• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.

30 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, halaman. 24

Draft Only

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.31

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.32

31Soejono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), halaman. 225

32Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), halaman. 48

Draft Only

A. Anak Luar Kawin Dan Kedudukan Anak Dari Hasil Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Islam

Pelaksanaan perkawinan di tanah air selalu bervariasi bentuknya, mulai dari perkawinan yang didaftarkan ke catatan sipil, perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat yaitu perkawinan siri. Perkawinan ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti kawin bawah tangan, kawin siri atau nikah siri, dan untuk memahami secara mendalam tentang hakikat perkawinan maka harus dipahami secara menyeluruh ketentuan tentang perkawinan, dimana ketentuan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum Islam.

Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.33 Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.34

33Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

34 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 & Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), halaman. 1

Draft Only

Perkawinan menurut hukum syari’ah adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah agama dan melaksanakannya merupakan ibadah.35Pengertian kawin dalam hal ini adalah kawin, perkawinan, nikah, pernikahan, yang mana kawin dalam ajaran syari’ah disebut nikah, sedangkan nikah menurut bahasa adalah jima’ yang berarti penggabungan, pencampuran, berhimpun atau watha’. Secara harfiah, kata nikahberarti untuk mengumpulkan sesuatu, menurut istilah kata nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita atau melakukan watha dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sesusuan.36

Sedangkan kawin siri menurut arti katanya adalah perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.37Kata sirri, israr yang berarti rahasia, kawin siri menurut arti katanya, perkawinan (ikatan seorang laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri) yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.38Perkawinan tersebut tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, dimana perkawinan itu dianggap sah menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah.39

35Pasal 2, Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam

36 Raghib Isfahani, Mufridat Al-Quran Nakaha, (Lahore: Ahl Hadis Academy, 1971), halaman. 1077

37 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1979), halaman. 176

38Ibid., halaman. 167

39Saidus Syahar, Undang-Uundang Perkawinan Dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1981), halaman. 22

Draft Only

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, apabila dibandingkan rumusan tentang pengertian perkawinan menurut hukum syari’ah dengan rumusan dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI mengenai pengertian perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsip antara keduanya, namun demikian ada yang agak berbeda bila melihat kembali Pasal 26 KUH Perdata yang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.40

KUH Perdata menyebutkan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.”41 Rumusan ini dianggap kurang sinkron dengan hukum perkawinan diatas, karena perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri, dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, umpamanya kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang penting yaitu bahwa si istri seketika tidak dapat bertindak sendiri sebagaimana ketia ia masih belum terikat perkawinan tetapi harus dengan persetujuan suami.42

40 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1990), halaman. 7

41Pasal 81 Kitam Undang-Undang Hukum Perdata

42Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Bina Aksara, 2000), halaman. 93

Draft Only

Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi, meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain, sehingga berbagai permasalahan pun akhirnya timbul, nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di tanah air saat ini.

Masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut, biasanya nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang atau dalam hal ini adalah pejabat pencatat nikah. Terhadap pernikahan siri ini dikalangan masyarakat juga mengalami pro dan kontra, terutama akibta hukum yang ditimbulkan jika lahirnya seorang anak dalam perkawinan siri tersebut.

Memelihara nasab atau nasal adalah salah satu tujuan utama dalam ajaran syari’ah, karena menurut salah satu tujuan umum ajaran syari’ah adalah mewujudkan kemaslahatan (kebaikan dan kesejahteraan) manusia. Nasab adalah salah satu dari kelima hak anak, yakni nasab, rada’ (susuan), hadhanah (pemeliharaan), walayah (perwalian atau perlindungan), dan nafaqah (nafkah), sebab ditetapkannya nasab seorang anak pada ibunya, adalah adanya kelahiran, baik kelahiran itu akibat

Draft Only

persetubuhan yang sesuai dengan syara’ maupun karena persetubuhan yang menyalahi syara’.43

Kelompok yang termasuk anak luar nikah adalah anak zina, anak mula’anah, anak syubhat, untuk anak li’an dan anak syubhat, ulama’ sepakat dapat menjadi anak sah melalui pengakuan (al iqraru bin nasab atau istilhaq). Penetapan nasab dalam perspektif hukum syari’ah mempunyai arti yang sangat penting, karena dalam penetapan itulah dapat diketahui nasab anak tersebut. Anak zina ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di tanah air ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.44

