• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG

MENGETAHUI DI SEKITAR LINGKUNGANNYA TERDAPAT TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg)

TESIS

OLEH

ZULFIKAR LUBIS 167005133 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG

MENGETAHUI DI SEKITAR LINGKUNGANNYA TERDAPAT TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

ZULFIKAR LUBIS 167005133 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 4 September 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum 2. Dr. Marlina, S.H., M.Hum

3. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Salah satu tindak pidana narkotika yang cukup menarik dikaji ialah seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai tindak pidana Pasal 131 Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika dan alasan penghapus pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan bersifat deskriptif analitis yang memaparkan sekaligus menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang yang mengetahui Di Sekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika.

Hasil penelitian, Tindak pidana Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terdiri dari unsur subjektif ialah kemampuan berfikir dan kemampuan jiwa serta niat dari seseorang berupa sengaja untuk melakukan perbuatan dan unsur objektif berupa perbuatan melanggar hukum berupa tidak melaporkan seseorang yang disekitar lingkungannya melakukan tindak pidana narkotika dan tidak ada alasan penghapus pidana. Pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika pada putusan pengadilan negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg ialah terpenuhinya unsur kemampuan bertanggungjawab dari seseorang, Adanya kesengajaan dari orang seseorang yang tidak melaporkan seseorang yang disekitar lingkungannya melakukan tindak pidana narkotika dan tidak ada alasan pemaaf berupa terpenuhinya unsur sengaja dari seseorang yang tidak melaporkan pelaku tindak pidana narkotika yang berada disekitar lingkungannya. Alasan penghapus pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika pada putusan pengadilan negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg ialah terwujud dalam alasan pemaaf berupa tidak mampu bertanggung jawab, daya paksa, pembelaan terpaksa melampaui batas dan menjalankan perintah jabatan yang tidak sah.

Agar Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat melakukan perubahan terhadap seluruh Pasal-Pasal tindak pidana narkotika termasuk Pasal 131 Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan memasukkan pada bagian penjelasan unsur-unsurnya. Agar Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat melakukan perubahan didalam penjelasan terhadap Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dilakukan perubahan yang semula “cukup jelas”

menjadi penjelasan mengenai disekitar lingkungaannya atau kemungkinan kalimat- kalimat yang muncul untuk menggambarkan delik pada Pasal tersebut. Agar Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan perubahan dengan memasukkan juga penguraian jelas terkait alasan pembenar maupun alasan pemaaf secara khusus Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sehingga tidak terjadi kekeliruan.

Kata Kunci: Tindak Pidana, Narkotika dan Orang Sekitar Yang Mengetahui

(6)

ABSTRACT

One of the narcotics criminal acts which is quite interesting to study is someone who knows that there is a narcotics crime as regulated in Article 131 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics. Therefore, it is necessary to study the criminal act of Article 131 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics, the criminal responsibility of a person who knows that there is a narcotics crime in the vicinity of the crime and the reason for eliminating the crime against someone who knows that there is a narcotics crime around his environment.

This research is a normative and descriptive analytical study that describes and analyzes a phenomenon related to Crime and Criminal Liability to a Person who knows that Narcotics Crime is Around in the Environment.

The results of the research, Article 131 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics consists of subjective elements, namely the ability to think and the mental ability as well as the intention of a person in the form of deliberate action and an objective element in the form of illegal acts in the form of not reporting someone who is around his environment to commit a narcotics crime and there is no reason to eradicate the crime. Criminal liability for a person who knows that around his/her environment there is a narcotics crime in the Sibolga District Court decision No.

17/Pid.B/2014/PN.Sbg is the fulfillment of the element of one's ability to be responsible, the intention of someone who does not report someone around his / her environment to commit a narcotics crime and there is no excuse in the form of fulfilling the intentional element of someone who does not report the perpetrator narcotics crime in the vicinity. The reason for the criminal offense against someone who knows that their surroundings have a narcotics crime is in the decision of the Sibolga District Court No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg is manifested in excuses in the form of incapability of being responsible, coercion, forced defense to go beyond limits and carrying out illegal orders of office.

In order for the Government or the House of Representatives to make amendments to all Articles of narcotics crime, including Article 131 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics by including in the explanation of the elements. In order for the Government or the House of Representatives to make changes in the explanation of Article 131 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics, changes were made from the initial "quite clear" to an explanation of the surrounding environment or possible sentences that appear to describe the offense in the Article.

In order for the Government and the House of Representatives to make changes by including a clear description regarding the justification and excuse reasons specifically Article 131 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics so there is no mistake.

