• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud. 29 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Kata

teori berasal dari kata theoria yang artinya pandagan dan wawasan.30 Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d) ulasan pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya.31

Rumusan diatas, mengandung 3 (tiga) hal, pertama, teori merupakan seperangkat proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefenisikan dan saling berhubungan. Kedua, teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dan dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Akhirnya, suatu teori

Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah “….seperangkat konstruk (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjalankan dan memprediksi gejala-gejala itu”.

29

Muktar Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 92.

30

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, cet-VI (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.

31

menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara rinci variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu lainnya.32

Penelitian dalam pembahasan tesis ini menggunakan teori penafsiran ekstensif. Penafsiran secara umum lebih dipahami sebagai “proses, perbuatan, cara menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas” 33 atau “kesan, pandangan, pendapat, tafsiran.”34 Dalam bidang hukum definisi “penafsiran” menurut

Black’s Law Dictionary “the art or process of discovering and ascertaining the meaning of a statute, will, contract, or other written document. The discovery and representation of the true meaning of any signs used to convey ideas.”35

32

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 42-43

33

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), hlm 882

34

Ajarotni, et. al (ed.). Tesaurus Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta, 2008), hlm, 73

35

, Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary Deluxe: Definitions of Terms and Phrases of American and English Jurisprudence: Ancient and Modern, Sixth Edition, (Amerika, St. Paul Minn. West Publishing, 1990) , hlm 817

Menunjukkan pemahaman arti penting “penafsiran” bukan sebatas cara atau perbuatan tetapi suatu keahlian/seni untuk mendapatkan makna yang benar dari suatu dokumen hukum. Metode penafsiran ektensif merupakan salah satu metode penafsiran di antara bermacam-macam metode penafsiran yang ada. Van Bemmelen mengemukakan ada 10 metode interpretasi: De textuale interpretatie; Intentionele interpretatie; Principiele interpretatie; Rationele interpretatie; Morele interpretatie; Comparatieve interpretatie; Analogische interpretatie; Legislative interpretatie;

Historische interpretatie; dan Evolutieve interpretative (interprestasi gramatikal, interprestasi disengaja, interprestasi prinsipil, interprestasi rasional, interprestasi moral, interprestasi komparatif, penafsiran analogi, interprestasi legislative, interprestasi historis dan interprestasi evolusi).36

Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin : “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang dapat disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan “ “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Adanya asas tersebut didalam KUHP Indonesia merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi yang satu digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup dan tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat berbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu.

Dari kesepuluh metode interpretasi itu, penafsiran ekstensif termasuk di dalam Pincipiele Interpretatie karena melakukan kegiatan pemahaman terhadap ketentuan hukum yang ada dengan tetap mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang ada di dalam ketentuan itu.

37

Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa penerapan analogi itu relatif, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi,

36

A. Zainal Abidin. Farid, Hukum Pidana I, Cet. I, (Jakarta, Sinar Grafika Offset,1995) hlm, 38

37

Andi Hamzah, Pengantar Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), hlm.43.

tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem (dengan itikad yang baik). Kadang-kadang pembuat undang-undang sendiri menciptakan analogi.38

2. Kerangka Konseptual

Bentuk analogi yang bagaimana sebenarnmya yang dilarang, dapat dikutip pendapat Vos, yang mengatakan bahwa penerapan analogi tidak diizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-undang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif merupakan dua jalur tetapi satu hasil. Dapat dilihat pada interpretasi “barang” yang tercantum dalam delik pencurian disamakan dengan “aliran listrik” menurut arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921, W. 10728, N.J.1921,564.

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.39

38

Ibid, hlm.44

39

Zainuddin Ali, Op Cit, hlm 79

Landasan konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam

penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul penelitian ini, yaitu:

a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.40

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang yang diberi wewenang oleh ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakakan penetapan hakim.41

c. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.42

d. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.43

40

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

41

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

42

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

43

e. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.44

f. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.45

g. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum46

Dokumen terkait