• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

G. Analisis Data

Ekstrak kacang 5 mg/mL dalam aquades 9 ml aquadest Pelarutan 1 mL ekstrak encer

Pencampuran

Penambahan aquades s/d tanda (25 ml) 1mL reagen

Folin Ciocalteu

Penyimpanan pada suhu kamar dan kondisi gelap (90menit)

Peneraan pada λ 750 nm

5 menit

Gambar 3.4 Skema Analisis Fenolik Metode Folin Ciocalteu

Pengujian statistik untuk parameter asam sianida dan total fenol dianalisis mengaplikasikan software SPSS 13.0 menggunakan analisis variansi (ANOVA) pada α 5% kemudian dilanjutkan dengan pengujian Duncan Multiple Range Test (DMRT).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Asam Sianida (HCN)

Glikosida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat di dalam bahan pangan nabati dan secara potensial dapat beracun karena dapat terurai dan menghasilkan hidrogen sianida yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Pengujian yang dilakukan ini merupakan pengujian untuk mengetahui kadar asam sianida dalam tempe koro babi. Pengujian kadar asam sianida menggunakan metode titrasi AOAC. Sebelum dianalisis, tempe tiap perlakuan dikecilkan ukuran kemudian dioven pada suhu 100oC selama 2 jam yang bertujuan untuk memaksimalkan hidrolisis HCN dalam bahan. Setelah itu bahan dihaluskan dengan menggunakan blender hingga melewati ayakan 80 mesh. Semua bahan yang telah halus disimpan dalam botol kering, ditutup rapat untuk selanjutnya dianalisis. Kadar asam sianida (HCN) pada tempe koro babi dengan variasi lama fermentasi dan pengecilan ukuran. dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Kadar Asam Sianida (mg/g db) Tempe Koro Babi dengan Berbagai Perlakuan

lama fermentasi (jam) Pengecilan Ukuran

Cacah Rajang

0 0.060d 0.072e

30 0.048c 0.036b

36 0.036b 0.036b

42 0a 0a

48 0a 0a

*)superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata (p< 0,05)

Pada fermentasi 0 jam, tempe koro babi dengan perlakuan cacah dan rajang hasilnya berbeda nyata, hal ini disebabkan karena ukuran biji koro sebelum fermentasi. Tempe koro babi dengan perlakuan cacah 0 jam, kadar asam sianidanya lebih rendah dibandingkan tempe koro babi perlakuan rajang 0 jam. Pada fermentasi tempe koro babi 30 jam menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan waktu fermentasi 0 jam, dan pada perlakuan cacah dan rajang menunjukkan beda nyata. Sedangkan pada fermentasi 36 jam, perlakuan cacah dan rajang tidak menunjukkan beda nyata. Pada fermentasi 42 jam menunjukkan beda nyata dengan waktu fermentasi sebelumnya, tetapi antara tempe perlakuan rajang dan cacah tidak menunjukkan beda nyata. Pada waktu fermentasi selanjutnya yaitu 48 jam hasilya tidak berbeda nyata dengan tempe fermentasi 42 jam. Begitu pula pada variasi perngecilan ukuran tidak memberikan pengaruh pada kadar HCN tempe koro babi.

Dapat disimpulkan bahwa variasi pengecilan ukuran rajang dan cacah menunjukkan beda nyata pada kadar HCN tempe koro babi. Variasi lama fermentasi tempe koro babi, 0jam, sampai dengan 36 jam berpengaruh pada kadar HCN tempe koro babi yang kadar HCNnya terus mengalami penurunan.

Fermentasi 42 jam ke atas juga memberi pengaruh pada kadar HCN tempe koro babi, yang mana kandungannya bisa mencapai 0 mg.