Keywords: Crime, Narcotics and People Who Know Around

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Alhamdulillah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, atas kesempatan dan fasilitas yang disediakan selama Penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada Penulis selama menimba ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum sekaligus Penguji Tesis, atas bantuan, kesempatan, serta berbagai kritik dan saran yang membangun selama proses perkuliahan di Program Studi

(8)

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing I, atas bantuan, kesempatan, serta berbagai kritik dan saran yang membangun selama Penulis menimba ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan khususnya selama penyusunan tesis ini sebagai Pembimbing I yang mengajarkan segala cara-cara penulisan penelitian yang baik dan benar kepada penulis.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, sebagai Pembimbing II yang telah memberikan masukan kepada penulis demi penyempurnaan penelitian ini.

6. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, sebagai Pembimbing III yang juga telah memberikan komentar-komentar dan kritik-kritik membangun untuk penelitian ini.

7. Bapak Alm. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, sebagai penguji yang telah memberikan waktu dan bimbingannya kepada Penulis untuk penelitian ini.

8. Para Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmunya selama penulis menjalani studi.

9. Terima kasih penulis ucapkan kepada ayahanda Alm. Mahmud Fahmi Lubis serta abang, kakak dan adik, yang telah mendukung dan selalu mendoakan penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

(9)

10. Terima kasih kepada isteri dr. Yuleisa dan anak-anak Zaidan Atha Lubis, Zayn Fahmi Lubis, Yafia Khairah Lubis yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan waktu liburannya untuk penyelesaian penelitian ini.

11. Tidak terlupakan kepada teman-teman yang telah membantu dan mendukung yang sudah membantu selama studi dan penyelesaian penelitian ini dan pihak- pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih.

12. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Pegawai Sekretariat Program Magister dan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis selama menyelesaikan studi.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Agustus 2021 Hormat Saya,

Penulis,

ZULFIKAR LUBIS NIM. 167005133

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Diri

Nama : Zulfikar Lubis, SH

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 21 Juni 1982

Alamat : Jl. Sidodame No 264

Status Perkawinan : Kawin

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) Nama Ayah : (Alm.) Mahmud Fahmi Lubis

Nama Ibu : (Almh) Farida

Nama Istri : dr. Yuleisa

Nama Anak : Zaidan Atha Lubis Zayn Fahmi Lubis Yafia Khairah Lubis

E-mail : [email protected] II. Riwayat Pendidikan Formal

1988 − 1994 SD Negeri 067694, Medan

1994 − 1997 MTS Swasta Ypp Aziddin, Medan 1997 − 2000 SMU Negeri 3, Medan

2000 − 2005 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

III. Riwayat Pekerjaan

2009 − 2010 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kota Bakti

2010 − 2011 Pegawai Negeri Sipil (PNS)

2011 − 2015 Staff Tata Usaha pada Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kota Bakti

2015 − 2018 Penyiap Bahan Administrasi Penanganan Perkara pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

2018 − sekarang Kepala Sub Seksi Pengamanan Pembangunan Infrastruktur Energi, Sumber Daya Alam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kawasan Sektor Strategis Lainnya

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SKEMA ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 6

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 8

1. Kerangka Teori ... 8

2. Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ... 15

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 15

2. Sumber Data ... 16

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 17

4. Analisis Data ... 17

BAB II : TINDAK PIDANA PASAL 131 UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ... 19

A. Tindak Pidana Narkotika ... 19

1. Pengertian dan jenis-jenis Tindak Pidana ... 19

2. Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 28

B. Tindak Pidana Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 41

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MENGETAHUI DISEKITAR LINGKUNGANNYA TERDAPAT TINDAK PIDANA NARKOTIKA PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIBOLGA NO. 17/PID.B/2014/PN.SBG ... 80

A. Makna Disekitar Lingkungannya ... 80

(12)

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang Yang Mengetahui Disekitar Lingkungannya Terdapat Tindak

Pidana Narkotika ... 85

1. Pengertian dan Jenis Pertanggngjawaban Pidana ... 85

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana ... 88

3. Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang Yang Mengetahui Disekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 17/Pid.B/2014/PN.Sbg ... 95

BAB IV : ALASAN PENGHAPUS PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MENGETAHUI DISEKITAR LINGKUNGANNYA TERDAPAT TINDAK PIDANA NARKOTIKA PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIBOLGA NO. 17/PID.B/2014/PN.SBG ... 118

A. Alasan Penghapusan Pidana ... 118

B. Alasan Penghapus Pidana Terhadap Seseorang Yang Mengetahui Disekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/Pn.Sbg ... 124

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 136

(13)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Alasan Penghapus Pidana Yang Bersumber Dari KUHP ... 123

