagian tubuh ventral dan paha bagian dalam hampir berwarna putih dan

berwarna kuning terang. Kaki belakang harimau Sumatera lebih panjang

dibandingkan dengan kaki depan sehingga memudahkan dalam mengatur

keseimbangan, memanjat, melompat dan menerkam mangsa. Panjang ekor

harimau Sumatera sekitar 65-95 cm. Ekor tersebut berguna sebagai alat

keseimbangan ketika berlari dengan kecepatan tinggi dan berbelok cepat serta

digunakan untuk berkomunikasi dengan harimau lainnya (Sinaga 2004).

Alat indera harimau seperti penglihatan dan pendengaran sangat bagus.

Indera penciumannya juga berkembang dengan baik. Mata digunakan saat malam

hari ketika berjalan di hutan. Ukuran tubuhnya yang kecil memudahkan mereka

menjelajahi rimba. Mereka menggunakan jari kaki untuk berjalan. Harimau

Sumatera dapat berlari dengan kecepatan 35 mil per jam. Seperti kebanyakan

bangsa kucing, harimau Sumatera memiliki cakar yang tajam dimana cakar

tersebut digunakan untuk mencengkeram mangsa. Selain itu cakaran juga

digunakan untuk menandai daerah kekuasaan dengan membuat cakaran di pohon

atau tanah. Kegiatan ini juga berfungsi untuk mengasah kuku dan otot di sekitar

kuku. Cakar atau kuku harimau dapat ditarik kembali agar tetap tajam. Terdapat

(18)

mereka sebagai hewan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan bagus.

Harimau Sumatera dapat berenang dan menyeberangi sungai sejauh 5 mil.

Gambar 1 Harimau sumatera (WWF 2011)

Ekologi

Habitat harimau Sumatera di pulau Sumatera dan tersebar di semua provinsi

mulai dari Aceh sampai Lampung. Habitatnya meliputi hutan dataran rendah

hingga hutan pegunungan. Harimau Sumatera, seperti jenis-jenis harimau lainnya

merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan

tempat tinggalnya. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor

harimau adalah adanya kualitas yang baik untuk vegetasi cover sebagai tempat

beristirahat dan berteduh agar terlindung dari panas serta sebagai tempat untuk

membesarkan anak. Selain itu harus terdapat sumber air karena satwa ini sangat

tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang serta tersedianya mangsa

dalam jumlah yang cukup.

Tipe lokasi yang biasanya menjadi habitat pilihan harimau Sumatera

bervariasi, dengan ketinggian antara 0-3000 meter dari permukaan laut seperti

hutan hujan tropis, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran

(19)

pantai berawa payau, pantai air tawar, padang rumput, daerah datar sepanjang

aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi

oleh hutan hujan tropis, areal hutan gambut dan juga sering terlihat di daerah

perkebunan dan tanah pertanian (Sinaga 2004). Menurut Adlington (2003), hanya

harimau Sumatera liar saja yang dapat ditemukan di hutan Sumatera. Sebagian

besar harimau Sumatera yang berada di Kebun Binatang di Indonesia ataupun di

luar Indonesia merupakan harimau Sumatera yang berasal dari alam, pertukaran

antar satwa yang ada di Kebun Binatang atau sitaan dan titipan yang diberikan

oleh Departemen Kehutanan.

Harimau membutuhkan wilayah jelajah yang cukup luas. Menurut Hamaide

(2007), harimau memiliki daerah jelajah seluas 100 km2, tetapi wilayah jelajah ini

dapat bervariasi, tergantung ketersediaan makanan di suatu wilayah. Wilayah

jelajah akan mengecil jika mangsa harimau tersedia lebih dari cukup. Home range

untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km² sedangkan untuk harimau

jantan sekitar 60-100 km². Akan tetapi, angka tersebut bukan merupakan

ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh

keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya

daerah teritori harimau jantan 3-4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina.

Harimau dapat bekelana lebih dari 20 mil (32 km) pada saat malam hari

(Honolulu Zoo 2011).

Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian

Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis

satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri,

kecuali selama musim kawin atau betina memelihara anaknya. Harimau jantan

dan betina menandai wilayah mereka dengan cara membuat cakaran di tanah dan

pohon. Cakaran dibuat setelah melakukan urinasi. Pada saat urinasi harimau

Sumatera menyemprotkan urine untuk menimbulkan bau-bauan serta

meninggalkan bekas kotoran.

Harimau merupakan hewan pemakan daging atau disebut juga karnivora.

Menurut Sankhala (1997) harimau tidak akan membunuh mangsanya tanpa

(20)

Hewan yang biasanya menjadi mangsa adalah rusa Sambar, kijang, kancil, babi

hutan, dan satwa liar lainnya. Hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, domba, dan

ayam menjadi mangsa bila habitat harimau terganggu atau rusak karena manusia

tinggal di habitatnya sehingga memaksa harimau masuk ke pemukiman. Saat

membunuh mangsanya, harimau akan menggigit bagian belakang leher, dan

merusak tulang belakang. Untuk memenuhi kebutuhannya, harimau berburu 3-6

hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor

harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang

sampai 40 kg daging sekali makan (Macdonald 1986).

Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut

mencari makan untuk dirinya sendiri atau berapa banyak anggota yang harus

diberi makan seperti harimau betina yang harus mencari makan untuk dirinya

sendiri dan anak-anaknya. Masa hidup seekor harimau adalah sekitar 10-15 tahun.

Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai

16-25 tahun (Macdonald 1986).

Reproduksi

Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup

tinggi. Kematangan seksual (pubertas) harimau Sumatera terjadi pada usia sekitar

3-4 tahun (Seidensticker 1996). Untuk harimau betina mencapai pubertas pada

usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Menurut Sankhala

(1997) selama masa kawin pasangan harimau Benggala dapat hidup

bersama-sama. Mereka akan tinggal bersama selama betina birahi yang umumnya selama

satu minggu. Kopulasi terjadi setiap 15-20 menit dan terjadi 5-6 hari. Kopulasi

terjadi hanya dalam waktu 10-30 detik. Harimau betina dapat menerima beberapa

pejantan sehingga harimau merupakan hewan yang berpoligami. Lama kehamilan

harimau betina berkisar 95-110 hari atau rata-rata 103 hari seperti dalam

Seidensticker et al. (1993). Jumlah anak harimau dalam sekali kelahiran

jumlahnya berkisar antara 1-6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi

dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua

atau tiga ekor saja. Menurut Andriyanto (2001) jumlah serta nisbah jantan dan

(21)

Ragunan, Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Gembira Loka tidak

tetap.

