• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH VARIASI PENGECILAN UKURAN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA (HCN) DAN SENYAWA FENOLIK PADA TEMPE KORO BABI (Vicia faba) Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH VARIASI PENGECILAN UKURAN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA (HCN) DAN SENYAWA FENOLIK PADA TEMPE KORO BABI (Vicia faba) Skripsi"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna memperoleh derajat Sarjana S1 Teknologi Hasil Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

OLEH:

CHRISTIANA SEPTI INDRIYANI H 0605047

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

(2)

PENGARUH VARIASI PENGECILAN UKURAN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA (HCN) DAN SENYAWA FENOLIK

PADA TEMPE KORO BABI (Vicia faba)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh Christiana Septi Indriyani

H 0605047

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : 22 Januari 2010 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji Ketua

Prof. Ir. Sri Handajani, MS, Ph.D NIP. 1947 0729 197612 2 001

Anggota I

Dian Rachmawanti A., S. TP, MP NIP. 1979 0803 200604 2 001

Anggota II

Rohula Utami, STP., MP NIP.1981 0306 200801 2 008

Surakarta, Januari 2010 Mengetahui,

Universitas Sebelas Maret, Fakultas Pertanian

Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 1955 1217 198203 1 003

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi Terhadap Kadar Asam Sianida ( HCN) Dan Senyawa Fenolik Pada Tempe Koro Babi (Vicia faba)”. Skripsi ini merupakan bagian dari penelitian berjudul ”Kajian Kandungan Protein, Senyawa Anti Nutrisi, Aktivitas Antioksidan, dan Sifat Sensoris Tempe Koro Babi (Vicia faba) dengan Variasi Pengecilan Ukuran.” yang dilakukan oleh Dian Rachmawanti A., S.TP, MP, Prof. Ir. Sri Handajani, M.S., PhD. dan Rohula Utami, STP., MP.

Skripsi ini disusun dalam rangka untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Ir. Sri Handayani, MS, PhD. selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, petunjuk, serta dorongan yang sangat berarti bagi penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Dian Rachmawati A, S.TP, MP selaku Pembimbing Pendamping yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, petunjuk, serta dorongan yang sangat berarti bagi penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Rohula Utami S.TP., MP. selaku Penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berarti bagi penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Godras Jati Manuhara S.TP. sebagai pembimbing akademik yang telah mengarahkan saya selama menjadi mahasiswa.

5. Semua Teknisi Laboratorium dan Staf Administrasi Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi masukan dan saran bagi penyusunan skripsi ini.

(4)

6. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, kakak dan adik-adik yang merupakan sumber inspirasi sekaligus pemberi dorongan dan motivasi atas selesainya skripsi ini.

7. Teman-temanku semua di Teknologi Hasil Pertanian 2005 atas waktu dan kerjasama selama di bangku kuliah serta semua kenangan bersama kalian semoga akan selalu abadi.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk lebih menyempurnakan isi dari skripsi ini sehingga dapat lebih berguna dan membantu bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Surakarta, 2010

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

RINGKASAN ... x

SUMMARY ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Koro Babi ... 5

2. Tempe... 7

3. HCN (Asam Sianida) ... 10

4. Senyawa Fenol ... 12

5. Pengecilan Ukuran ... 14

B. Kerangka Berpikir ... 15

C. Hipotesis... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

B. Bahan dan Alat ... 16

1. Bahan ... 16

2. Alat ... 16

(6)

C. Perancangan Percobaan ... 16

D. Parameter Pengamatan ... 17

E. Tata Laksana Penelitian ... 17

F. Rancangan Penelitian ... 20

G. Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 24

1. HCN ... 24

2. Total Fenol ... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

A. Kesimpulan ... 31

B. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

LAMPIRAN ... 36

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rancangan Percobaan ... 17 Tabel 4.1 Kadar Asam Sianida (mg/g db) Tempe Koro Babi dengan Berbagai

Perlakuan ... 24 Tabel 4.2 Kadar Total Fenol (%) Tempe Koro Babi dengan Berbagai

Perlakuan ... 28

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tanaman koro babi ... 6

Gambar 2.2 Variasi Ukuran Biji Koro Babi ... 6

Gambar 2.3 Struktur Asam Sianida ... 11

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir ... 15

Gambar 3.1 Skema Pembuatan Tempe Koro Babi... 19

Gambar3.2. Skema Rancangan Penelitian... 20

Gambar3.3. Skema Analisis Asam Sianida... 21

Gambar 3.4. Skema Analisis Fenolik Metode Folin Ciocalteu... 22

Gambar 4.1. Kadar HCN selama Fermentasi Tempe Koro Babi... 25

Gambar 4.2. Kadar Total Fenol selama Fermentasi Tempe Koro Babi... 29

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Metode Analisis. ... 36

Lampiran 2. Data Analisis Asam Sianida ... 38

Lampiran 3. Data Analisis Total Fenol ... 40

Lampiran 4. Foto ... 43

(10)

RINGKASAN

Christiana Septi Indriyani . H0605047. Pengaruh Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi terhadap Kadar Asam Sianida ( HCN) dan Senyawa Fenolik pada Tempe Koro Babi (Vicia Faba). Dibawah Bimbingan Prof.

Ir. Sri Handajani, MS, Ph.D. dan Dian Rachmawanti, S.TP, MP. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tempe adalah produk fermentasi yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia dan telah dikenal masyarakat barat. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan, tetapi yang umum dikenal ialah tempe yang dibuat dari kedelai. Semakin lama harga kedelai semakin tinggi, sehingga diharapkan pemanfaatan leguminose lokal dapat mensubtitusi kebutuhan kedelai. Koro babi (Vicia faba) merupakan salah satu leguminose lokal yang dapat dimanfaatkan. namun koro babi mengandung fenol sebagai antioksidan dan asam sianida yang bersifat racun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengecilan ukuran biji koro babi (Vicia faba) dan lama fermentasi terhadap kadar asam sianida dan kadar total fenol pada tempe koro babi (Vicia faba). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu variasi pengecilan ukuran (cacah dan rajang) serta variasi lama fermentasi (0,30,36,42 dan 48 jam).

Hasil penelitian menunjukkan kadar asam sianida pada fermentasi 0, 30, 36, 42, dan 48 jam biji koro babi cacah berturut-turut adalah 0,060 mg/g; 0,048mg/g;

0,036 mg/g; 0mg/g; dan 0mg/g, sedangkan untuk biji koro babi rajang adalah 0,072 mg/g; 0,036 mg/g; 0,036 mg/g; 0 mg/g; dan 0 mg/g.

Kadar total fenol biji koro babi cacah berturut-turut adalah 0,014750%, 0,149900%, 0,201825%, 0,170400%, dan 0,234400%, sedangkan untuk biji koro babi rajang adalah 0,014750%, 0,152650%, 0,178300% 0,162750% dan 0,192620%.

Berdasar hasil hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin lama fermentasi tempe koro babi maka kadar asam sianida semakin rendah dan kadar total fenol semakin tinggi. Semakin kecil ukuran biji tempe koro babi, maka kadar asam sianida semakin rendah dan kadar total fenolnya semakin tinggi. Kadar HCN terendah adalah pada tempe dengan fermentasi 42 dan 48 jam, perlakuan cacah maupun rajang yaitu mencapai 0 mg/g. Kadar total fenol tertinggi terdapat pada tempe koro babi cacah dengan lama fermentasi 48 jam yaitu sebesar 0,234400%.

Kata Kunci : Koro babi, Lama Fermentasi, Pengecilan ukuran, Kadar Asam Sianida, Kadar Total Fenol.

SUMMARY

Christiana Septi Indriyani. H0605047. Influence of Size Reduction Variation and Fermentation Time towards Cyanide Acid Contents (HCN) and Phenolic Compound in Faba Beans (Vicia faba) Tempeh. Under the supervision of Prof. Ir. Sri Handajani, MS, PhD; and Dian Rachmawanti A., S.TP, MP. Agriculture Faculty Sebelas Maret University, Surakarta.

Tempeh is fermentation product wich very known by Indonesian society and has been familiar by various western society. Tempeh can be made from various ingredient, but usually tempeh is made from soy bean. Due to of increasing the soy

(11)

bean price, has been found another leguminose to substitute that soy bean . One of the legume was faba bean, leguminose, as general contain phenol as antioxidant and cyanide acid as anti-nutrient and toxic material.

The aims of this research is to know the effect of size reduction variation and fermentation time variation of faba beans tempeh production to cyanide acid and total phenol contents. This research use factorial experiment that arranged in Randomized Complete Design (RCD) with two experimental factors including size reduction (chopped and sliced) and time of fermentation (0,30,36,42, and 48 hour).

