• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisa data adalah peroses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.78 Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian kontruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan kualitatif, yaitu dengan melakukan :

1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

2. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan.

3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah.

4. Menjelaskan dan menguraikan berbagai hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga menggungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

78 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 263.

Analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.79 Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berfikir sistematis dan diinterpretasikan dengan metode interpretasi hukum. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas interpretasi dari bahan-bahan hukum tersebut. Analisis dilakukan dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan memberikan hasil yang signifikan dan bermakna kedalam bentuk sebuah paparan yang nyata.

79 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 248.

BAB II

KEPAILITAN BUMN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Tujuan Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan

Istilah “Pailit” berasal dari kata Belanda “Failliet”. Kata Failliet berasal dari kata Perancis “Failite” yang artinya mogok atau berhenti membayar. Orang yang mogok atau berhenti membayar dalam Bahasa Perancis disebut “Le Failli”. Kata kerja Faillir yang berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal kata “To Fail” yang artinya juga gagal. Di negara yang menggunakan bahasa Inggris untuk pengertian Pailit menggunakan istilah Bankrup dan untuk Kepailitan menggunakan istilah Bankruptcy.

Dalam bahasa Indonesia menggunakan istilah Pailit dan Kepailitan.80 Dalam Ensiklopedi Ekonomi Keuangan dan Perdagangan sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah seorang debitor yang tidak sanggup lagi akan membayar. Lebih tepat, ialah seseorang yang oleh pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.81 Dari sudut pandang bisnis, kepailitan atau kebangkrutan adalah suatu keadaan keuangan yang memburuk untuk suatu perusahaan yang dapat membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan, yang pada akhirnya menjadikan perusahaan

80 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003), hal. 344.

73 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 8.

tersebut kehilangan sumber daya dan dana yang dimiliki. Dalam teori keuangan, kesulitan keuangan (financial distress) ini dibedakan dalam beberapa kategori. 82

a) Kegagalan ekonomi atau economic failure, dimana pendanaan perusahaan tidak dapat menutup biaya, termasuk biaya modal. Badan usaha yang mengalami kegagalan ekonomi hanya dapat meneruskan kegiatannya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian di bawah tingkat bunga pasar;

b) Kegagalan bisnis atau business failure, dimana perusahaan menghentikan kegiatannya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal, meskipun tidak melalui kepailitan secara normal dan formal, juga suatu usaha dapat dihentikan/ditutup tetapi tidak dianggap batal;

c) Technical Insolvency atau secara teknis sudah tidak solven, dimana perusahaan dinyatakan pailit apabila tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar utang yang jatuh waktu. Technical Insolvency dapat merupakan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak, apabila Technical Insolvency ini merupakan gejala awal dari kegagalan ekonomi, berarti hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan;

d) Insolvency in Bankcruptcy, dimana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai asset perusahaan dan keadaan ini lebih parah dibandingkan dengan Technical Insolvency, yang dapat mengarah ke likuidasi.

82 Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 127-128.

e) Kepailitan menurut hukum atau legal bankruptcy, yakni kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.83 Berdasarkan pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini, ada beberapa elemen konseptual dalam definisi kepailitan yang perlu dijelaskan secara lebih terperinci.84

Pertama, “sita umum”. Istilah ini mengacu pada penyitaan terhadap seluruh harta debitor pailit. Sayangnya, pengertian sita umum ini tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Dikatakan “sita umum”, karena sita tersebut bukan untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditor saja, melainkan untuk semua kreditor; dengan kata lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan. Kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorium) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata bahwa kebendaan Debitor menjadi jaminan bersama-sama para kredior menurut keseimbangan kecuali terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 atau lebih kreditor. Seorang debitor yang hanya memiliki 1 kreditor tidak dapat dinyatakan pailit. Hal ini bertentangan dengan prinsip

83 Undang-undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LN Th 2004 No. 131, Pasal 1 angka 1.

84 Aco Nur, Hukum Kepailitan : Perbuatan Melawan Hukum Oleh Debitor, (Jakarta : PT Pilar Yuris Ultima, 2015), hal. 63-64.