Anak harimau terlahir dalam keadaan mata tertutup seperti buta. Mata anak-

anak harimau tertutup oleh membran tipis dan akan terbuka pada saat berumur

satu minggu (Jackson 1990). Selama 8 minggu, anak harimau hanya

mengkonsumsi susu dari induknya. Anak harimau baru bisa berburu sendiri

setelah berumur 18 bulan dan menjadi mandiri saat berumur 24 bulan. Harimau

betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30

ekor dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih

22 bulan, atau 2-3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati. Dari

penelitian Hidayani (2007) didapatkan hasil bahwa seekor harimau Sumatera

betina dapat melahirkan anak sebanyak 35 ekor selama 7 tahun masa

produktifnya.

 

Musim Kawin

Musim kawin adalah suatu musim dalam suatu tahun dimana hewan

menunjukkan aktivitas perkawinan. Dalam periode satu musim, hewan betina

jenis tertentu baik yang telah dewasa maupun baru mencapai pubertas

memperlihatkan gejala birahi. Para pejantan dengan bersemangat akan melayani

kehendak betina ini. Dalam tradisi rimba pada saat inilah terjadi pertarungan antar

pejantan untuk memperebutkan betina. Bagi betina yang beruntung mendapat

bibit pada musim kawin sebelumnya maka akan mengalami kebuntingan. Bagi

betina yang kurang beruntung tidak menampakkan aktivitas kawin atau disebut

juga nonbreeding season (Partodihardjo 1980).

Banyak hewan yang melakukan perkawinan sepanjang tahun. Tetapi banyak

juga yang memiliki musim kawin tertentu. Musim kawin beberapa hewan yang

tergolong mamalia dipengaruhi oleh perubahan panjang jam siang setiap hari. Di

daerah subtropis, pada bulan November, Desember, dan Januari siang hari

menjadi pendek, sekitar 8-10 jam, sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus

siang hari menjadi panjang sekitar 13-15 jam. Di daerah tropis, lamanya siang hari

merata sepanjang tahun, yaitu 12 jam. Pada hewan yang hidup di daerah subtropis,

(22)

musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Bagi

hewan yang berada di daerah subtropis, sangat penting untuk melahirkan pada

musim tertentu dimana dapat menjamin keturunannya bertahan hidup, biasanya

terjadi pada musim semi sampai panas (Short 1984). Pada mamalia yang hidup di

daerah tropis terjadinya perkawinan tidak mengikuti pola reproduksi tertentu.

Dalam Geptner et al (1992) reproduksi nonseasonal adalah karakteristik dari

hewan tropis. Perbedaan iklim kemungkinan berpengaruh terhadap profil

reproduksi hewan termasuk harimau.

Studbook

Seifert dan Muller (1984) mengatakan Studbook adalah kronologi populasi

harimau yang ada di dalam penangkaran. Untuk setiap harimau yang terdaftar,

pada studbook dicatat informasi mengenai tanggal lahir, tanggal kematian, induk

jantan dan betina, lokasi keberadaan dan perpindahan harimau, serta nomor

identifikasi institusi yang memiliki harimau dan nomor identifikasi Studbook yang

terstandarisasi. Setiap hewan ditandai dengan nomor identitas yang khas atau

nomor studbook yang memberikan susunan silsilah untuk analisis genetik. Data

umur dari kelahiran dan kematian hewan dapat digunakan untuk analisis

demografis. Selain itu data yang didapat dari studbook dapat dijadikan sebagai

acuan dalam pengelolaan penangkaran. Dengan data dari studbook dapat dicegah

terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dan mempertahankan keragaman

genetik. (WAZA 2011).

Ancaman dan Konservasi

Penyebab utama kerusakan alam dan komunitas biologi adalah

bertambahnya populasi manusia di muka bumi. Ancaman utama pada lingkungan

akibat kegiatan manusia adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi

habitat, perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang berlebih untuk

kepentingan manusia, invasi spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit

serta sinergi dari faktor-faktor tersebut. Kebanyakan spesies dan komunitas yang

(23)

tersebut, yang mendorong kepunahan dan menyulitkan usaha perlindungan

(Sunquist 2010).

Begitu juga halnya dengan harimau Sumatera. Berkurangnya populasi

harimau Sumatera di habitanya disebabkan oleh pembukaan lahan secara

besar-besaran oleh manusia yang menyebabkan berkurangnya habitat yang membuat

seolah-olah harimau merusak pemukiman penduduk untuk mencari makan. Selain

itu perburuan dan penjualan ilegal bagian tubuh harimau juga meningkat. Menurut

Twist (2004) pengobatan tradisional Cina merupakan ancaman bagi harimau

Sumatera karena pengobatan tradisional tersebut menggunakan bagian-bagian

tubuh harimau. Jepang, Hong Kong dan Korea Selatan merupakan negara-negara

pengimpor tulang harimau untuk pengobatan tradisional Asia.

Strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang dan untuk melindungi

individu yang tersisa adalah dengan menempatkannya dalam suatu lingkungan

yang dapat dipantau secara berkelanjutan (Indrawan et al 2007). Strategi ini

dikenal dengan pelestarian ex-situ. Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal

satwa yang berada di luar habitatnya. Disain habitat ex-situ dibuat semirip

mungkin dengan aslinya agar hewan merasa nyaman. Konservasi ex-situ

didefinisikan dalam Convention on Biological Diversity sebagai pengawetan

komponen-komponen keragaman plasma nutfah di luar habitat aslinya. Kegiatan

yang dilakukan seperti pengambilan sampel, transfer, dan penyimpanan dari suatu

taxa target dari daerah koleksi dan biasanya dilakukan untuk menjamin

keberadaan suatu spesies atau populasi yang memiliki potensi kehancuran fisik,

tergerus dan tergantikan oleh spesies lain, atau kemerosotan genetik (UNCED

1992). Tujuan jangka panjang dari program pelestarian ex-situ adalah untuk

membentuk populasi cadangan, hingga jumlah individu spesies tersebut

mencukupi dan habitat yang sesuai tersedia. Taman nasional, kebun binatang,

akuarium, dan peternakan satwa buruan, serta berbagai program penangkaran

merupakan contoh dari fasilitas ex-situ atau disebut lembaga konservasi.

Perlindungan keanekaragaman hayati bagi spesies dan lingkungannya diatur

dalam UU No. 5 Tahun 1990. Usaha perlindungan terhadap harimau Sumatera di

Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1931 yaitu berdasarkan Undang-undang

(24)

No. 327/kpts/im/7/1972. Usaha pelestarian yang diusulkan adalah pembinaan

populasi dan penetapan suaka alam khusus harimau Sumatera. Usaha yang

dilakukan oleh masyarakat internasional adalah dengan mendirikan berbagai

organisasi yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa liar yang terancam

punah, diantaranya adalah International Union for Conservation of Nature

(IUCN) pada tahun 1948 serta Convention on International Trade In Endangered

(25)

BAHAN DAN METODE

Hewan yang diteliti

Hewan yang diteliti adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Metodologi

Data sekunder dikaji melalui pemeriksaan dan penelusuran daya reproduksi

harimau Sumatera yang berada di Indonesia berdasarkan studbook harimau

Sumatera regional dan internasional tahun 2004 sampai 2010.

