• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

TERMOHON PAILIT DALAM KAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA

TESIS

OLEH:

AGNEST ELGA MARGARETH 127005147 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI TERMOHON PAILIT DALAM KAITAN DENGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG

PERBENDAHARAAN NEGARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGNEST ELGA MARGARETH 127005147 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 27 April 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.

Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum 4. Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.1 Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.2 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.3

Agnest Elga Margareth4 C

Daya saing yang terjadi di dunia usaha saat ini mewajibkan BUMN harus kompetitif dengan perusahaan swasta baik dari dalam maupun luar negeri. BUMN harus mampu menciptakan inovasi pada produk-produk yang dihasilkan agar dapat diterima oleh konsumen. Tidak jarang untuk menciptakan inovasi dalam produknya BUMN memerlukan permodalan yang cukup besar. Permodalan yang diperlukan terkadang tidak selalu dapat diberikan oleh Negara sehingga tidak jarang BUMN melakukan pinjaman kepada pihak ketiga. Ketidakmampuan menyelesaikan utang kepada pihak ketiga yang dapat menyebabkan BUMN dimohonkan pailit melalui pengadilan. Tumpang tindihnya aturan dalam kepailitan BUMN menjadikan pihak ketiga kesulitan dalam pengembalian pinjaman.

Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah akibat hukum kepailitan BUMN terhadap keuangan negara dan akibat hukum kepailitan BUMN dalam hal sita umum aset BUMN berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sesuai dengan teori negara kesejahteraan dan teori badan hukum dari aspek kekayaan bertujuan. Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang sifatnya preskriptif dan terapan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang akan dianalisis secara analisis data kualitatif.

BUMN yang dimohonkan pailit menurut UU Keuangan Negara, menimbulkan akibat hukum ikutsertanya negara bertanggung jawab atas utang yang harus dibayarkan oleh BUMN kepada kreditor dalam hal jumlah utang BUMN lebih besar dari jumlah karena antara kekayaan negara dan kekayaan BUMN tidak terpisah.

Akibat hukum kepailitan BUMN dalam hal sita umum aset BUMN hanya dapat dilakukan terhadap aset BUMN sedangkan terhadap saham, deviden dan Barang Milik Negara yang dikelola oleh BUMN tidak dapat diletakkan sita umum. Sehingga saham, deviden dan Barang Milik Negara yang dikelola BUMN tidak dapat dilakukan sita umum sesuai dengan teori negara kesejahteraan.

Kata kunci: BUMN, Kepailitan, Keuangan Negara, Perbendahaaraan Negara.

1. Ketua Komisi Pembimbing

2 Dosen Pembimbing Kedua

3. Dosen Pembimbing Ketiga

4. Mahasiswi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

ABSTRACT

Prof. Dr. Bismar Nasution,SH., M.H.5 Prof. Dr. Sunarmi,SH., M.Hum6 Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum7

Agnest Elga Margareth8

Business competitiveness today requires BUMN to be competitive with domestic and foreign private businesses. It has to innovate its products in order to be accepted by consumers and it has to have big capital to do it. Since the government does not always provide capital, BUMN has to borrow it from the third party. When it cannot pay off his debt, it has to file bankruptcy to the Court. The overlapping regulations on BUMN bankruptcy makes the third party difficult to dun the loan.

The research problems are how about the legal consequence of BUMN bankruptcy on State’s finance and on confiscation of BUMN assets according to Law No. 1/2004 on State Treasury which is in accordance with the theory of State welfare and the theory of legal entity from the aspect of purposeful wealth. The research used juridical normative with prescriptive and applied legal provision approach, using primary, secondary, tertiary legal materials. The data were analyzed qualitatively.

The legal consequence of filing bankruptcy of BUMN, according to Law on State Finance, is that the State is responsible for the debt of BUMN because the State’s wealth and BUMN assets are inseparable. Confiscation can only be done on BUMN assets obtained from the State’s wealth which are sepparated, but it cannot be done on the State’s assets which are managed by BUMN because it is not in accordance with Law on BUMN, Law on State Finance, and Law onj State Treasury. This condition makes creditors difficult in filing bankruptcy and doing confiscation on BUMN which defaults.

Keywords: BUMN, Bankruptcy, State Finnance, State Treasury

5 Chairperson of Supervisory Commission

6 Supervisor II

7 Superviisor III

8 Graduate Student of Jurisprudence, University of Sumatera Utara

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis dengan kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Termohon Pailit dalam kaitan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara”.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas pelayanan serta fasilitas yang diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing III;

(9)

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., CN., M.Hum., selaku Komisi Penguji, terima kasih atas masukan dan pendapat demi tercapainya kesempurnaan penulisan tesis ini;

7. Dosen dan Staf Akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Anak yang sangat saya kasihi Isabella Anne Napitupulu, kedua orang tua, dan keluarga terimakasih sebesar-besarnya dengan penuh cinta dan kasih sayang terus memberi semangat dan mendukung dalam penelitian ini;

9. Rekan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maupun teman lainnya yang telah membantu memberikan semangat dalam penelitian ini hingga selesai dan lancar;

10. Rekan-rekan Grup Analisa Risiko Kredit (GARK) Medan, PT Bank Central Asia Tbk yang memberikan motivasi dan semangat hingga selesainya penelitian ini.

11. Semua pihak yang telah membantu dengan sukarela yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

(10)

Semoga segala bantuan dan kebaikan tersebut limpahkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulis berharap, semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat, khususnya untuk Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan umumnya pihak yang membutuhkan.

