• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.34 Analisis data

32 Ibid

33 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, 225

34 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategoridan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280

yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Peraturan perundang-undangan dianalisis secara kualiatif dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif35, pada akhirnya dapat menjawab permasalahan penelitian ini.

35 Penarikan kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret. Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393

BAB II

TINDAK PIDANA PASAL 131 UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana

Munculnya tindak pidana atau perbuatan pidana jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan maka akan sangat berkaitan erat dengan asas legalitas. Asas legalitas dalam KUHP tercantum pada Pasal 1 ayat (1) KUHP, berbunyi:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

Dalam bahasa asing disebut dengan istilah nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa

ketentuan peraturan perundang-undangan terlebih dahulu.36

Pemaknaan yang muncul dari asas legalitas tersebut mengandung beberapa hal, sebagai berikut:37

a. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:

1) Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.

2) Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.

36 Amir Ilyas, Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan Disertai Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar, (Yogyakarta:

Rangkang Education PuKAP Indonesia, 2012), hal. 13

37 Ahmad Bahiej, Hukum Pidama, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 18-19

19

b. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:

1) Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

2) Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.

Asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP kenyataannya tidak berlaku mutlak. Hal itu disebabkan karena dalam putusan hakim telah pernah dilakukan penafsiran analogi terhadap barang dimana barang berupa listrik yang merupakan barang tidak berwujud tergolong juga barang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP sehingga listrik yang dimiliki tanpa hak maka termasuk perbuatan melawan hukum berupa pelanggaran terhadap Pasal 362 KUHP (Hoge Raad 23-5-1921).38 Tidak hanya sebatas putusan pengadilan tersebut, merujuk pada ketentuan yang ada, yaitu Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi:

”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Artinya, keberadaan bunyi Pasal di atas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan asas legalitas di hukum pidana benar-benar tidak mutlak karena jika merujuk

38 J.E. Sahetapy & Agustinus Pohan (ed), Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 11

aturan tersebut perbuatan yang tidak ada aturan sangat mungkin dilakukan pemidanaan dengan melakukan penafsiran analogi (merupakan penegasan dapat dilakukan dilakukan penafsiran analogi) dimana dalam penafsiran tersebut apabila perbuatan tidak memnuhi suatu perumusan delik tertentu tetapi mirip dengan perbuatan-perbuatan lain yang memang memenuhi perumusan itu.39 Hal tersebut justru menunjukkan ketidakpastian hukum di Indonesia karena terdapat pertentangan antara 2 (dua) peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, melihat perkembangan persoalan subjek hukum yang begitu pesat perlu kiranya dilakukan perumusan aturan yang lebih mencerminkan lagi asas lex certa sehingga kepastian hukum pidana dapat lebih terjaga.

Selanjutnya, tindak pidana yang diatur dalam KUHP atau undang-undang pidana khusus lainnya tidak merumuskan secara tegas arti dari tindak pidana.

Secara tersirat jika merujuk pada KUHP, maka tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar KUHP itu sendiri. Dengan demikian, sangat tepat jika mencari arti tindak pidana dilakukan melalui penelusuran pendapat para ahli maupun asal kata tindak pidana itu sendiri.

KUHP Indonesia merupakan aturan hukum yang bersumber Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dimiliki pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karena itu, istilah yang digunakan untuk melihat secara tepat arti tindak pidana ialah

39 Ibid, hal. 11-12

strafbaar feit.40 Banyak perbedaan pendapat dari para ahli dalam memberikan arti terhadap istilah strafbaar feit, sebagai berikut:41

a. Strafbaar feit diartikan sebagai ”Peristiwa Pidana” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid, Rusli Efendi, Utrecht dan lain-lainya.

b. Strafbaar feit diartikan sebagai “Perbuatan Pidana” digunakan oleh Moeljanto dan lain-lain.

c. Strafbaar feit diartikan sebagai “Perbuatan yang Boleh di Hukum”

digunakan oleh H.J. Van Schravendijk dan lain-lain.

d. Strafbaar feit diartikan sebagai “Tindak Pidana” digunakan oleh Wirjono Projodikoro, R. Soesilo dan S.R Sianturi dan lain-lain.

e. Strafbaar feit diartikan sebagai “Delik” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid Satochid Karta Negara dan lain-lain.