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika bukan merupakan persoalan yang baru di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari sejarah pengaturan narkotika yang telah dilakukan sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda terdapat 44 (empat puluh empat) jenis peraturan mengenai narkotika diantaranya, yaitu: 1

1. Morphine Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 373, Stbl 1911 Nomor 484 dan Stbl 1911 Nomor 485),

2. Ooskust Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 494 dan 644, Stbl 1912 Nomor 255),

3. Westkust Regie Ordonantie (Stbl 1914 Nomor 562, Stbl 1915 Nomor 245),

4. Bepalingen Opium Premien (Stbl 1916 Nomor 630) dan sebagainya.

Selanjutnya, di Indonesia semenjak masa kemerdekaan telah terjadi beberapa pergantian peraturan perundang-undangan terkait narkotika. Tanggal 26 Juli 1976 Indonesia mengeluarakan aturan baru dibidang narkotika yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37 dan tambahan Lembaran Negara Nomor 3086 lahir Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika.2 Kemudian pada

1 Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana (Untuk Mahasiswa Dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba), (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 163

2 Keberadaan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika tidak hanya bertujuan untuk menghapus dominasi hukum kolonial di Indonesia akan tetapi dikarenakan perkembangan lalu lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan narkotika di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan di bidang pembuatan obat-obatan ternyata tidak cukup memadai bila tetap memakai Verdovende Midellen Ordonantie.

Verdovende Midellen Ordonantie hanya mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika.

Narkotika tidak saja diperlukan dalam dunia pengobatan tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga dibuka kemungkinan untuk mengimpor

1

(15)

tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67 serta Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698 diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997.3 Terakhir, undang-undang narkotika paling baru ialah Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang diundangkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 12 Oktober 2009 dimuat dalam lembaran negara Tahun 2009 Nomor 143.

Indonesia hari ini telah menyatakan diri sebagai negara yang darurat akan narkotika. Status tersebut merupakan bentuk kekhawatiran akan peredaran narkotika yang terus meningkat setiap harinya. Hal tersebut tergambar dalam laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan 40-50 orang per RT terlibat dalam penyalahgunaan narkotika bahkan 1-2 orang sudah menggunakan alat suntik untuk mengkonsumsi narkotika, perkembangan narkotika begitu pesat disebabkan karena mudahnya narkotika masuk ke Indonesia melalui daerah-daerah di kecamatan yang terletak pada perbatasan Indonesia, misalnya Kepulauan Riau, Papua, Nusa Tenggara Timur dan lain sebagainya.4 Perkembangan narkotika yang begitu cepat tergambar

narkotika dan mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara papaver, koka dan ganja. Ibid, hal. 164-165

3 Latar belakang diundangkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, yakni peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama- sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapih dan sangat rahasia.

Penjelasan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Alinea ke 3 (tiga).

4 Badan Narkotika Nasional (BNN), “40 Persen Kecamatan Di Perbatasan Pintu Narkoba”, Sinar, Edisi I 2015, hal. 5. Narkotika yang sering digunakan secara ilegal ialah golongan I, yakni cannabis (ganja) dilaporkan paling tinggi (11.94%), diikuti oleh ekstasi (1.32%), shabu dan sejenisnya (0.91%), pil koplo dan sejenisnya (0.50%), nipam (0.27%) serta dextro (0.77%). Ganja dan ekstasi tampaknya sangat umum digunakan oleh pengguna sebagai narkotika pertama kali, ini bisa

(16)

dari jumlah penyalahguna narkotika pada periode 2013 sampai dengan 2014 sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk berusia 10-59. Hasil proyeksi angka prevalensi penyalahguna narkoba meningkat sekitar 2,6 % di tahun 2013 kemudian peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2015 dimana jumlah pengguna narkotika sampai bulan juni 2015 tercatat 4,2 juta dan pada November meningkat signifikan hingga 5,9 juta orang.5

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur mengenai tindak pidana narkotika dari Pasal 111-148. Salah satu tindak pidana narkotika yang cukup menarik dikaji ialah seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 131 Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, berbunyi:

”Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.

Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg merupakan salah satu penerapan dari Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pada putusan tersebut terpidana didakwa dengan 5 Pasal, yaitu:

1. Pasal 132 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

mengindikasikan tingkat kemudahan memperoleh ganja dan ekstasi.

www.bnn.go.id/portal_uploads/post/2014/11/18/Buku_Hasil_Lit2013_Oke.pdf, diakses 1 Juli 2018

5 Supriyadi Widodo Edyyono et.al, Kertas Kerja: Memperkuat Revisi Undang-Undang Narkotika Indonesia Usulan Masyarakat Sipil, (Jakarta Selatan: Institute for Criminal Justice Reform, 2017), hal.37

(17)

2. Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, 3. Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, 4. Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, 5. Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Terpidana bernama Martahan Situmeang alias Tahan ditangkap disebuah rumah pengedar narkotika jenis ganja bernama Burhan dan terpidana mengetahui Burhan yang merupakan orang tuanya menyimpan narkotika jenis ganja.