Menurut ajaran syari’ah, anak itu terlahir suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini. Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil di luar nikah tidak ada ‘iddahnya, menurutnya wanita yang berzina tidak ditentukan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh nikah syar’i, karena iddah itu disyari’atkan untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma, dalam hal ini sperma zina tidak dihargai, dengan alasan tidak ditetapkannya keturunan anak zina kepada ayah biologis, tetapi kepada ibunya.45

Menurut ajaran syari’ah, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah, sebaliknya

43 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), halaman. 114

44Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), halaman. 38-39

45Ibrahim Al-Bajuri, Op. Cit., halaman.111

Draft Only

anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tidak dapat disebut sebagai anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah. Syafi’i menyebutkan bahwa anak dari hasil perzinaan tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ayah biologisnya, bahkan anak dari hasil perzinaan boleh dinikahi dari ayah biologisnya, akan tetapi hukumnya makhruh, dikarenakan untuk menghindari khilafiyah di antara ulama.46Syafi’i menjelaskan bahwa anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya, dan jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan maka hanya dinasabkan kepada ibunya, karena diduga ibunya telah melakukan hubungan seks dengan orang lain, sedangkan batas waktu hamil, paling kurang enam bulan.47

Nasab dalam hukum syari’ah bisa diartikan keturunan, nasab juga berarti legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.48Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan disebabkan karena adanya

46 Ibrahim Al-Bajuri, Al-Bajuri, (Indonesia: Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, 1998), halaman. 111

47As’yari Abdul Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Andes Utama, 1987), halaman. 81

48 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), halaman. 114

Draft Only

hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan.49

Menurut hukum syari’ah yang telah disepakati oleh para fuqaha dalam sebagian besar kitab fiqih bahwa seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, dan sahnya seorang anak di dalam hukum syari’ah adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hukum syari’ah ada ketentuan batasan kelahirannya, yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah enam bulan.

Aswadi Syukur menyatakan bahwa para fuqaha menetapkan suatu tenggang kandungan yang terpendek adalah enam bulan.50Seluruh mazhab fikih, baik mazhab sunni maupun syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan, sedangkan dalam hal penghitungan antara jarak kelahiran dengan masa kehamilan terdapat perbedaan, menurut kalangan Mazhab Hanafiah dihitung dari waktu akad nikah, dan menurut mayoritas ulama dihitung dari masa adanya kemungkinan mereka bersenggama.51

Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yang salah satunya melalui pernikahan yang sah. Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah

49Ibid.

50 Asywadie Syukur, Intisari Hukum Perkawinan Dan Kekeluargaan Dalam Fikih Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), halaman. 32

51 Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), halaman. 65

Draft Only

apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan dengan syarat anak itu dilahirkan enam bulan setelah perkawinan, maka berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan setelah akad nikah seperti dalam aliran mazhab Abu Hanifah, atau kurang dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan senggama seperti pendapat mayoritas ulama, adalah tidak dapat dinisbahkan kepada laki-laki atau suami wanita yang melahirkannya, hal itu menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan dari suaminya.

Tidak sahnya seorang anak untuk dinisbahkan kepada suami ibunya, mengandung pengertian bahwa anak itu dianggap sebagai anak yang tidak legal, tidak mempunyai nasab, sehingga tidak mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orang tuanya, dengan demikian anak yang lahir dari perkawinannya kurang dari enam bulan maka dalam hukum syari’ah anak itu dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya dan hanya memiliki hubungan dengan ibu yang melahirkannya.

Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah atau bapak alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum syari’ah. Perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri, begitu juga ayah atau bapak alami (genetik) tidak sah

Draft Only

menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan, jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.

Ada perbedaan pokok aturan dan pemahaman mengenai anak sah antara hukum syari’ah dan hukum perkawinan yaitu menurut hukum syari’ah anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dimana kelahiran anak dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia enam bulan dari perkawinan yang sah atau kemungkinan terjadinya hubungan badan antara suami isteri dari perkawinan yang sah tersebut maka anak itu adalah anak yang sah, apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam hukum syari’ah adalah anak tidak sah sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya.