The result shows cyanide acid contents in fermentation 0, 30, 36, 42, and 48 hour on faba beans tempeh of chopped seeds are 0,060 mg/g; 0,048 mg/g; 0,036 mg/g; 0 mg/g; and 0 mg/g respectively, then on faba beans tempeh of sliced seeds are 0,072 mg/g; 0,036 mg/g; 0,036 mg/g; 0 mg/g; and 0 mg/g ,respectively.

Contens of total phenol on faba beans tempeh of chopped seeds are 0,014750%, 0,149900% 0,201825%, 0,170400% and 0,234400%, then on faba beans tempeh of sliced seeds are 0,014750%; 0,152650%; 0,178300%; 0,162750%; and 0,192620%, respectively.

Fermentation time and size of faba beans seeds affect on cyanide acid and total phenol contents of faba beans tempeh. The longer fermentation time of faba beans tempeh caused lower cyanide acid content and higher total phenol content. The smaller size of faba beans seeds on tempeh caused lower cyanide acid content and higher total phenol content. The lowest cyanide acid content, contained in faba beans tempeh of chopped and sliced seeds with 42 and 48 hours fermentation reach 0 mg/g.

The highest totap phenol content, contained in chopped faba beans tempeh with 48 hours fermentation reach 0,234400%.

Key Word: Faba Beans, Fermentation Time, Size Reduction, Cyanide Acid Contents, Total Phenol Contents.

(12)

PENGARUH VARIASI PENGECILAN UKURAN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA (HCN) DAN SENYAWA FENOLIK

PADA TEMPE KORO BABI (Vicia faba)

Christiana Septi Indriyani1)

Prof. Ir. Sri Handayani, MS., PhD2) Dian Rachmawanti, STP., MP,3)

ABSTRAK

Mengetahui pengaruh pengecilan ukuran biji koro babi (Vicia faba) dan lama fermentasi terhadap kadar asam sianida dan kadar total fenol pada pembuatan tempe koro babi (Vicia faba). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu variasi pengecilan ukuran (2 macam) serta variasi lama fermentasi (5 macam).

Hasil penelitian menunjukkan selama 48 jam waktu fermentasi untuk kedua jenis ukuran biji koro babi, kadar asam sianida terendah dan kadar total fenol tertinggi didapatkan pada tempe koro babi biji cacah. Pada fermentasi 42 dan 48 jam untuk kedua jenis ukuran biji diperoleh asam sianida terendah selama fermentasi yaitu mencapai 0 mg/g. Kadar total fenol tertinggi selama fermentasi diperoleh pada fermentasi 48 jam yaitu 0,234400

% untuk biji koro babi cacah dan 0,192620% untuk biji koro babi rajang.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi dan ukuran biji koro babi berpengaruh pada kadar asam sianida dan kadar total fenol pada tempe koro babi. Semakin lama fermentasi tempe koro benguk maka kadar asam sianida semakin rendah dan kadar total fenol semakin tinggi. Semakin kecil ukuran biji tempe koro benguk, maka kadar asam sianida semakin rendah dan kadar total fenolnya semakin tinggi. Tempe koro babi biji cacah fermentasi 48 jam memiliki kadar asam sianida terendah dan kadar total fenol tertinggi dari semua sampel dengan variasi lama fermentasi dan pengecilan ukuran.

Kata kunci: Koro Babi, Kadar Asam Sianida, Kadar Total Fenol, Lama Fermentasi, Pengecilan Ukuran

1

1) Mahasiswa Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan NIM H 0605047

2) Pembimbing Utama

3) Pembimbing Pendamping

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tempe merupakan makanan khas indonesia , selain mengandung protein nabati yang tinggi , juga harganya pun sangat terjangkau , murah dan memasyarakat. Tempe merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering dikonsumsi dan pada umumnya berbahan baku kedelai. Bahan baku tempe selama ini masih diimpor dari Amerika, rata-rata 40 % karena produksi lokal terus mengalami penurunan (5,2%)(Anonim, 2008) dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kedelai yang terus naik (1,8 % tiap tahun) (Pitojo, 2003) sementara tingkat impor kedelai terus meningkat. Oleh karena itu perlu alternatif bahan baku tempe sehingga kebutuhan masyarakat akan sumber protein dapat terus terpenuhi.

Di daerah-daerah tertentu di Indonesia telah ditemukan beberapa masyarakat yang menggunakan kacang-kacangan lain yang digunakan sebagai bahan baku tempe.

Kacang-kacangan telah lama dikenal sebagai sumber protein yang saling melengkapi dengan biji-bijian, seperti beras dan gandum. Komoditi ini juga ternyata potensial sebagai sumber zat gizi lain selain protein, yaitu mineral, vitamin B, karbohidrat kompleks dan serat makanan. Di samping diolah secara tradisional dengan direbus, dikukus, dan disayur, sebenarnya potensi penggunaannya sangat luas untuk menghasilkan produk baru.

Banyak ragam kacang-kacangan yang berada di Indonesia, salah satunya adalah koro babi (Vicia faba). Koro babi (Vicia faba) merupakan jenis kacang – kacangan yang potensial. Jika dibandingkan dengan kedelai, koro babi (Vicia faba) mempunyai kandungan protein dan lemak yang sedikit lebih rendah, sedangkan kandungan karbohidratnya lebih tinggi. Koro babi (Vicia faba) merupakan sumber riboflavin, niasin, fosfor, dan potasium. Selain itu juga merupakan sumber folat, tembaga, dan mangan yang sangat baik. Akan tetapi koro babi (Vicia faba) mempunyai biji yang keras dan juga mengandung senyawa anti gizi seperti pada umumnya kacang – kacangan yang lain.

Koro babi (Vicia Faba) merupakan salah satu jenis Leguminoceae yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan baku sumber protein non-

1

(14)

kedelai yang dapat diolah menjadi tempe. Koro babi memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (22%) (Anonim, 2009). Selain itu koro babi diproduksi lokal sehingga tidak terpengaruh oleh biaya masuk impor.

Senyawa – senyawa anti gizi yang terdapat dalam kacang-kacangan meliputi asam fitat, tanin, protease inhibitor (tripsin dan chymotrypsin), α-amylase inhibitor, HCN, serta lektin. Selain itu kecernaan pati dan proteinnya dalam tubuh juga rendah dikarenakan keberadaan senyawa anti gizi tersebut di atas. Hal inilah yang menyebabkan pemanfaatan kacang – kacangan pada umumnya masih terbatas.

Asam sianida (HCN) merupakan senyawa racun yang dapat menggangggu kesehatan. Keberadaan senyawa ini dapat menimbulkan rasa pahit. Senyawa ini banyak dijumpai pada kacang koro. Keberadaan senyawa antigizi ini dapat mengurangi ketersediaan nutrisi dalam tubuh (Anonim, 2009).

HCN (Asam sianida) dikenal dengan nama lain racun biru. Tubuh manusia umumnya tidak tahan terhadap HCN pada dosis 0,06 gram. Bila mengonsumsi HCN pada dosis lethal (mematikan) itu, biasanya manusia sudah bisa mati.

Namun, ada pula yang masih bertahan hidup dan disembuhkan walau telah mengonsumsi HCN sebanyak tiga kali lipat dari dosis lethal itu (Anonim, 2006).

Fermentasi sederhana, seperti pada pembuatan tempe kedelai, diduga dapat menjadi salah satu alternatif pemanfaatan koro babi (Vicia faba). Menurut Kasmidjo (1990), fermentasi dapat mengurangi senyawa – senyawa anti gizi pada serta dapat meningkatkan kecernaan protein dan senyawa gizi lainnya, karena pada proses fermentasi terjadi perombakan senyawa makromolekul menjadi komponen – komponen yang lebih sederhana. Dalam Handajani (1996), pada proses penempean koro benguk, fermentasi dapat menurunkan kandungan HCN biji koro benguk. Diduga proses fermentasi dapat menurunkan kadar HCN karena aktifitas kapang yang menghasilkan panas hingga 40°C, dan juga menaikkan kadar air selama fermentasi yang mempengaruhi sifat HCN yang larut air dan mempunyai titik didih 26,5°C.