Merujuk putusan di atas maka seharusnya Kepala Lingkungan juga diperiksa atas dugaan Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika karena sudah seharusnya dan sewajarnya Kepala Lingkungan sebagai pimpinan warga setempat mengetahui setiap pekerjaan yang dilakukan oleh warganya atau profil warganya. Akan tetapi, dalam kasus yang terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg hanya anak yang dipidana sedangkan Kepala Lingkungan sama sekali tidak ada dilakukan pemeriksaan baik sebagai saksi atau patut diduga melanggar dugaan Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akan dilakukan penelitian berjudul

“Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang yang mengetahui Di Sekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg)” sangat penting dilakukan.

(18)

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan sesuai dengan latar belakang di atas dan sekaligus untuk memberikan batasan penelitian, sebagai berikut :

1. Bagaimana tindak pidana Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg?

3. Bagaimana alasan penghapus pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian, yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tindak pidana Pasal 131 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan penghapus pidana terhadap seseorang yang mengetahui disekitar lingkungannya terdapat tindak pidana narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg.

(19)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik secara teoretis maupun secara praktis, sebagai berikut :

1. Secara teoretis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan sebagai bahan pertimbangan yang penting dalam mengambil suatu kebijakan mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh korporasi serta bermanfaat bagi bidang hukum pidana.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan bagi pemerintah dan DPR dalam rangka kebijakan dan langkah-langkah terkait permasalahan yang melibatkan penanganan tindak pidana narkotika yang diketahui oleh seseorang dilingkungannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan secara khusus di Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang yang mengetahui Di Sekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg)” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

(20)

Hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut: Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang yang mengetahui Di Sekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg) yang pernah dilakukan Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Tesis atas nama Novalina Kristinawati Manurung, NIM: 067005019, dengan judul, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan. Fokus masalah yang dikaji ialah

a. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi anak memakai narkoba di Kota Medan?

b. Bagaimana politik kriminal (criminal politic) yang selama ini dilakukan di kota Medan terhadap anak pemakai narkoba?

c. Bagaimana politik kriminal di masa yang akan datang terhadap anak yang memakai narkoba di Kota Medan?

2. Agustin Wati, Nim: 077005001, Program Studi Ilmu Hukum, Judul Tesis, Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), dengan Rumusan Masalah :

a. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan tentang tindak pidana narkoba di PN Medan?

b. Apakah alasan kenapa putusan hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba?

(21)

c. Bagaimana putusan hakim dalam tindak pidana narkoba telah mencapai tujuan hukum atau tindak?

3. Tesis atas nama Deby Rinaldi, NIM: 147005032, dengan judul, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Alat Kesehatan Pemerintah. Fokus masalah yang dikaji ialah

a. Bagaimanakah tanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa Alkes pemerintah?

b. Bagaimana penegakan hukum terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa Alkes pemerintah?

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa permasalahan yang diutarakan pada penelitian ini ialah berbeda dengan penelitian terdahulu. Jadi dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah berdasarkan kajian ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi, yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari roses menemukan kebenaran ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang seharusnya memuat hukum. Selain, teori juga bisa digunakan untuk

(22)

menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.6 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.7

Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.8

Kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:9

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Teori yang digunakan sebagai alat untuk melakukan analisis dalam penelitian ini ialah teori tindak pidana dan teori pertanggungjawaban pidana.

6 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 146

7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), hal. 6

8 Kaelan MS., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal. 239

9 Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 121

(23)

a. Tindak pidana berasal dari kata strafbaar feit.10 Strafbaar feit diartikan beragam makna oleh para sarjana di Indonesia. Beberapa sarjana yang mengartikan istilah strafbaar feit ialah Moeljatno dan Roeslan Saleh diterjemahkan dengan istilah perbuatan pidana kemudian Utercht menerjemahkan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana.11 Jan Remmelink menggunakan istilah delik untuk mengartikan strafbaar feit.12 Penggunaan istilah strafbaar feit yang beraneka ragam di Indonesia baik tindak pidana, perbuatan pidana dan lain sebagainya walaupun diartikan dalam kata yang berbeda dalam bahasa Indonesia tetapi tetap menuju pada arah yang sama, yakni menggambarkan telah terjadinya suatu pelanggaran terhadap tata peraturan hukum pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP) maupun diluar KUHP.13 Dengan demikian, tindak pidana dapat diartikan setiap tindakan subjek hukum yang bertentangan dengan hukum yang berlaku dan diancam dengan pidana.