Analisis data

Data dianalisis secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah

anak per kelahiran, musim kawin dan masa produktif.

Jadwal pelaksanaan kajian

Kajian data dimulai bulan Mei 2011, dilanjutkan dengan kajian analisis data

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Penangkaran

Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar

habitatnya didasari oleh kategori harimau Sumatera yang tergolong langka,

sehingga dilakukan upaya untuk menyelamatkan harimau Sumatera dengan

melakukan program penangkaran. Harimau Sumatera dikenal juga sebagai

umbrella species, yang artinya dengan melindungi spesies tersebut spesies lainnya

akan turut terdilindungi (Roberge dan Angelstam 2004). Upaya penangkaran

harimau Sumatera dimulai pada tahun 1992 dengan terbentuknya lembaga

penangkaran harimau Sumatera Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia

(PKBSI) yang dipusatkan di Taman Safari Indonesia, dimulainya pencatatan

studbook harimau Sumatera PKBSI dan pengelolaan penangkaran ex-situ. Tujuan

utama konservasi ex-situ adalah menyokong keselamatan spesies satwaliar di

habitat aslinya sehingga terhindar dari kepunahan. Konsevasi ex-situ merupakan

suatu program yang berkomplemen dengan konservasi in-situ. Pelestarian ex-situ

dan in-situ merupakan strategi yang saling melengkapi (Robinson 1992).

Variasi genetik merupakan hal yang penting bagi populasi in-situ sehingga

pengelolaan ex-situ dalam menunjang penyelamatan satwa in-situ sangat perlu

mempertimbangkan mutu genetiknya. Sehingga hubungan kekerabatan antar

individu dijaga serendah mungkin. Untuk mengurangi terjadinya kawin silang

dalam (inbreeding) dalam penangkaran satwaliar maka dapat diambil langkah

seperti mengambil bibit satwaliar dari populasi yang berbeda, melakukan tes

heterozigositas dan melakukan pencatatan silsilah atau studbook (Sinaga 2004).

Dalam setiap penangkaran biasanya dilakukan kegiatan pengelolaan

kesehatan harimau. Setiap individu harimau Sumatera yang ada di kebun binatang

sangat diperhatikan kesehatannya. Bagi harimau yang baru datang, baik dari alam

ataupun dari kebun binatang lainnya harus melalui proses karantina dan

pemeriksaan kesehatan umum. Perawatan harimau Sumatera harus mengikuti

standar kesejahteraan hewan (kesrawan). Menurut Christie dan Dollinger (2007)

(27)

Untuk memelihara seekor harimau memerlukan tanah berpagar terbuka

seluas 500 m² perpasang, sedangkan untuk betina yang memiliki anak harus

memiliki kandang yang terpisah dari harimau jantan. Tinggi pagar yang

diperlukan sekitar 3,5 m. Kandang harimau Sumatera harus dilengkapi dengan

tempat untuk beristirahat, tempat minum, kandang tidur dan kandang latihan,

saluran air yang baik, terdapat pohon untuk bernaung dan mengasah kuku, serta

kolam untuk berenang. Untuk pengamanan, diperlukan pagar pembatas yang kuat

dan biasanya dihubungkan dengan kawat listrik (Christie dan Dollinger 2007).

Sinaga (2004) menyatakan bahwa, dalam penangkaran juga harus dilakukan

pencatatan studbook untuk mengetahui asal usul satwa agar pengelolaan

penangkaran dapat dilakukan dengan baik dan dapat mempertahankan

sekurang-kurangnya 90% genetik diversitas dari populasi. Pengelolaan perkawinan dapat

dilakukan dengan variasi genetik tetap tinggi dan menghindari perkawinan silang.

Selain itu untuk menunjang program konservasi harimau Sumatera dilakukan

penampungan spermatozoa untuk diawetkan sehingga diharapkan suatu waktu

dapat diinseminasikan kepada betina yang memerlukan. Sejak tahun 1995 Bank

Sumber Plasma Nutfah dipusatkan di Taman Safari Indonesia.

Berdasarkan studbook harimau Sumatera Regional dan Internasional sampai

tahun 2007, Harimau sumatera tersebar di sebelas tempat di pulau Jawa, Bali dan

Sumatera. Ke sebelas tempat tersebut adalah Bali Zoo, Taman Safari Bogor,

Komplek Let Jen Norman Sasono, Taman Bundo Kanduang Bukittinggi, Ragunan

Zoo, Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung, Kebun Binatang Taman Aneka

Rimba Jambi, Yayasan Kebun Binatang Medan, Taman Wisata Satwa Taru Jugug,

Kebun Binatang Surabaya, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Jumlah harimau

Sumatera terbanyak terdapat di Taman Safari Indonesia Bogor. Hal ini

dikarenakan ditunjuknya Taman Safari Indonesia sebagai pusat dari lembaga

(28)

Tabel 1 Penyebaran Harimau Sumatera di Beberapa Penangkaran

6 Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung 6 5 11

7 Kebun Binatang Aneka Rimba Jambi 1 1 2

8 Yayasan Kebun Binatang Medan 0 3 3

9 Taman Wisata Satwa Taru Jurug 2 7 9

10 Kebun Binatang Surabaya 2 11 13

11 Kebun Binatang Gembira Loka 3 1 4

Sumber. Studbook Harimau sumatera regional tahun 2007

Pengelolaan kandang, pakan, kesehatan dan lingkungan memberikan

pengaruh pada masa hidup harimau. Masa hidup harimau Sumatera yang ada di

penangkaran lebih lama daripada yang hidup di alam. Menurut Macdonald (1986)

harimau Sumatera yang ada di penangkaran bisa mencapai usia 16-25 tahun. Dari

data studbook (lampiran 2) tercatat harimau jantan yang memiliki usia paling

lama adalah harimau dengan Nomor SB 883 yaitu 24 tahun dan harimau betina

dengan nomor SB 876 yaitu selama 22 tahun.

