• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN GANTI RUGI TERHADAP PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

SECARA DIVERSI (Studi Kasus Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)

TESIS

OLEH

PERIDA APRIANI SISERA 157005110 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PENYELESAIAN GANTI RUGI TERHADAP PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

SECARA DIVERSI (Studi Kasus Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

PERIDA APRIANI SISERA 157005110 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 21 Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Anggota : 1. Dr. Marlina, S.H., M.Hum 2. Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A.

3. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

4. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

UU No.11/2012 tidak menjamin kepastian hukum dalam mencapai tujuan diversi perkara ABH/AKH. Diversi wajib, tapi ganti rugi tidak diwajibkan. UU No.11/2012 tidak memiliki kekuatan untuk mengeksekusi ganti rugi, tidak mengatur sanksi bagi pelaku / keluarganya yang tidak menepati janji ganti rugi kepada korban.

Akibatnya sulit ditagih dan menjadi lebih rumit ketika korban / keluargnya menagih uang ganti rugi kepada penyidik.

Bagaimana pengaturan ganti rugi dalam penyelesaian perkara ABH/AKH secara diversi, konsekuensi hukum penyelesaian ganti rugi, dan solusi penyelesaian janji membayar ganti rugi yang tidak ditepati oleh pelaku / keluarganya kepada korban. Jenis penelitian ini adalah normatif, bersifat deskriptif dan preskripsi. Sumber data adalah data sekunder, dikumpulkan dengan cara studi pustaka, dan dianalisis secara kualitatif.

Pengaturan mengenai ganti rugi dalam penyelesaian perkara ABH/AKH secara diversi sesuai Pasal 5, Pasal 7 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU No.11/2012 wajib dilaksanakan oleh penyidik, namun hasil perdamaian berupa restitusi sesuai Pasal 11 huruf a UU No.11/2012 bukan mutlak, tapi alternatif.

Akibatnya umumnya penyidik menyerahkan kesepakatan perdamaian sepenuhnya kepada pelaku dan korban. Konsekuensi hukum penyelesaian ganti rugi dalam praktek menimbulkan ketidakpastian bagi korban maupun keluarganya. Pelaku tidak bisa dipastikan akan membayar resitusi meskipun telah disepakatinya dengan korban.

Bila pelaku ingkar janji, korban maupun penyidik tidak bisa mengeksekusi pembayaran restitusi tersebut, kecuali diajukan gugatan perdata. Pelaku tidak bisa dituntut secara pidana karena perjanjian bukan ranah hukum pidana. Solusi penyelesaian ganti rugi perkara ABH/AKH secara diversi yang telah ditetapkan pengadilan negeri tapi tidak dibayar oleh pelaku / keluarganya adalah memanggil pelaku / keluarganya oleh penyidik untuk membuat perjanjian kembali atas janji yang diingkari, dimonitor dan dibuat proteksi dalam perjanjian, akan melanjutkan perkara pidananya bila pelaku / keluarganya tidak membayar ganti rugi.

Perlu PP tentang pelaksanaan ganti rugi secara diversi, dan/atau Perkapolri tentang pelaksanaan restitusi diversi atau setidak-tidaknya SOP penyidik. Penyidik sebagai fasilitator harus aktif dalam menentukan isi perjanjian kecuali dalam menentukan klausula kesepakatan jumlah ganti rugi. Agar UUSPPA diatur jaminan yuridis berupa sanksi bagi pelaku / keluarganya yang tidak menepati janji untuk membayar ganti rugi kepada korban / keluarganya. Agar Polresta Medan membuat SOP penyidik mengenai tata cara menagih janji pelaku kepada korban untuk membayar restitusi, meliputi standar permohonan restitusi diversi, restitusi yang tidak dibayar, dan konsekuensi hukum jika pelaku ingkar janji.

Kata Kunci : ABH/AKH, Penyelesaian Perkara ABH/AKH, Ganti Rugi, Diversi, dan Keadilan Restoratif.

(7)

ABSTRACT

Law No.11/2012 does not guarantee legal certainty in achieving the goal of diversion in ABH/AKH cases. Diversion is mandatory, but compensation is not required.