Sebagian besar senyawa organik bahan alam adalah senyawa-senyawa aromatik. Senyawa aromatik ini mengandung cincin karboaromatik yaitu cincin

(15)

aromatik yang hanya terdiri dari atom karbon seperti benzen, naftalen dan antrasen. Cincin karboaromatik ini biasanya tersubtitusi oleh satu atau lebih gugus hidroksil atau gugus lainnya yang ekivalen ditinjau dari segi biogenetiknya. Oleh karena itu senyawa bahan alam aromatik ini sering disebut sebagai senyawa- senyawa fenol walaupun sebagian di antaranya bersifat netral karena tidak mengandung gugus fenol dalam keadaan bebas (Sovia, 2006).

Senyawa fenol dalam tempe kedelai dan seperti pada leguminosa lain, yaitu isoflavon yang merupakan senyawa fungsional yang berperan sebagai antioksidan.

Diduga di dalam tempe koro babi juga terdapat senyawa fenol. Maka dibutuhkan penelitian tentang jumlah total fenol dalam tempe koro babi sebagai manfaatnya untuk manusia.

Mengacu pada penelitian sebelumnya (Laela, 2008) pada tempe koro benguk yang juga menggunakan pengecilan ukuran, yang ternyata pengecilan ukuran dapat menurunkan kadar asam fitat dan komponen lainnya maka pengecilan ukuran pada pembuatan tempe koro babi, diharapkan juga dapat memeberi pengaruh terhadap kadar asam sianida dan total fenol, karena perbedaan luas permukaannya.

Senyawa anti gizi biji koro babi merupakan kelemahan yang harus dapat diatasi secara baik dan benar pada pengolahan koro babi, salah satunya dengan pembuatan tempe sehingga akan dihasilkan produk yang aman dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengurangi jumlah senyawa anti gizi produk tempe koro babi. Dengan perbedaan ukuran tersebut diharapkan akan didapatkan perlakuan yang efektif untuk mempersingkat waktu fermentasi.

(16)

B. Perumusan Masalah

1. Apakah kadar asam sianida (HCN) pada pembuatan tempe koro babi (Vicia faba) dipengaruhi oleh pengecilan ukuran biji dan lama fermentasi ?

2. Apakah senyawa fenolik pada pembuatan tempe koro babi (Vicia faba) dipengaruhi oleh pengecilan ukuran biji dan lama fermentasi ?

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh pengecilan ukuran biji koro babi (Vicia faba) dan lama fermentasi terhadap kadar asam sianida pada pembuatan tempe koro babi (Vicia faba)

2. Mengetahui pengaruh pengecilan ukuran biji koro babi (Vicia faba) dan lama fermentasi terhadap senyawa fenolik pada pembuatan tempe koro babi (Vicia faba)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting karena diharapkan dapat diperoleh tempe koro babi dengan kadar asam sianida rendah dan senyawa fenolik yang tinggi sehingga koro babi (Vicia faba) dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan baku tempe non-kedelai yang aman dan layak dikonsumsi.

Hasil penelitian diharapkan akan memberi masukan pada perkembangan ilmu pengetahuan disebabkan belum adanya data mengenai kadar HCN dan total fenol pada tempe koro babi dan dapat digunakan sebagai referensi.

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Koro Babi

Koro babi mempunyai beberapa sebutan lain yaitu kacang babi, kacang dieng, buncis kuda, buncis besar, dan buncis dindsor. Dalam bahasa Inggris sering disebut juga dengan fava bean, faba bean, dan broad bean. Berikut adalah spesifikasi koro babi :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobiota (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Magnoliospida (berkeping dua/dikotil) Sub kelas : Rosidae

Familia : Fabaceae (suku polong-polongan) Genus : Vicia

Spesies : Vicia faba L.

(Anonim a, 2008)

Koro babi merupakan tumbuhan tahunan yang berasal dari daerah tropis. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian yang tinggi (pegunungan) di daerah tropis. Selama periode pertumbuhan memerlukan suhu antara 18-27oC.

Curah hujan yang diperlukan 650-1000 mm/tahun. Kelembaban tertinggi dibutuhkan tanaman ini pada masa 9-12 minggu setelah penanaman. Tanaman ini tidak tahan kekeringan dan juga tidak tahan terhadap air yang berlebihan.

Koro babi dapat tumbuh pada hampir semua lahan tetapi tumbuh terbaik pada tanah liat, pH 4,5-8,3 dan optimum pada pH 6,5 (Anonim c, 2008). Di Indonesia kacang babi terdapat di Jawa Tengah dan daerah pegunungan Tengger (Gandjar et al, 1979 dalam Handajani dan Windi Atmaka,1993), dan dapat tumbuh di daerah-daerah dengan ketinggian 1300m dpl seperti Tawangmangu, Dieng dan Tosari, Jawa Timur. (Sastrapraja et al, 1983 dalam Handajani dan Windi Atmaka,1993).

5

(18)

Gambar 2.1 Tanaman koro babi Gambar 2.2 Variasi ukuran biji koro babi Sumber: Jarso, M. & Keneni 2006 Sumber: Jarso, M. & Keneni 2006

Gambar 2.1 menunjukkan tanaman serta bentuk polong koro babi yang berbentuk agak silinder hingga memipih. Panjang polong bisa mencapai 20 cm jika ditanam di kebun, sedangkan jika dibudidayakan panjangnya rata-rata 5-10 cm. Bentuk dan ukuran biji koro babi sangat beragam (gambar 2.2), sangat padat hingga agak membulat, berwarna putih, hijau, kekuning-kuningan, coklat, ungu atau hitam. (Anonim, 2008c).

Untuk memanfaatkan leguminose ini secara maksimal maka kita harus mengetahui kandungan gizi yang terdapat didalamnya. Seperti ditampilkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan Kimia dalam 100 g Koro Babi

Kandungan Jumlah Kandungan Jumlah

Air Energi Protein Lemak Karbohidrat Dietary fiber Vitamin A Tiamin Riboflavin Niasin Vitamin B6 Folat

Asam askorbat Asam lemak

asam linoleat asam oleat

11.0 g

1425 kJ (340 kcal) 26.1 g

1.5 g 58.3 g 25.0 g 53 IU 0.56 mg 0.33 mg 2.8 mg 0.37 mg, 423 µg 1.4 mg 581 mg 297 mg

asam palmitat Asam amino

Triptofan Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Leusin Isoleusin Mineral

Ca Mg P Fe Zn

204 mg 247 mg 1671 mg 213 mg 1103 mg 928 mg 1161 mg 1964 mg 1053 mg 103 mg 192 mg 421 mg 6.7 mg 3.1 mg Sumber: USDA, 2004 cit Jarso, M. and Keneni, 2006).

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa koro babi mempunyai kandungan gizi yang cukup dalam 100 gram bahan, koro babi mempunyai protein yang

(19)

cukup tinggi, maka diharapkan bisa menjadi komoditas subtitusi kedelai yang menjadi sumber protein nabati utama di Indonesia. Menurut Purseglove (1969) dalam Handajani dan Windi Atmaka (1993) terdapat 3 varietas kacang babi yaitu varietas Minor Beck, bentuk biji bulat dengan ukuran kecil, varietas Equina Pers, biji berukuran sedang kira-kira 1-5 cm, dan varietas Major Harz, biji berukuran paling besar sekitar 2-5 cm dengan polong besar.

Kacang babi biasa diambil biji mudanya untuk digoreng sebagai snack, sedangkan daunya dapat digunakan sebagai makanan ternak, dapat juga digunakan sebagai pagar atau pembatas rumah(Maradjo, 1976). Sedang di Inggris telah diproduksi dalam bentuk instan kacang babi dan protein isolat kacang babi dibuat menjadi daging buatan (Haris dan Karnas, 1989 dalam Handajani dan Windi Atmaka,1993)

Pada beberapa orang yang hidup di bagian Mediterania, mengkonsumsi koro babi, khususnya yang masih mentah dan menghirup seruk sarinya dapat menyebabkan favism, yaitu suatu jenis anemia hemolitik yang dihasilkan dari akumulasi β-glikosidase (vicin dan convicin) dan aglikonnya pada individu yang kekurangan enzim glukose-6-phosphate dehidrogenase pada sel darah merahnya. Merendamnya sebelum memasaknya akan menginaktivasi komponen racunnya. Faktor anti gizi lainya pada koro babi adalah tripsin inhibitor, lektins (haemaglutinin), tanin, oligosakarida dan fitase.( Jarso, M. &

Keneni 2006).

2. Tempe

Kacang-kacangan dan umbi-umbian cepat sekali terkena jamur sehingga mudah menjadi layu dan busuk. Untuk mengatasi masalah ini, bahan tersebut perlu diawetkan. Hasil olahannya dapat berupa makanan seperti keripik, tahu dan tempe, serta minuman seperti bubuk dan susu kedelai (Anonim, 2000).

