TESIS
Oleh
MUHAMMAD FAUZI SYAREYZA 147011130/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
Draft Only
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHAMMAD FAUZI SYAREYZA 147011130/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
Draft Only
Nama Mahasiswa : MUHAMMAD FAUZI SYAREYZA Nomor Pokok : 147011130
Program Studi : KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Edy Ikhsan, SH, MA) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)
Tanggal lulus : 10 Februari 2017
Draft Only
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum
Draft Only
Nama : MUHAMMAD FAUZI SYAREYZA
Nim : 147011130
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR NIKAH (STUDI PADA PERADILAN AGAMA MEDAN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : MUHAMMAD FAUZI SYAREYZA Nim : 147011130
Draft Only
i
pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, karena pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimanatata cara pengakuan anak dari hasil perkawinan siri dalam pandangan hukum islam,penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di Pengadilan Agama, dan akibat hukum yang timbul terhadap pewarisan anak luar nikah pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010
Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dengan munggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh), serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif.
Analisis data ini dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk menjawab permasalahan.
Tata cara pengakuan anak dari hasil perkawinan siri dalam pandangan hukum syari’ah baik dalam ketentuan Al-Qur’an, Hadist dan pendapat para ahli fiqih maupun para ulama, jika anak lahir dalam perkawinan yang sah menurut hukum agama (perkawinan siri), maka tidak ada tata cara pengakuan terhadap anak tersebut, karena secara hukum agama anak tersebut adalah anak sah, karena perkawinannya juga sah sesuai dengan hukum agamanya, namun dikarenakan hukum negara mengharuskan perkawinan dicatatkan, maka orang tua anak harus menikah ulang dan mencatat pernikahannya, dan selanjutnya setelah perkawinannya dicatatkan terhadap anak yang lahir dari perkawinan sirinya harus ditetapkan melalui permohonan pengakuan anak di pengadilan agama setempat. Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VII/2010 ini pada dasarnya dapat diterapkan oleh semua pengadilan agama pada pertimbangan hukum dalam putusan terkait anak luar kawin ini, dan salah satu putusan yang terkait dengan pengakuan anak luar kawin ini adalah Putusan Pengadilan Agama Barabai Nomor 0038/Pdt.P/2015/PA.Brb.Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka seorang anak diluar perkawinan berhak mendapatkan hak waris dari ayah biologisnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengakuan yang dimaksud tentu saja mempunyai akibat hukum, baik bagi anak maupun ayah kandungnya, dimana salah satu akibat yang timbul ketika adanya pengakuan adalah hak menuntut warisan.
Kata Kunci:Penerapan, Kewarisan, Anak Luar Nikah.
Draft Only
ii
protection for illegitimate child because principally the child is innocent. A child who has unclear status of father often gets unfair treatment and stigma in society. Law has to give legal protection and legal certainty to a child and to his right, including a child who is born from a vague marriage. The research problems were as follows:
how about the procedure of recognition on a child who is born from a ‘siri’ marriage (unregistered marriage) in the Islamic point of view, how about the implementation of the Constitutional Court’s Ruling No. 46/PUU.VII/2010 in the Religious Court, and how about the legal consequence of inheritance for illegitimate child after the Constitutional Court’s No. 46/PUU.VII/2010 was issued.
The research used descriptive normative analytical method by using secondary data as its main data. The data were gathered by conducting library research and analyzed qualitatively, based on description and facts to answer the problems.
The procedure of recognition on a child who is born from a ‘siri’ marriage in the Sharia point of view, in the Al-Quran, Hadits, and opinion of the Islamic scholars is that when a child is born from a legitimate marriage, there will be no recognition on him since from the religious point of view he is legitimate. However, since a marriage has to be registered, the parents have to get remarried and register it and the child has to be registered through the request for recognition to the local Religious Court. The Constitutional Court’s Ruling No. 46/PUU.VII/2010 can basically be implemented by all Religious Courts concerning an illegitimate child.
One of the rulings is the Ruling of the Brabai Religious Court No.
0038/Pdt.P/2015/PA.Brb. Based on the Constitutional Court’s Ruling No.
46/PUU.VII/2010, an illegitimate child has the right to get inheritance from his biological father; it is proved by science and technology. The recognition, of course, has legal consequences, either for the child or for his biological father, and one of the consequences is the right to claim inheritance.