Medan, April 2019

Penulis

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Agnest Elga Margareth

Tempat & Tgl. Lahir : Tanjungpinang, 30 Agustus 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Usia : 30 tahun

Status : Menikah

Alamat : Jl. Sejati, Gg. Kasih No. 23 A, Medan.

Email : ness.sihaloho@gmail.com

II. Pendidikan

1. TK Pertiwi Tanjungpinang (tamat dan berijazah tahun 1994) 2. SD Negeri 025 Tanjungpinang (tamat dan berijazah tahun 2000) 3. SMP Negeri 4 Tanjungpinang (tamat dan berijazah tahun 2003) 4. SMA Negeri 1 Tanjungpinang (tamat dan berijazah tahun 2006) 5. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2006 – 2010)

6. Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2012 – 2019).

(12)

DAFTAR ISI

JUDUL ... ... i

LEMBARAN PENGESAHAN... ... ii

ABSTRAK ... ... iii

ABSTRACT ... ... iv

KATA PENGANTAR ... ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ... viii

DAFTAR ISI ... ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 11

C. Tujuan Penelitian ………... 11

D. Manfaat Penelitian ………... 11

E. Keaslian Penulisan ...………... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 14

1. Kerangka Teori ………... 14

2. Kerangka Konsepsi ………... 29

G. Metode Penelitian ………... 31

1. Jenis dan Sifat Penelitian ………... 32

2. Sumber Bahan Hukum ………... 34

3. Teknik Pengumpulan Data ………... 35

4. Analisis Data ………... 37

BAB II KEPAILITAN BUMN DI INDONESIA A. Pengertian dan Tujuan Kepailitan ………... 39

1. Pengertian Kepailitan ………... 39

2. Tujuan Kepailitan ………... 44

3. Syarat Kepailitan ………... 46

4. Dasar Hukum Kepailitan ………... 53

5. Asas-asas Kepailitan ………... 55

B. Eksistensi BUMN di Indonesia ………... 58

1. Pengertian dan Dasar Hukum BUMN ………... 58

2. Jenis dan Tujuan BUMN ………... 61

3. BUMN Sebagai Badan Hukum ………... 64

C. Kepailitan BUMN Di Indonesia ……….……… 73

(13)

1. Syarat Kepailitan BUMN ………... 73

2. Kepailitan BUMN ………... 76

BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN BUMN TERHADAP KEUANGAN NEGARA A. Konsep Keuangan Negara ………... 82

1. Pengertian dan Dasar Hukum Keuangan Negara ………... 82

2. Jenis-jenis Keuangan Negara ………... 84

3. Pengelolaan Keuangan Negara ………... 86

B. BUMN Dan Keuangan Negara ……….………... 91

1. Kekayaan BUMN Sebagai Kekayaan Negara Yang Dipisahkan... 91

2. BUMN Sebagai Bagian Dari Keuangan Negara ………... 97

3. Pengelolaan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam BUMN... 103

C. Akibat Hukum Kepailitan BUMN Terhadap Keuangan Negara ……... 114

BAB IV AKIBAT HUKUM KEPAILITAN BUMN TERHADAP SITA UMUM ASET BUMN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA A. Sita Umum Dalam Kepailitan ... 122

1. Pengertian Sita Umum ... ... 122 2. Tujuan Sita Umum ……… ... ... 125 3. Objek Sita Umum ………. .. ... 127 B. Aset BUMN dan Barang Milik Negara ………... 128

C. Akibat Hukum Kepailitan BUMN Terhadap Sita Umum Aset BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara ... 137

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... ...

148

B. Saran ... ...

150

DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu dari tiga pelaku utama dalam kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, disamping usaha swasta dan koperasi. Sebagai wujud nyata Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945)9, BUMN memiliki posisi strategis dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berdasarkan demokrasi ekonomi.

BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN didirikan oleh negara dengan salah satu tujuan untuk mencari keuntungan10 untuk pemasukan negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Latar belakangnya dikarenakan negara tidak dapat mencari keuntungan dari kegiatan menyelenggarakan pemerintahan. BUMN dalam perkembangannya, khususnya BUMN Persero menghadapi risiko kerugian yang menjurus kepada kebangkrutan atau kepailitan manakala pengelolaannya dilakukan secara tidak profesional, tidak berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dan tidak diterapkannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Kinerja perusahaan dinilai belum sepenuhnya dapat mewujudkan

9 Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

10 Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

(15)

peranannya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tampak pada rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan modal yang ditanamkan. Seringkali BUMN melakukan tindakan yang merugikan mitra usahanya maupun stakeholder, karena melakukan cedera janji/wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum.

BUMN Persero yang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak dapat memenuhi semua kewajibannya untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditur, akibat dikelola secara tidak efisien dan produktivitas yang rendah akan terus merugi, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi pada persaingan bisnis dalam pasar domestik maupun global, dan yang terpenting maksud dan tujuan pendirian BUMN sesuai perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara11 (yang selanjutnya disebut UU BUMN) tidak akan tercapai, bahkan akan menjadi beban negara.

Konsep kepailitan memberikan jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan BUMN Persero yang mengalami kesulitan keuangan sebagaimana disebutkan di atas.

