• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Metode penelitian

4. Analisis Data

Analisa data adalah peroses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.62

62

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hlm.263.

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian kontruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan

perundang-udangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan kualitatif, yaitu dengan melakukan:

1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

2. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan.

3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah. 4. Menjelaskan dan menguraikan berbagai hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatf. Sehingga menggungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

Analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.63

Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berfikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan

63

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.248

memberikan hasil yang signifikan dan bermakna kedalam bentuk sebuah paparan yang nyata.

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA

UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA.

A.Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Tahun 1976 merupakan titik penting dalam sejarah pengaturan hukum terhadap narkotika di Indonesia. Karena pada tahun ini Indonesia mulai memiliki undang-undang, yang merupakan pembaharuan hukum tentang narkotika yang telah diproses dan diolah sesuai dengan tuntutan dan kondisi masa kini mengenai pengaturan penggunaan narkotika dan ketentuan-ketentuan pertanggungjawaban dan penetapan pidana bagi siapa saja yang menyalahgunakan narkotika. Dengan kata lain tahun 1976 merupakan tahun penting bagi hukum narkotika Indonesia dengan fakta kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Juli 1976

Pada undang-undang narkotika ini terkandung warna hukum pidana sebagai alat untuk prevensi umum dalam rangka penanggulangan narkotika di Indonesia. Hai ini logis mengingat bahwa perjalanan dan perjuangan untuk mendapatkan undang-undang narkotika nasional ini dipengaruhi kuat oleh gangguan dan ancaman penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang semakin merajalela dengan sasaran korban para remaja, sehingga penyalahgunaan narkotika ditempatkan sebagai masalah nasional yang perlu mendapatkan penanganan yang serius. Mengapa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini penting artinya bagi penanggulangan

penyalahgunaan narkotika di Indonesia, terutama apabila dikaji dari segi hukum dan perundangan, memerlukan jawab yang bersifat pemaparan undang-undang yang berlaku sebelum dan ketentuan yang berpengaruh dalam mempersiapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Di samping itu penting pula untuk diungkapkan faktor-faktor non hukum yang mendorong ditertibkannya undang-undang narkotika.64

Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan manusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan

64

akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merupakan pengganti dari peraturan tentang narkotika zaman Belanda yaitu Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 Nomor: 28 jo No.53. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dibentuknya undang-undang ini adalah sehubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran dan pemasukan narkotika ke Indonesia.65 Perkembangan di bidang farmasi yang sangat pesat juga membuat Verdovende Midellen Ordonantie tidak efektif lagi dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.

a.

Yang dimaksud dengan narkotika menurut angka 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang jenis-jenisnya disebut pada angka 2 sampai dengan 13 mengandung unsur-unsur :

b.

Garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;

c.

Bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebut yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai Narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfina dan Kokaina;

65

Hari Sasangka, Narkotika dan psikotropika dalam Hukum Pidana untuk mahasiswa dan praktii serta penyuluh masalah narkoba (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm.165

tersebut diatas.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 secara umum dapat digambarkan sebagai berikut66

a) Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci. :

b) Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut

c) Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya

d) Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunanaan narkotika.

e) Acara pidananya bersifat khusus.

f) Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan narkotika.

g) Mengatur kerjasama internasional di bidang penanggulangan narkotika. h) Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.

i) Ancaman Pidana lebih berat

A.1. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

Kebijakan Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu aturan

perundang-66

undangan.67

Teguh Prasetyo menyatakan bahwa dalam hal kebijakan kriminalisasi menggunakan saran penal (hukum pidana) menyangkut 2 (dua) pokok pemikiran yaitu masalah penentuan:

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur berbagai jenis tindak pidana yang merupakan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika telah mengatur beberapa jenis narkotika baru yang sebelumnya belum diatur dalam Verdovende Midellen Ordonantie. Pengaturan narkotika jenis baru tersebut tentu berdampak pada variasi formula tindak pidana di dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1976. Perkembangan teknologi serta transportasi yang merupakan latar belakang dari pembentukan undang-undang ini tentu berdampak banyak terhadap formula kriminalisasi di dalamnya.

68

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan; 2) Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar

Kebijakan kriminalisasi terkait tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

1) Perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. ( Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1);

67

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Nusa Media, 2011 ) hlm.133

68

2) Perbuatan secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika ( Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 2) ;

3) Perbuatan secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika ( Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 36 ayat 3) ; 4) Perbuatan secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito

narkotika. ( Pasal 23 ayat 4 dan Pasal 36 ayat 4 );

5) Perbuatan secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika ( Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 36 ayat 5 ) ; 6) Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau

memberikan narkotika untuk digunakan orang lain ( Pasal 23 ayat 6 dan Pasal 36 ayat 6 );

7) Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri (Pasal 23 ayat 7 dan Pasal 36 ayat 7 );

8) Kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat ( 1 ) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya;

9) Perbuatan Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat ( 7 ) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976;

10) Perbuatan Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan ( Pasal 24 dan Pasal 40 ) ;

11) Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal 42 ) ;

12) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ( Pasal 42);

13) Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal 43) ;

14) Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan narkotika (Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 ).

15) Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada pihak yang berwajib ( Pasal 48 ).

16) Semua tindak pidana dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran ( Pasal 50 ).