sita umum. Bila hanya satu kreditor maka yang berlaku adalah sita individual. Sita individual bukanlah sita dalam kepailitan.85

Kedua, “kekayaan debitor pailit”. Ketentuan menegaskan bahwa kepailitan ditujukan terhadap kekayaan debitor pailit, bukan terhadap pribadi debitor.86 Dalam konteks ini, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan aturan bagi kepailitan debitor antara badan hukum dan perorangan (individu). Terhadap kekayaan debitor yang merupakan badan hukum, kepailitan hanya menyangkut kekayaan badan hukum dan tidak meliputi kekayaan pribadi debitor. Namun apabila kepailitan melanda sebuah firma, tidak dipisahkan antara kepailitan badan hukum dan kekayaan pribadi. Apabila kepailitan diajukan terhadap harta suami istri, harus diteliti apakah antara suami istri tersebut terdapat perjanjian kawin tentang pemisahan harta bersama.

Jika tidak ada, harta bersama suami istri tersebut dapat dikenakan kepailitan.

Ketiga, “pengurusan dan pemberesan oleh kurator”. Dalam hal ini, sejak debitor dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, debitor pailit kehilangan kewenangannya (onbevoegd) dan dianggap tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus dan menguasai hartanya. Pengurusan dan penguasaan atas harta debitor beralih kepada kurator. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang menyebutkan “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”87

85 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : USU Press, 2009), hal. 24.

86 Aco Nur, Op. Cit., hal. 67.

87 Ibid, hal. 68.

Keempat, “Hakim Pengawas”. Dalam ketentuan Pasal 65 Undang-Undang No.

37 Tahun 2004, tugas utama hakim pengawas adalah untuk mengawasi pengurusan dan pemberasan harta pailit. Adapun tugas-tugas lain dari Hakim Pengawas ditentukan dalam Pasal 65, 67 dan 68.

Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, dalam hal ini yang berwenang adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.

Menurut J. Djohansjah, S.H., dalam tulisannya yang berjudul “Pengadilan Niaga”,88 pengertian Kepailitan merupakan suatu proses dimana :

1) Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan Debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.

2) Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan Kepailitan.

Istilah pailit (bankrupt) menurut kamus Ekonomi Uang dan Bank artinya bangkrut yaitu suatu kondisi yang dinyatakan secara hukum tentang suatu perusahaan yang jatuh pailit, yaitu bila total pasivanya melebihi nilai total aktivanya, sehingga kekayaan yang dimiliki perusahaan itu sendiri adalah negatif. Istilah kepailitan atau bankruptcy adalah suatu tindakan hukum berupa keputusan pengadilan yang

88 Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, [Eds.]., Penyelesaian Utang- Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Penerbit Alumni, 2001), hal. 23.

melikuidir kegiatan suatu perusahaan guna menjamin pengembalian dana/aktiva milik para kreditor.

2. Tujuan Kepailitan

Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.89 Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit atau kekayaan Debitor saja dan tidak mengenai diri pribadi debitor pailit sehingga status pribadi debitor tidak terpengaruh olehnya, karenanya Debitor tidak berada di bawah pengampuan (curatele). Sekalipun debitor tidak kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelings bevoegd), namun demikian perbuatan-perbuatannya tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam kepailitan. Kalaupun debitor melanggar ketentuan tersebut, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaannya tersebut kecuali perikatan yang bersangkutan mendatangkan keuntungan bagi harta (budel) pailit.

Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hal ini juga disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 :

a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

89 Fred B.G.Tumbuan, Pokok-pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah oleh PERPU No. 1/1998, dalam buku Rudy A. Lontoh, S.H., dkk, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiba Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 125.

b. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;

c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.

Tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) yang ditulis oleh Louis E.

Levinthal dalam bukunya yang berjudul The Early History of Bankruptcy Law, yang telah dikutip oleh Jordan et, al. antara lain adalah :90

1) Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan Debitor diantara para Kreditornya;

2) Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan para kreditornya;

3) Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya dengan cara memperoleh pembebasan utang.