Pemasangan atau penjodohan juga memberikan kontribusi yang besar bagi

penangkaran harimau Sumatera. Sebelum dipasangkan, biasanya harimau

diperkenalkan terlebih dahulu satu sama lain dalam kandang yang diberi batas

agar harimau tidak saling kontak fisik tetapi masih tetap bisa melihat dan

mencium bau pasangannya. Hal yang paling penting dari penjodohan adalah

memperhatikan kekerabatan. Menurut hasil penelitian Suharyo (2001) persyaratan

yang ditentukan oleh Taman Safari Indonesia dalam menjodohkan harimau

Sumatera adalah harimau yang dijodohkan harus bersal dari daerah yang berbeda,

berumur lebih dari lima tahun, usianya hampir sama dan memiliki koefisien

inbreeding yang rendah. Sementara itu hasil penelitian Andriyanto (2001)

menyatakan bahwa harimau yang dikawinkan pada empat lembaga konservasi di

Jawa (TSI, KB Gembiraloka, Ragunan dan KB Surabaya) berasal dari alam dan

(29)

Usaha yang dilakukan dalam pemilihan pasangan kawin tersebut tidak

selamanya berhasil karena terkadang tidak ada saling ketertarikan antara pasangan

kawin. Selain itu, perkawinan yang dilakukan melakukan perkawinan yang

terkontrol dimana tidak setiap betina yang estrus harus dikawinkan dengan

pejantan. Hal ini dipengaruhi oleh kapasitas atau daya dukung tempat di

penangkaran. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah

perkawinan setiap bulan di penangkaran.

Status Reproduksi

Status reproduksi hewan adalah kondisi reproduksi hewan pada saat tertentu

yang meliputi jumlah anak perpasangan, jantan dan betina produktif serta musim

kawin. Pada penangkaran, perkawinan harimau Sumatera dilakukan apabila telah

mengalami dewasa kelamin (pubertas) dan betina menunjukkan gejala birahi.

Pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan dan betina dimana

proses-proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai dengan kemampuan untuk

pertama kalinya memproduksi benih (Partodihardjo 1980). Kematangan secara

seksual harimau betina adalah pada usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan

pada usia 4-5 tahun.

Smith (1994) mengatakan, usia produktif harimau jantan selama 2-6 tahun

dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai usia 15 tahun. Akan

tetapi, dari data studbook (lampiran 1) diketahui bahwa harimau Sumatera yang

hidup dipenangkaran masih produktif sampai usia 20 tahun. Tercatat harimau

Sumatera betina di Kebun Binatang Bandung dengan nomor studbook 1051 dan

harimau Sumatera jantan di Kebun Binatang Solo dengan nomor studbook 912

masih bisa kawin dan menghasilkan anak. Kemungkinan harimau yang hidup di

penangkaran masih bisa bereproduksi sampai usia 25 tahun. Menurut Macdonald

(1986) harimau yang ada dipenangkaran dapat hidup dalam usia 15-25 tahun.

Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk

kopulasi. Kopulasi dapat menghasilkan kebuntingan dan selanjutnya menghasikan

anak. Jika birahi pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka akan nada birahi

kedua, ketiga dan seterusnya sampai terjadi kebuntingan. Jarak antar satu birahi

(30)

proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Estrus adalah fase terpenting dalam

siklus birahi, karena dalam fase ini betina memperlihatkan gejala yang khusus

untuk tiap jenis hewan dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima

pejantan untuk kopulasi (Partodihardjo 1980).

Menurut Seal et al (1987) saat birahi harimau betina terlihat lebih aktif,

interaksi dengan perawat meningkat dan nafsu makan menurun. Pada hewan

jantan, siklus birahi seperti pada betina tidak ada. Pada umumnya pejantan selalu

bersedia menerima harimau betina untuk melakukan aktivitas reproduksi. Jika ada

harimau jantan yang menolak untuk aktivitas reproduksi bisa jadi harimau jantan

tersebut tidak normal atau mengalami kelainan-kelainan. Sistem kawin pada

hewan didefinisikan sebagai jumlah pasangan kopulasi tiap individu dalam setiap

musim kawin. Sistem kawin ini ada beberapa jenis, yaitu monogami, poligami dan

poliandri.

Monogami apabila jantan dan betina kawin hanya dengan satu pasangan per

musim kawin, poligami jika jantan kawin dengan lebih dari satu betina per musim

kawin dan poliandri jika betina kawin dengan lebih dari satu jantan per musim

kawin (Goodenough et al 2010). Sistem perkawinan harimau Sumatera tergolong

pada poligami dan poliandri karena dapat kawin dengan beberapa pasangan.

Berdasarkan penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010

(lampiran 2), terdapat 44 pasang harimau Sumatera yang telah dikawinkan dengan

jumlah pejantan sebanyak 33 ekor dan betina 34 ekor. Dari semua perkawinan

yang terjadi, terlihat beberapa Harimau sumatera melakukan perkawinan dengan

beberapa jantan atau betina yang berbeda. Hal in menunjukkan bahwa Harimau

(31)

Tabel 2 Jumlah anak per pasangan pada Harimau sumatera di penangkaran

TSI 1036 Tangkaran 1053 Tangkaran 6

1054 Tangkaran 1052 Tangkaran 2

1100 Tangkaran 1260 Tangkaran 13

1101 Tangkaran IN9969 Alam 17

874 Alam 1017 Tangkaran 3

866 Alam 1051 Tangkaran 8

Ragunan 905 Tangkaran 1264 Tangkaran 13

1265 Tangkaran 1270 Tangkaran 12

1265 Tangkaran 1266 Tangkaran 2

1342 Tangkaran 1343 Tangkaran 2

1350 Tangkaran 1348 Tangkaran 4

Bandung 942 Tangkaran 953 Tangkaran 21

1033 Tangkaran 953 Tangkaran 7

Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2007

Status reproduksi dapat dilihat dari jumlah anak perpasangan. Tabel 2

menunjukkan, pada beberapa penangkaran seperti Taman Safari Indonesia, Taman

Margasatwa Ragunan, Kebun Binatang Bandung, Solo, Surabaya, dan Yogyakarta

ada 19 pasang harimau yang telah dikawinkan. Pasangan harimau Sumatera

dengan nomor SB 942 dan SB 953 di Kebun Binatang Bandung merupakan

pasangan harimau Sumatera yang memiliki jumlah anak paling banyak selama

masa produktifnya yaitu 21 ekor. Sedangkan pasangan harimau Sumatera dengan

nomor SB 1033 dan SB 953 memiliki jumlah anak 7 ekor selama masa

produktifnya, sehingga harimau Sumatera betina dengan nomor SB 953 telah

melahirkan 28 ekor anak selama masa produktifnya dari dua jantan yang berbeda.

Harimau jantan dengan nomor SB 1033 melakukan perkawinan dengan empat

betina yang berbeda dan telah menghasilkan 11 ekor anak. Harimau jantan dengan

nomor SB 1265 telah menghasilkan 14 ekor anak selama masa produktifnya dari

dua betina yang berbeda. Selain itu Harimau jantan SB 1101 (kelahiran tangkaran)

(32)

anak sebanyak 17 ekor selama masa produktifnya. Jumlah anak yang dilahirkan

menunjukkan adanya hubungan antara reproduksi hewan dengan fekunditas dan

litter size.