Secara keseluruhan dalam kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika sudah cukup baik. Kelemahan utama dalam hal kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang ini adalah mengenai terlalu sempit dan sederhananya pengertian narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Hal ini menyebabkan

Undang-Undang ini kurang efektif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai narkotika jenis baru. Celah ini sangat rentan untuk disalahgunakan para pelaku kejahatan untuk memasarkan secara bebas berbagai jenis narkotika yang belum diatur dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang seharusnya memberikan pengertian yang tidak terlalu kaku terhadap Narkotika agar lebih efektif terhadap kemunculan berbagai jenis narkotika jenis baru dengan tetap memperhatikan faktor : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Kesederhanaan perumusan defenisi narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga berakibat kurang proporsionalnya sanksi pidana dengan dampak ataupun manfaat suatu jenis narkotika. Penggolongan narkotika ke dalam berbagai golongan yang didasarkan pada manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat efektif dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.

Kelemahan lain dalam kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 adalah lemahnya pengaturan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisir serta pencucian uang hasil tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini terkesan cenderung mengatur mengenai pengawasan terhadap peredaran narkotika di dalam negeri dan kurang antisipatif terhadap perdagangan narkotika yang bersifat transnasional serta terorganisir. Latar belakang perkembangan teknologi dan sarana transportasi yang menjadi salah satu pertimbangan dibentuknya undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

seharusnya menjadi dasar yang cukup untuk mengkriminalisasikan berbagai tindak pidana terkait perdagangan narkotika yang bersifat transnasional dan terorganisir.

A.2. Kebijakan Hukum Pidana Terkait Sanksi, Pemidanaan, Dan Pemberatan Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika.

Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan pidana.69 Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya.70 Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana. Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer berikut mengenai sanksi pidana:71

a. Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

69

Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.5

70

Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm.1

71

Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, (Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2004) hlm.9

b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;

c. Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa.

Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu:72

72

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm 17

a. Pidana Pokok yaitu: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan.

b. pencabutan hak-hak tertentu;

1. perampasan barang-barang tertentu; 2. pengumuman putusan hakim.

Meskipun demikian, dalam kajian hukum pidana tidak hanya dikenal berupa sanksi pidana (straf) tetapi juga sanksi tindakan (maatregel). Untuk memberdakan antara sanksi pidana dengan maatregel dapat dipakai pendapat Roeslah Saleh berikut sebagai pedoman:

Dalam banyak hal batas antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, karena pidana sendiri pun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada kesukaran, karena apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana, sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan (maatregel), misalnya: pendidikan paksa, seperti terjadi pada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah untuk dididik di dalam lembaga pendidikan paksa, ditempatkannya seseorang di dalam rumah sakit jiwa dengan perintah karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena ada pertumbuhan yang cacat pada jiwanya atau gangguan penyakit. 73

1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar

73

Mohammad Eka Putra, dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 9

narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (4) dan (5) sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976.

3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merumuskan dua ( 2 ) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif.

4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika ( pelaku yang melanggar pasal 36 ayat ( 7 ) ) dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan larangan memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system

yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan.

5. Percobaan ( poging ) melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan ( poging ).

6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 1/3 dengan batasan maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat ( 7 ) .

7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 ( dua ) bagi pelaku yang melakukan pengulangan

( recidive ) terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat ( 1 ) sampai dengan ayat ( 7 ).

8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan, Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

B.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Dalam perkembangannya ternyata Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya pada orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiswa, pelajar, bahkan tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessman telah terjangkit narkotika.

Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia.74

74

Hari Sasangka, Op Cit, hlm 166

Selain itu, Indonesia juga sudah terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 07 Tahun

1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika yang mengharuskan Indonesia menyesuaikan hukum nasionalnya dengan Konvensi tersebut. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang diperberat.75

Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.76

75

AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hlm.13

76

Ibid., hal l12

Dalam konsideran Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 antara lain menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Oleh karena itu tidak mungkin terus memberlakukan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Dengan lahirnya undang-undang narkotika yang baru, maka sejak tanggal 1 September 1997 undang-undang narkotika yang lama sudah tidak berlaku lagi, karena sudah dicabut.77

Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.78

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diundangkan pada tanggal 1 September 1997 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698 dan berlaku sejak undang-undang tersebut diundangkan

a.

Didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tujuan pengaturan Narkotika adalah untuk :

b.

Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

77

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm 156.

78

Hari Sasangka, Op.cit, hlm 165

c. Memberantas peredaran gelap narkotika

Pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sejak awal pembentukannya dari bentuk masih Rancangan Undang-Undang memiliki semangat antara lain:79

a.

b.

Undang-Undang Narkotika yang baru menggantikan 9 Tahun 1976 tentang Narkotika harus mampu melahirkan persamaan persepsi, mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika beserta akibat yang ditimbulkannya, baik terhadap perseorangan dan masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara;

c.

Harus mampu mencegah, menghentikan dan sekaligus memberantas semua bentuk peredaran dan perdagangan gelap narkotika, serta bersama-sama dengan masyarakat internasional berupaya untu menanggulangi permasalahannya;

d.

Harus mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat tanpa membeda-bedakan status dan kedudukan, untuk dapat menjamin terciptanya kepastian hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, dalam peran sertanya menumbuhkan kembangkan perwujudan disiplin nasional;

79

AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hlm.13

Harus mampu memberikan sanksi yang terberat terhadap pelanggar tindak pidana narkotika, baik yang dilakukan secara perseorangan, maupun secara kelompok, secara terorganisir maupun secara korporasi, dalam skala nasional, maupun internasional, sehingga bobot tindakan represif yang melekat pada undang-undang, mampu menghasilkan efek psikologis yang lebih nyata, untu digunakan sebagai sarana preventif;

e.

f.

Harus mampu menjamin terselenggaranya kelangsungan pengadaan narkotika secara legal yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan pelayanan kesehatan maupun pengembangan ilmu pengetahuan;

Dokumen terkait