Tempe merupakan hasil fermentasi biji – bijian dengan menggunakan jamur Rhizopus oligosporus. Di Indonesia tempe yang sangat digemari masyarakat berasal dari kedelai, selain kedelai tempe dapat dibuat dari gandum, beras dan biji - bijian lain, meskipun kualitasnya tidak sebaik yang dibuat dari kedelai. (Heseltine et al., 1967 dalam Laela Nur Rochmah, 2008)

(20)

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 % dari konsumsi kedelai di Indonesia dalam bentuk tempe, 10 % bentuk tahu dan 10 % dalam bentuk produk lain. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini sekitar 6,45 kg. Kesukaan terhadap tempe tidak terlepas dari harganya yang relatif murah, raza lezat dan kandungan gizinya yang tinggi (Made Astawan, 2004) .

Tempe merupakan produk olahan kedelai yang terbentuk dari hasil fermentasi oleh jamur jenis Rhizopus. Banyak perubahan yang terjadi selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, baik yang menyangkut perubahan fisik, biokimia, dan mikrobiologi, yang semuanya berdampak menguntungkan terhadap sumbangan gizi dan kesehatan. Secara garis besar, tahap-tahap penting dalam proses pembuatan tempe meliputi pembersihan biji kedelai, pengukusan, pengupasan kullit, inokulasi jamur, pembungkusan, dan fermentasi. Proses fermentasi adalah tahap terpenting, yang mana pada tahap ini dilakukan pemeraman kedelai selama beberapa hari (36-48 jam) menggunakan laru/jamur tempe (Made Astawan, 2004).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tempe yang merupakan makanan tradisional asli Indonesia memiliki potensi untuk melawan radikal bebas sehingga dapat mencegah berbagai penyakitm menghambat proses penuaan, dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif, yaitu arteriosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, dan kanker. Tempe juga telah diketahui mengandung zat antibakteri penyebab diare (Made Astawan, 2004) .

Tempe kedelai paling dikenal dan banyak dikonsumsi. Namun demikian terdapat beberapa jenis tempe di Indonesia, antara lain tempe gembus, tempe lamtoro, tempe benguk, tempe bongkrek, tempe gude, tempe bungkil (Made Astawan, 2004). Dengan demikian, ada kemungkinan kacang-kacangan atau jenis legum lain termasuk koro berpotensi untuk dijadikan tempe.

Rhizopus oligosporus adalah jamur utama yang berperan dalam proses fermentasi tempe. Ciri yang khas dari genus Rhizopus adalah pertumbuhan koloninya cepat, mempunyai stolon, rhizoid dan sporangiosfor dengan banyak

(21)

spora, umumnya berukuran besar, berwarna putih waktu masih muda, kemudian menjadi hitam dan coklat serta collumela berwarna coklat (Samson, Hoekra dan Van Oorschot dalam Sutardi, 1988).

Persyaratan yang harus dipenuhi Rhizopus agar dapat digunakan sebagai inokulum tempe (Steinkraus, et al. dalam Shurtleff dan Aoyagi, 1979) yaitu

1. Pertumbuhan cepat pada suhu 37°C

2. Mempunyai aktivitas proteolitik yang tinggi dan menghasilkan ammonia bebas setelah fermentasi 48-78 jam

3. Mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sifat-sifat khas tempe seperti flavor, aroma, dan tekstur

4. Mempunyai aktivitas lipolitik yang tinggi dan memproduksi antioksidan Perendaman kedelai merupakan tahap awal dan penting dalam pembuatan tempe secara tradisional. Menurut Kasmidjo (1990) dalam Laela Nur Rochmah (2008) ada beberapa maksud dan tujuan perendaman kedelai, di antaranya adalah :

1. Memberikan kesempatan pada kedelai untuk menyerap air (hidrasi) sehingga biji lebih lunak. Selama perendaman, biji menyerap air kira-kira sebanyak beratnya sendiri. Menurut Steinkraus (1983), jamur tempe tidak akan mampu tumbuh pada kedelai yang keras (belum menyerap air) dan tidak dikupas.

2. Perendaman akan mengeluarkan faktor yang menghambat pertumbuhan jamur tempe dari dalam biji kedelai, larut dalam air rendaman.

3. Perendaman dapat menurunkan pH kedelai yang disebabkan oleh proses fermentasi dan pengasaman oleh bakteri. Penurunan pH kedelai memberi kesempatan jamur tempe tumbuh lebih lama dan menjamin kualitas tempe yang baik. Jamur tempe memproduksi enzim proteolitik yang kuat. Selama fermentasi, enzim ini merombak protein kedelai menjadi senyawa sederhana dan menghasilkan amoniak yang kemudian menjadi ammonia dalam air, sehingga menaikkan pH. Jika biji kedelai memiliki pH awal yang rendah pada saat fermentasi dimulai maka akan tersedia sebanyak

(22)

cadangan keasaman untuk menetralkan ammonia yang terbentuk selama fermentasi. Apabila pH melampaui 7, dapat menyebabkan amoniak tidak ternetralkan sehingga berbau busuk, juga mempercepat pertumbuhan bakteri pembusuk dan mengganggu pertumbuhan jamur tempe.

Berbagai macam perlakuan pendahuluan sebelum menjadi tempe memungkinkan turunnya berbagai senyawa didalam tempe.

3. HCN (Asam Sianida)

Sianida dalam jumlah sedikit sekali tersebar luas dalam tanaman, terutama dalam bentuk sianogenik glukosida. Konsentrasi yang relatif tinggi ditemukan dalam rumput-rumputan tertentu, kacang-kacangan, umbi-umbian dan diji buah. Sebagian besar hasil tanaman ini dikonsumsi Asam sianida (HCN) secara alami terdapat pada umbi-umbian, di antaranya gadung, singkong, talas dan bengkoang. HCN dihasilkan jika produk dihancurkan, dikunyah, diiris atau diolah. Jika dicerna, HCN sangat cepat terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam saluran darah dan terikat bersama oksigen. Bahaya HCN terutama pada sistem pernafasan, dimana oksigen dalam darah terikat oleh senyawa HCN dan terganggunya sistem pernafasan ( sulit bernafas ).

Tergantung jumlah yang dikonsumsi, HCN dapat menyebabkan kematian jika pada dosis 0,5-3,5 mg HCN/kg berat badan ( Winarno, 2002 ).

H −C ≡ N

Gambar 2.3 Struktur Asam Sianida

Sianida adalah senyawa kimia yang mengandung kelompok siano C≡N, dengan atom karbon terikat tiga ke atom nitrogen. Kelompok CN dapat ditemukan dalam banyak senyawa. Beberapa adalah gas, dan lainnya adalah padat atau cair. Beberapa seperti garam, beberapa kovalen. Beberapa molekular, beberapa ionik dan banyak juga polimerik. Sianida yang dapat melepas ion sianida CN- sangat beracun ( Anonim, 2006 ).

Asam sianida (HCN) merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan. Keberadaan senyawa ini dapat menimbulkan rasa pahit. Senyawa ini banyak dijumpai pada kacang koro. Keberadaan senyawa ini dapat mengurangi ketersediaan nutrisi di dalam tubuh. (Anonim, 2009)

(23)

Glikosida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat di dalam bahan pangan nabati yang bersifat antigizi dan secara potensial dapat beracun karena dapat terurai dan menghasilkan hydrogen sianida. Reaksi detoksifikasi sianida dalam tubuh akan menghasilkan thiosianat. Karena itu, seseorang yang mengkonsumsi akan mengalami peningkatan kadar thiosianat dalam tubuhnya.

Padahal, thiosianat dalam tubuh mempunyai sifat menurunkan jumlah yodium dalam tubuh (Anonim, 2006). Yodium diperlukan tubuh terutama untuk sintesis hormon tiroksin, yaitu suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan.

Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dalam waktu lama, kelenjar tiroid akan membesar untuk menangkap yodium, yang lebih banyak dari darah.

Pembesaran kelenjar tiroid tersebutlah yang sehari-hari kita kenal sebagai penyakit gondok (Siswono, 2003).

Glikosida sianogenik dapat menyebabkan keracunan jika membebaskan HCN / asam sianida melalui reaksi hidrolisa enzimatik. Enzim yang berperan adalah β-glukosidase. Dalam tanaman glikosida terpisah dengan enzim, sehingga hidrolisa tidak terjadi. Proses pengolahan seperti perendaman, pengirisan dan penghancuran menyebabkan terjadinya hidrolisis, sehingga dibebaskan senyawa HCN ( Grahan, 1980 dalam Utomo, 2004 dalam Bayu Kanetro dan Retno Hastuti, 2006 ).