Law No.11/2012 does not have the power to execute compensation or regulate sanctions for perpetrators / their families who do not keep promises of compensation to victims. As a result, it is difficult to collect and becomes more complicated when the victim/his family collects compensation money from the investigator.

How is the compensation arrangement in settlement of the ABH/AKH case by diversion, the legal consequences of the settlement of compensation, and the solution to the settlement of promises to pay compensation that the perpetrator / his family did not keep to the victim? This type of research is normative, descriptive and prescription. The Source of data is secondary data, collected using a literature study and analyzed qualitatively.

Provisions regarding compensation in settlement of ABH/AKH cases by a diversion following Article 5, Article 7 paragraph (1), Article 29 paragraph (1), and Article 42 paragraph (1) Law No.11/2012 must be implemented by investigators. However, the results of peace in the form of restitution according to Article 11 letter an of Law No.

11/2012 is not absolute but alternative. As a result, investigators generally leave the peace agreement entirely to the perpetrator and the victim. The legal consequences of compensation settlements in practice create uncertainty for victims and their families. It is not sure that the perpetrator will pay the restitution even though the victim has agreed.

If the perpetrator breaks his promise, neither the victim nor the investigator can execute the restitution payment unless a civil lawsuit is filed. Perpetrators cannot be criminally prosecuted because the agreement is not the realm of criminal law. The solution to the settlement of compensation for the ABH/AKH case by diversion, which has been determined by the district court but not paid for by the perpetrator/his family, is to summon the perpetrator/his family by the investigator to make an agreement again on the promise that was broken, monitored and made protection in the agreement, will continue the criminal case if the perpetrator/his family did not pay compensation.

There is a need for a Government Rules on implementing diversionary compensation and/or a Chief of Indonesia National Police Rules regarding the implementation of diversion restitution or at least the standard operation procedure (SOP) for the investigator's. Investigators as facilitators must be active in determining the contents of the agreement except in determining the clause of the agreement on the amount of compensation for UUSPPA to regulate juridical guarantees in the form of sanctions for perpetrators / their families who do not keep their promises to pay compensation to victims / their families. For the Medan Police to make a standard operational procedure (SOP) for investigators regarding the procedure for collecting the perpetrator's promise to the victim to pay restitution, including the standard for requests for diversion restitution, unpaid restitution, and legal consequences if the perpetrator breaks his promise.

Keyword : ABH/AKH, ABH/AKH Case Settlement, Compensation, Diversion, dan Restorative Justice.

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, ”Penyelesaian Ganti Rugi Terhadap Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi (Studi Kasus Penetapan Nomor : 2/Pent.Pid.Sus- Anak/2016/PN.Mdn)”. Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada Juli 2018.

Sehubungan dengan itu, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis berterima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum ;

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi selama perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau tidak pernah bosan memberikan petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat sehingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat memuaskan;

5. Dr. Marlina, S.H, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II yang telah banyak memberikan koreksi dalam penyelesaian tesis ini sehingga lebih baik dari sebelumnya;

6. Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A, selaku Anggota Komisi Pembimbing III yang telah banyak memberikan koreksi dan masukan sehingga semakin mendekati sempurna dan lebih baik;

(9)

7. Seluruh dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah turut membantu segala urusan yang berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi dan penelitian ini;

8. Yang tercinta, Ayahanda St. J. Panjaitan dan Ibunda Erste Carolina AmdKeb., SKM., yang setiap waktu dan sepanjang hari mendoakan, agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya dan selalu memberikan semangat serta dukungan untuk menyelesaikan studi ini;

9. Kakak terkasih, Desy Sosanti Renata, SKM., dan adik terkasih Christofer Firman Boy serta tidak lupa abang ipar Hendry, S. AP., serta saudara-saudara lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang penulis banggakan dalam keluarga besar;

10. Seluruh anggota Unit PPA Polres Serdang Bedagai dan Unit PPA Polrestabes Medan yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis disetiap sidang yang penulis lalui;

11. Teman-teman Fakultas Hukum USU yang telah membantu dan memberi masukan kepada penulis sampai dengan selesainya penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikian sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini dapat manfaat bagi semua elemen, menambah dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan penulis dapat mengimplementasikan ilmu hukum dan mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada di masyarakat.

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya.