Seseorang suami menurut hukum syari’ah dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikanya, untuk menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan:

1. Suami belum pernah menjima' istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.

2. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur.

3. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima’ oleh suaminya.52

52 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2004), halaman. 284

Draft Only

Kemudian, anak hasil dari perkawinan siri sebagai anak yang sah dalam hukum syari’ah juga harus terpenuhi semua hak-haknya dalam hal kedudukannya sebagai anak, adapun hak-hak anak dalam suatu perkawinan antara lain:53

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.

2. Hak anak dalam kesucian keturunannya.

3. Hak anak dalam menerima pemberian nama-nama yang baik oleh kedua orang tuanya.

4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam mendapatkan pengasuhan yang layak, perawatan, pengayoman, dan pemeliharaan.

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya.

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.54

Islam tidak membedakan kedudukan anak dalam perkawinan siri, selama perkawinan memenuhi semua rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam ajaran syari’ah maka perkawinan tersebut hukumnya adalah sah dan begitupun dengan anak hasil perkawinan tersebut berkedudukan sama dan harus mendapatkan hak-haknya sebagai anak yang sah.55

B. Peranan Pemerintah Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Dari Hasil Perkawinan Siri

Salah satu masalah yang paling krusial dalam perkawinan siri adalah bilamana rumah tangga yang dilakoni suami isteri itu telah melahirkan keturunan (anak).

Dampak negatifnya berujung pada si anak, paling tidak anak-anak kurang mendapat perlakuan yang semestinya dibanding dengan anak-anak dari keluarga yang resmi.

53Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 1992), halaman. 21

54Ibid.

55Ibid., halaman. 22

Draft Only

Secara syari’at agama, hubungan anak dengan ayah dan ibunya tidak masalah tetapi bila dihadapkan dengan hukum negara, hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya tidak diakui. Derita si anak semakin bertambah bila ayah dan keluarga ayahnya tidak mengakui dan hanya diakui oleh ibu dan keluarga ibunya sehingga fasilitas pendukung hidupnya terputus, apalagi bila ibunya telah ditinggalkan atau dicerai ayahnya, semua hak ibu dan anaknya tidak didapat kecuali ada kesadaran dari ayahnya untuk menjalankan ketentuan agama.

Pernikahan siri memang sah dalam ajaran syari’ah, akan tetapi dalam hukum Negara pernikahan selain sah dari segi agama atau kepercayaan, harus dicatatkan sebagai bentuk perlindungan hukum, dalam kesimpulannya bahwa pernikahan siri lebih banyak menimbulkan kemudharatan dibandingkan kemaslahatan.56Hukum perkawinan menjelaskan status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil adalah anak yang sah karena baik KUH Perdata, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah tanpa mengatur usia kandungan, dan tentu saja perkawinan sah yang dimaksud adalah perkawinan yang dicatat melalui hukum negara.

Hukum negara saat ini membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah, dimana keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran

56Abdullah Wasian, “Akibat Hukum Perkawinan Siri Terhadap Kedudukan Istri, Anak Dan Harta Kekayaannya Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan”, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), halaman. 43

Draft Only

dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah, sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, orang menyebut anak yang demikian ini adalah anak luar kawin.57

Riduan Syahrani menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekuensi dalam bidang perwarisan, sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.58Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.

Nasab dalam hukum perkawinan dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pasal 42 UUP

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat daru suatu perkawinan yang sah.”

Pasal 43 UUP

57J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2000), halaman. 5

58Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1989), halaman. 100-101

Draft Only

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak tersebut di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 44 UUP

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan menegaskan:

(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Bila akta kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan pengadilan, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.59

Ketentuan di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur yaitu anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah, dan paling tidak ada dua bentuk kemungkinan yaitu anak sah lahir akibat perkawinan yang sah, dan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.Kompilasi Hukum Islam juga mengatur asal-usul seorang anak yang diatur dalam Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 Pasal 102 dan Pasal 103 KHI.

Pasal 99

59Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Draft Only

“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.”

Bisa di pahami dari peraturan tersebut, seorang anak dapat dikategorikan sah,

Bisa di pahami dari peraturan tersebut, seorang anak dapat dikategorikan sah,

Dokumen terkait