Fekunditas merupakan kesuburan dari seekor hewan betina yang dilihat dari

banyak dan seringnya anak yang dilahirkan (Yatim 1999). Tingginya tingkat

fekunditas seekor harimau dilihat dari panjangnya masa produktif. Akan tetapi

masa produktif seekor harimau betina tidak sepanjang masa produktif harimau

jantan. Masa produktif harimau betina dipengaruhi oleh keterbatasan dalam

memproduksi sel telur. Selain itu, harimau tidak pernah dikawinkan lagi sehingga

tidak bereproduksi juga mempengaruhi masa produktif harimau betina.

Berdasarkan data yang didapat dari studbook, harimau betina memiliki tingkat

fekunditas berkisar antara 1-7 kali dalam melahirkan anak. Dari data yang

didapatkan di studbook (lampiran 2), harimau betina dengan nomor SB 528

merupakan harimau dengan tingkat fekunditas yang tinggi, yaitu mampu

melahirkan sebanyak 9 kali sepanjang hidupnya. Berdasarkan studbook, jumlah

peristiwa kelahiran harimau Sumatera tidak mengikuti suatu pola reproduksi

tertentu.

Selain fekunditas, juga dapat dilihat banyaknya anak yang dilahirkan dalam

satu kali kebuntingan atau disebut juga dengan litter size. Untuk harimau, rata-rata

litter size adalah 3-4 seperti yang disebutkan dalam Triefeld (2007). Hasil

penelitian Sagara (2011) didapatkan bahwa rata-rat litter size harimau Sumatera

sebesar 2,1. Dari penelusuran data studbook (lampiran 2) didapatkan litter size

harimau Sumatera antara 1-6 ekor dalam tiap kelahiran. Dimana harimau dengan

nomor SB 887 merupakan harimau betina yang memiliki litter size paling tinggi

yaitu mampu melahirkan 6 ekor anak dalam sekali kelahiran.

Musim Kawin

Mamalia sering menunjukkan variasi musiman dalam reproduksinya.

Reproduksi musiman mamalia bergantung pada lingkungan. Kebanyakan kasus

reproduksi musiman dipengaruhi oleh faktor makanan, iklim, curah hujan dan

(33)

perbedaan iklim di suatu wilayah (Bronson 1998). Perbedaan iklim inilah yang

mempengaruhi musim kawin pada mamalia.

Iklim suatu daerah berkaitan erat dengan letak garis lintang dan

ketinggiannya di muka bumi. Berdasarkan letak garis lintang dan ketinggian

tersebut maka iklim dibagi menjadi dua yaitu iklim matahari dan iklim fisis. Iklim

matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh

permukaan bumi. Sedangkan iklim fisis adalah menurut keadaan atau fakta

sesungguhnya di suatu wilayah muka bumi sebagai hasil pengaruh lingkungan

alam yang terdapat di wilayah tersebut misalnya pengaruh lautan, daratan yang

luas, relief muka bumi, angin dan curah hujan. Iklim matahari terdiri atas empat

iklim yaitu iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin (kutub).

Pada daerah tropis, disinari matahari sepanjang tahun sedangkan pada daerah

beriklim subtropis hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu. Terdapat

empat musim pada wilayah subtropis, yaitu musim semi, musim panas, musim

gugur dan musim dingin. Harimau tersebar di wilayah beriklim tropis dan

subtropis. Indonesia sebagai habitat harimau Sumatera terletak di wilayah

beriklim tropis ( Prawirowardoyo 1996).

Dari penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010, dapat

ditentukan bulan perkawinan berdasarkan bulan terjadinya kelahiran.

Penghitungan bulan perkawinan dilihat dari bulan kelahiran anak dikurangi

dengan rataan lama kebuntingan harimau Sumatera yang berkisar antara 95-110

hari, atau lebih kurang tiga bulan (LIPI 1982). Dengan masa kebuntingan tersebut

dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan pada harimau Sumatera. Pada

kajian ini penentuan waktu kawin berdasarkan tanggal lahir dikurangi rataan lama

kebuntingan. Sehingga dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan. Pada

(34)

Tabel 3 Data kelahiran harimau Sumatera di penangkaran

Bulan

Kelahiran Jumlah Perkawinan

Jumlah Induk

Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2004 - 2010

Gambar 2 Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ

berdasarkan bulan kelahiran

(Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010) 0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Jum

lah

Perkawinan

(35)

Gambar 3 Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ

(Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada harimau Sumatera

yang ada pada lembaga konservasi di Indonesia, perkawinan terjadi sepanjang

tahun. Perkawinan paling banyak terjadi di bulan Februari (17 pasang) dengan

kelahiran anak sebanyak 42 ekor pada bulan Mei. Perkawinan paling sedikit

terjadi pada bulan Mei (4 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 10 ekor pada

bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara bulan kelahiran

dengan bulan perkawinan.

Harimau Sumatera betina di Indonesia, hidup di daerah tropis yang hanya

memiliki dua musim, dimana curah hujan merata sepanjang tahun yakni sekitar

2000-3500 mm dan fluktuasi suhu berkisar antara 3-5 °C (Sipayung 2004). Data

menunjukkan bahwa perkawinan dapat berlangsung sepanjang tahun, sesuai

dengan pernyataan Semiadi dan Nugraha (2006). Hal ini mendukung pernyataan

Geptner et al (1992) yang menyatakan bahwa reproduksi nonsesasonal adalah

karakteristik dari hewan tropis. Belum dapat dipastikan apakah setiap harimau

Sumatera betina mengalami estrus berulang sepanjang tahun seperti pada sapi

karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.

Mamalia yang hidup di daerah subtropis, contohnya harimau Benggala,

memiliki musim kawin pada musim dingin dan musim semi. Dari hasil penelitian

Saputra (2010) pada harimau Benggala frekuensi perkawinan tertinggi terjadi dari

0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Jum

lah Anak

(Ekor)

(36)

bulan Januari sampai Maret. Hal ini ternyata serupa dengan harimau Sumatera

yang hidup di Indonesia. Jumlah peristiwa kelahiran yang tinggi pada bulan

tersebut menandakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah estrus. Hasil

penelitian Hidayani (2007) juga menyatakan bahwa harimau Sumatera yang hidup

di daerah subtropis bagian utara (Eropa, Amerika Serikat, Asia Tengah, Asia

Timur) mengalami perkawinan terbanyak pada musim dingin dan musim semi.