3. Syarat Kepailitan

Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, dari syarat pailit yang diatur dalam pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah :

a. Adanya Utang

90 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 37.

Pada dasarnya setelah berlakunya UU No. 37 Tahun 2004 kontroversi makna utang secara sempit maupun makna utang secara luas tidak terdapat perbedaan pemahaman sebagaimana terlihat dalam beberapa putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa kepailitan, sebab UU No. 37 Tahun 2004 menganut prinsip utang dalam arti luas. Perbedaan penafsiran terjadi dalam putusan pengadilan terkait dengan Utang jatuh tempo dan dapat ditagih, perbedaan penafsiran ini muncul karena utang dimaknai secara luas bukan saja dalam hubungan hukum dalam bentuk perjanjian utang-piutang, yang mana biasanya sudah dicantumkan klausula batas waktu atau jatuh tempo suatu utang.

Pengertian Utang menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 adalah :

“Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.

Pengertian Utang oleh beberapa hakim dalam putusannya dimana Hakim dalam memutus perkara kepailitan baik itu hakim pengadilan Niaga, Hakim Kasasi dan Hakim Peninjauan Kembali juga memberikan definisi yang saling bertentangan tentang pengertian utang, hal ini dapat dilihat dari beberapa putusan yang muncul yaitu :

1) Putusan Kasasi MA No. 03/K/N/1998, tgl. 2 Desember 1998

Permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian jual beli rumah susun yang tidak dipenuhi oleh pengembang, padahal pembeli telah membayar lunas

bangunan tersebut. Hakim Pengadilan Niaga memberi pengertian utang secara luas, yaitu bahwa kewajiban pengembang yang tidak dapat menyelesaikan pembangunan adalah"utang" walaupun permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit atau pembeli tidak berdasarkan atas konstruksi hukum pinjam-meminjam uang, sedangkan Hakim Kasasi mengatakan bahwa judex facti salah menerapkan hukum karena perjanjian tersebut bukanlah merupakan pengertian utang sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, karena utang tersebut bukan timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam uang tetapi timbul dari perjanjian pengikatan jual beli rumah yang obyek perjanjiannya bukanlah pinjam meminjam uang (loan), (utang dalam arti sempit).

2) Putusan Kasasi MA No. 20 K/N/1999, tanggal 29 Juli 1999, Putusan PK MA No. 13 PK/N/1999

Kasus ini menyangkut hubungan jual beli tanah dimana uang muka telah dibayar oleh pembeli, tetapi tanah tersebut tidak diserahkan oleh penjual maka penjual kemudian membuat surat pernyataan bahwa jikalau tanah tidak diserahkan dalam waktu tenggang waktu 90 hari, maka penjual akan menyerahkan kembali seluruh uang muka ditambah ganti rugi, tetapi penjual tidak menyerahkan tanah maupun uang muka sampai jatuh tempo 90 hari, maka penjual akan menyerahkan tanah maupun uang muka sampai jatuh tempo 90 hari tersebut. Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pailit penjual sebagai “pengertian utang dalam arti luas” bahwa utang bukan hanya perjanjian yang objeknya uang. Namun Hakim Kasasi membatalkan putusan Hakim

Pengadilan Niaga, dengan pertimbangan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pemohon dan termohon adalah hubungan jual-beli bukan hubungan utang-piutang, disini sebagai “pengertian utang dalam arti sempit”. Sedangkan dalam tingkat PK yakni Hakim PK membatalkan putusan Hakim Kasasi dan membenarkan putusan Hakim Pengadilan Niaga.