Tindak pidana berkaitan erat sebagai unsur melawan hukum karena unsur melawan hukum merupakan bagian dari tindak pidana.14 Unsur-unsur melawan hukum, yakni :15

1) Unsur Kesalahan

10 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Perkembangannya, (Jakarta:

Sofmedia, 2012), hal. 118

11 Ibid

12 Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 61-85

13 Edi Setiadi Dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hal. 60

14 Ibid, hal. 64

15 Ibid, hal. 67-69

(24)

Melawan hukum dan kesalahan adalah 2 (dua) anasir tindak pidana yang saling berhubungan, apabila perbuatan yang bersangkutan tidak melawan hukum maka menurut hukum pidana perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak mungkin ada kesalahan tanpa melawan hukum.

2) Unsur Kemampuan bertanggung jawab

Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat apabila :

a) ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum,

b) ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

3) Kesengajaan

Sengaja adalah membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau yang diperintahkan oleh hukum.

Kesengajaan memiliki keterkaitan dengan 2 (dua) teori, yaitu : a) Teori kehendak

Van Happel mengemukakan sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat,

b) Teori membayangkan

Frank mengemukakan sengaja adalah apabila suatu akibat dibayangkan sebagai maksud dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan terlebih dulu telah tersirat.

Keberadaaan teori tindak pidana akan melihat unsur-unsur dari tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh korporasi sehingga semakin jelas terkait aturan atau Pasal-Pasal yang terdapat dalam undang-undang.

b. Pertanggungjawaban pidana terdiri atas beberapa unsur, sebagai berikut:

1) Mampu bertanggung jawab merupakan kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah

(25)

verstanddelijke vermogens. untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens

sengaja digunakan istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”.16

2) Kesengajaan dan kealpaan, dimana kesengajaan terdiri atas beberapa jenis, yaitu:17

a. Doulus malus, yang dahulu di Nederland oleh Pasal 4 KUHP Nederland Tahun 1804 dan beberapa undang-Undang Hukum Pidana lain pada abad XIX, dikenal, antara lain Undang-Undang Hukum Pidana Beiren Tahun 1813 yang penciptanya adalah Anselm Von Feurbach, perumus asas legalitas dalam bahasa latin.

b. Dolus inderectus dan dolus directus, bentuk kesengajaan demikian masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Kesengajaan tak langsung demikian dipandang ada pada pembuat delik, jikalau dari perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja, menyusul akibat yang tidak dikehendakinya.

c. Dolus determinatus versus dolus indeterminatus, menurut Hazewinkel- Suriga bahwa pembedaan kedua dolus tersebut sudah ketinggalan zaman. Hal itu berdasarkan pendapat yang benar, yang menyatakan bahwa kesengajaan itu banyak atau sedikit dapat ditentukan. Suatu kesengajaan yang tidak tertentu tidak ada, kesengajaan untuk suatu objek yang tidak ada tidak pernah ada, yang ada ialah kehendak untuk membunuh dengan tidak mempedulikan siapa yang menjadi korban.

d. Dolus alternatives, ialah kesengajaan yang tertuju ke A atau B atau pembuat delik menghendaki akibat yang satu atau akibat yang lain, demikian Hazewinkel-Suringa.

e. Dolus generalis, kesengajaan menurut Jonkers terdapat bilamana pada penyerangan terhadap begiotu banyak orang, misalnya penyerangan terhadap suatu pertemuan orang-orang.

f. Dolus premiditatus dan dolus repentinus, jenis dolus tersebut masih dipertahankan menurut sistem hukum pidana Nederland dan Indonesia, yang menurut hukum Germania dikenal dahulu dengan istilah Beratene mut dan Hastemut. Delik yang mempunyai unsur dolus premiditatus terdapat di dalam Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), Pasal 353 KUHP (penganiayaan berencana), Pasal 355 KUHP (penganiayaan berat yang direncanakan), yang mengakibatkan

16 E.Y. Kanter Dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 250

17 A. Zianal Abidin, Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus, (Jakarta: Prapartja dan Taufik, 1962), hal. 307.