Keywords: Implementation, Inheritance, Illegitimate Child
Draft Only
iii
Segala puji hanya bagi Allah SWT. Tuhan yang menguasai segala ilmu pengetahuan dan memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-nya. Tidak ada sebab utama selesainya penulisan tesis ini, kecuali karena ridha Allah SWT semata.
Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW ketegaran dan kesabaran beliau senantiasa menjadi teladan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kuliah di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tesis ini berjudul “PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR NIKAH (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)”.
Dalam penulisan tesis ini penulis telah berusaha dengan segala upaya agar tulisan ini dapat selesai dalam susunan yang sempurna. Namun penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis sangat bersyukur karena tidak sendiri dalam proses penyelesaian skripsi ini. Tesis ini diselesaikan berkat bimbingan, bantuan dan dukungan banyak orang. Karenanya tidak pantas jika penulis tidak memberikan ucapan terima kasih pada kesempatan ini.
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Draft Only
iv pendidikan;.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing III yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
5. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Pembimbing II yang telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku dosen penguji saya yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun kepada Penulis.
7. Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum, selaku dosen penguji saya yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun kepada Penulis.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tuaku ayahanda Syarifuddin, SE, MM dan ibunda Evita Ngadi yang dengan penuh perjuangan telah selalu mendoakan, membesarkan dan mendukung serta mendidik sedemikian rupa sehingga Penulis dapat sampai pada jenjang ini.
Kepada yang terkasih istriku Mutia Ramadani, SH, M.Kn yang dengan penuh perjuangan telah selalu mendoakan, membesarkan dan mendukung serta mendidik sedemikian rupa sehingga Penulis dapat sampai pada jenjang ini.
Kepada Adik-adikku yang telah memberikan semangat serta bantuan-bantuan lainya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
Kepada keluarga besar mahasiswa-mahasiswi Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2014 terkhusus group A, semoga kita semua sukses selalu.
Draft Only
v dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Februari 2017 Penulis
Muhammad Fauzi Syareyza NIM. 147011130
Draft Only
vi
Nama : Muhammad Fauzi Syareyza
Tempat/Tanggal lahir : Medan / 6 Agustus 1990 Jenis Kelamin : Laki laki
Status : Kawin
Agama : Islam
Alamat : Komplek Damai Indah Blok D No. 20 Medan
II. KELUARGA
Nama Ayah : Syarifuddin, SE, MM
Nama Ibu : Evita Ngadi
Nama : Mutia Ramadani, SH, M.Kn
III. PENDIDIKAN
1. SD Yaspendhar 2 Medan (1996 -2002) 2. SMP Yaspendhar2 Medan (2002 -2005) 3. SMA Harapan Mandiri Medan (2005 -2008)
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2008-2013) 5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU (2014-2017
Draft Only
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian... 9
F. KerangkaTeori Dan Konsepsi ... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Konsepsi... 18
G. Metode Penelitian... 20
1. Jenis Dan Sifat Penelitian ... 20
2. Metode Pendekatan ... 21
3. Sumber Data... 21
4. Teknik Pengumpulan Data... 22
5. Analisis Data ... 23
BAB II TATA CARA PENGAKUAN ANAK DARI HASIL PERKAWINAN SIRI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM... 25
A. Anak Luar Kawin Dan Kedudukan Anak Dari Hasil Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Islam... 25
B. Peranan Pemerintah Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Dari Hasil Perkawinan Siri... 34
Draft Only
A. Kedudukan Dan Kewenangan Lembaga Peradilan Agama
Dalam Menentukan Hak-Hak Anak Luar Kawin ... 44
B. Tanggung Jawab Peradilan Agama Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Luar Kawin Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010... 54
C. Penerapan Putusan Mahkamah Konstutisi Nomor 46/PUU- VII/2010 Di Pengadilan Agama ... 59
BAB IV AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL TERHADAP PEWARISAN ANAK LUA NIKAH PASCA DIKELUARKANNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010 ... 66
A. Kasus Posisi, Pertimbangan Hakim Serta Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010... 66
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Anak Luar Kawin Di Indonesia ... 80
C. Akibat Hukum Yang Timbul Terhadap Pewarisan Anak Luar Nikah Pasca Di Keluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46-PUU-VII/2010 ... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
Draft Only
A. Latar Belakang
Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa, sehingga sangat diperlukan pembinaan sejak dini bagi anak yang berlangsung secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Membentuk suatu keluarga kemudian melanjutkan keturunan merupakan hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan anak, bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling ditunggu–tunggu kehadirannya, karena dengan hadirnya seoarang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Menurut rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan akan lahir keturunan atau anak sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga orang tua yang dalam hal ini adalah suami atau istri atau ayah dan ibu yang berkewajiban memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Draft Only
Hukum mengenal bermacam-macam anak, yaitu anak sah, anak kandung, anak angkat, anak tiri dan anak yang lahir di luar perkawinan, oleh karena pengertian yang berbeda-beda itu, maka sebaiknya diuraikan sesuai dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
2. Anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari kandungan ibu dan ayah biologisnya.
3. Anak angkat adalah seorang anak yang bukan keturunan dari suami istri, namun anak tersebut diambil, dipelihara dan diperlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri, sehingga antara anak yang diangkat dan orang yang mengangkat anak timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandung sendiri.
4. Anak tiri adalah anak kandung istri janda atau dari suami duda yang mengikuti tali perkawinan.
5. Anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.1
KUH Perdata membedakan antara anak sah dan anak tidak sah atau anak luar kawin. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah atau anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya, dimana hal ini dinyatakan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dinyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Ketentuan pasal ini tidak memuat adanya suatu tenggang waktu untuk menentukan sah atau tidaknya seorang anak. Adapun seorang anak yang dilahirkan
1Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), halaman. 80
Draft Only
dari suatu perkawinan yang sah mempunyai kedudukan yang jelas terhadap hak- haknya termasuk hak mewarisnya.2KUH Perdata, memberlakukan prinsip bahwa
“keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah” dimana dalam Pasal 250 KUHPerdata dinyatakan bahwa “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya” Melihat definisi dari pasal tersebut maka anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan walaupun dari benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan.3
Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat, dimana dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai kedudukan hak dan kewajiban anak tersebut. Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian semakin mengemuka tatkala mahkamah konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur kelembagaan negara yang dibentuk berdasakan amanat Pasal 24 C Juncto Pasal 3 Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern.
2Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Dan Hukum Agama, (Jakarta: Erlangga, 2003), halaman. 133
3Ibid., halaman. 135
Draft Only
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).4Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.5
Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan tentang kedudukan anak luar kawin, dimanaterdapat kaitan status hukum dan pewarisan anak luar nikah pasca lahirnya putusan ini. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebahagian permohonan pengujian, dimana Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur hubungan keperdataan anak di luar perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan pengujian pasal dimaksud diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang menikah secara siri dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru Moerdiono.
Machica memohonkan agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak
4Ikhsan Rosyada, Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), halaman. 18
5Ibid.
Draft Only
mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya.Putusan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi pihak yang mendukung menilai putusan ini merupakan terobosan hukum yang progresif dalam melindungi anak, sedangkan bagi pihak yang kontra mengkhawatirkan putusan ini merupakan afirmasi dan legalisasi terhadap pernikahan siri maupun perbuatan zina, kumpul kebo.Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, maka kekhawatiran pihak yang kontra terhadap putusan ini sebenarnya tidak beralasan. Justru putusan ini memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak sembarangan melakukan hubungan di luar pernikahan, karena ada implikasi yang akan dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya tersebut.
Mahkamah Konstitusi bermaksud agar anak yang dilahirkan diluar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, karena pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat.Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak- hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Salah satu yang menjadi hak anak dalam keluarga adalah mendapatkan harta warisan dari kedua orang tuanya. Warisan adalah peninggalan benda pusaka yang memiliki nilai tawar ketika orang telah meninggal bagi ahli warisnya yang dibagikan menurut ketentuan hukum waris. Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum
Draft Only
kekeluargaan, sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.6
Suasana pluralistis hukum kewarisan, pada kenyataannya masih tetap mewarnai sistem dan penerapan hukum kewarisan di dalam negeri. Seperti yang diketahui, sampai saat ini masih di kenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif, yaitu sistem hukum waris perdata, sistem hukum waris adat dan sistem hukum waris islam. Padahal sebagai negara yang telah lama merdeka sudah pada tempatnya apabila hukum kewarisan yang berlaku di dalam masyarakat berbentuk kodifikasi dan unifikasi.7
Harta warisan seringkali menjadi akar dari pertengkaran dan perselisihan jika tidak dibagikan dengan baik dan seadil-adilnya, terlebih lagi jika orang yang meninggal memiliki saudara dan seorang anak luar nikah yang tidak memiliki hubungan darah. Anak luar nikah ini biasanya menjadi tonggak perseteruan di antara saudara-saudara orang yang meninggal, maka dari itu, hukum kewarisan bagi anak luar nikah ada bagian-bagian tersendiri yang memang mengaturnya, khususnya setelah dilahirkannya putusan mahkamah konstitusi tersebut.