Medan, Juli 2018 Penulis

Perida Apriani Sisera

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Perida Apriani Sisera

Tampat & Tgl Lahir : Bandung, 29 April 1991 Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Usia : 27 tahun

Status : Belum menikah

Alamat : Komp. Puskesmas Ngamprah No. 8 Rt 01/ Rw 08 Desa Sukatani Kec. Ngamprah Kab. Bandung Barat

II. Pendidikan

1. SDK BPK Penabur Cimahi, Bandung (Tamat dan berijazah tahun 2003) 2. SMPN 1 Cimahi, Bandung (Tamat dan berijazah tahun 2006)

3. SMAN 1 Cisarua, Bandung Barat (Tamat dan berijazah tahun 2009) 4. Akademi Kepolisian, Semarang (Tamat dan berijazah tahun 2013) 5. STIK-PTIK, Semarang (Tamat dan berijazah 2014)

6. Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (2015-2018)

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Landasan Konsepsional ... 25

G. Metode Penelitian ... 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 28

2. Sumber Data ... 29

3. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4. Analisis Data... 31

BAB II : PENGATURAN MENGENAI GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN PERKARA ABH SECARA DIVERSI ... 33

A. Keadilan Restoratif ... 33

B. Anak Yang Behadapan Dengan Hukum ... 42

C. Konsep Diversi Dalam Perkara ABH ... 46

D. Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana ... 56

(12)

E. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Penyelesaian Perkara ABH Secara

Diversi ... 69

BAB III : KONSEKUENSI HUKUM PENYELESAIAN GANTI RUGI TERHADAP PERKARA ABH SECARA DIVERSI DALAM PRAKTEK ... 82

A. Mekanimse Diversi Dalam Penanganan Perkara ABH ... 82

B. Kondisi Penanganan Perkara ABH Secara Diversi ... 100

C. Kendala Penagihan Ganti Rugi Dalam Penetapan Pengadilan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn ... 122

D. Konsekuensi Hukum Penyelesaian Ganti Rugi Terhadap Perkara ABH Secara Diversi Dalam Praktek ... 127

BAB IV : UPAYA PENYELESAIAN GANTI RUGI TERHADAP PERKARA ABH SECARA DIVERSI YANG TIDAK DILAKSANAKAN OLEH PELAKU MAUPUN KELUARGANYA ... 136

A. Kelemahan Pengaturan Tentang Restitusi ... 136

B. Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara ABH ... 142

C. Upaya Penyelesaian Ganti Rugi Terhadap Perkara ABH Secara Diversi Yang Tidak Dilaksanakan Oleh Pelaku Maupun Keluarganya... 148

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 167

A. Kesimpulan... 167

B. Saran ... 169

DAFTAR PUSTAKA ... 171

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Perkara ABH/AKH Per Tiga Tahun Terakhir Dalam Kategori

Diversi Berhasil, Sedang Proses, dan Gagal ... 102 Tabel 2 : Data Perkara ABH/AKH Pada Pengadilan Negeri Medan Bulan

Januari 2015 s/d Desember 2015 ... 104 Tabel 3 : Data Perkara ABH/AKH Pada Pengadilan Negeri Medan Bulan

Januari 2017 s/d Desember 2017 ... 115

(14)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH) ... 83

Skema 2 : Alur Diversi ABH Secara Umum ... 87

Skema 3 : Alur Diversi Dalam Sistim Peradilan Pidana Anak ... 90

Skema 4 : Alur Diversi di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan ... 94

Skema 5 : Alur Diversi di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan ... 98

(15)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 : Kondisi Penanganan Perkara ABH/AKH Berdasarkan Data pada

Pengadilan Negeri Medan 2015 ... 103 Grafik 2 : Kondisi Penanganan Perkara ABH/AKH Berdasarkan Data pada

Pengadilan Negeri Medan 2017 ... 114

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketentuan mengenai ganti rugi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) mengalami dilema dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan diversi perkara anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) untuk mencapai keadilan restoratif (restorative justice). UUSPPA meskipun mewajibkan diversi namun tidak mewajibkan harus dengan cara ganti rugi dan dengan segala konsekuensinya, meskipun dalam praktek pelaksanaan ganti rugi sering kali dipilih dan dilakukan untuk menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi.