Melalui mekanisme kepailitan BUMN Persero yang mengalami kesulitan keuangan bahkan berhenti membayar, dapat menyelesaikan utang-utangnya secara adil dan berimbang, dan dapat bangkit kembali serta memulai usahanya dengan fresh start dan

11 Pasal 2 ayat (1) UU BUMN berbunyi “Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah :

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya.

b. Mengejar keuntungan.

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.

d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.”

(16)

pada akhirnya dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.12

Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitor. Pasal 21 UU KPKPU13 menentukan bahwa kepailitan merupakan sita umum. Dengan adanya sita umum ini hendak dihindarkan adanya sita perorangan. Pembentuk Undang- Undang memandang perlu untuk memungkinkan adanya eksekusi massal dengan cara melakukan sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor yang bersangkutan yang dijalankan dengan pengawasan seorang hakim pengawas. Sita umum tersebut haruslah bersifat conservatoir yaitu bersifat penyimpanan bagi kepentingan semua kreditor yang bersangkutan.14 Persoalan terjadi apabila dilakukan penyitaan aset BUMN, maka akan terbentur dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (yang selanjutnya disebut UU PN), yang menyebutkan bahwa pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:

1. Uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

2. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;

3. Barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

4. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;

5. Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

12 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero, (Bandung; Alumni, 2012), hal. 8.

13 Pasal 21 UU KPKPU berbunyi : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”

14 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Medan : Softmedia, 2010), hal. 94.

(17)

Terdapat ketidaksepahaman di tubuh Kehakiman apabila menelaah beberapa kasus kepailitan BUMN sebagai termohon pailit seperti kasus PT Dirgantara Indonesia, PT Djakarta Lloyd, PT IGLAS dan PT Istaka Karya, maka dapat dilihat bahwa masih terdapat berbagai ambiguitas para hakim dalam mengartikan pasal-pasal baik di dalam UU BUMN, UU KPKPU, UU KN maupun UU PN.

Permohonan pailit PT Dirgantara Indonesia (PT DI) menggunakan Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pailit PT DI. Tetapi Majelis Hakim di tingkat Kasasi berpendapat lain, yaitu karena terbaginya modal atas saham yang seluruhnya dimiliki oleh negara tidak membuktikan bahwa PT DI adalah BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan publik, karena PT DI adalah BUMN yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh negara dan merupakan objek vital industri, maka merupakan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, sehingga permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya, Majelis Hakim tingkat Kasasi merujuk Pasal 50 UU PN yang melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap harta benda milik negara. Putusan Mahkamah Agung di tingkat Kasasi tersebut justru inkonsisten dengan Fatwa Mahkamah Agung No.

WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang secara kebetulan ditandatangani oleh Ketua Majelis tingkat Kasasi tersebut, yang secara tegas menyatakan kekayaan negara yang dipisahkan dari dalam APBN dan APBD sebagai penyertaan modal dalam perusahaan negara tidak diklasifikasikan sebagai keuangan negara.15

15 Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 4.

(18)

Pada tanggal 16 Agustus 2006, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan fatwa yang di dalamnya MA mengutip Pasal 4 ayat (1) UU BUMN menegaskan modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan, hal ini lebih ditegaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut yang menerangkan, bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, tetapi pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.16

Kasus PT Istaka Karya (PT IK), Hakim Pengadilan Niaga menolak permohonan pailit dari pemohon PT JAIC Indonesia. Dasar pertimbangan (ratio decidendi) majelis hakim dalam menolak permohonan tersebut karena seluruh aset/harta kekayaan PT IK adalah milik negara dan sesuai UU KPKPU permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Pemohon dalam mengajukan permohonan pailit tersebut tidak memiliki kuasa dari Menteri Keuangan, maka menurut majelis hakim tidak ada dasar hukum dari Pemohon untuk memohon agar pihak Termohon dinyatakan pailit. Hal lain yang menjadi bahan pertimbangan terkait aset PT IK, dimana apabila dilakukan penyitaan asset, maka akan terbentur dengan Pasal 50 UU PN.

Pada tingkat Kasasi, Hakim memutus bahwa PT IK berada di dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya. Hakim Mahkamah Agung dalam memutus

16www.hukumonline.com/berita/baca/hol15556/fatwa-ma-yang-menjadi-kontroversi, diakses pada tgl 14 Desember 2014.

(19)

perkara ini, menyatakan bahwa Judex Factie Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum. Hal ini dikarenakan bahwa Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa PT IK adalah BUMN berbentuk Persero, sehingga terhadapnya berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas dan kekayaan negara yang disertakan sebagai penyertaan modal dalam BUMN (Persero), terpisah dari kekayaan perseroan itu sendiri. Di sisi lain, Rakernas Mahkamah Agung tahun 2010 menyimpulkan bahwa kekayaan negara yang telah disertakan sebagai modal BUMN bisa disita oleh Pengadilan, karena kekayaan itu bukan lagi milik negara melainkan sudah menjadi harta milik BUMN tersebut.