Penelitian ini berkaitan dengan penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di lembaga peradilan agama, yang mana salah satunya terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Barabai Nomor 0038/Pdt.P/2015/PA.Brb,
6M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan Antara Ajaran Syafi’i Dan Wasiat Wajib Di Mesir Tentang Pembagian Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, (Jakarta: FH UI, 1982), halaman. 154
7Ibid.
Draft Only
dimana majelis hakim terhadap perkara ini menetapkan amar putusan sebagai berikut:8
1. Mengabulkan permohonan para pemohon dalam register perkara ini untuk seluruhnya.
2. Menetapkan anak yang bernama Muhammad Reza Fahlevi Bin Sapwani adalahanak kandung dari Pemohon I (Sapwani Bin H. Asrani) dengan Pemohon II(Salmawati Binti Pahrul Razi).
3. Membebankan kepada para pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 201.000 (dua ratus satu ribu rupiah).9
Berdasarkan petikan isi dari putusan tersebut diatas, penelitian ini selanjutnya akan diberi judul “Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Nikah (Studi Putusan Peradilan Agama).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka dapat di identifikasi beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana tata cara pengakuan anak dari hasil perkawinan siri dalam pandangan hukum islam?
2. Bagaimana penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di Pengadilan Agama?
8Putusan Pengadilan Agama Barabai Nomor 0038/Pdt.P/2015/PA.Brb
9Putusan Pengadilan Agama Barabai Nomor 0038/Pdt.P/2015/PA.Brb
Draft Only
3. Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap pewarisan anak luar nikah pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010?
C. Tujuan Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum khususnya hukum yang mengatur tentang status anak luar nikah, maka sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang tata cara pengakuan anak dari hasil perkawinan siri dalam pandangan hukum islam?
2. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di Pengadilan Agama.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang akibat hukum yang timbul terhadap pewarisan anak luar nikah pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, yaitu:
1. Manfaat secara teoretis dimana penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum pewarisan waris dan status anak luar nikah.
Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
Draft Only
2. Manfaat secara praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.10 Secara praktis diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak anak luar nikah.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Nikah (Studi Putusan Peradilan Agama)” adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang di uraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda, dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Adapun beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:
1. Nama : Fitri Zakiyah
Nim : 087011044
Judul : Perbandingan Studi Hak Waris Anak Luar Nikah Antara
10Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), halaman. 106
Draft Only
Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Perdata BW Rumusan Masalah:
1. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
2. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut KUH Perdata?
3. Bagaimana perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Perdata BW?
2. Nama : Ayu Yulia Sari
Nim : 097011052
Judul : Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dan KUH Perdata Rumusan Masalah:
1. Bagaimana kriteria anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
2. Bagaimana kedudukan anak luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
3. Bagaimana akibat hukum anak luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
3. Nama : Nieko Indharwan Irwan
Nim : 117011014
Judul : Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah Di Tinjau Dari Segi Hukum Kewarisan Islam
Draft Only
Rumusan Masalah:
1. Bagaimana pembagian harta waris menurut ketentuan yang di syari’atkan hukum Islam?
2. Bagaimanakah pembagian harta waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)?
3. Bagaimanakah perbandingan pembagian harta waris antara Hukum Islam dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)?
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.11 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.
Soerjono, menyatakan bahwa “keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”12 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan
11M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman. 80
12Soerjono Soekanto, Op. Cit., halaman. 6
Draft Only
dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori perlindungan hukum, dimana penggunaan teori perlindungan hukum dalam tesis ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak anak luar nikah baik dari segi status hukum maupun status pewarisannya. Menurut Satjipto Raharjo “hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.”13Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.14
Setiono menyatakan bahwa “perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.”15Muchsin menyatakan bahwa “perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah- kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
13 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000), halaman. 53
14Ibid.