(26)

pemberatan pidana, yang hanya dapat dipertahankan jikalau ditinjau dari segi subjektif.

g. Dolus antecedent, dolus susequens, kesengajaan demikian sesungguhnya direncanakan sebelum pembuat delik melakukan tindakan, tetapi ternyata kemudian bukan kesengajaan itulah kemudian yang menyebabkan pembuat delik melakukan perbuatan seperti yang direncanakan dahulu.

sedangkan kealpaan atau kelalaian berarti kesalahan dalam arti sempit, karena tidak mencakup kesengajaan. Baik kesengajaan (dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) menurut hukum pidana merupakan suatu perbuatan kesalahan dan kesalahan menurut hukum pidana dapat dipertanggungjawabkan. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak pidana.18

3) Tidak ada alasan pemaaf adalah tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan (schuld).19

2. Konsepsi

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan dalam

18 EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 170

19 Ibid, hal. 25

(27)

merumuskan konsep dengan menggunakan model definisi operasional.20 Adapun definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu beratnggung jawab.21

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa di pertanggngjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan dari kealpaan. Artinya, tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.22 c. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.23

20 Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Medan:

Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72

21 E.Y. Kanter Dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hal. 211

22 Ibid, hal. 250

23 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(28)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel.24 Adapun beberapa langkah yang digunakan dalam metode penelitian ialah :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.25 Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian kepustakaan.26

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.27 Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang bertujuan agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek

24 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 105

25 Ibid

26 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurumateri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 9

27 Ibid, hal. 105

(29)

penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.28 Dalam penulisan ini akan menguraikan tentang Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang yang mengetahui Di Sekitar Lingkungannya Terdapat Tindak Pidana Narkotika.

2. Sumber Data

Penelitian hukum normatif data yang digunakan adalah data sekunder29, maka didalam penelitian hukum normatif yang termasuk data sekunder, yaitu:

a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian30, antara lain :

1) KUHP;

2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;

3) Putusan Pengadilan Negeri Sibolga No. 17/Pid.B/2014/PN.Sbg.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer31 yang terdiri dari :

1) Buku-buku;

2) Jurnal;

28 Ibid, hal. 223

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 23-24

30 Ibid, hal. 13

31 Ibid

(30)

3) Majalah;

4) Artikel;

5) dan berbagai tulisan lainnya.

c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder32, seperti:

1) Kamus;

2) Ensiklopedi dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan bahan hukum dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.33

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.34 Analisis data

32 Ibid

33 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, 225

34 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategoridan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280

(31)

yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Peraturan perundang-undangan dianalisis secara kualiatif dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif35, pada akhirnya dapat menjawab permasalahan penelitian ini.

35 Penarikan kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret. Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393

(32)

BAB II

TINDAK PIDANA PASAL 131 UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana

Munculnya tindak pidana atau perbuatan pidana jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan maka akan sangat berkaitan erat dengan asas legalitas. Asas legalitas dalam KUHP tercantum pada Pasal 1 ayat (1) KUHP, berbunyi:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

Dalam bahasa asing disebut dengan istilah nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa

ketentuan peraturan perundang-undangan terlebih dahulu.36

Pemaknaan yang muncul dari asas legalitas tersebut mengandung beberapa hal, sebagai berikut:37

a. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:

1) Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.

2) Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.

36 Amir Ilyas, Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan Disertai Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar, (Yogyakarta:

Rangkang Education PuKAP Indonesia, 2012), hal. 13

37 Ahmad Bahiej, Hukum Pidama, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 18-19

19

(33)

b. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:

1) Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

2) Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.

Asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP kenyataannya tidak berlaku mutlak. Hal itu disebabkan karena dalam putusan hakim telah pernah dilakukan penafsiran analogi terhadap barang dimana barang berupa listrik yang merupakan barang tidak berwujud tergolong juga barang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP sehingga listrik yang dimiliki tanpa hak maka termasuk perbuatan melawan hukum berupa pelanggaran terhadap Pasal 362 KUHP (Hoge Raad 23-5-1921).38 Tidak hanya sebatas putusan pengadilan tersebut, merujuk pada ketentuan yang ada, yaitu Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi:

”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Artinya, keberadaan bunyi Pasal di atas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan asas legalitas di hukum pidana benar-benar tidak mutlak karena jika merujuk

38 J.E. Sahetapy & Agustinus Pohan (ed), Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 11

(34)

aturan tersebut perbuatan yang tidak ada aturan sangat mungkin dilakukan pemidanaan dengan melakukan penafsiran analogi (merupakan penegasan dapat dilakukan dilakukan penafsiran analogi) dimana dalam penafsiran tersebut apabila perbuatan tidak memnuhi suatu perumusan delik tertentu tetapi mirip dengan perbuatan-perbuatan lain yang memang memenuhi perumusan itu.39 Hal tersebut justru menunjukkan ketidakpastian hukum di Indonesia karena terdapat pertentangan antara 2 (dua) peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, melihat perkembangan persoalan subjek hukum yang begitu pesat perlu kiranya dilakukan perumusan aturan yang lebih mencerminkan lagi asas lex certa sehingga kepastian hukum pidana dapat lebih terjaga.