3) Putusan Kasasi MA No.04 K/N/1999, tanggal 3 Maret 1999 dan putusan Peninjauan Kembali MA No.06/PK/N/1999

Dalam kasus ini mengenai pembelian satuan rumah susun dengan cara angsuran pengembang (developer) tidak dapat menyerahkan satuan rumah pada waktu jatuh temponya dan tidak mau mengganti kerugian kepada pembeli rumah tersebut. Pada tingkat Pengadilan Niaga, Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pailit dari pembeli dengan menafsirkan “pengertian utang secara luas” demikian juga pada tingkat Kasasi. Namun lain halnya pada tingkat Peninjauan Kembali, Hakim PK memiliki pendapat bertentangan dimana Hakim PK berpendapat bahwa terminologi utang pokok dan bunganya adalah bentuk khusus dari definisi utang. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai “pengertian dalam arti sempit”.

Menurut Jerry Hoff sebagaimana dikutip oleh Setiawan, SH, utang seyogyanya diberi arti luas baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang, maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena Debitor telah menerima sejumlah uang

tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain.91

Menurut Sutan Remy Sjahdeni, pengertian utang tidak hanya dalam arti sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa kewajiban membayar sejumlah uang kepada kreditor baik kewajiban yang timbul karena perjanjian apapun juga maupun timbul karena ketentuan undang-undang dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dilihat dari perspektif Kreditor, kewajiban membayar debitor tersebut merupakan “hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang” atau right to payment.92

b. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Yang dimaksud “utang yang telah jatuh tempo/waktu dan dapat ditagih”

menurut penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, ataupun majelis arbitrase.

c. Adanya Debitor dan Kreditor

91 Setiawan, Kepailitan serta Aplikasi, (Jakarta : Tata Nusa, 1999), hal. 15.

92 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. hal. 110.

Pengertian Debitor menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Pengertian Kreditor menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 37 tahun 2004 adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUH Perdata:

1) Kreditor Konkuren

Kreditur Konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata.93 Kreditur Konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro rata; artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibanding piutang mereka secara keseluruhan dan seluruh harta kekayaaan debitor.94 Dengan demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan piutang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.

2) Kreditor Preferen

Kreditor Preferen95 adalah kreditor yang diistimewakan.96 Yaitu, kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapat pelunasan

93 Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

94 Kartini Muljadi, Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. 164-165.

95 Ibid, hal. 65.

96 Pasal 1133 KUH Perdata berbunyi “Hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan 21 buku ini.”

terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang.

Tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata).97

3) Kreditor Separatis

Kreditor Separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang dalam KUH Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek.98

KUH Perdata tidak dipakai istilah “Debitor” dan “Kreditor”, tetapi dipakai istilah si berutang (schuldenaar)/Debitor dan si berpiutang (schuldeischer)/Kreditor.

Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang (schuldenaar) adalah pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang.99

d. Kreditor lebih dari Satu

Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan Debitor sendiri, maupun kepentingan para Kreditornya. Dengan adanya

97 Pasal 1134 KUH Perdata berbunyi “Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.”

98 Aco Nur, Op. Cit., hal. 92.

99 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. hal. 115-116.

putusan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit Debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang Debitor secara adil dan merata serta berimbang.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, harus dibedakan antara pengertian kreditor dalam kalimat “mempunyai dua atau lebih kreditor” dan “atas permintaan seorang atau lebih kreditornya” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.

37 Tahun 2004. Kalimat pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor. Dengan demikian, pengertian kreditor disini mengacu pada sembarang kreditor, baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Poin yang ditekankan disini adalah bahwa keuangan debitor tidak bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang. Adapun maksud kalimat kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitor sendiri, tetapi juga oleh kreditor. Kreditor yang dimaksud disini adalah kreditor konkuren. Harus kreditor konkuren, karena seorang kreditor separatis pemegang hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan

37 Tahun 2004. Kalimat pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor. Dengan demikian, pengertian kreditor disini mengacu pada sembarang kreditor, baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Poin yang ditekankan disini adalah bahwa keuangan debitor tidak bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang. Adapun maksud kalimat kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitor sendiri, tetapi juga oleh kreditor. Kreditor yang dimaksud disini adalah kreditor konkuren. Harus kreditor konkuren, karena seorang kreditor separatis pemegang hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan

Dokumen terkait