Uraian di atas menunjukkan strafbaar feit di Indonesia diartikan oleh para ahli hukum ke dalam banyak istilah ke bahasa Indonesia, yakni perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.42 Strafbaar feit yang diartikan dalam bentuk kata atau istilah bahasa Indonesia

memiliki banyak arti dan untuk semakin memperjelaskan akan dirumuskan definisi atau perumusan strafbaar feit dalam bentuk penguraian kalimat, sebagai berikut:

a. Moeljatno menyebut ”Tindak pidana sebagai perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.43

40 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 118

41 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 21

42 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 204

43 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 54

b. J. Bauman mengatakan ”Perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan”.44

c. Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan, sebagai berikut:

”Tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab”.45

Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi :

1) Diancam dengan pidana oleh hukum 2) Bertentangan dengan hukum

3) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

4) Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

d. Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai berikut :46

1) Diancam dengan pidana oleh hukum

44 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:

UMM Pers, 2009), hal. 106

45 Roni Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Madju, 2012), hal. 160

46 Ibid

2) Bertentangan dengan hukum

3) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

4) Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

5) Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Merujuk penguraian di atas maka tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, memiliki sifat melawan hukum yang tidak ada alasan penghapus pidananya.

Tindak pidana pada dasarnya pembagian merujuk pada KUHP, yaitu pelanggaran dan kejahatan yang masing-masing diatur diatur didalm buku ke-II dan buku ke-III KUHP. Namun, terdapat 2 (dua) pendapat sarjana yang membagi jenis-jenis tindak pidana, yaitu:

a. Adami Chazawi membagi jenis-jenis tidak pidana, sebagai berikut: 47

1) Menurut sistem KUHP. Dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

2) Menurut cara merumuskannya. Dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materil (materieel delicten).

3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).

4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif disebut juga dengan tindak pidana omisi (delicta ommisionis).

5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung tersebut.

6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

7) Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, dapat dilakukan oleh siapa saja),

47 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 121-122

dan tindak pidana propria (delicta propria, dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.

8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).

10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung pada kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain-lain.

11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (engkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

b. EY. Kanter dan SR. Sianturi membagi jenis tindak pidana, sebagai berikut: 48 1) Kejahatan dan pelanggaran.

2) Delik formil dan delik materil.

3) Delik omissi dan delik commissi.

4) Delik tersendiri dan delik berulang.

5) Delik berakhir dan delik berlanjut.

6) Delik bersahaja dan delik kebiasaan.

7) Delik biasa dan delik kualifikasi/previligasi.

8) Delik sengaja dan delik culpa.

9) Delik umum dan delik politik.

10) Delik umum dan delik khusus.

11) Delik dakwaan karena jabatan dan delik aduan.

Kedua pendapat di atas jika diperhatikan tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Misalnya EY. Kanter dan SR. Sianturi menggolonggkan secara langsung tindak pidana dalam sebuah kelompok yang sama, yaitu: kejahatan dan pelanggaran sedangkan pelanggaran dan kejahatan jika dilihat dari pendapat

48 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 236

Adami Chazawi masuk pada kelompok jenis tindak pidana yang dikenal dalam sistem KUHP dan lain sebagainya.

Penjabarkan suatu rumusan delik atau tindak pidana (strafbaar feit) ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan pelaku, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang dalam undang-undang. Sesuatu tindakan itu dapat berupa een doen atau een niet doen atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu (kesalahan), atau juga karena een nalaten (kelalaian) yaitu mengalpakan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.49 Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) merupakan bagian-bagian dari kesalahan. Kesengajaan (dolus/opzet) berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesengajaan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa).50

Secara umum setiap tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang (ketentuan pidana) tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur subjektif dan

49 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1983), hal. 192-193

50 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 170

unsur-unsur objektif. Lamintang membagi kedua unsur-unsur ini sebagai berikut:51

a. Unsur-unsur subjektif antara lain:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUH Pidana.

3) Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUH Pidana.

5) Perasaan takut (vress) seperti antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUH Pidana.

b. Unsur-unsur objektif dari tindak pidana antara lain:

1) Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid).