Bila dilihat dari kadar HCN tempe koro babi pada fermentasi 0 jam yaitu 0,072 mg/g sampel, maka diperkirakan biji mentahnya mempunyai kadar asam sianida yang lebih tinggi dari 0,072 mg/g. HCN yang ada kemungkinan telah banyak tereliminasi karena sifat dari HCN sendiri yang larut air, dan sebelumnya telah dilakukan perendaman selama 3 hari dengan penggantian air setiap harinya. Selanjutnya setelah mengalami fermentasi, kadar HCN mengalami penurunan sampai kadar 0 mg/g. Pola penurunannya dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Kadar HCN selama Fermentasi Tempe Koro Babi

Secara keseluruhan , hasil penelitian menunjukkan kadar HCN pada tempe koro babi rajang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena perbedaan luas permukaan sampel akibat perbedaan pengecilan ukuran antara cacah dan rajang. Ukuran biji pada tempe cacah lebih kecil sehingga lebih banyak jumlah HCN yang tereleminasi, sedangkan pada tempe rajang yang ukurannya lebih besar lebih banyak HCN yang terperangkap dalam sampel.

Menurut Bayu Kanetro dan Setyo Hastuti (2006), langkah pertama menghilangkan HCN yaitu dengan cara pengirisan dan perendaman. Langkah selanjutnya adalah dengan cara pemanasan atau perebusan.

Perlakuan perendaman dan pemanasan efektif dalam mengeliminasi HCN yang terikat pada senyawa glikosida dan pada prinsipnya adalah mengusahakan terjadinya hidrolisis yang membebaskan HCN pada bahan.

Cheeke (1985) dalam Utomo (2004) dalam Bayu Kanetro dan Setyo Hastuti (2006) menjelaskan bahwa koro babi dipengaruhi sifat asam sianida yang mempunyai titik didih 26,5oC, dan sangat larut dalam air, sehingga pada proses perebusan yang suhunya diatas titik didih asam sianida, bisa menurunkan kadar asam sianida yang ada. Proses pengolahan seperti perendaman, pengirisan, dan penghancuran menyebabkan terjadinya hidrolisis sehingga membebaskan senyawa HCN. Proses perebusan selain dapat mengeliminasi senyawa HCN juga menyebabkan biji koro menjadi lebih lunak sehingga lebih aman dan mudah dikonsumsi.

Penurunan kadar HCN diduga dipengaruhi oleh aktifitas bakteri, diketahui bahwa titik didih HCN 26,5 oC, pada 24 jam fermentasi suhu tempe meningkat hingga 40 oC, lalu pada 36-48 jam suhu nya antara 25 -37 oC (Kasmidjo, 1990) kemungkinan yang terjadi adalah HCN rusak karena suhu tempe lebih tinggi dari titik didihnya. Kemungkinan yang lain, diduga

peningkatan kadar air tempe selama fermentasi juga turut melarutkan HCN dalam tempe dan ikut teruap pada saat pengeringan.

Menurut Winarno (1997) kapang merupakan salah satu mikroba yang mempunyai enzim untuk memecah ikatan glukosidik. Enzim yang mampu memecah ikatan glukosidik adalah enzim -glukosidik (Mega dan Matsushima, 1983 dalam Wedhastri, 1993). Medikasari dan Marniza (2007), pada fermentasi kecap koro benguk, penurunan kadar HCN yang terkandung di dalam kecap diduga karena adanya senyawa HCN yang dipecah oleh kapang.

HCN kemudian diuapkan oleh pemasakan moromi sehingga kadarnya berkurang. Menurut Wedhastri (1993) Rhizopus oryzae dapat menurunkan kadar HCN (67,79%) dan Aspergillus oryzae (37,20%). Diduga terjadi mekanisme yang sama pada fermentasi tempe koro babi.