Dalam Handajani (1996), pada proses penempean koro benguk, yang kandungan HCNnya di uji dengan metode titrasi, dapat menurunkan kandungan HCN biji koro benguk sebelum fermentasi dari 0,265 mg/100g hingga menjadi 0 mg/100g tempe. Dalam produk tempenya, kandungan HCN telah benar-benar hilang, sehingga dapat dinyatakan bahwa tempe benguk aman untuk dikonsumsi.

4. Senyawa Fenol

Senyawa fenolik merupakan salah satu senyawa antioksidan alami yang dapat larut dalam air serta memiliki fungsi antara lain sebagai penangkap radikal bebas. Bahan bahan yang mengandung senyawa fenolik dan sangat bagus sebagai antioksidan antara lain jahe, bawang putih, teh (kandungan

(24)

senyawa fenolik tertinggi terdapat pada teh hijau), kunyit, ubi jalar ungu, strawberry, serta kedelai dan hasil olahannya.

Komponen fenolik atau disebut juga polifenol merupakan produk metabolisme sekunder tanaman yang banyak didapatkan pada tanaman.

Substansi ini mempunyai berbagai macam struktur dan fungsi yang berbeda.

Secara umum, fenolik terdiri atas cincin aromatik yang mengikat satu atau lebih gugus hidroksil (Robards et al., 1999). Penggolongan fenolik sangat beragam, dari molekul sederhana seperti asam fenolik, sampai dengan molekul kompleks seperti tanin.Komponen fenolik ini meliputi fenol sederhana, benzoquinon, fenolik, fenilasetat, asam sinamat, fenilpropen, coumarin, chromon, naptoquinon, xhanthon, stilben, antraquinon, golongan floavanoid, lignin dan biflavanoid (Robards et al, 1999).

Sebagian besar senyawa organik bahan alam adalah senyawa-senyawa aromatik. Senyawa aromatik ini mengandung cincin karboaromatik yaitu cincin aromatik yang hanya terdiri dari atom karbon seperti benzen, naftalen dan antrasen. Cincin karboaromatik ini biasanya tersubtitusi oleh satu atau lebih gugus hidroksil atau gugus lainnya yang ekivalen ditinjau dari segi biogenetiknya. Oleh karena itu senyawa bahan alam aromatik ini sering disebut sebagai senyawa-senyawa fenol walaupun sebagian diantaranya bersifat netral karena tidak mengandung gugus fenol dalam keadaan bebas (Sovia, 2006)

Senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman antara lain asam fenolat, flavanoid termasuk isoflavon dan tanin. Senyawa-senyawa ini distribusinya sangat luas, terdapat dalam daun, batang, akar, bunga, buah, dan biji serta selalu terdapat dalam makanan yang berasal dari tanaman. Senyawa polifenol dari kelas yang berbeda mempunya aktifitas fisiologis yang berbeda, sehingga pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan pangan juga berbeda, tanin telah diketahui dapat menurunkan daya cerna protein (Ford dan Hewitt, 1979) dan mungkin bioavaibilitas zat-zat gizi lainnya (Muchtadi, 1989).

Asam fenolat adalah turunan dari asam sinamat dan banyak terdapat dalam tanaman bahan pangan (Maga, 1978), yang mungkin merupakan daya pertahanan diri dari tanaman terhadap infeksi mikrobia, predator dan parasit

(25)

(Synge, 1975), dan ikut terlibat dalam sintesa lignin (Pierpoint, 1971). Salah satu sifat kimianya yang menonjol adalah kemudahannya untuk teroksidasi.

Dengan adanya oksigen, asam klorogenat, asam kafenat dan senyawa orto- difenol lainnya dapat teroksidasi dalam larutan alkalis atau oleh adanya enzim polifenol oksidase. Produk pertama hasil oksidase tersebut adalah radikal orto- semikuinon atau molekul orto kuinon, yang keduanya sangat reaktif dan bila bereaksi dengan senyawa lain akan membentuk warna coklat dengan berat molekul tinggi. Jenis reaksi browning enzimatik semacam ini akan terjadi bila bahan-bahan tersebut dilukai dan terkena udara (Muchtadi, 1989).

(26)

5. Pengecilan Ukuran

Pengecilan ukuran mungkin merupakan tujuan utama operasi atau bagian dari operasi. Pengecilan ukuran dapat dibedakan menjadi pengecilan ukuran yang ekstrim atau penggilingan dan pengecilan ukuran yang relative masih berukuran lebih besar. Pada penggilingan kering, perlu diperhatikan mengenai penguapan air dan bahan mudah menguap lainnya dan dekomposisi karena panas dan oksidasi semua terjadi karena suhu tinggi yang mungkin terjadi. Selama pengecilan ukuran suatu produk berubah bentuk dan ini menghasilkan desakan. Pada perubahan bentuk selanjutnya desakan meningkat dan gaya kohesi dipatahkan, suatu retakan terbentuk dan meluas (Suyitno, 1989).

Penghancuran dan pemotongan mengurangi ukuran bahan padat dengan kerja mekanis, yaitu membaginya menjadi partikel-partikel lebih kecil.

Penggunaan proses penghancuran yang paling luas di dalam industri pangan sebagai contoh adalah dalam penggilingan butir-butir gandum menjadi tepung, penggilingan jagung untuk menghasilkan tepung jagung, penggilingan gula dan penggilingan bahan pangan kering seperti sayuran. Pemotongan dipergunakan untuk memecahkan potongan besar bahan pangan menjadi potong-potongan kecil yang sesuai untuk pengolahan lebih lanjut, seperti dalam penyiapan daging olahan. Didalam proses penggilingan, ukuran bahan diperkecil dengan mengoyakkannya. (Earle, 1969)

Menurut Laela Nur Rochmah (2008), kandungan asam fitat tempe koro benguk dengan biji yang berukuran lebih kecil akan lebih rendah bila dibandingkan pada tempe koro benguk dengan ukuran biji yang lebih besar.

Ukuran tempe koro benguk biji utuh paling besar dibandingkan koro benguk biji belah dan giling, sedangkan biji belah lebih besar dibandingkan biji giling.

Variasi pengecilan ukuran berpengaruh terhadap kadar asam fitat selama fermentasi koro benguk dengan perlakuan digiling memiliki kadar asam fitat paling rendah diantara koro benguk utuh dan koro benguk belah. Diharapkan dengan pengecilan ukuran juga dapat menurunkan kadar HCN dalam koro babi.

(27)

B. Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Perbedaan jenis pengecilan ukuran dan lama fermentasi dalam proses pembuatan tempe koro babi (Vicia faba) berpengaruh terhadap kadar asam sianida dan senyawa fenol tempe koro babi (Vicia faba)

Gambar 2.4. Kerangka Berpikir Tempe koro babi

Variasi Pengecilan ukuran

(rajang dan cacah)

1. Berpengaruh pada kadar Asam Sianida 2. Berpengaruh pada Kadar Total Fenol

Variasi Lama fermentasi (0, 30,36,42 & 48jam) Kedelai impor

Bahan baku tempe kedelai

Harganya naik tiap tahun

Koro babi (sumber lokal)

(28)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Lab. Biologi Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Lab. MIPA Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan Lab. CV. Chemix Pratama Bantul. Penelitian dilaksanakan mulai April - September 2009.

B. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe yaitu koro babi. Koro babi di beli dari pasar Wonosobo, ragi tempe merk ”RAPRIMA”: produksi Bandung yang diperoleh dari Koperasi “Makmur” Mojosongo Surakarta, air sumur, daun pisang dan kertas koran.

Pada pengujian asam sianida digunakan metode metode AOAC. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis asam sianida antara lain : aquades, 0,02 N AgNO3, 0,02 N HNO3 , K-Thiosianat, indikator ferri.

Pada pengujian total fenol digunakan metode Folin Ciocalteu. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis total fenol antara lain : etanol, aquades, reagen Folin Ciocalteu, Na2CO3 7%

2. Alat

Alat yang digunakan yaitu oven (merk Memmert UNM 400), spektrofotometer (merk Thermo electron corporation). Alat untuk untuk analisis asam sianida yaitu labu kjeldahl, erlenmeyer, kruss Gooch, buret.

Sedangkan alat yang diperlukan untuk analisis total fenol dengan metode Folin Ciocalteu adalah erlenmeyer, botol gelas, labu takar, tabung reaksi, pipet ukur, blender, baskom, timbangan mekanik, dan kertas saring. Alat untuk pembuatan tempe : kompor, panci, alat perajang, baskom dan timbangan mekanik.