Ganti rugi dalam diversi perkara anak yang berhadapan dengan hukum dalam prakteknya menemui hambatan pembayaran dari pelaku / keluarganya padahal masing-masing pelaku dan korban telah menyepakati diversi dengan cara ganti rugi.

Sementara UUSPPA tidak memiliki kekuatan untuk mengeksekusi ganti rugi tersebut, dan juga tidak mengatur sanksi atau hukuman bagi pelaku / keluarganya jika tidak menepati janji membayar ganti rugi kepada korban meskipun telah sepakat.

Praktek diversi di tingkat penyidikan tidak menjamin kepastian hukum jika pelaku / keluarga pelaku tidak menepati janji untuk membayar ganti rugi tersebut.

Konsekuensi dari tidak adanya jaminan atas pembayaran ganti rugi tersebut berakibat pada pembayaran yang terhambat dan sulit ditagih hingga tidak ada kejelasan.

(17)

Masalahnya menjadi lebih rumit ketika korban / keluarganya datang dan menagih uang ganti rugi yang dijanjikan oleh pelaku / keluarganya tersebut kepada penyidik (kepolisian) karena sulitnya menagih kepada pelaku / keluarganya.

Konsep keadilan restoratif (restorativie justice) sebagaimana yang telah dianut di dalam UUSPPA, penyidik (kepolisian) diharapkan sebanyak mungkin agar dapat menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi.

Seolah-olah kehendak diversi di dalam praktek adalah untuk kepentingan polisi, dan jarang sekali muncul kemauan dan kesadaran diversi dari korban maupun pelaku / keluarganya untuk menyelesaikan perkara mereka secara diversi. Fakta ini secara umum masih ditemukan dimana pelaku / keluarganya ingkar janji untuk membayar ganti rugi dengan berbagai macam alasan.

UUSPPA menentukan ganti rugi dalam diversi tidak menjadi suatu keharusan atau kewajiban (mandatori) seperti ketentuan di Pasal 11 UUSPPA junto Pasal 10 ayat (2) UUSPPA hanya menentukan ganti rugi sebagai alternatif. Pasal 11 UUSPPA menentukan hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. Pelayanan masyarakat.

(18)

Berdasarkan Pasal 11 UUSPPA jelas menentukan ganti rugi bukan menjadi suatu kewajiban (keharusan) atau tidak bersifat mandatori meskipun diversi merupakan suatu kewajiban sesuai Pasal 7 ayat (1) UUSPPA.1 Kemudian di Pasal 10 ayat (2) UUSPPA menentukan:

Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk:

a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b. Rehabilitasi medis dan psikososial;

c. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UUSPPA pengembalian kerugian (ganti rugi) dalam hal ada korban merupakan alternatif dari sekian banyak solusi, bukan menjadi suatu kewajiban. Sehingga akan menjadi beban berat bagi penyidik (kepolisian) karena mereka sebagai garda terdepan untuk melaksanakan keadilan restoratif. Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah harus ada jaminan yuridis berupa sanksi / hukuman di dalam UUSPPA tersebut bagi pelaku / keluarganya yang tidak menepati janji untuk membayar ganti rugi kepada korban / keluarganya atau setidak-tidaknya dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) oleh Kepolisian sehingga tidak membingungkan para anggota / petugas dalam pelaksanaan diversi dengan cara ganti rugi tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas akan dikaji lebih mendalam di dalam tesis ini dengan mengambil satu berkas perkara anak yang berhadapan dengan hukum

1 Pasal 7 ayat (1) UUSPPA menentukan: “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

(19)

dalam Kasus Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn. Ganti rugi yang dijanjikan pelaku / keluarganya dalam kasus ini nihil, artinya meskipun korban / keluarganya telah berkali-kali meminta / menagih pembayaran ganti rugi, namun tidak pernah diberikan oleh pelaku / keluarganya, sehingga penyidik (kepolisian) terus didatangani oleh korban / keluarganya dan terus menagih ganti rugi yang telah dijanjikan oleh pelaku / keluarganya kepada penyidik.