Data kadar HCN yang didapat dari hasil penelitian dibandingkan dengan lethal dose atau kadar HCN maksimal yang dapat diterima tubuh, HCN dapat menyebabkan kematian pada dosis 0,5-3,5 mg HCN/kg berat badan ( Winarno, 2002 ). Diasumsikan orang mengkonsumsi tempe koro babi 100 g tempe koro babi (dari hasil penelitian), maka total HCN yang masuk ke tubuh adalah 0,072 mg/g bahan (jumlah tertinggi hasil penelitian), dikalikan 100 g bahan, yaitu 7,2 mg HCN. Jika rata-rata berat manusia diasumsikan 50 kg, maka didapatkan hasil HCN yang masuk ke tubuh adalah 7,2 mg/ 50 kg berat badan atau 0,144 mg/ kg berat badan. Dibandingakn dengan dosis HCN yang dapat menyebabkan kematian di atas, maka dikatakan tempe koro babi dengan hasil HCN tertinggi pun masih layak dikonsumsi. Tubuh manusia umumnya tidak tahan terhadap HCN pada dosis 0,06 gram. Bila mengonsumsi HCN pada dosis lethal (mematikan) itu, biasanya manusia sudah bisa mati. Namun, ada pula yang masih bertahan hidup dan disembuhkan walau telah mengonsumsi HCN sebanyak tiga kali lipat dari dosis lethal itu.

2. TOTAL FENOL

Komponen fenolik atau disebut juga polifenol merupakan produk metabolisme sekunder tanaman yang banyak didapatkan pada tanaman.

Substansi ini mempunyai berbagai macam struktur dan fungsi yang berbeda.

Secara umum, fenolik terdiri atas cincin aromatik yang mengikat satu atau lebih gugus hidroksil (Robards et al., 1999). Kadar total fenol pada tempe koro babi dengan variasi lama fermentasi dan pengecilan ukuran dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Kadar Total Fenol (%) Tempe Koro Babi dengan Berbagai Perlakuan lama fermentasi (jam) Pengecilan Ukuran

cacah Rajang

0 0,014750a 0,014750a

30 0,149900b 0,152650b

36 0,201825f 0,178300e

42 0,170400d 0,162750d

48 0,234400g 0,192620f

*)superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata (p< 0,05)

Pada 0 jam fermentasi, kadar total fenol pada tempe dengan perlakuan cacah dan rajang hasilnya tidak berbeda nyata, hal ini disebabkan karena koro sama-sama belum terfermentasi. Begitu pula pada fermentasi 30 jam, kadar total fenol tempe dengan perlakuan cacah dan rajang tidak menunjukkan beda nyata. Sedangkan pada 36 jam fermentasi kadar total fenol tempe dengan perlakuan cacah dan rajang menunjukkan beda nyata. Pada fermentasi 42 jam kadar total fenol berbeda nyata dengan waktu fermemntasi sebelumnya, tetapi antara tempe dengan perlakuan rajang dan cacah tidak menunjukkan beda nyata. Pada waktu fermentasi selanjutnya yaitu 48 jam, kadar total fenol berbeda nyata dengan tempe fermentasi 42 jam. Begitu pula perlakuan variasi pengecilan ukuran juga memberi pengaruh pada kadar total fenol tempe koro babi.

Dapat disimpulkan bahwa variasi pengecilan ukuran biji koro babi berpengaruh pada kadar total fenol tempe koro babi. Variasi lama fermentasi tempe koro babi, dari 0 jam sampai dengan 48 jam juga berpengaruh pada kadar total fenol tempe koro babi. Selanjutnya kenaikan kadar total fenol tempe koro babi dapat dilihat pada Gambar 4.2

Gambar 4.2. Kadar Total Fenol selama Fermentasi Tempe Koro Babi Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan kadar total fenol pada tempe koro babi rajang lebih tinggi dibandingkan tempe koro babi cacah. Dari gambar 4.2 di atas dapat dilihat bahwa kadar total fenol yang diperoleh mengalami kenaikan pada masing-masing perlakuan pengecilan ukuran dan lama fermentasi, jadi pengecilan ukuran dan lama fermentasi dapat meningkatkan kdar total fenol pada tempe koro babi.

Pada kedua perlakuan pengecilan ukuran, dari fermentasi 0 jam hingga 36 jam kadar total fenol terus mengalami peningkatan, namun pada fermentasi 42 jam kadar toral fenol perlakuan cacah dan rajang mengalami penurunan. Lalu pada fermentasi 48 jam, kadar total fenol kembali mengalami kenaikan pada masing-masing variasi pengecilan ukuran.