Rancunya konsep keuangan negara dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (yang selanjutnya disebut UU KN) yang mencampuradukan keuangan publik dan keuangan privat serta bertentangan dengan perundang-undangan yang terkait yakni UU BUMN, UU KPKPU, UU PT dengan UU KN dan UU PN, mengakibatkan pertentangan pemahaman mengenai kepailitan BUMN Persero. Pasal 1 UU KN menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, selanjutnya ruang lingkup keuangan negara berdasarkan Pasal 2 huruf (g) UU KN meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain, yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

(20)

Ruang lingkup Keuangan Negara yang luas tersebut menimbulkan kerancuan dari aspek yuridis manakala dikaitkan dengan Pasal 1 angka 1 UU BUMN17 kemudian dipertegas dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN18.19 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 (yang selanjutnya disebut UU PT) menegaskan bahwa perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian, Pasal 7 ayat (4) UU PT menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. Masalah penanaman modal atau kekayaan Negara di dalam Persero sangat erat kaitannya dengan kebijakan Keuangan Negara. Karena Persero berbentuk PT, maka ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap PT umumnya berlaku untuk Persero.20

Implikasi hukum yang ditimbulkan terhadap kekayaan negara yang dipisahkan dalam bentuk penyertaan modal pemerintah (PMP) pada suatu Persero tidak dapat dikatakan sebagai keuangan publik lagi. Status hukum keuangan publik tersebut pada

17 Pasal 1 angka 1 UU BUMN berbunyi “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

18 Pasal 1 angka 1 UU BUMN berbunyi “Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.”

19 Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 5.

20 IG Rai Widjaja, Pedoman Dasar Perseroan terbatas (PT), (Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), hal. 72.

(21)

saat menjadi saham pada Persero, tidak lagi merupakan keuangan publik yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan publik seperti UU KN, UU PN dan sebagainya, seketika itu juga status hukumnya telah berubah menjadi uang Persero yang tunduk pada UU BUMN dan UU PT. Berdasarkan konsep tersebut, imunitas publik negara sebagai badan hukum publik hilang dan seketika itu juga negara sebagai badan hukum berubah status hukumnya menjadi badan hukum privat pemegang saham yang kedudukan hukumnya sama dan sederajat dengan kedudukan hukum pemegang saham lainnya (swasta). Kondisi demikian mengakibatkan putusnya keuangan yang ditanamkan dalam perseroan terbatas sebagai keuangan negara, sehingga berubah status hukumnya menjadi keuangan perseroan terbatas, karena telah terjadi transformasi hukum dari keuangan publik menjadi keuangan privat.

Adanya ketidakseragaman aturan mengenai kedudukan hukum (rechts-positie) harta kekayaan Negara yang dimasukkan dalam BUMN Persero menimbulkan ketidakpastian terhadap akibat hukum kepemilikan saham pemerintah dalam Persero sehingga berpengaruh juga pada inkonsistensi terhadap putusan Hakim atas permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN khususnya Persero baik di tataran pengadilan tingkat pertama, maupun tingkat Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Konstitusi No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Hal itu telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa "kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah" dalam Pasal 2 huruf g UU KN yang merupakan

(22)

salah satu unsur dari keuangan negara. Meskipun UU KN dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum privat dan teori transformasi keuangan negara. Pandangan yang pertama tersebut menyatakan bahwa dengan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT Persero, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tidak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tidak lagi terjamah oleh sistem pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut. Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara dari APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus terhadap aliran keuangan negara tersebut. Negara berkepentingan untuk mengamankan uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi maupun penyertaan modal. Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan (volledigheid beginsel) telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya aliran keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit BPK. BPK dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ tinggi negara dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan prinsip "hak preferensi negara", negara tak boleh kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang harus selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus pengelolaan APBN. Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan

"teori sumber" sebagai salah satu teori klasik dalam pengelolaan keuangan negara,

(23)

yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban APBN.21

Apabila mengikuti pemikiran UU KN, maka terhadap BUMN Persero tidak dapat dipailitkan oleh siapapun karena menurut ketentuan Pasal 50 huruf (a) UU PN, pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansti pemerintah maupun pihak ketiga.

Padahal esensi dari kepailitan adalah adanya sita umum terhadap semua harta kekayaan debitur pailit.

Hal ini karena melihat sifat kepailitan yang merupakan sita umum terhadap harta kekayaan debitur, maka sifat tersebut menuntut adanya kepemilikan mutlak atas harta yang sedianya akan dijadikan budel pailit. Tidak ada artinya memailitkan suatu entitas yang tidak memiliki hak milik atau kapasitas dalam lalu lintas keperdataan, karena tidak ada apapun yang dapat disita sebagai sita umum.22

UU KPKPU dalam penerapannya masih menemui kesimpangsiuran, terlebih lagi mengenai pengertian BUMN itu sendiri yang berakibat pada bisa atau tidaknya suatu BUMN dipailitkan. Sehingga dalam hal ini UU BUMN juga mempunyai peran dalam pertimbangan proses pemailitan BUMN. Hal tersebut yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian untuk menyusun tesis yang berjudul: Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Termohon Pailit dalam kaitan dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

21 Tjandra, W Riawan, Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN, Kompas, 1 Oktober 2014, hal.

10.

22 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009), hal. 148.

(24)

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana akibat hukum kepailitan BUMN terhadap keuangan negara ? 2. Bagaimana akibat hukum kepailitan BUMN dalam hal sita umum aset BUMN

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut akibat hukum kepailitan BUMN terhadap keuangan negara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut akibat hukum kepailitan BUMN dalam hal sita umum aset BUMN berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat utama yang diharapkan dapat tercapai dari penelitian ini, yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan bagi pembangunan hukum bisnis antara lain mengenai hukum kepailitan khususnya mengenai pengaturan kepailitan pada BUMN.