Perkara yang sama sering kali terjadi dan dialami oleh penyidik di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan, sehingga semakin menambah keinginan untuk mengkaji masalah ini dalam sebuah karya ilmiah. Di samping kendala yuridis secara subtantif di dalam UUSPPA yang diasumsikan menjadi faktor penyebabnya, juga karena belum ada SOP di tingkat penyidikan (pra-ajudikasi) dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi khususnya tentang ganti rugi bagi korban.

Sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan subjek penting dalam mengisi pembangunan nasional menuju negara sejahtera.2 Anak merupakan kelompok penduduk yang sangat penting, masa depan negara sangat bergantung pada kualitas anak terutama kualitas pendidikan dan kesehatannya.3 Anak memiliki masa depan yang panjang dan diharapkan tumbuh serta berkembang secara layak untuk

2 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 19.

3 Irwanto, Fentiny Nugroho, dan Johanna Debora Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia, Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI, 2001, hal. 17.

(20)

memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional jika kelak menjadi manusia dewasa yang sempurna.4

Kenakalan anak5 dalam arti luas meliputi perbuatan anak yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis maupun tidak tertulis. Selain melanggar kaidah tertulis (tindak pidana), kadang-kadang perbuatan anak bersifat anti sosial yang meresahkan masyarakat (bukan tidak pidana) seperti durhaka kepada orang tua, bermusuhan dengan sesama saudara, melanggar norma-norma agama.6 Bahkan sebahagian orang pun tidak luput menjadikan anak sebagai objek kejahatan.7

Kenakalan anak menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga. Misalnya anak melakukan pencurian, pemerkosaan, perkelahian, bahkan pembunuhan. Seiring dengan perkembangan teknologi canggih yang serba elektronik kini perilaku kenakalan anak semakin meresahkan dan menakutkan.8 Tidak jarang mereka terlibat sebagai pelaku prostitusi, pembunuhan, peredaran narkotika dan semacamnya, pornografi yang dikehendaki oleh anak itu sendiri maupun yang

4 Hadi Supeno, Op. cit., hal. 22.

5 Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 10. Istilah kenakalan anak pada hakikatnya termasuk kejahatan anak. Atas dasar pertimbangan efek psikologis bagi anak itu sendiri baik korban kejahatan maupun sebagai pelaku kejahatan dalam hal ini disepakati menggunakan istilah kenakalan anak, bukan kejahatan anak. Secara etimologi istilah juvenile delinguency mengandung arti kejahatan anak atau penjahat anak atau anak jahat (juvenile artinya anak, sedangkan delinguency artinya kejahatan). Istilah juvenile delinguency secara psikologis dapat berdampak negatif terhadap anak sebagai korban kejahatan maupun anak sebagai pelaku kejahatan. Oleh sebab itu istilah juvenile delinguency dipersamakan dengan kenakalan anak walaupun arti sebenarnya secara etimologi adalah kejahatan anak atau penjahat anak atau anak jahat.

6 Ibid., hal. 12.

7 Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia, Dilema & Solusinya, (Jakarta: Sofmedia, 2012), hal. 18, hal. 33, dan hal. 34.

8 Ibid.

(21)

tidak dikehendaki oleh anak, melainkan pemaksaan atau eksploitasi hak-hak anak, seperti perdagangan anak.9

Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA), seharusnya dijadikan sebagai sistem kontrol untuk mencegah mereka yang bermaksud menjadikan anak sebagai objek kejahatan, dan dalam menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) mengamanatkan pula penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak mesti harus dengan cara litigasi tapi juga mengharuskan cara non litigasi yaitu diversi.

Tahapan pelaksanaan diversi dapat dilakukan pada tahap pemeriksaan di pengadilan. Diversi pada tahap pemeriksaan di Pengadilan diatur secara khusus dalam Perma Nomor 4 Tahun 2014. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (disingkat Perma Nomor 4 Tahun 2014).