15 Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana:
Universitas Sebelas Maret, 2004), halaman. 3
Draft Only
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.”16 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:17
a. Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan- batasan dalam melakukan sutu kewajiban.
b. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Perlindungan hukum bagi rakyat adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri negara hukum pancasila ialah:18
a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
b. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
16Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis, Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), halaman. 14
17Philippus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), halaman. 20
18Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945
Draft Only
c. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram.
Teori keadilan juga digunakan dalam penelitian ini, dimana penggunaan teori keadilan dalam tesis ini bertujuan untuk memberikan rasa keadilan terhadap hak-hak anak luar nikah baik dari segi status hukum maupun status pewarisannya. Radburch menyatakan bahwa hukum mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkret manusia, hal ini disebabkan karena intrinsik dalam hukum pada hakikatnya adalah sebagai salah satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur lain punya tugas masing-masing, dimana ilmu bertugas menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah laku susila untuk moralitas, jadi masing-masing punya misi dan tugas sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah manusia dengan segala kebutuhannya.19
Radburch menegaskan bahwa hukum sebagai pengemban nilai keadilan, dan juga menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya suatu tatanan hukum, tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum, dengan demikian
19 Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), halaman. 129
Draft Only
keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan bersifat normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif, karena kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan keadilan bersifat konstitutif, dikarenakan keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum, tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.20
Surbekti menyatakan bahwa“hukum mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.”Surbekti juga menyatakan bahwa “hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, dimana hal tersebut adalah syarat- syarat pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.”Keadilan dapat digambarkan sebagai suatu keadaan yang seimbang sehingga dapat membawa ketentraman di dalam hati orang, yang apabila dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.21
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Persoalan keadilan menjadi hal yang utama dalam pemikiran hukum kodrat pada masa yunani kuno. Aristoteles pada dasarnya mengikuti pemikiran plato ketika aristoteles mulai mempersoalkan tentang keadilan dan kaitannya dengan hukum
20Ibid., halaman. 131
21C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989), halaman. 41
Draft Only
positif, namun yang membedakan di antara mereka, bahwa plato dalam mendekati problem keadilan dengan sudut pandang yang bersumber dari inspirasi, sementara aristoteles mendekati dengan sudut pandang yang rasional, yang menghubungkan keduanya adalah bahwa keduanya sama-sama berupaya membangun konsep tentang nilai keutamaan (concept of virtue), yang bertujuan untuk mengarahkan manusia pada suatu kecondongan, yang pada dasarnya telah menjadi problem utama dalam pemikiran hukum kodrat masa itu, tentang arah yang baik atau arah yang buruk, berdasarkan nilai keadilan atau tiadanya keadilan. Hal ini dikarenakan pada saat itu sudah terdapat gagasan umum tentang apa yang adil menurut kodratnya dan apa yang adil itu harus sesuai atau menurut keberlakuan hukumnya.22
Sumaryono juga mengemukakan bahwa dalil hidup manusia harus sesuai dengan alam merupakan pemikiran yang diterima saat itu, dan oleh sebab itu dalam pandangan manusia, seluruh pemikiran manusia harus didasarkan pada kodratnya tadi, sehingga manusia dapat memahami dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan alam tempat manusia hidup.23
Pada abad modern, terdapat salah seorang yang dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan konsep keadilan. Rawls berpendapat bahwa
“keadilan hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan dasar
22Made Subawa, Pemikiran Filsafat Hukum Dalam Membentuk Hukum, (Denpasar: Assosiasi Ilmu Politik Indonesia, 2007), halaman. 244-245
23E. Sumaryono, Etika Dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 92.
Draft Only
(basic liberties) dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.”
Rawls memunculkan suatu ide dalam bukunya “a theory of justice”atau teori keadilan yang bertujuan agar dapat menjadi alternatif bagi doktrin-doktrin yang mendominasi tradisi filsafat terdahulunya, dengan cara menyajikan konsep keadilan yang mengeneralisasikan dan mengangkat teori kontak sosial. Keadilan sebagai fairness dimulai dengan salah satu pilhan yang paling umum yang bisa dibuat orang bersama-sama, yakni dengan pilihan prinsip pertama dari konsepsi keadilan yang mengatur kritik lebih lanjut serta reformasi institusi.