(29)

C. Rancangan Percobaan

Penelitian ini adalah penelitian hubungan fungsional yang pendekatan variabelnya melalui suatu eksperimen dengan memakai sampel tempe koro babi dan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu variasi pengecilan ukuran (2 macam) serta variasi lama fermentasi (4 macam). Adapun kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Rancangan Percobaan Perlakuan

Lama fermentasi

Koro Rajang Koro Cacah

0 jam 0R 0C

30 jam 30R 30C

36 jam 36R 36C

42 jam 42R 42C

48 jam 48R 48C

D. Pengamatan Parameter/ Peubah

Peubah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas : lama fermentasi dan pengecilan ukuran pada tempe koro babi (Vicia faba).

2. Variabel terikat utama : kadar total fenol dan kadar asam sianida pada tempe koro babi (Vicia faba).

E. Tata Laksana Penelitian

1. Pembuatan tempe koro babi a. Persiapan bahan dan Sortasi

Koro babi (Vicia faba) disortasi dari cemaran fisik kemudian ditimbang, Lalu dicuci terlebih dahulu sebelum ke tahap berikutnya.

b. Perebusan.

Koro babi direbus sampai mendidih. Perbandingan air dan koro babi (Vicia faba) adalah 4 : 1. Setelah mendidih buang airnya ganti dengan air dingin dan rebus kembali sampai mendidih. Setelah dingin, kulitnya dikelupas.

16

(30)

c. Perendaman selama 6 x 12 jam

Koro babi (Vicia faba) yang telah dikelupas direndam kembali dengan air. Perbandingan air dan koro babi (Vicia faba) adalah 4:1 selama 6 x 12 jam. Tiap 12 jam air diganti.

d. Pengukusan

Pengukusan dilakukan selama 20 menit dengan api kecil e. Penirisan

Penirisan dilakukan dengan menggunakan saringan.

f. Pendinginan

Pendinginan dilakukan dalam suhu kamar dan udara terbuka g. Perlakuan pengecilan ukuran

Koro babi (Vicia faba) dibagi 2 bagian sama banyak, 1 bagian dirajang (1 lembaga dibelah vertikal menjadi 3) dimensi ± 2,5 x 0,5 x 0,5 cm, dan 1 bagian dicacah (1 lembaga dibelah vertikal menjadi 3, kemudian dibelah horisontal 5-7) dimensi ± 0,5 x 0,5 x 0,5 cm.

h. Inokulasi

Inokulasi dengan menggunakan ragi tempe dengan perbandingan 2 gr ragi tempe dalam 1 kg Koro. Dilakukan pencampuran secara homogen. Lalu dibungkus dengan daun pisang.

i. Fermentasi

Inkubasi dilakukan dengan menata sample di atas rak pada suhu kamar selama 30 jam, 36 jam, 42 jam dan 48 jam.

(31)

Air: sampel = 4:1

Gambar 3.1 Skema Pembuatan Tempe Koro babi

Dirajang 1 lembaga menjadi 3

Pendinginan

Inokulasi

Fermentasi

± 2,5 x 0,5 x 0,5cm

T ruang = ±27oC

42jam 48jam 30jam 36jam

0jam Pengukusan 20 menit

Sortasi

Perendaman 6x12 jam Perebusan 25 menit Buang dan diganti airnya

Pengupasan kulit

Air: sampel = 4:1

Dicacah 1 lembaga menjadi 15

Pendinginan

Inokulasi

Fermentasi

Penirisan

42jam 48jam 30jam 36jam

0jam

± 0,5 x 0,5x 5 cm

T ruang = ±27oC

Tempe koro babi berbagai variasi pengecilan ukuran dan variasi lama fermentasi Pengecilan ukuran

2 gr ragi/ Kg koro babi

(32)

F. Rancangan Penelitian

Koro Babi

Analisa HCN Analisa Total Fenol

Gambar 3.2. Skema Rancangan Penelitian

Tempe koro babi

0 jam 30 jam 36 jam 42 jam 48 jam Fermentasi

Cacah Rajang

(33)

Analisis Di Laboratorium 1. Uji kadar asam sianida

Uji kadar asam sianida merupakan pengujian untuk mengetahui kadar asam sianida dalam tempe koro babi. Pengujian kadar asam sianida menggunakan metode AOAC. Sebelum dianalisis, tempe tiap perlakuan dikecilkan ukuran kemudian dioven pada suhu 100oC selama 2 jam. Setelah itu bahan dihaluskan dengan menggunakan blender hingga melewati ayakan 80 mesh. Semua bahan yang telah halus disimpan dalam botol kering, ditutup rapat untuk selanjutnya dianalisis. Jalannya analisis terlihat pada Gambar 3.3

Maserasi dalam labu Kjeldahl selama 2 jam

Destilasi Uap

10-20 gr bubuk sampel 20 mesh

100 ml Aquades

destilat

Ditampung dalam erlenmeyer berisi 20 ml 0,02 NAgNO3 dan

1 ml HNO3hingga 150 ml Disaring dengan krus Gooch

Dititrasi dengan K-thiosianat dengan indicator ferri

Gambar 3.3 Skema Analisis Asam Sianida

100 ml Aquades Pencampuran

(34)

2. Uji Total Fenol

Uji total fenol dengan menggunakan metode Folin Ciocalteu. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk mengetahui jumlah komp[onen fenolik terutama dalam bentuk asam galat yang terdapat pada kacang. Sebagai standar digunakan asam galat dan hasilnya dinyatakan dalam satuan Gallic Acid Equivalent (GAE). Reagen Folin Ciocalteumerupakan larutan ion komppleks yang terbentuk dari asam fosfotungstat dan asam. Reagen ini dapat bereaksi dengan fenol sehingga campuran asam fosfotungstat- asam fosfomolibdat ini tereduksi menjadi komplek berwarna biru dalam larutan basa. Jalannya analisis terlihat pada Gambar 3.4

G. Analisis Data

Ekstrak kacang 5 mg/mL dalam aquades 9 ml aquadest Pelarutan 1 mL ekstrak encer

Pencampuran

Penambahan aquades s/d tanda (25 ml) 1mL reagen

Folin Ciocalteu

Penyimpanan pada suhu kamar dan kondisi gelap (90menit)

Peneraan pada λ 750 nm

5 menit

Gambar 3.4 Skema Analisis Fenolik Metode Folin Ciocalteu

(35)

Pengujian statistik untuk parameter asam sianida dan total fenol dianalisis mengaplikasikan software SPSS 13.0 menggunakan analisis variansi (ANOVA) pada α 5% kemudian dilanjutkan dengan pengujian Duncan Multiple Range Test (DMRT).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Asam Sianida (HCN)

Glikosida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat di dalam bahan pangan nabati dan secara potensial dapat beracun karena dapat terurai dan menghasilkan hidrogen sianida yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Pengujian yang dilakukan ini merupakan pengujian untuk mengetahui kadar asam sianida dalam tempe koro babi. Pengujian kadar asam sianida menggunakan metode titrasi AOAC. Sebelum dianalisis, tempe tiap perlakuan dikecilkan ukuran kemudian dioven pada suhu 100oC selama 2 jam yang bertujuan untuk memaksimalkan hidrolisis HCN dalam bahan. Setelah itu bahan dihaluskan dengan menggunakan blender hingga melewati ayakan 80 mesh. Semua bahan yang telah halus disimpan dalam botol kering, ditutup rapat untuk selanjutnya dianalisis. Kadar asam sianida (HCN) pada tempe koro babi dengan variasi lama fermentasi dan pengecilan ukuran. dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Kadar Asam Sianida (mg/g db) Tempe Koro Babi dengan Berbagai Perlakuan

lama fermentasi (jam) Pengecilan Ukuran

Cacah Rajang

0 0.060d 0.072e

30 0.048c 0.036b

36 0.036b 0.036b

42 0a 0a

48 0a 0a

*)superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata (p< 0,05)

(36)

Pada fermentasi 0 jam, tempe koro babi dengan perlakuan cacah dan rajang hasilnya berbeda nyata, hal ini disebabkan karena ukuran biji koro sebelum fermentasi. Tempe koro babi dengan perlakuan cacah 0 jam, kadar asam sianidanya lebih rendah dibandingkan tempe koro babi perlakuan rajang 0 jam. Pada fermentasi tempe koro babi 30 jam menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan waktu fermentasi 0 jam, dan pada perlakuan cacah dan rajang menunjukkan beda nyata. Sedangkan pada fermentasi 36 jam, perlakuan cacah dan rajang tidak menunjukkan beda nyata. Pada fermentasi 42 jam menunjukkan beda nyata dengan waktu fermentasi sebelumnya, tetapi antara tempe perlakuan rajang dan cacah tidak menunjukkan beda nyata. Pada waktu fermentasi selanjutnya yaitu 48 jam hasilya tidak berbeda nyata dengan tempe fermentasi 42 jam. Begitu pula pada variasi perngecilan ukuran tidak memberikan pengaruh pada kadar HCN tempe koro babi.