Kemungkinan yang terjadi ialah, pada 0 jam hingga 36 jam fermentasi terjadi pembentukan senyawa fenol oleh perombakan senyawa dalam tempe koro babi oleh mikrobia. Kadar total fenol paling tinggi pada 36 jam fermentasi, hingga setelah itu terjadi penurunan kadar total fenol pada fermentasi 42 jam. Hal ini dimungkinkan aktifitas mikrobia paling maksimal adalah pada waktu fermentasi 36 jam, setelah itu aktifitas mikrobia mengalami penurunan karena substrat yang telah habis dirombak, atau kondisi yang tidak lagi sesuai dengan syarat tumbuh mikrobia. Penyimpangan yang

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

0 6 12 18 24 30 36 42 48

lama fermentasi (jam)

kadar total fenol (%)

cacah rajang

terjadi adalah pada fermentasi 48 jam kadar total fenol kembali mengalami kenaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah, tempe telah mengalami over fermented karena aktifitas lanjutan dari mikrobia, yang menghasilkan bau, yang terdeteksi sebagai fenol, sehingga kadar total fenol tempe koro babi kembali mengalami kenaikan setelah mengalami penurunan.

Dalam koro babi sudah mengandung senyawa antioksidan seperti asam fenolik, tannin serta antosianin (Souâd Akroum, 2009). Kemudian dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas.( Sutikno Arthur, 2009).

Menurut Sutikno Arthur, (2009) dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium. Pernyataan ini juga didukung oleh Anonim (2008b). Jika pada fermentasi tempe ditemukan adanya bakteri Micrococcus sp. adalah bakteri berbentuk kokus, gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora, bisa tumbuh baik pada medium nutrient agar pada suhu 30oC dibawah kondisi aerob. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon sebagai antioksidan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Variasi pengecilan ukuran dan lama fermentasi berpengaruh terhadap kadar HCN tempe koro babi, semakin kecil ukuran biji koro dan semakin lama waktu fermentasi maka kadar asam sianidanya semakin kecil.

2. Pada fermentasi 0, 30, 36, 42, dan 48 jam kadar asam sianida biji koro babi cacah berturut-turut adalah 0.060 mg/g, 0.048 mg/g, 0.036 mg/g, 0 mg/g, dan 0 mg/g, sedangkan untuk biji koro babi rajang adalah 0.072 mg/g, 0.036 mg/g , 0.036 mg/g , 0 mg/g dan 0 mg/g.

3. Kadar asam sianida terendah terdapat pada tempe koro babi dengan perlakuan rajang maupun cacah pada leme fermentasi 42 dan 48 jam, yaitu mencapai 0 mg/g bahan.

4. Variasi pengecilan ukuran dan lama fermentasi berpengaruh terhadap kadar total fenol tempe koro babi, semakin kecil ukuran biji koro dan semakin lama waktu fermentasi maka kadar total fenolnya semakin kecil.

5. Pada fermentasi 0, 30, 36, 42, dan 48 jam kadar total fenol biji koro babi cacah berturut-turut adalah 0,014750%, 0,149900%, 0,201825%, 0,170400%, dan 0,234400%, sedangkan untuk biji koro babi rajang adalah 0,014750%, 0,152650%, 0,178300% 0,162750% dan 0,192620%.

6. kadar total fenol terendah terdapat pada tempe koro babi dengan perlakuan cacah dengan lama fermentasi 48 jam.

B. SARAN

Perlu penelitian lebih lanjut terhadap kadar asam sianida dan kadar total fenol pada tempe koro-koroan selain tempe koro babi dengan variasi pengecilan ukuran dan lama fermentasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Iqbal. 2008. Buat Tempe Yuuuk. http://iqbalali.com/2008/05/07buat-tempe-yuuuuk/. Didownload februari 2009 pukul 16.00WIB.

Anonim. 2006. Sianida. www.wikipedia.org/wiki/sianida

Anonim, 2008a. Kacang Babi (Vicia faba L.). http:// www.plantamor.com.

Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.00 WIB.

Anonim, 2008b. Detil data Vicia faba Linn. http:// www.kehati.or.id/florakita/

Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.10 WIB.

Anonim, 2008c. Beans, fava in pod, raw. http:// www.nutritionfacts.com. Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.15 WIB.

Anonim, 2008d. Alternatif Kacang-kacangan Non Kedelai untuk Tahu dan Tempe.

http://www/litbang.deptan.go.id/berita/one/597/

Anonim. 2008e. Usaha Makanan dari Tempe. http://koperasi-jawatimur.net/index.php?pilih=hal&id. Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.00 WIB.

Apriadji, Harry. 2008. Kedele dan Tempe Masih Dianggap Sepele.

www.docudesk.com. Diakses 29 Juli 2008 Jam 20.45 WIB

Ardiansyah, 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan.

www.chaptereislamicspace.wordpress.com/2007/01/24/antioksidan-dan-peranannya-bagi-kesehatan/-32k

Astuti, Mary., Meliala, Andreanyta., Fabien, Dalais., wahlq, Mark 2000. Tempe a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pasific J Ciin Nutr(2000) 9(4): 322-325. http//:iqbali.com/2008/05/07/buat-tempe-yuuuuuk/.

Didownload 16 februari 2009 pukul 16.00WIB.

Bayu Kanetro dan Retno Hastuti, 2006. Ragam Produk Olahan Kacang – kacangan.

Universitas Wangsa Manggala Press. Yogyakarta

Buckle, K. A., Edwards, H., Fleet, G.H., & Wooton, M.. 1985. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.

Burgess, J. R., dan Feng Gao. 2000. The Antioxidant Effects of Inositol Phosphates.

11: 189-190.

Cook dan Samman. 1996. Flavonoids-Chemistry, Metabolism, Cardioprotective Effects, and Dietary Sources. Nutricional Biochemistry 766-76. New York.

Desti Utami. 2007. Antioksidan.

www.halalguide.info.destiutami.wordpress.com/2007/02/27/14/-27k

Earle, R. L. 1969. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya.Bogor Erdman J. W. and K.E. Weingartner. 1981. Nutritional Implications. J. Am Oil Chem

Soc.56: 736-71

Ferlina, Shinta. 2009. Tempe. http//www.adln.lib.unair.ac.id/go.php. 16 februari 2009 pukul 16.00WIB.

Hartati dan Ersam. 2006. Dua Senyawa 4-Fenilkumarin pada Fraksi non Polar dari Ekstrak Etil Asetat Batang Garcinia Balica Miq. (Mundu Alas). Kelompok Penelitian Kimiawi Tumbuhan - ITS Jurusan Kimia, FMIPA ITS, Surabaya Hestining Pupus Pangastuti dan Sitoresmi Triwibowo. 1996. Penelitian Proses

Pembuatan Tempe Kedelai II. Pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan asam fitat dalam tempe kedelai. Cermin Kedokteran No 108. Jakarta

Jarso, M. & Keneni, G., 2006. Vicia faba L. Protabase. Brink, M. & Belay, G.

(Editors). PROTA (Plant Resources of Tropical Africa / Ressources v g tales de

l’Afrique tropicale), Wageningen, Netherlands.

http://database.prota.org/search.htm. didownload pada 16 februari 2009 pukul 16.00WIB.

Kasmidjo. R B. 1990. TEMPE Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM.

Yogyakarta.

Khokhar, S. dan Pushpanjali. 1994. Phytate Content of Indian Foods and intakes by Vegetarian Indian of Hisar Region, Haryana State. J Agric Food Chem 42:2440-2444.

Kumalaningsih, Sri. 2007. Antioksidan, Sumber, dan Manfaatnya.

www.antioxidantcentre.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id

=14. [17 Juli 2008, 11.20].

Laela Nur Rochmah. 2008. Skripsi Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Selama Pembuatan Tempe Koro Benguk (Mucuna pruriens) dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. UNS. Surakarta.