Selanjutnya, tindak pidana yang diatur dalam KUHP atau undang-undang pidana khusus lainnya tidak merumuskan secara tegas arti dari tindak pidana.

Secara tersirat jika merujuk pada KUHP, maka tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar KUHP itu sendiri. Dengan demikian, sangat tepat jika mencari arti tindak pidana dilakukan melalui penelusuran pendapat para ahli maupun asal kata tindak pidana itu sendiri.

KUHP Indonesia merupakan aturan hukum yang bersumber Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dimiliki pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karena itu, istilah yang digunakan untuk melihat secara tepat arti tindak pidana ialah

39 Ibid, hal. 11-12

(35)

strafbaar feit.40 Banyak perbedaan pendapat dari para ahli dalam memberikan arti terhadap istilah strafbaar feit, sebagai berikut:41

a. Strafbaar feit diartikan sebagai ”Peristiwa Pidana” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid, Rusli Efendi, Utrecht dan lain-lainya.

b. Strafbaar feit diartikan sebagai “Perbuatan Pidana” digunakan oleh Moeljanto dan lain-lain.

c. Strafbaar feit diartikan sebagai “Perbuatan yang Boleh di Hukum”

digunakan oleh H.J. Van Schravendijk dan lain-lain.

d. Strafbaar feit diartikan sebagai “Tindak Pidana” digunakan oleh Wirjono Projodikoro, R. Soesilo dan S.R Sianturi dan lain-lain.

e. Strafbaar feit diartikan sebagai “Delik” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid Satochid Karta Negara dan lain-lain.

Uraian di atas menunjukkan strafbaar feit di Indonesia diartikan oleh para ahli hukum ke dalam banyak istilah ke bahasa Indonesia, yakni perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.42 Strafbaar feit yang diartikan dalam bentuk kata atau istilah bahasa Indonesia

memiliki banyak arti dan untuk semakin memperjelaskan akan dirumuskan definisi atau perumusan strafbaar feit dalam bentuk penguraian kalimat, sebagai berikut:

a. Moeljatno menyebut ”Tindak pidana sebagai perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.43

40 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 118

41 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 21

42 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 204

43 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 54

(36)

b. J. Bauman mengatakan ”Perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan”.44

c. Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan, sebagai berikut:

”Tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab”.45

Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi :

1) Diancam dengan pidana oleh hukum 2) Bertentangan dengan hukum

3) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

4) Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

d. Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai berikut :46

1) Diancam dengan pidana oleh hukum

44 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:

UMM Pers, 2009), hal. 106

45 Roni Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Madju, 2012), hal. 160

46 Ibid

(37)

2) Bertentangan dengan hukum

3) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

4) Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

5) Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Merujuk penguraian di atas maka tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, memiliki sifat melawan hukum yang tidak ada alasan penghapus pidananya.

Tindak pidana pada dasarnya pembagian merujuk pada KUHP, yaitu pelanggaran dan kejahatan yang masing-masing diatur diatur didalm buku ke-II dan buku ke-III KUHP. Namun, terdapat 2 (dua) pendapat sarjana yang membagi jenis-jenis tindak pidana, yaitu:

a. Adami Chazawi membagi jenis-jenis tidak pidana, sebagai berikut: 47

1) Menurut sistem KUHP. Dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

2) Menurut cara merumuskannya. Dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materil (materieel delicten).

3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).

4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif disebut juga dengan tindak pidana omisi (delicta ommisionis).

5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung tersebut.

6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

7) Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, dapat dilakukan oleh siapa saja),

47 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 121-122

(38)

dan tindak pidana propria (delicta propria, dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.

8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).

10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung pada kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain-lain.

11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (engkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

b. EY. Kanter dan SR. Sianturi membagi jenis tindak pidana, sebagai berikut: 48 1) Kejahatan dan pelanggaran.

2) Delik formil dan delik materil.

3) Delik omissi dan delik commissi.

4) Delik tersendiri dan delik berulang.

5) Delik berakhir dan delik berlanjut.

6) Delik bersahaja dan delik kebiasaan.

7) Delik biasa dan delik kualifikasi/previligasi.

8) Delik sengaja dan delik culpa.

9) Delik umum dan delik politik.

10) Delik umum dan delik khusus.

11) Delik dakwaan karena jabatan dan delik aduan.

Kedua pendapat di atas jika diperhatikan tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Misalnya EY. Kanter dan SR. Sianturi menggolonggkan secara langsung tindak pidana dalam sebuah kelompok yang sama, yaitu: kejahatan dan pelanggaran sedangkan pelanggaran dan kejahatan jika dilihat dari pendapat

48 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 236

(39)

Adami Chazawi masuk pada kelompok jenis tindak pidana yang dikenal dalam sistem KUHP dan lain sebagainya.