(25)

2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangsih wacana dan data bagi para praktisi terutama masalah yang berkaitan dengan penyelesaian kasus kepailitan. Dan juga diharapkan mampu memberi sumbangan secara praktis bagi para hakim untuk lebih luas memahami peraturan-peraturan hukum sehingga tidak saling berbenturan atau bertentangan.

E.

Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah penulis lakukan di perpustakaan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara mengenai judul “Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Termohon Pailit dalam kaitan dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara”, ternyata belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dalam judul tersebut, meskipun ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini antara lain, sebagai berikut:

1. Penelitian tesis berjudul “Analisis Hukum Terhadap Permohonan Pailit Atas Developer Dalam Perjanjian Pengikat Jual Beli Apartemen (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 331 K/PDT. SUS/2012 Tanggal 12 Juni2012)”

yang dilakukan oleh Kartini Meilina. H (NIM: 117011128) dengan rumusan masalah sebagai berikut;

a. Apakah para konsumen Apartemen boleh mengajukan Permohonan Pailit terhadap Developer PT. Graha Permata Properindo ke Pengadilan Niaga ?

(26)

b. Apakah yang menyebabkan PT.Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk ikut mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung atas Putusan Pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terhadap Developer ? c. Bagaimana analisis hukum terhadap kasus permohonan pailit atas

Developer dalam perjanjian pengikatan jual beli apartemen ?

2. Penelitian tesis berjudul “Analisis Hukum Atas Pemeriksaan Kekayaan Negara Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48 Dan 62/PUU-XI/2013” yang dilakukan oleh Selatieli Zendrato (NIM; 137005045) dengan rumusan masalah sebagai berikut;

a. Bagaimana status hukum kekayaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

b. Bagaimana pemeriksaan kekayaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

c. Bagaiamana analisis hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 dikaitkan dengan pemeriksaan kekayaan Negara pada BUMN?

Penelitian tersebut di atas memiliki rumusan masalah dan kajian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kepailitan BUMN dalam hal sita umum berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Penelitian ini juga menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah dengan mencantumkan pada footnote untuk seluruh sumber yang dikutip. Oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi, rumusan masalah dan pengkajian materi juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

(27)

F.

Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Seiring dengan perkembangan masyarakat, hukum pun mengalami perkembangan. Bahkan hukum selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat. Komunitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.23 M.

Solly Lubis mengatakan bahwa Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.24 Sedangkan menurut D. H. M. Meuwissen sebagaimana dikutip oleh Titon Slamet Kurnia et al, mengatakan bahwa ada tiga tugas teori hukum yaitu :25

a. Menganalisis dan menerangkan konsep hukum dan konsep yuridis (rechtsleer);

b. Hubungan hukum dengan logika;

c. Metodologi hukum.

Guna merealisasi amanat UUD 1945 dan khususnya Pasal 33, untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa, negara mendirikan BUMN, yang merupakan pelaku ekonomi, yang berperan tidak saja sebagai pengelola sumber daya dan produksi barang dan jasa yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan umum.

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 1, (Jakarta : UI Press, 1984), hal. 6.

24 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Medan : PT Sofmedia, 2012), hal. 30.

25 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Hukum di Indonesia sebuah Reorientasi, (Salatiga : Pustaka Pelajar, 2013), hal 79.

(28)

Berdasarkan pemahaman terhadap beberapa permasalahan yang dihadapi oleh BUMN dalam kaitannya dengan peranan Hukum Kepailitan Indonesia terhadap pengembangan perekonomian nasional, dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan bangsa, Penulis menggunakan dua teori yaitu teori negara kesejahteraan dan teori badan hukum dari aspek kekayaan bertujuan.

1) Teori Negara Kesejahteraan

Teori Negara Kesejahteraan (welfare state) disebut juga negara hukum dalam arti luas/negara hukum modern. Pencetus teori welfare state, Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.26 Maka akan sangat ceroboh jika pembangunan ekonomi dinafikan, kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya.

Menurut Watts, Dalton dan Smith bahwa ide dasar negara kesejahteraan sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18, ketika Jeremy Bentham (1748-1832) memandang bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (welfare) of the greatest number of their citizens. Artinya, pemerintah berkewajiban membuat bahagia sebanyak mungkin warganya.27 Atas

26 Ilham Arisaputra, Dari Welfare State ke Empowering State, (http://www.ilhamarisaputra.com/?p=146#_ftnref7 diakses pada tgl. 30 Juni 2015).

27 Ade Komarudin, Politik Hukum Integratif UMKM, (Jakarta : RMBOOKS, 2014), hal. 8.

(29)

gagasan inilah Bentham diakui sebagai Bapak Negara Kesejahteraan (Father of Welfare State).

Negara yang menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban empat fungsi, yaitu :28

1. The State as Provider (negara sebagai pelayan) 2. The State as Regulator (negara sebagai pengatur) 3. The State as Enterpreneur (negara sebagai wirausaha) 4. The State as Umpire (negara sebagai wasit)

Edi Suharto mengatakan, konsep negara kesejahteraan adalah dalam rangka memberikan peran lebih besar kepada negara dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) secara terencana.29 Setidaknya ada 4 (empat) pengertian mengenai konsep kesejahteraan yang dikemukakan, yaitu sebagai kondisi sejahtera, pelayanan sosial, tunjangan sosial dan sebagai proses atau usaha terencana, di mana hal ini dilaksanakan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan (sebagai pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.30

Sederhananya, negara kesejahteraan (welfare state) menuntut tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan para warganya. Konsep ini sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan

28 Friedmann, W., The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, (London : Steven & Son, 1971), hal. 5 dalam Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 11.