Made Astawan, 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Tiga Serangkai, Solo.

Medikasari dan Marniza. 2007. Studi Mutu Kecap Benguk: Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Kapang pada Fermentasi Koji. Teknologi Hasil Pertanian.

UNILA. Lampung.

Muchtadi, D. 1998. Kajian gizi produk olahan kedelai. Dalam Nuraida, L. dan S. b pada Berbagai Perlakuan Pencucian dalam Pembuatan Tempe. Skripsi Jur FTP UGM. Yogyakarta

Nuraida, L. dan S. Yasni (Eds.)1998. Kajian Gizi Produk Olahan Kedelai. Prosiding Seminar Pengembangan Pengolahan dan Penggunaan Kedelai selain Tempe.

Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi-IPB dengan American Soybean Association. Bogor.

Retnaningsih, Ch., 1996. Koro, Legume Lokal Bergizi Tinggi. www. Suara Merdeka-koro.htm.

Sathe, S.K. & Venkatachalam, M., 2002. Influence of Processing Technologies on Phytate and Its Removal. Dalam : N. Rukma Reddy & Shridar K. Sathe (ed.), 2002. Food Phytates. CRC Press, Florida.

Setyastuti Purwanti. 2004. Kajian Suhu Ruang Simpan Terhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan Kedelai Kuning. Ilmu Pertanian Vol.11 No.1,2004 :22-31 Shi, J., Konesh A, David Y., Yukio K., & Gauri M. 2004. Phytate from edible beans:

chemistry, processing and health benefits. Food, Agriculture & Environment Vol.2 (1) : 49-58. WFL Publisher.

Souâd Akroum. 2009 . Antimicrobial, Antioxidant, Cytotoxic Activities and Phytochemical. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.31 No.2 (2009), pp.289-295 © EuroJournals Publishing, Inc. 2009.

http://www.eurojournals.com/ejsr.htm. didonload tanggal 19 Oktober 2009.

Sovia Lenny. 2006. Senyawa Flavanoida, Fenil Propanoida Dan Alkaloida.

Departemen Kimia Universitas Sumatra utara.

Sri Handajani dan Windi Atmaka. 1992. Analisa Sifat Phisis-Khemis Beberapa Biji Kacang-kacangan; Kekerasan; Kualitas Tanak; Protein; dan Kandungan Mineralnya. Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta.

Sri Handajani. 1993. Pengaruh Larutan Perendam dan Perebus Terhadap Kekerasan, Kualitas Tanak, dan Kandungan Mineral Biji Kacang-kacangan. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Sri Handajani. 1996. Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Hasil Kacang-kacangan Sebagia Usaha Produktif Wanita di Lahan Kering Daerah Tangkapan Hujan Waduk Kedung Ombo. Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sri Raharjo, 2004. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

Sudarmadji, 1975. Certain Chemical and Nutritional Aspect of Soybean tempeh.

Michigan State University.

Sugiantoro. 2008. Bagaimana Hidup Sehat Tanpa Obat. www.bali-

community.blogspot.com/2008/04/susu-kedelai-anti-kankertumor-vs-susu.html. [17 Juli 2008, 10.00 WIB].

Sullivan, Jack. 2008. Anthocyanin.

www.charlies-web.com/specialtopics/anthocyanin.html. 15 Juli 2008. 18.16 WIB

Sutikno Arthur. 2009. Fermentasi Tempe. http://sutikno.staff.uns.ac.id/about/. 15 Juli 2009. 16.30 WIB

Suyitno, Haryadi, Supriyanto, Budi Susmadji, Haryanto G., Adi Djoko Guritno, &

Wahyu Supartono. 1989. Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.

Tangendjaja, B. 1979. Studies on the dephosphorilation of phytic acid in rice bran.

University of New South Wales, Sydney

Winarno, FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Yhona Nitya. 2008. Antioksidan. http://iniyhona.blogspot. com/2008/06/

antioksidan.html. 25 januari 2010. 09.30 WIB

Dokumen terkait