Penjabarkan suatu rumusan delik atau tindak pidana (strafbaar feit) ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan pelaku, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang dalam undang-undang. Sesuatu tindakan itu dapat berupa een doen atau een niet doen atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu (kesalahan), atau juga karena een nalaten (kelalaian) yaitu mengalpakan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.49 Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) merupakan bagian-bagian dari kesalahan. Kesengajaan (dolus/opzet) berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesengajaan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa).50

Secara umum setiap tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang (ketentuan pidana) tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur subjektif dan

49 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1983), hal. 192-193

50 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 170

(40)

unsur-unsur objektif. Lamintang membagi kedua unsur-unsur ini sebagai berikut:51

a. Unsur-unsur subjektif antara lain:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUH Pidana.

3) Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUH Pidana.

5) Perasaan takut (vress) seperti antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUH Pidana.

b. Unsur-unsur objektif dari tindak pidana antara lain:

1) Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid).

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUH Pidana atau

“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari perseroan terbatas menurut Pasal 398 KUH Pidana.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur-unsur subjektif menurut Lamintang adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya sedangkan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.52

51 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 193-194

52 Ibid

(41)

2. Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pengaturan tindak pidana narkotika telah ada di Indonesia sejak pasa pemerintahan kolonial Belanda (telah diuraikan di latang belakang) kini pengaturan yang paling baru untuk tindak pidana narkotika terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.53 Alasan pengaturan tindak pidana narkotika dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebabkan beberapa alasan, sebagai berikut:54

a. Untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang- Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor

53 Tindak pidana narkotika tidak hanya dilarang secara regulasi akan tetapi juga dilarang oleh agama besar yang terdapat di Indonesia, yaitu:

a. Agama Islam mengatur pelarangan didalam Al-Quran dan Hadis yang diapandang sebagai khamr karena dapat menghilangkan kesadaran atau memabukkan bahkan cenderung membahayakan akal dan jiwa.

b. Agama Kristen baik Khatolik maupun Protestan Narkotika dipandang oleh gereja baik oleh kristen Khatolik dan Protestan merupakan suatu benda yang berbahaya bagi Indonesia. Akibatnya untuk membantu pemerintah dalam menangulangi permasalah narkotika maka gereja membentuk Komisi Pencegahan Dan Penanganan Narkotika yang mana bertujuan untuk mencegah dan mebuat konsep serta jaringan yang luas dalam permasalahan narkotika yang berada di jemaat gereja serta semua umat manusia harus ditangani tanpa ada perbedaan.

c. Agama Hindu dimana Kitab Slokantara, Sloka 16 menyebutkan Setiap orang yang mengkonsumsi surapanam atau narkotika tergolong melakukan dosa besar yang setara dengan perbuatan mencuri emas, membunuh pendeta maupun guru dan memperkosa gadis dibawah umur.

d. Agama Budha juga melarang penggunaan narkotika dikarenakan 4 (empat) faktor, yaitu:

1) Ada sesuatu yang merupakan sura, meruya, atau majja (suramerayamajjabhavo), 2) Ada niat untuk meminum, mengunakannya (pivitukumata),

3) Meminum/mengunakan (pivanam), 4) Timbul gejala-gejala mabuk (maddanam).

e. Agama Kong Hu Chu juga melarang penggunaan narkotika dan jenis tindak pidana narkotika lainnya.

Abu Al-Ghifari, Generasi Narkoba, (Bandung: Mujahid Press, 2003), hal. 48-49 dan Badan Narkotika Nasional, Narkotika Dalam Pandangan Agama, (Jakarta: Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2012), hal. 43, 54, 63 & 82

54 Penjelasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Bagian Umum

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Upaya penyelesaian ganti rugi (retitusi) dalam perkara ABH secara diversi (non litigasi) yang telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri dan tidak

Alasan utama mengapa inovasi kolaboratif lebih cocok bagi inovasi di sektor publik, karena mampu membuka siklus inovasi ke berbagai aktor yang menyentuh sumber daya inovasi

Dalam konteks perempuan, proses pengambilan keputusan ditingkat individu sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang telah menempatkan peran-peran tertentu (kodrat)

Hasil Seleksi Pelatihan Fasilitator Program Pamsimas III TA 2016 Provinsi SUMATERA UTARA... NO NAMA POSISI

Pemisahan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah bahwa Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/

Ketentuan dalam annex yang menyangkut perundingan di bidang angkutan laut dalam ayat (1) menyatakkan bahwa Pasal 2 dan annex tentang pengecualian Pasal 2 termasuk keharusan

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,