29 Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos. Makalah disampaikan di Seminar bertajuk “Mengkaji ulang relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi- Otonomi di Indonesia” dilaksanakan di Wisma MM UGM, Yogyakarta, 2006, hal. 3-4.

30 Ibid.,

(30)

ke dalam batang tubuhnya. Dimana ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa negara (pemerintah) dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.31 Dengan konsep tersebut, terutama Pasal 33 UUD 1945, maka dapat dikatakan Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan. Namun demikian, konsep negara kesejahteraan yang dianut Indonesia adalah berdasarkan pada Pancasila. Artinya, Pancasila bukan saja sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia, namun Pancasila harus mendasari setiap kebijakan negara dalam mewujudkan tujuan negara sebagai negara kesejahteraan.32

Konsep negara kesejahteraan yang dianut Indonesia berbeda dengan konsep negara kesejahteraan yang dianut oleh Barat, yaitu lebih didasarkan pada kontrak sosial (social contract) yang bersifat individualistik dan liberal, atau mengutamakan kepentingan individu dengan faham liberalisme. Berbeda dengan konsep negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan kepentingan kolektif bangsa dengan faham kebersamaan dan kekeluargaan. Konsep ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945.33 Sejalan dengan yang ditegaskan dalam Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur

31 Ade Komarudin. Op. Cit., hal. 9.

32 Ibid.,

33 Ibid., hal. 9-10.

(31)

jalannya roda perekonomian. Melalui pendirian BUMN yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.34

Teori negara kesejahteraan tersebut juga sejalan dengan teori hukum dalam pembangunan ekonomi yang ditemukan oleh Williams Burg dalam bukunya mengenai hukum dalam pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat pertumbuhan ekonomi yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer).35

Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama dan kedua merupakan prasyarat agar sistem perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing (conflict of interest), sedangkan prediksi merupakan suatu kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perekonomian suatu negara. Stabilitas (stability), maksudnya adalah bahwa hukum itu harus stabil dan tidak cepat berubah. Prediksi (predictability), maksudnya adalah bahwa setiap ketentuan

34 Ibid., hal. 62-63.

35 Bismar Nasution, Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 36.

(32)

yang akan keluar berikutnya sudah bisa disikapi dengan baik oleh masyarakat.

Keadilan (fairness), maksudnya adalah bahwa keadilan adalah tujuan dari hukum itu sendiri. Pendidikan (education), maksudnya adalah bahwa pendidikan hukum itu penting dalam menjalankan sebuah perusahaan. Lalu, pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer), maksudnya adalah bahwa setiap bagian hukum perusahaan tersebut haruslah memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan yang lainnya.

Kepailitan BUMN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjadikan BUMN dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya dan lebih mandiri. Namun, dalam peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditur juga kepentingan para stakeholders. Bukan hanya negara yang berkepentingan terhadap eksistensi BUMN Persero tetapi juga masyarakat luas.

Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan hukum dalam menjalankan usaha milik negara oleh BUMN hendaknya peraturan yang ada memperkuat BUMN sehingga mampu bersaing dengan pelaku-pelaku usaha lain yang pada akhirnya akan memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.36 Dalam pelaksanaan peraturan yang ada, terdapat benturan yang muncul terhadap pendapat yang memandang paling penting adalah bagaimana menyelamatkan harta kekayaan negara dalam rangka BUMN melaksanakan peranannya, khususnya berdasarkan Pasal 50 UU PN yang mengatur

36 Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 23.

(33)

tentang larangan penyitaan terhadap barang-barang milik negara/daerah atau yang dikuasai oleh negara/daerah.37

Penempatan uang negara di BUMN dalam beberapa teori sering dibenturkan dengan independensi badan hukum korporasi yang harus diberi ruang untuk mengelola secara privat dalam mengantisipasi konsekuensi menghadapi risiko bisnis. Definisi keuangan negara yang diatur dalam UU KN diderivasi dari teori negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD 1945, sejak dari pembukaan hingga pasal-pasalnya. Pembentuk UUD 1945 yang diwarnai pemikiran negara kesejahteraan (welfare state) mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya.38

Teori Negara Kesejahteraan digunakan dalam karya tulis ini sebagai pisau analisis yang relevan untuk mengetahui seberapa jauh teori tersebut dapat memberi jawaban bagi penyelamatan BUMN pailit yang pada akhirnya memacu dan meneguhkan fungsi BUMN dalam merealisasi tujuan negara Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

2) Teori Badan Hukum dari aspek Kekayaan Bertujuan

Teori Badan Hukum dari aspek kekayaan bertujuan dikemukakan oleh sarjana Jerman A. Brinz dan diikuti oleh Van der Heyden dalam karangannya “Het Schijnbeeld van de rechtspersoon”.39 Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat

37 Ibid., hal. 24.

38 Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta : Grasindo, 2014), hal. 9.

39 R. Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Korporasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 8.

(34)

menjadi subjek hukum. Namun tidak dapat dibantah tentang adanya hak-hak atas suatu kekayaan sedangkan tiada satu orang pun yang menjadi pendukung hak-hak tersebut.

Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.40

Teori kekayaan bertujuan mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut, yakni orang). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloos). Disini yang terpenting bukan siapakah badan hukum itu, melainkan kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori ini tidak perduli manusia atau bukan, kekayaan tersebut merupakan hak yang normal atau tidak, yang terpenting adalah tujuan dari kekayaan tersebut.41 Singkatnya, apa yang disebut hak-hak badan hukum sebenarnya adalah hak-hak tanpa subjek hukum, karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.42 Pihak yang dapat bertindak sebagai subjek hukum, yaitu :

a. Manusia sebagai natuurlijk persoon, yaitu subyek hukum alamiah dan bukan hasil kreasi manusia tetapi ada karena kodrat.

b. Badan Hukum sebagai rechtspersoon, yaitu subyek hukum yang merupakan hasil kreasi hukum atau hasil kreasi manusia.43

40 Ibid.,

41 Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 34.

42 Ibid., hal. 35.

43 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 51.

(35)

Pengertian pokok, apa badan hukum itu adalah segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Atau dapat juga disebutkan bahwa badan hukum adalah suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang. Suatu badan hukum (legal entity) lahir karena undang-undang. Badan hukum dianggap sama dengan manusia, yaitu “manusia buatan/tiruan” atau “artificial person”. Oleh karena itu maka badan hukum memiliki sifat kemandirian yang dimiliki oleh manusia.

Menurut teori, badan hukum dapat dibedakan menurut jenisnya yaitu badan hukum publik dan badan hukum perdata.44 Suatu badan hukum di Indonesia yang merupakan badan hukum publik yaitu Negara. Sedangkan yang termasuk badan hukum perdata salah satunya adalah Perseroan Terbatas (PT) yang diatur dalam Pasal 36 sampai dengan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebagaimana yang sudah diganti dengan UU No. 40 tahun 2007 yang mencabut ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Teori badan hukum kekayaan bertujuan sejalan dengan doktrin badan hukum perseroan mandiri (separate legal entity) yang ditentukan dalam UU PT. Secara substantif BUMN Persero tidak lain merupakan suatu badan hukum mandiri (separate legal entity) yang berbentuk Perseroan Terbatas. Berlakunya konsepsi kemandirian BUMN Persero sebagai suatu badan hukum mandiri mendapat pengakuan yuridis berdasarkan ketentuan UU BUMN. Lebih khusus, UU BUMN juga memberikan

44 Ibid.. hal. 21.

(36)

pengaturan terhadap berlakunya segala ketentuan dan prinsip Perseroan Terbatas bagi BUMN Persero.45

Konsekuensi yuridis kemandirian badan hukum perseroan diantaranya yaitu mengenai hak suatu Perseroan Terbatas untuk memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan para pengurusnya termasuk dari harta kekayaan pribadi para pemegang sahamnya. Kemandirian Perseroan sebagai badan hukum juga mengakibatkan lahirnya konsep separation between ownership and control yaitu suatu konsep pemisahan antara kepemilikan suatu perseroan dengan pengendalian terhadap suatu perseroan. Dengan perkataan lain, maka demi hukum pengelolaan atas suatu PT harus dilakukan secara mandiri, profesional, serta terlepas dari campur tangan para pemegang sahamnya tak terkecuali pemegang saham pengendali.

Kekayaan badan hukum yang terpisah ini merupakan kekayaan mandiri dari badan hukum itu, dan bukan merupakan kekayaan pemiliknya. Kekayaan yang terpisah inilah merupakan jaminan dari seluruh perikatan yang dilakukan oleh badan hukum mandiri tersebut. Dalam perspektif ini, BUMN sebagai badan hukum adalah legal entity yang berbeda dengan pemiliknya (Negara), pengurusannya tunduk pada prinsip-prinsip korporasi yang sehat, dijalankan oleh organ badan hukum itu sendiri, dan memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara sebagai pemiliknya. Dengan karakterisitik inilah memungkinkan BUMN dikelola secara fleksibel sebagai badan usaha yang mandiri.

45 Pasal 11 UU BUMN menyatakan bahwa terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip - prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.

(37)

BUMN sebagai badan hukum mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan BUMN pada awalnya berasal dari modal pendirinya yaitu negara. Modal tersebut dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga tidak berlaku sistem APBN melainkan memberlakukan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Modal yang dimasukkan ke dalam BUMN menjadi milik BUMN untuk kepentingan usaha dalam mencari keuntungan.

Secara teori hukum, pemisahan kekayaan negara atau inbreng merupakan tindakan administrasi negara untuk melegalisasi pemisahan hak dan kewajiban negara.

Hal ini agar seluruh hak dan kewajiban BUMN nantinya tidak menggangu hak dan kewajiban negara dalam melaksanakan tujuan bernegara dan pengelolaan APBN.

Dengan demikian, APBN tidak akan terganggu atas kemungkinan tagihan BUMN yang langsung diarahkan kepada negara sebagai pemegang saham melalui APBN.46

Sebelum pemerintah melakukan pemisahan harta kekayan negara dalam rangka penyertaan BUMN, uang tersebut masih berstatus uang publik, karena sebelum penyertaan modal terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum publik seketika bertransformasi menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan pendirian badan hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang publik menjadi uang privat.47

Kedudukan negara terhadap BUMN adalah sebagai pendiri BUMN. Di samping itu, negara juga sebagai penyerta modal (pemegang saham). Selaku penyerta

46 Simatupang, Dian Puji N, Paradoksal Keuangan BUMN, Kompas, 22 Oktober 2014, hal. 10.

47 Ibid.,

(38)

modal memiliki hak untuk mengendalikan BUMN melalui keputusan-keputusannya (keputusan RUPS). Tanggung jawab negara terbatas kepada besarnya modal yang dimasukkan. Apabila BUMN menderita kerugian yang melebihi modalnya maka negara tidak ikut bertanggung jawab untuk menanggung kerugian tersebut.