Hewan yang hidup di daerah subtropis, termasuk ke dalam golongan hewan

polyestrus bermusim atau seasonally polyestrus, yaitu hewan yang menunjukkan

gejala birahi beberapa kali dalam satu musim kawin. Harimau Siberia merupakan

contoh hewan dengan seasonally polyestrus (Senger 1999).

Beberapa data yang diperoleh menunjukkan bahwa banyaknya perkawinan

yang terjadi pada akhir musim hujan (daerah tropis) dan akhir musim dingin

(daerah subtropis) dipengaruh oleh kondisi lingkungan. Pada daerah subtropis

misalnya, perkawinan banyak terjadi di musim dingin agar anak tepat lahir di

musim semi, dimana pada musim ini tanaman tumbuh dengan subur sehingga

hewan herbivora yang merupakan hewan mangsa dari harimau juga banyak

tersedia. Menurut beberapa analisa biologik, hewan yang hidup di daerah

subtropis menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan adanya musim kawin

pada bulan-bulan tertentu dan lamanya masa bunting, maka anak-anak mereka

akan lahir tepat pada waktu lingkungan dalam keadaan yang baik untuk hidup

yaitu banyak makanan, udara tidak terlalu dingin atau terlalu panas (Partodihardjo

1980).

Keseluruhan data yang diperoleh menunjukkan bahwa aspek utama untuk

menunjang keberhasilan penangkaran adalah aspek reproduksi. Peningkatkan

performa reproduksi sangat didukung oleh pengelolaan penangkaran yang baik

meliputi pengaturan penjodohan, pemberian pakan yang tepat dan pengelolaan

kesehatan. Sistem good husbandry juga dapat diterapkan seperti pengelolaan

pakan, kandang dan lingkungan yang baik sehingga tercipta individu sehat yang

(37)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan yang diperoleh dari kajian ini adalah pada harimau Sumatera yang

hidup di Indonesia tidak memiliki musim kawin atau waktu tertentu untuk

melakukan perkawinan karena perkawinan terjadi sepanjang tahun. Untuk

menyelamatkan populasi harimau Sumatera yang diambang kepunahan dapat

dilakukan dengan penangkaran secara ex-situ melalui program pengelolaan

penangkaran yang baik seperti perawatan kesehatan harimau Sumatera, pencatatan

studbook dan penyimpanan plasma nutfah.

Saran

Studbook dipublikasikan dan terbuka untuk umum agar masyarakat

mengetahui bagaimana status dan keadaan hewan langka saat ini sehingga upaya

untuk mempertahankan populasi hewan langka yang semakin sedikit khususnya

harimau Sumatera dapat terlaksana dengan baik. Diperlukan juga penelitian lebih

lanjut berkaitan dengan siklus estrus pada harimau Sumatera betina maupun pola

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Adlington F. 2003. Philip’s Nature Encyclopedia. Chancellor Press. hlm 380.

Andriyanto T. 2001. Manajemen Reproduksi Harimau Sumatera (Phantera tigris

sumatrae) di Empat Kebun binatang di Jawa [skripsi]. Bogor: Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor..

Bronson FH. 1998. Mammalian Reproductive Biology. Chicago: University of

Chicago.

[CITES] Centre on International Trade of Endangered Species. 2011. Appendices I, II, and III. [terhubung berkala]. http://www.cites.org/eng/app/index.php [17 Juni 2011].

Geptner VG, Nasimovich AA, Bannikov AG. 1992. Mammals of the Soviet

Union: Carnivora (Hyaenas and Cats). Ed ke-2. New Delhi: Amerind Publishing.

Goodenough J, Mcguire B, Jacob E. 2010. Perspectives on Animal Behavior.

USA: John Wiley and Sons.

Hamaide B, Sheerin J, Tingsabadh C. 2007. Natural Reserve Selection for Endangered Species Considering Habitat Needs: The Case of Thailand.

dalam CC Pertsova. Ecol Econom Research Trends: 207-229. New York:

Nova Science Publishers, Inc.

Hidayani AN. 2007. Penyebaran Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae

pocock, 1929) di Luar Indonesia Berdasarkan Studbook Harimau Sumatera

Internasional [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Honolulu Zoo. 2011. Sumatran Tiger. [terhubung berkala]. http://www.honoluluzoo.org/tiger.htm. [19 Juli 2011].

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Panthera tigris (Tiger). [terhubung berkala]. www.iucnredlist.org. [17 Juli 2011]

(39)

Kathy MK. 1992. The Wildlife of Indonesia: Nature’s Treasurehouse. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Krech S, McNeill JR, Merchant C. 2004. Encyclopedia of World Environmental

History Volume 3. Routledge, London.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 1982. Beberapa Jenis Mammalia.

Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.

MacDonald D, Loveridge A. 1986. The Biology and Conservation of Wild Felids. New York: Oxford University Press

Marboen A. 9 Jul 2011. Harimau sumatera ditangkap warga di Padangpariaman. [terhubung berkala]. http://www.antaranews.com/berita/266668/harimau-sumatera-ditangkap-warga-di-padangpariaman [25 Juli 2011].

Partodihardjo S. 1977. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara.

Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung: ITB Bandung.

Robinson J, Redford K. 1992. Sustainable harvest of neotropical wildlife. Dalam: Neotropical Wildlife use and conservation. Dalam: Robinson, J. Dan K.

Redford. (eds). Neotropical Wildlife: Use and conservation. Chicago:

University of Chicago. Hal. 415-429.

Roberge JM, Angelstam P. 2004. Usefulness of the Umbrella species concept as a concervation tool. Conservation Biology. 18: 76-85.

Sankhala K. 1977. The Story of Indian Tiger. Singapore: Star Standard Industries Pte.Ltd

Saputra D. 2010. Perbandingan Profil Kelahiran antara Panthera tigris sumatrae

(Pocock 1929) dengan Panthera tigris altaica (Temminck 1848) di Habitat

Ex-Situ [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor.

(40)

Seidensticker J, Christie S, Jackson P. 1993. Riding The Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscapes. Cambridge: Cambridge University Press.

Seidensticker, J. 1996. Tigers. Stillwater: Voyageur Press, Inc.

Seifert S, Muller P. 1984. International Tiger Studbook. Leipzig: Leipzig. Zool. Garten. 

Semiadi G, Nugraha RPT. 2006. Profil Reproduksi Harimau Sumatera (Panthera

tigris sumatrae) pada Tingkat Penangkaran. Jurnal Biodiversitas volume 7 nomor 4: 368-371.

Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Washington: Current Conceptions, Inc.