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUH Pidana atau

“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari perseroan terbatas menurut Pasal 398 KUH Pidana.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur-unsur subjektif menurut Lamintang adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya sedangkan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.52

51 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 193-194

52 Ibid

2. Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pengaturan tindak pidana narkotika telah ada di Indonesia sejak pasa pemerintahan kolonial Belanda (telah diuraikan di latang belakang) kini pengaturan yang paling baru untuk tindak pidana narkotika terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.53 Alasan pengaturan tindak pidana narkotika dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebabkan beberapa alasan, sebagai berikut:54

a. Untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor

53 Tindak pidana narkotika tidak hanya dilarang secara regulasi akan tetapi juga dilarang oleh agama besar yang terdapat di Indonesia, yaitu:

a. Agama Islam mengatur pelarangan didalam Al-Quran dan Hadis yang diapandang sebagai khamr karena dapat menghilangkan kesadaran atau memabukkan bahkan cenderung membahayakan akal dan jiwa.

b. Agama Kristen baik Khatolik maupun Protestan Narkotika dipandang oleh gereja baik oleh kristen Khatolik dan Protestan merupakan suatu benda yang berbahaya bagi Indonesia. Akibatnya untuk membantu pemerintah dalam menangulangi permasalah narkotika maka gereja membentuk Komisi Pencegahan Dan Penanganan Narkotika yang mana bertujuan untuk mencegah dan mebuat konsep serta jaringan yang luas dalam permasalahan narkotika yang berada di jemaat gereja serta semua umat manusia harus ditangani tanpa ada perbedaan.

c. Agama Hindu dimana Kitab Slokantara, Sloka 16 menyebutkan Setiap orang yang mengkonsumsi surapanam atau narkotika tergolong melakukan dosa besar yang setara dengan perbuatan mencuri emas, membunuh pendeta maupun guru dan memperkosa gadis dibawah umur.

d. Agama Budha juga melarang penggunaan narkotika dikarenakan 4 (empat) faktor, yaitu:

1) Ada sesuatu yang merupakan sura, meruya, atau majja (suramerayamajjabhavo), 2) Ada niat untuk meminum, mengunakannya (pivitukumata),

3) Meminum/mengunakan (pivanam), 4) Timbul gejala-gejala mabuk (maddanam).

e. Agama Kong Hu Chu juga melarang penggunaan narkotika dan jenis tindak pidana narkotika lainnya.

Abu Al-Ghifari, Generasi Narkoba, (Bandung: Mujahid Press, 2003), hal. 48-49 dan Badan Narkotika Nasional, Narkotika Dalam Pandangan Agama, (Jakarta: Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2012), hal. 43, 54, 63 & 82

54 Penjelasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Bagian Umum

Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

b. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

c. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.

c. Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.

d. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Keempat alasan di atas merupakan alasan yang digunakan untuk membentuk Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disamping memang aturan sebelumnya, yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dari masyarakat.

Keberadaan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki beberapa pembaruan, yaitu:

a. Pembatasan terhadap kepemilikan narkotika

Narkotika di Indonesia hanya dapat dimiliki oleh lembaga penyedia pelayanan kesehatan baik rumah sakit, apotek dan lain sebagainya dan hanya dapat dipergunakan untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dimana lembaga penyelenggara boleh swasta maupun pemerintah sesuai dengan izin kementerian terkait.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, berbunyi :

”Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

b. Pengobatan Dan Rehabilitasi

Pengobatan mengandung pengertian bahwa dokter dapat melakukan pengobatan menggunakan narkotika untuk pasien sesuai dengan undang-undang berlaku dan pasien yang dimana narkotika merupakan obat baginya diperkenankan untuk memiliki dan menyimpan. Selanjutnya yang dimaksud

rehabilitasi ialah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.55 Rehabilitasi medis hanya dapat dilakukan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh menteri dan rehabilitasi sosial dilakukan oleh instansi pemerintah maupun masyarakat.

Uraian di atas didasarkan dari beberapa Pasal dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu :

1) Pengobatan diatur dalam Pasal 53, berbunyi :

”(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.

(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

2) Rehabilitasi

a) Pasal 54, berbunyi :

”Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

b) Pasal 56, berbunyi :

”(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.

55 Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika dan Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Pasal 1 angka 16 dan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri”.

c) Pasal 58, berbunyi :

”Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat”.

c. Keberadaan Badan Narkotika Nasional (BNN) BNN memiliki tugas, sebagai berikut :56

1) Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

2) Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

3) Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

4) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah

4) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah

Dokumen terkait