Berdasarkan dari terminologi keadilan jelas bahwa untuk dapat melihat adanya gambaran keadilan terdapat ukuran tersendiri yang dapat mengukurnya.
Bersandar pada gambaran itulah, maka keadilan hukum terbagi atas dua yaitu keadilan menurut perundang-undangan (legal justice) yang didasarkan pada hukum yang tertulis dan ada dalam teks perundang-undangan dan juga keadilan dalam praktek (practical justice).
Memaknai keadilan memang selalu berawal dari keadilan sebagaimana juga tujuan hukum yang lain yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan, keadilan memang tidak secara tersurat tertulis dalam teks tersebut tetapi pembuat undang-undang telah memandang pembuatan produk perundang-undangannya didasarkan pada keadilan yang merupakan bagian dari tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan
Draft Only
(justice) yang dimuat dalam teori tujuan hukum klasik sedangkan dalam teori prioritas modern baku yang ada dalam teori modern yaitu tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Teori keadilan dipergunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Teori keadilan selalu menempatkan keadilan sebagai tujuan dibentuknya hukum dan selalu ada pertimbangan keadilan dalam kaidah-kaidah hukum. Melalui teori ini akan ditentukan pertimbangan keadilan dibalik perumusan kaidah hukum, yang memberikan keadilan terhadap hak-hak anak luar kawin.
2. Melalui teori ini akan coba di analisis apakah terhadap hak-hak anak luar kawin sudah terdapat konsep keadilan atau belum terdapat konsep keadilan dalam pelaksanaan hak-haknya.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksidan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksiyang digeneralisasikandari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.24Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:
a. Penerapan adalahperbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa ahli berpendapat bahwa, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu
24 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), halaman. 3
Draft Only
kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.
b. Putusan adalahsuatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang memuat kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.
c. Mahkamah Konstitusi adalah merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
d. Pewarisan adalahdimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing secara individual atau perorangan. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian, maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk digunakan dan dinikmati.
e. Anak adalahsatu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk ciptaan tuhan yang sedang menempuh perkembangannya menuju kedewasaan. Anak adalah orang yang belum genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri di muka hukum.
Draft Only
f. Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut agama namun perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Dan Sifat Penelitian
Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.25
Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.26 Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang,
25Soerjono Soekanto(2), Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), halaman. 42
26 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), halaman. 13
Draft Only
proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.27
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.28 Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
3. Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi
27Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), halaman. 35
28Ibid., halaman. 93
Draft Only
serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.29Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) dan juga dengan melakukan penilitian langsung dilapangan (field research). Studi kepustakaan (library research) adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang
29 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:
Bayumedia, 2006), halaman. 192
Draft Only
berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.
Penelitian lapangan (field research) adalah suatu sarana atau alat pengumpulan data di dalam penelitian dengan menunjukkan adanya suatu hubungan diantara dua pihak yang mengandalkan diri pada pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bahan yang dikaji. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi- konsepsi, teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.30
5. Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:
a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan penelitian.
b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.
c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.
30 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, halaman. 24
Draft Only
d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.31
Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.32
31Soejono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), halaman. 225
32Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), halaman. 48
Draft Only
A. Anak Luar Kawin Dan Kedudukan Anak Dari Hasil Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Islam
Pelaksanaan perkawinan di tanah air selalu bervariasi bentuknya, mulai dari perkawinan yang didaftarkan ke catatan sipil, perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat yaitu perkawinan siri. Perkawinan ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti kawin bawah tangan, kawin siri atau nikah siri, dan untuk memahami secara mendalam tentang hakikat perkawinan maka harus dipahami secara menyeluruh ketentuan tentang perkawinan, dimana ketentuan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum Islam.
Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.33 Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.34
33Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
34 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 & Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), halaman. 1
Draft Only
Perkawinan menurut hukum syari’ah adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah agama dan melaksanakannya merupakan ibadah.35Pengertian kawin dalam hal ini adalah kawin, perkawinan, nikah, pernikahan, yang mana kawin dalam ajaran syari’ah disebut nikah, sedangkan nikah menurut bahasa adalah jima’ yang berarti penggabungan, pencampuran, berhimpun atau watha’. Secara harfiah, kata nikahberarti untuk mengumpulkan sesuatu, menurut istilah kata nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita atau melakukan watha dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sesusuan.36
Sedangkan kawin siri menurut arti katanya adalah perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.37Kata sirri, israr yang berarti rahasia, kawin siri menurut arti katanya, perkawinan (ikatan seorang laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri) yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.38Perkawinan tersebut tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, dimana perkawinan itu dianggap sah menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah.39
35Pasal 2, Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
36 Raghib Isfahani, Mufridat Al-Quran Nakaha, (Lahore: Ahl Hadis Academy, 1971), halaman. 1077
37 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1979), halaman. 176
38Ibid., halaman. 167
39Saidus Syahar, Undang-Uundang Perkawinan Dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1981), halaman. 22
Draft Only
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, apabila dibandingkan rumusan tentang pengertian perkawinan menurut hukum syari’ah dengan rumusan dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI mengenai pengertian perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsip antara keduanya, namun demikian ada yang agak berbeda bila melihat kembali Pasal 26 KUH Perdata yang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.40
KUH Perdata menyebutkan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.”41 Rumusan ini dianggap kurang sinkron dengan hukum perkawinan diatas, karena perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri, dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, umpamanya kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang penting yaitu bahwa si istri seketika tidak dapat bertindak sendiri sebagaimana ketia ia masih belum terikat perkawinan tetapi harus dengan persetujuan suami.42
40 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1990), halaman. 7
41Pasal 81 Kitam Undang-Undang Hukum Perdata
42Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Bina Aksara, 2000), halaman. 93
Draft Only
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi, meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain, sehingga berbagai permasalahan pun akhirnya timbul, nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di tanah air saat ini.
Masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut, biasanya nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang atau dalam hal ini adalah pejabat pencatat nikah. Terhadap pernikahan siri ini dikalangan masyarakat juga mengalami pro dan kontra, terutama akibta hukum yang ditimbulkan jika lahirnya seorang anak dalam perkawinan siri tersebut.
Memelihara nasab atau nasal adalah salah satu tujuan utama dalam ajaran syari’ah, karena menurut salah satu tujuan umum ajaran syari’ah adalah mewujudkan kemaslahatan (kebaikan dan kesejahteraan) manusia. Nasab adalah salah satu dari kelima hak anak, yakni nasab, rada’ (susuan), hadhanah (pemeliharaan), walayah (perwalian atau perlindungan), dan nafaqah (nafkah), sebab ditetapkannya nasab seorang anak pada ibunya, adalah adanya kelahiran, baik kelahiran itu akibat
Draft Only
persetubuhan yang sesuai dengan syara’ maupun karena persetubuhan yang menyalahi syara’.43
Kelompok yang termasuk anak luar nikah adalah anak zina, anak mula’anah, anak syubhat, untuk anak li’an dan anak syubhat, ulama’ sepakat dapat menjadi anak sah melalui pengakuan (al iqraru bin nasab atau istilhaq). Penetapan nasab dalam perspektif hukum syari’ah mempunyai arti yang sangat penting, karena dalam penetapan itulah dapat diketahui nasab anak tersebut. Anak zina ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di tanah air ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.44
Menurut ajaran syari’ah, anak itu terlahir suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini. Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil di luar nikah tidak ada ‘iddahnya, menurutnya wanita yang berzina tidak ditentukan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh nikah syar’i, karena iddah itu disyari’atkan untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma, dalam hal ini sperma zina tidak dihargai, dengan alasan tidak ditetapkannya keturunan anak zina kepada ayah biologis, tetapi kepada ibunya.45
Menurut ajaran syari’ah, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah, sebaliknya
43 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), halaman. 114
44Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), halaman. 38-39
45Ibrahim Al-Bajuri, Op. Cit., halaman.111
Draft Only
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tidak dapat disebut sebagai anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah. Syafi’i menyebutkan bahwa anak dari hasil perzinaan tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ayah biologisnya, bahkan anak dari hasil perzinaan boleh dinikahi dari ayah biologisnya, akan tetapi hukumnya makhruh, dikarenakan untuk menghindari khilafiyah di antara ulama.46Syafi’i menjelaskan bahwa anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya, dan jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan maka hanya dinasabkan kepada ibunya, karena diduga ibunya telah melakukan hubungan seks dengan orang lain, sedangkan batas waktu hamil, paling kurang enam bulan.47
Nasab dalam hukum syari’ah bisa diartikan keturunan, nasab juga berarti legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.48Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan disebabkan karena adanya
46 Ibrahim Al-Bajuri, Al-Bajuri, (Indonesia: Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, 1998), halaman. 111
47As’yari Abdul Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Andes Utama, 1987), halaman. 81
48 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), halaman. 114
Draft Only
hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan.49
Menurut hukum syari’ah yang telah disepakati oleh para fuqaha dalam sebagian besar kitab fiqih bahwa seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, dan sahnya seorang anak di dalam hukum syari’ah adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hukum syari’ah ada ketentuan batasan kelahirannya, yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah enam bulan.