Keberadaan BUMN bukan termasuk lembaga negara atau lembaga pemerintah, karena BUMN tidak berada pada struktur organisasi negara maupun pemerintah, dan seperti telah disebutkan di atas bahwa BUMN adalah perusahaan yang statusnya sebagai badan hukum perdata. Dengan statusnya tersebut harta kekayaan BUMN bukan merupakan kekayaan Negara.48

Undang-undang No. 40 Tahun 2007, terkandung ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip mengenai Perseroan Terbatas, antara lain dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Kekayaan negara dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup semua barang serta kekayaan alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun berwujud/tidak berwujud yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan modal negara. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, kekayaan negara dapat dipersepsikan sebagai segala

48 Gatot Supramono, Hukum Uang di Indonesia, (Bekasi : Gramata, 2014), hal. 174 -175.

(39)

sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh negara baik di tingkat pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD.

Sementara itu, dalam arti yang lebih sempit lagi dimana mengacu pada pengertian yang dirumuskan dalam pasal 1 angka (10) dan (11) UU PN, kekayaan negara dibatasi sebagai Barang Milik Negara/Daerah. Barang Milik Negara/Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dalam hal ini terbatas pada barang yang bersifat berwujud (tangible) yang meliputi barang persediaan dan aset tetap (fixed assets).

Kekayaan negara yang dipisahkan berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU BUMN adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Hukum tidak otomatis berperan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga kualitas yakni predictability, stability dan fairness. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi.49 Di samping itu perbedaan pemahaman mengenai keuangan negara terkait dengan penyertaan modal negara dalam Persero mengakibatkan adanya akibat hukum yang berbeda.

49 Erman Rajagukguk, 2006, Pengertian Keuangan Negara, makalah disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.

(40)

Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945 menentukan bahwa keuangan negara harus diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara.

Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU KN, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Perumusan keuangan Negara tersebut menggunakan beberapa pendekatan sesuai yang tercantum pada penjelasan umum UU KN50.51

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU KN, ruang lingkup keuangan Negara meliputi :

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;

2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. Penerimaan Negara;

4. Pengeluaran negara;

5. Penerimaan daerah;

6. Pengeluaran daerah;

7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat

50 Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

51 Adrian Sutedi,Op. Cit., hal. 11.

(41)

dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Ruang lingkup keuangan negara tersebut diatas dikelompokkan dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberi pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan Negara. Adapun pengelompokan pengelolaan keuangan Negara adalah : 52

1. Bidang pengelolaan pajak;

2. Bidang pengelolaan moneter;

3. Bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.

Selanjutnya berdasarkan penjelasan umum UU KN yang menjadi asas-asas umum keuangan Negara adalah akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Teori Badan Hukum dari aspek kekayaan bertujuan digunakan dalam karya tulis ini sebagai pisau analisis yang relevan untuk memahami batas-batas hak dan kewajiban negara terkait uang negara dalam penyertaan modal pada BUMN pailit dalam hal sita umum berdasarkan UU PN.

2. Kerangka Konsepsi

52 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal. 5.

(42)

Kerangka konsepsional adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.53 Landasan konsepsional ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian. Adapun landasan konseptual yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.54

b. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.55 c. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.56 d. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum

yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

53 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 79.

54 Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, LN Th 2003 No. 70, Pasal 1 angka 1.

55 Ibid.,Pasal 1 angka 2.

56 Ibid., Pasal 1 angka 10.

(43)

saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.57

e. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.58

f. Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.59

g. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.60 h. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.61

i. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.62

57 Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, LN Th 2007 No. 106, Pasal 1 angka 1.

58 Undang-undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, LN Th 2003 No. 47, Pasal 1 angka 1.

59 Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, LN Th 2004 No. 5, Pasal 1 angka 1.

60 Undang-undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LN Th 2004 No. 131, Pasal 1 angka 1.

61 Ibid., Pasal 1 angka 2.

62 Ibid.,Pasal 1 angka 3.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penyelenggaraan dan pengembangan Prodi SARJANA TERAPAN Okupasi Terapi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta berusaha menerapkan nilai-nilai keilmuan

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4 ) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah disebutkan pengaturan tentang Formula

Model Thiagarajan (dalam Hobri, 2010:12) terdiri dari empat tahap yang dikenal dengan model four-D Model yaitu tahap pendefinisian (define), tahap perancangan

Suaranya pak suaranya jangan di-mute.. Pergeseran anggaran, maaf Pak Iwan karena di sini ada dua mic ya, satu mic di laptop, satu mic di rapat ruang rapat. Minta maaf

Pada indikator evaluating subjek sudah bisa memeriksa kembali jawaban yang sudah dikerjakan dan memberikan kesimpulan, (2) proses metakognisisiswa FI dalam pemecahan

Dalam hal iuran, telah terdapat sanksi pidana bagi perusahaan yang menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan yaitu diancam 8 (delapan) tahun kurungan penjara atau denda sebesar

Bahan-bahan yang akan dipasang harus sesuai dengan gambar perancangan atau bila belum ditentukan harus lebih dahulu dibuat gambar shop drawing