Dapat disimpulkan bahwa variasi pengecilan ukuran rajang dan cacah menunjukkan beda nyata pada kadar HCN tempe koro babi. Variasi lama fermentasi tempe koro babi, 0jam, sampai dengan 36 jam berpengaruh pada kadar HCN tempe koro babi yang kadar HCNnya terus mengalami penurunan.

Fermentasi 42 jam ke atas juga memberi pengaruh pada kadar HCN tempe koro babi, yang mana kandungannya bisa mencapai 0 mg.

Bila dilihat dari kadar HCN tempe koro babi pada fermentasi 0 jam yaitu 0,072 mg/g sampel, maka diperkirakan biji mentahnya mempunyai kadar asam sianida yang lebih tinggi dari 0,072 mg/g. HCN yang ada kemungkinan telah banyak tereliminasi karena sifat dari HCN sendiri yang larut air, dan sebelumnya telah dilakukan perendaman selama 3 hari dengan penggantian air setiap harinya. Selanjutnya setelah mengalami fermentasi, kadar HCN mengalami penurunan sampai kadar 0 mg/g. Pola penurunannya dapat dilihat pada Gambar 4.1.

24

0.032 0.056 0.080

adar HCN (mg/g) cacah

rajang

(37)

Gambar 4.1. Kadar HCN selama Fermentasi Tempe Koro Babi

Secara keseluruhan , hasil penelitian menunjukkan kadar HCN pada tempe koro babi rajang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena perbedaan luas permukaan sampel akibat perbedaan pengecilan ukuran antara cacah dan rajang. Ukuran biji pada tempe cacah lebih kecil sehingga lebih banyak jumlah HCN yang tereleminasi, sedangkan pada tempe rajang yang ukurannya lebih besar lebih banyak HCN yang terperangkap dalam sampel.

Menurut Bayu Kanetro dan Setyo Hastuti (2006), langkah pertama menghilangkan HCN yaitu dengan cara pengirisan dan perendaman. Langkah selanjutnya adalah dengan cara pemanasan atau perebusan.

Perlakuan perendaman dan pemanasan efektif dalam mengeliminasi HCN yang terikat pada senyawa glikosida dan pada prinsipnya adalah mengusahakan terjadinya hidrolisis yang membebaskan HCN pada bahan.

Cheeke (1985) dalam Utomo (2004) dalam Bayu Kanetro dan Setyo Hastuti (2006) menjelaskan bahwa koro babi dipengaruhi sifat asam sianida yang mempunyai titik didih 26,5oC, dan sangat larut dalam air, sehingga pada proses perebusan yang suhunya diatas titik didih asam sianida, bisa menurunkan kadar asam sianida yang ada. Proses pengolahan seperti perendaman, pengirisan, dan penghancuran menyebabkan terjadinya hidrolisis sehingga membebaskan senyawa HCN. Proses perebusan selain dapat mengeliminasi senyawa HCN juga menyebabkan biji koro menjadi lebih lunak sehingga lebih aman dan mudah dikonsumsi.

Penurunan kadar HCN diduga dipengaruhi oleh aktifitas bakteri, diketahui bahwa titik didih HCN 26,5 oC, pada 24 jam fermentasi suhu tempe meningkat hingga 40 oC, lalu pada 36-48 jam suhu nya antara 25 -37 oC (Kasmidjo, 1990) kemungkinan yang terjadi adalah HCN rusak karena suhu tempe lebih tinggi dari titik didihnya. Kemungkinan yang lain, diduga

(38)

peningkatan kadar air tempe selama fermentasi juga turut melarutkan HCN dalam tempe dan ikut teruap pada saat pengeringan.

Menurut Winarno (1997) kapang merupakan salah satu mikroba yang mempunyai enzim untuk memecah ikatan glukosidik. Enzim yang mampu memecah ikatan glukosidik adalah enzim -glukosidik (Mega dan Matsushima, 1983 dalam Wedhastri, 1993). Medikasari dan Marniza (2007), pada fermentasi kecap koro benguk, penurunan kadar HCN yang terkandung di dalam kecap diduga karena adanya senyawa HCN yang dipecah oleh kapang.

HCN kemudian diuapkan oleh pemasakan moromi sehingga kadarnya berkurang. Menurut Wedhastri (1993) Rhizopus oryzae dapat menurunkan kadar HCN (67,79%) dan Aspergillus oryzae (37,20%). Diduga terjadi mekanisme yang sama pada fermentasi tempe koro babi.

Data kadar HCN yang didapat dari hasil penelitian dibandingkan dengan lethal dose atau kadar HCN maksimal yang dapat diterima tubuh, HCN dapat menyebabkan kematian pada dosis 0,5-3,5 mg HCN/kg berat badan ( Winarno, 2002 ). Diasumsikan orang mengkonsumsi tempe koro babi 100 g tempe koro babi (dari hasil penelitian), maka total HCN yang masuk ke tubuh adalah 0,072 mg/g bahan (jumlah tertinggi hasil penelitian), dikalikan 100 g bahan, yaitu 7,2 mg HCN. Jika rata-rata berat manusia diasumsikan 50 kg, maka didapatkan hasil HCN yang masuk ke tubuh adalah 7,2 mg/ 50 kg berat badan atau 0,144 mg/ kg berat badan. Dibandingakn dengan dosis HCN yang dapat menyebabkan kematian di atas, maka dikatakan tempe koro babi dengan hasil HCN tertinggi pun masih layak dikonsumsi. Tubuh manusia umumnya tidak tahan terhadap HCN pada dosis 0,06 gram. Bila mengonsumsi HCN pada dosis lethal (mematikan) itu, biasanya manusia sudah bisa mati. Namun, ada pula yang masih bertahan hidup dan disembuhkan walau telah mengonsumsi HCN sebanyak tiga kali lipat dari dosis lethal itu.

2. TOTAL FENOL

Komponen fenolik atau disebut juga polifenol merupakan produk metabolisme sekunder tanaman yang banyak didapatkan pada tanaman.

Substansi ini mempunyai berbagai macam struktur dan fungsi yang berbeda.

(39)

Secara umum, fenolik terdiri atas cincin aromatik yang mengikat satu atau lebih gugus hidroksil (Robards et al., 1999). Kadar total fenol pada tempe koro babi dengan variasi lama fermentasi dan pengecilan ukuran dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Kadar Total Fenol (%) Tempe Koro Babi dengan Berbagai Perlakuan lama fermentasi (jam) Pengecilan Ukuran

cacah Rajang

0 0,014750a 0,014750a

30 0,149900b 0,152650b

36 0,201825f 0,178300e

42 0,170400d 0,162750d

48 0,234400g 0,192620f

*)superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata (p< 0,05)

Pada 0 jam fermentasi, kadar total fenol pada tempe dengan perlakuan cacah dan rajang hasilnya tidak berbeda nyata, hal ini disebabkan karena koro sama-sama belum terfermentasi. Begitu pula pada fermentasi 30 jam, kadar total fenol tempe dengan perlakuan cacah dan rajang tidak menunjukkan beda nyata. Sedangkan pada 36 jam fermentasi kadar total fenol tempe dengan perlakuan cacah dan rajang menunjukkan beda nyata. Pada fermentasi 42 jam kadar total fenol berbeda nyata dengan waktu fermemntasi sebelumnya, tetapi antara tempe dengan perlakuan rajang dan cacah tidak menunjukkan beda nyata. Pada waktu fermentasi selanjutnya yaitu 48 jam, kadar total fenol berbeda nyata dengan tempe fermentasi 42 jam. Begitu pula perlakuan variasi pengecilan ukuran juga memberi pengaruh pada kadar total fenol tempe koro babi.