Aswadi Syukur menyatakan bahwa para fuqaha menetapkan suatu tenggang kandungan yang terpendek adalah enam bulan.50Seluruh mazhab fikih, baik mazhab sunni maupun syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan, sedangkan dalam hal penghitungan antara jarak kelahiran dengan masa kehamilan terdapat perbedaan, menurut kalangan Mazhab Hanafiah dihitung dari waktu akad nikah, dan menurut mayoritas ulama dihitung dari masa adanya kemungkinan mereka bersenggama.51
Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yang salah satunya melalui pernikahan yang sah. Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah
49Ibid.
50 Asywadie Syukur, Intisari Hukum Perkawinan Dan Kekeluargaan Dalam Fikih Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), halaman. 32
51 Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), halaman. 65
Draft Only
apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan dengan syarat anak itu dilahirkan enam bulan setelah perkawinan, maka berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan setelah akad nikah seperti dalam aliran mazhab Abu Hanifah, atau kurang dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan senggama seperti pendapat mayoritas ulama, adalah tidak dapat dinisbahkan kepada laki-laki atau suami wanita yang melahirkannya, hal itu menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan dari suaminya.
Tidak sahnya seorang anak untuk dinisbahkan kepada suami ibunya, mengandung pengertian bahwa anak itu dianggap sebagai anak yang tidak legal, tidak mempunyai nasab, sehingga tidak mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orang tuanya, dengan demikian anak yang lahir dari perkawinannya kurang dari enam bulan maka dalam hukum syari’ah anak itu dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya dan hanya memiliki hubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah atau bapak alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum syari’ah. Perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri, begitu juga ayah atau bapak alami (genetik) tidak sah
Draft Only
menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan, jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.
Ada perbedaan pokok aturan dan pemahaman mengenai anak sah antara hukum syari’ah dan hukum perkawinan yaitu menurut hukum syari’ah anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dimana kelahiran anak dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia enam bulan dari perkawinan yang sah atau kemungkinan terjadinya hubungan badan antara suami isteri dari perkawinan yang sah tersebut maka anak itu adalah anak yang sah, apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam hukum syari’ah adalah anak tidak sah sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya.
Seseorang suami menurut hukum syari’ah dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikanya, untuk menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan:
1. Suami belum pernah menjima' istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.
2. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur.
3. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima’ oleh suaminya.52
52 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), halaman. 284
Draft Only
Kemudian, anak hasil dari perkawinan siri sebagai anak yang sah dalam hukum syari’ah juga harus terpenuhi semua hak-haknya dalam hal kedudukannya sebagai anak, adapun hak-hak anak dalam suatu perkawinan antara lain:53
1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
2. Hak anak dalam kesucian keturunannya.
3. Hak anak dalam menerima pemberian nama-nama yang baik oleh kedua orang tuanya.
4. Hak anak dalam menerima susuan.
5. Hak anak dalam mendapatkan pengasuhan yang layak, perawatan, pengayoman, dan pemeliharaan.
6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya.
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.54
Islam tidak membedakan kedudukan anak dalam perkawinan siri, selama perkawinan memenuhi semua rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam ajaran syari’ah maka perkawinan tersebut hukumnya adalah sah dan begitupun dengan anak hasil perkawinan tersebut berkedudukan sama dan harus mendapatkan hak-haknya sebagai anak yang sah.55
B. Peranan Pemerintah Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Dari Hasil Perkawinan Siri
Salah satu masalah yang paling krusial dalam perkawinan siri adalah bilamana rumah tangga yang dilakoni suami isteri itu telah melahirkan keturunan (anak).
Dampak negatifnya berujung pada si anak, paling tidak anak-anak kurang mendapat perlakuan yang semestinya dibanding dengan anak-anak dari keluarga yang resmi.
53Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 1992), halaman. 21
54Ibid.
55Ibid., halaman. 22