Short RV. 1984. Oestrus and Menstrual Cycle. Di dalam CR Austin dan RV Short, editor. Reproduction in Mammals: Second Edition. Book 3 Hormonal Control of Reproduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Sinaga WH. 2004. Pengalaman program konservasi harimau sumatera (PKHS) dalam implementasi konservasi harimau sumatera secara insitu di pulau sumatera. Di dalam: Nevridedi E, Samsudin N, Chaniago DNR, Lembanasari

MA, editor. Prosiding Seminar Harimau Sumatera Implementasi Harimau

Sumatera secara Insitu dan Eksitu, Bogor, 11 Desember 2004. Bogor: Uni Konservasi Fauna.

Sipayung SB. 2004. Dampak Variabilitas Iklim terhadap Produksi Pangan di

Sumatera. Bandung: LAPAN

Smith DL. 1994. Population Viability Analysis Data Form-Mammals. Minnesota: Fisheries and Wildlife Department.

Suharyo SP. 2001. Teknik Penangkaran Harimau Benggala di Sriracha Tiger Zoo (Honburi, Thailand) dan Harimau Sumatera di Taman Safari Indonesia Bogor, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor. Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sunquist M. 2010. What is a Tiger? Ecology and Behaviour. Dalam R Tilson dan

PJ Nyhus (editor). Tigers of the world: the science, politics, and conservation of Panthera tigris. Oxford: Academic Press

(41)

Tigers World. 2011. [terhubung berkala] www.tigers-world.com. [26 Juli 2011].

Tilson RL, Jackson, P. 1994. Management and Conservation of Captive Tiger.

Minneasta: Apple Valley.

Triefeldt. 2007. Plants & Animals. California: Quill Driver Book/Word Dancer Press, Inc.

Tumbelaka L. 2007. Studbook Harimau Sumatera Regional Indonesia. Jakarta:

Perhimpunan Kebun Binatang Se Indonesia.

Tumbelaka L. 2010. Studbook Harimau Sumatera Regional Indonesia. Jakarta:

Perhimpunan Kebun Binatang Se Indonesia.

Twist Clint. 2004. Endangered Animal Dictionary : an A to Z of threatened

species. London: Andromeda Children’s Book.

UNCED. 1992. Convention on Biological Diversity. Geneva: United Nations

Conference on Environmental and Development.

[WAZA] World Association of Zoo and Aquariums. 2011. International studbook. [terhubung berkala] http://www.waza.org/en/site/conservation/international-studbooks. [26 Juli 2011].

[WWF] World Wildlife Federation. 2011. [terhubung berkala] http://www.wwf.or.id/?23060/Tiger-smuggler-suspects-in-West-Sumatra-are being-tried. [27 Juli 2011].

(42)

 

Lampiran 1 Data Harimau Sumatera di Lembaga Konservasi di Indonesia

Lokasi Studbook Jenis Kelahiran Umur Jantan Betina

Kelamin

Bali Zoo 941 F 03-Jan-91 19 tahun 532 887

1167 M 02-Feb-00 10 tahun 954 1018

879 F 15-Jan-91 19 tahun 867 877

880 F 15-Jan-91 19 tahun 867 877

881 M 5-Nov-92 18 tahun 867 877

882 F 5-Nov-92 18 tahun 867 877

1017 F 1991 19 tahun alam alam

1046 F Jan-96 14 tahun alam alam

1051 F 1990 20 tahun alam alam

1052 F 1995 15 tahun alam alam

1053 F 1995 15 tahun alam alam

1054 M tidak diketahui alam alam

1099 M 13-Apr-98 12 tahun 866 1051

1100 M 13-Apr-98 12 tahun 866 1051

1101 M 13-Apr-98 12 tahun 866 1051

1102 F 13-Apr-98 12 tahun 866 1051

1103 F 03-Jun-98 12 tahun 874 1017

1258 M 1997 13 tahun alam alam

(43)

 

Lokasi Studbook Jenis

Kelamin Kelahiran Umur Jantan Betina

(44)

 

Lokasi Studbook Jenis

Kelamin Kelahiran Umur Jantan Betina

(45)

     

Lokasi Studbook Jenis

Kelamin Kelahiran Umur Jantan Betina

(46)

 

Lampiran 2 Data Perkiraan Musim Kawin Harimau sumatera

N O

Orang Tua Pejantan Betina Kelahiran Waktu

(47)

 

N O

Orang Tua Pejantan Betina Kelahiran

(48)

 

N O

Orang Tua Pejantan Betina Kelahiran

(49)

 

N O

Orang Tua Pejantan Betina Kelahiran

(50)

 

N O

Orang Tua Pejantan Betina Kelahiran

(51)

 

N O

Orang Tua Pejantan Betina Kelahiran

Anak ke

Waktu Kelahiran

Jumlah Anak

Total

Perkiraan Bulan Perkawinan

Jantan Betina Lahir Mati Lahir Mati M F ?

2 1 Jan 07 0 0 3 3 Oktober

44 SB 1033

SB

1191 19 Nov 94 26 Mei 10 17 Des 01 * 1 1 Mar 07 1 1 1 3 Desember

Keterangan: ???? = tahun kelahiran tidak diketahui 

           *       = harimau masih hidup sampai sekarang   

(52)

ABSTRAK

ANDI EKA PUTRA. Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia. Dibimbing oleh LIGAYA ITA TUMBELAKA.

Harimau Sumatera merupakan satu-satunya subspesies dari Panthera tigris yang masih ada di Indonesia. Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh CITES ke dalam Appendix I critically endangered oleh IUCN. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim kawin harimau Sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi di Indonesia. Data didapatkan

melalui penelusuran daya reproduksi harimau Sumatera berdasarkan studbook

harimau Sumatera regional dan internasional tahun 2004-2010. Data dianalisis secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah anak per kelahiran, musim kawin dan masa produktif. Bulan perkawinan dapat ditentukan berdasarkan bulan terjadinya kelahiran. Penghitungan bulan perkawinan didapatkan dengan cara mengurangi tanggal kelahiran anak dengan rataan lama kebuntingan harimau yang berkisar antara 95 sampai 110 hari atau lebih kurang

tiga bulan. Hasil penelusuran dari studbook didapatkan bahwa perkawinan

harimau Sumatera merata setiap bulan dalam satu tahun sehingga pada harimau Sumatera yang hidup di lembaga konservasi di Indonesia tidak mempunyai musim kawin.

(53)

ABSTRACT

ANDI EKA PUTRA. Study of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) Breeding Season in Conservation Institution in Indonesia. Under the advisory of LIGAYA ITA TUMBELAKA.

The aim of the study is to find out the reproduction pattern especially breeding season of sumateran tiger in ex-situ habitat or conservation institution (zoo and safari park) in Indonesia. The reproductive data were obtained from sumateran tiger regional and international studbook 2004-2010. The time of breeding were decided from the time of birth subtracted by the number of average pregnancy duration that range from 95 to 110 days or three months. The result of this study showed that sumateran tiger breed throughout the year; therefore, the sumatran tiger in conservation institution in Indonesia are non-seasonal breederr.