Dapat disimpulkan bahwa variasi pengecilan ukuran biji koro babi berpengaruh pada kadar total fenol tempe koro babi. Variasi lama fermentasi tempe koro babi, dari 0 jam sampai dengan 48 jam juga berpengaruh pada kadar total fenol tempe koro babi. Selanjutnya kenaikan kadar total fenol tempe koro babi dapat dilihat pada Gambar 4.2

(40)

Gambar 4.2. Kadar Total Fenol selama Fermentasi Tempe Koro Babi Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan kadar total fenol pada tempe koro babi rajang lebih tinggi dibandingkan tempe koro babi cacah. Dari gambar 4.2 di atas dapat dilihat bahwa kadar total fenol yang diperoleh mengalami kenaikan pada masing-masing perlakuan pengecilan ukuran dan lama fermentasi, jadi pengecilan ukuran dan lama fermentasi dapat meningkatkan kdar total fenol pada tempe koro babi.

Pada kedua perlakuan pengecilan ukuran, dari fermentasi 0 jam hingga 36 jam kadar total fenol terus mengalami peningkatan, namun pada fermentasi 42 jam kadar toral fenol perlakuan cacah dan rajang mengalami penurunan. Lalu pada fermentasi 48 jam, kadar total fenol kembali mengalami kenaikan pada masing-masing variasi pengecilan ukuran.

Kemungkinan yang terjadi ialah, pada 0 jam hingga 36 jam fermentasi terjadi pembentukan senyawa fenol oleh perombakan senyawa dalam tempe koro babi oleh mikrobia. Kadar total fenol paling tinggi pada 36 jam fermentasi, hingga setelah itu terjadi penurunan kadar total fenol pada fermentasi 42 jam. Hal ini dimungkinkan aktifitas mikrobia paling maksimal adalah pada waktu fermentasi 36 jam, setelah itu aktifitas mikrobia mengalami penurunan karena substrat yang telah habis dirombak, atau kondisi yang tidak lagi sesuai dengan syarat tumbuh mikrobia. Penyimpangan yang

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

0 6 12 18 24 30 36 42 48

lama fermentasi (jam)

kadar total fenol (%)

cacah rajang

(41)

terjadi adalah pada fermentasi 48 jam kadar total fenol kembali mengalami kenaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah, tempe telah mengalami over fermented karena aktifitas lanjutan dari mikrobia, yang menghasilkan bau, yang terdeteksi sebagai fenol, sehingga kadar total fenol tempe koro babi kembali mengalami kenaikan setelah mengalami penurunan.

Dalam koro babi sudah mengandung senyawa antioksidan seperti asam fenolik, tannin serta antosianin (Souâd Akroum, 2009). Kemudian dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas.( Sutikno Arthur, 2009).

Menurut Sutikno Arthur, (2009) dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4- trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium. Pernyataan ini juga didukung oleh Anonim (2008b). Jika pada fermentasi tempe ditemukan adanya bakteri Micrococcus sp. adalah bakteri berbentuk kokus, gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora, bisa tumbuh baik pada medium nutrient agar pada suhu 30oC dibawah kondisi aerob. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon sebagai antioksidan.

(42)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Variasi pengecilan ukuran dan lama fermentasi berpengaruh terhadap kadar HCN tempe koro babi, semakin kecil ukuran biji koro dan semakin lama waktu fermentasi maka kadar asam sianidanya semakin kecil.

2. Pada fermentasi 0, 30, 36, 42, dan 48 jam kadar asam sianida biji koro babi cacah berturut-turut adalah 0.060 mg/g, 0.048 mg/g, 0.036 mg/g, 0 mg/g, dan 0 mg/g, sedangkan untuk biji koro babi rajang adalah 0.072 mg/g, 0.036 mg/g , 0.036 mg/g , 0 mg/g dan 0 mg/g.

3. Kadar asam sianida terendah terdapat pada tempe koro babi dengan perlakuan rajang maupun cacah pada leme fermentasi 42 dan 48 jam, yaitu mencapai 0 mg/g bahan.

4. Variasi pengecilan ukuran dan lama fermentasi berpengaruh terhadap kadar total fenol tempe koro babi, semakin kecil ukuran biji koro dan semakin lama waktu fermentasi maka kadar total fenolnya semakin kecil.

5. Pada fermentasi 0, 30, 36, 42, dan 48 jam kadar total fenol biji koro babi cacah berturut-turut adalah 0,014750%, 0,149900%, 0,201825%, 0,170400%, dan 0,234400%, sedangkan untuk biji koro babi rajang adalah 0,014750%, 0,152650%, 0,178300% 0,162750% dan 0,192620%.

6. kadar total fenol terendah terdapat pada tempe koro babi dengan perlakuan cacah dengan lama fermentasi 48 jam.

B. SARAN

Perlu penelitian lebih lanjut terhadap kadar asam sianida dan kadar total fenol pada tempe koro-koroan selain tempe koro babi dengan variasi pengecilan ukuran dan lama fermentasi.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Iqbal. 2008. Buat Tempe Yuuuk. http://iqbalali.com/2008/05/07buat-tempe- yuuuuk/. Didownload februari 2009 pukul 16.00WIB.

Anonim. 2006. Sianida. www.wikipedia.org/wiki/sianida

Anonim, 2008a. Kacang Babi (Vicia faba L.). http:// www.plantamor.com.

Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.00 WIB.

Anonim, 2008b. Detil data Vicia faba Linn. http:// www.kehati.or.id/florakita/

Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.10 WIB.

Anonim, 2008c. Beans, fava in pod, raw. http:// www.nutritionfacts.com. Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.15 WIB.

Anonim, 2008d. Alternatif Kacang-kacangan Non Kedelai untuk Tahu dan Tempe.

http://www/litbang.deptan.go.id/berita/one/597/

Anonim. 2008e. Usaha Makanan dari Tempe. http://koperasi- jawatimur.net/index.php?pilih=hal&id. Didownload pada tanggal 2 Februari 2009, pukul 16.00 WIB.

Apriadji, Harry. 2008. Kedele dan Tempe Masih Dianggap Sepele.

www.docudesk.com. Diakses 29 Juli 2008 Jam 20.45 WIB

Ardiansyah, 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan.

www.chaptereislamicspace.wordpress.com/2007/01/24/antioksidan-dan- peranannya-bagi-kesehatan/-32k

Astuti, Mary., Meliala, Andreanyta., Fabien, Dalais., wahlq, Mark 2000. Tempe a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pasific J Ciin Nutr(2000) 9(4): 322-325. http//:iqbali.com/2008/05/07/buat-tempe-yuuuuuk/.

Didownload 16 februari 2009 pukul 16.00WIB.

Bayu Kanetro dan Retno Hastuti, 2006. Ragam Produk Olahan Kacang – kacangan.

Universitas Wangsa Manggala Press. Yogyakarta

Buckle, K. A., Edwards, H., Fleet, G.H., & Wooton, M.. 1985. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.

Burgess, J. R., dan Feng Gao. 2000. The Antioxidant Effects of Inositol Phosphates.

11: 189-190.

Cook dan Samman. 1996. Flavonoids-Chemistry, Metabolism, Cardioprotective Effects, and Dietary Sources. Nutricional Biochemistry 766-76. New York.

Desti Utami. 2007. Antioksidan.

www.halalguide.info.destiutami.wordpress.com/2007/02/27/14/-27k

Gambar

Gambar 2.1 Tanaman koro babi    Gambar 2.2 Variasi ukuran biji koro babi  Sumber: Jarso, M
Gambar 2.4. Kerangka Berpikir Tempe koro babi
Gambar 3.1 Skema Pembuatan Tempe Koro babi
Gambar 3.2. Skema Rancangan Penelitian
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dalam makalah ini, Principal Component Analysis (PCA) dilakukan pada sejumlah variabel lingkungan untuk membuat indeks lingkungan yang bisa dimasukkan ke dalam

Menurut penelitian Sear, dkk (1944) rancangan bangunan asrama sendiri berpengaruh pada penghuni di dalamnya. Misalnya: asrama berlorong panjang dengan asrama terpusat, dimana

Pasal 116 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

Penelitian ini meliputi: perancangan dan pembuatan gripper sesuai dengan produk yang ditangani; koneksi gripper dengan robot ABB; dan pembuatan program robot ABB untuk

Salah satu usaha dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan khususnya di Kabupaten Sragen, Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen membuat sebuah kebijakan pendidikan

 Satu atau lebih instruksi yang melakukan perhitungan Selanjutnya, fungsi yang sudah didefnisikan dapat digunakan dalam program utama maupun dalam fungsi lainnya

INSIDEN INFEKSI SALURAN KEMIH BERDASARKAN HITUNG LEUKOSIT PADA WANITA HAMIL TRIMESTER III PERIODE SEPTEMBER-OKTOBER 2015 DI RUMAH SAKIT

endophyticus G053 dalam meningkatkan pertumbuhan planlet kentang dan tanaman tembakau diduga disebabkan oleh kemampuan bakteri endofit tersebut dalam