(54)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Harimau Sumatera merupakan hewan karnivora asli Indonesia yang

memiliki habitat di pulau Sumatera. Harimau Sumatera merupakan satu dari

sembilan subspesies Panthera tigris (Linnaeus 1758) yang ada di dunia. Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) merupakan subspesies yang

ditemukan di pulau Sumatera yang keberadaannya saat ini diperkirakan tinggal

400-500 ekor di habitatnya. Harimau Sumatera hidup di daerah dataran rendah

dan hutan pegunungan (Krech et al 2004). Selain itu, harimau Sumatera juga

ditemukan di daerah rerumputan alang-alang tinggi dan juga rawa-rawa air tawar.

Harimau Sumatera mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil daripada

jenis harimau lainnya.

Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh Convention on International Trade

in Endangered Species (CITES) ke dalam Appendix I, yakni termasuk spesies

yang terancam kepunahan dan atau mungkin terpengaruh oleh perdagangan

sedangkan berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature

(IUCN) adalah critically endangered, yakni terancam punah. Harimau Sumatera

semakin berkurang populasinya di alam liar karena perburuan liar dan juga karena

tindakan manusia yang menganggap harimau Sumatera sebagai hama yang

menghabisi ternak mereka. Baru-baru ini, satu harimau Sumatera ditangkap warga

dengan menggunakan perangkap berupa kandang dari kayu di hutan Pandawa

Lima, Desa Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kabupaten Padangpariaman,

Sumatera Barat, karena dianggap telah memangsa ternak warga (Marboen 2011).

Akibat berkurangnya habitat harimau Sumatera, hewan ini menjadi semakin

sering berkonflik dengan manusia. Selama ini tuduhan yang sering terlontar oleh

media massa yaitu harimau Sumatera yang memangsa ternak bahkan memangsa

penduduk (Kathy 1992).

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mempertahankan populasi harimau

agar tidak mengalami kepunahan. Usaha ini antara lain dengan menyelaraskan

program konservasi in-situ (di habitatnya) dan ex-situ (di luar habitatnya). Contoh

(55)

contoh habitat ex-situ yaitu lembaga konservasi seperti kebun binatang dan pusat

penyelamatan satwa. Penangkaran merupakan salah satu bentuk dari upaya

pelestarian ex-situ dengan kegiatan pengembangbiakan jenis satwaliar dan

tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan

mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di

alam dapat dipertahankan (Thohari 1986).

Indonesia yang merupakan negara tropis sebagai habitat harimau Sumatera

mempunyai curah hujan yang tinggi dan sinar matahari dengan rasio terang dan

gelap 12:12 jam. Kondisi ini berbeda dengan daerah subtropis sebagai habitat

harimau Siberia yang hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu.

Perbedaan paparan sinar matahari menyebabkan terjadinya perbedaan musim.

Mamalia biasanya memiliki musim kawin atau waktu tertentu untuk bereproduksi.

Musim kawin dapat dipengaruhi oleh lingkungan, makanan, curah hujan dan suhu

(Bronson 1998). Musim kawin dapat berpengaruh terhadap fekunditas dan litter

size pada seekor hewan. Fekunditas adalah kemungkinan kelahiran hidup dalam

satu siklus, sedangkan litter size adalah jumlah anakan yang lahir dalam sekali

kelahiran. Melihat pentingnya mengetahui musim kawin terutama bagi

penangkaran, maka dilakukan kajian untuk mengetahui musim kawin harimau

Sumatera yang ada di Lembaga Konservasi Indonesia.

Tujuan kajian

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim

kawin Harimau sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi

(56)

TINJAUAN PUSTAKA

Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut

dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis

hitam vertikal pada tubuhnya.

Taksonomi

Klasifikasi harimau Sumatera menurut Pocock 1929 :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Carnivora

Famili : Felidae

Genus : Panthera

Spesies : Panthera tigris

Subspesies : sumatrae

Diketahui ada sembilan subspesies Panthera tigris yaitu Panthera tigris

tigris (harimau Bengala), Panthera tigris corbetti (harimau Indocina), Phantera

tigris altaica (harimau Siberia), Panthera tigris amoyensis (harimau Cina utara),

Panthera tigris virgata (harimau Caspian), Panthera tigris jacksoni (harimau

Malaya), dan tiga subspesies yang terdapat di Indonesia yaitu Panthera tigris

sumatrae (harimau Sumatera), Panthera tigris sondaica (harimau Jawa), dan

Panthera tigris balica (harimau Bali). Disayangkan tiga dari sembilan subspesies

ini dinyatakan telah punah yaitu Panthera tigris virgata (awal tahun 1970),

Panthera tigris sondaica (pertengahan tahun 1970) dan Panthera tigris balica

(sekitar tahun 1940) (IUCN 2011).

Morfologi

Harimau adalah spesies terbesar dari 36 spesies kucing, dan harimau

Sumatera mempunyai ukuran tubuh terkecil dari keseluruhan subspesies harimau

di dunia. Panjang harimau Sumatera rata-rata 2,4 meter untuk jantan dan 2,2 meter

Gambar

Gambar 1  Harimau sumatera (WWF 2011)
Tabel 1  Penyebaran Harimau Sumatera di Beberapa Penangkaran
Tabel 2  Jumlah anak per pasangan pada Harimau sumatera di penangkaran
Tabel 3       Data kelahiran harimau Sumatera di penangkaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Catatan persediaan beisi data tentang lead time, ukuran lot (lot size), persediaan pengaman (safety stock), dan catatan – catatan penting lainnya dari semua item. 3)

Pengadilan Tingkat Banding menyusun Laporan Talrunan Tahun 2015 berdasarkan Laporan Tahunan dari masing*masing Perrgadilan Tingkat Pertama di bawahnyer1. Penyusunan

Zainoel Abidin (RSUDZA) perlu membuat perencanaan di bidang proteksi kebakaran untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan.penilaian dari kelengkapan

Hasil yang didapat selama penelitian, menunjukkan bahwa indikator-indikator pada prinsip transparansi dalam pelayanan publik di Kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja,

Perbandingan Unsur Hara Nitrogen dan Fosfor Tanah Terhadap Jenis Keanekaragaman Mangrove di Muara Sungai Gunung Anyar Surabaya dan Bancaran Bangkalan.. Dosen Pembimbing Boedi

302 SJD204 Historiografi Indonesia A SJT309 Sejarah Militer Indonesia A LII304 Analisis Wacana C BUK203 Pengantar Kajian Budaya Urban L-2 PHB102 Pengantar Filsafat dan.

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD sebagaimana

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proyek CCDP – IFAD adalah faktor pendidikan, pekerjaan sampingan,