Diversi dalam Perma Nomor 4 Tahun 2014 dapat dilakukan bila anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 tahun atau bila anak didakwa dengan dakwaan lain dengan pidana penjara lebih dari 7 tahun dengan model dakwaan alternatif, subsidiaritas, kumulatif, ataupun gabungan. Pada intinya, diversi dalam Perma ini menyaratkan jika dalam dalam salah satu dakwaan

9 Chairul Bariah Mozasa, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak), (Medan, USU Press, 2005), hal. 1-2.

(22)

ada perbuatan yang diancam dengan pidana kurang dari 7 tahun, maka anak berhak untuk mendapatkan proses diversi.10

Perma Nomor 4 Tahun 2014 pada dasarnya memiliki kesesuaian dengan konsep diversi yang diatur dalam UUSPPA yaitu menitikberatkan pada kesepakatan / perjanjian antara pelaku dengan korban. Perbedaannya hanyalah bahwa kesepakatan diversi tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, atau memuat hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan anak atau memuat itikat tidak baik (bad feith).11

Diversi dalam UUSPPA bila dikaitkan dengan UUPA dimaksudkan agar proses peradilan anak mampu memberikan kepentingan yang terbaik untuk anak yang menjadi korban maupun sebagai pelaku dan melindungi hak-haknya sebagai generasi bangsa yang masih sangat membutuhkan bimbingan dan pendidikan menuju anak dewasa. Bilamana anak-anak mengalami masalah hukum, jangan dipandang sebagai masalah biasa, namun harus dijadikan sebagai masalah nasional karena harapan bangsa ada pada mereka.

Tindak pidana yang dialami anak sebagai korban di dalam Penetapan Nomor:

2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn adalah penganiayaan yang diselesaikan secara diversi. Adapun hasil yang diperoleh dari penyelesaian secara diversi pada tanggal 29

10 Ibid. Sesuaikan dengan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Perma Nomor 4 Tahun 2014).

11 Ibid., hal. 25.

(23)

Februari 2016 dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan tanggal 16 Mei 2016 dalam perkara ini adalah:12

1. Kedua belah pihak mencapai kesepakatan sebagai berikut:

a. Terlapor (pelaku) meminta maaf secara kekeluargaan ke rumah pelapor / korban;

b. Terlapor (pelaku) membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya;

c. Dalam hal terlapor (pelaku) tidak mengalami perubahan sikap dalam 1 (satu) bulan, maka diajukan untuk dibina oleh Dinas Sosial di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS);

d. Sebagai pertanggungjawaban pihak terlapor (pelaku) kepada korban, pihak terlapor (pelaku) akan membayar uang pengobatan korban sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling lambat akan dibayar pada tanggal 1 April 2016.

2. Baik pelapor (korban) maupun orang tua korban setuju untuk tidak melanjutkan perkara ini ke proses penyidikan tindak pidana terhadap terlapor (pelaku).

Hasil kesepakatan diversi, pelaku atau keluarganya berkomitmen untuk membayar uang pengobatan korban sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) yang dipandang sebagai ganti rugi yang paling lambat akan dibayar pada tanggal 1 April 2016. Masalahnya adalah pembayaran ganti rugi tersebut dari sejak diperoleh hasil

12 Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn, Tanggal 16 Mei 2016.

(24)

penyelesaian diversi pada tanggal 29 Februari 2016 dan kemudian ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan tanggal 16 Mei 2016 hingga kini belum pernah dibayarkan oleh pelaku / keluarganya kepada korban.

Penyidik mengalami kesulitan ketika korban / keluarganya selalu mendatangi dan menanyakan uang ganti rugi tersebut. Seharusnya korban / keluarganya meminta uang ganti rugi tersebut kepada pelaku / keluarganya, namun justru sebaliknya, mereka mendatangi penyidik dan meminta kepada penyidik atas uang ganti rugi yang dijanjikan oleh pelaku.

Selain UUSPPA sebagai pedoman penyidik dalam melaksanakan diversi, tidak ada SOP sebagai pedoman lain yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) atau berupa SOP, melainkan pelaksanaannya harus berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Perma Nomor 4 Tahun 2014).

Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 4 Tahun 2014 tersebut menentukan: “Dalam kesepakatan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan hasil laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan hukum acara peradilan pidana anak”.

Berdasarkan pasal ini perkara tersebut harus dilanjutkan untuk diperiksa / dilanjutkan kembali untuk dijatuhkan putusan pidana.

Bilamana alternatif yang diatur di Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 4 Tahun 2014 ini yang dilakukan, tentu masalahnya akan semakin rumit lagi, dimana anak

(25)

sebagai korban akan menghadapi proses peradilan pidana yang panjang dan lama, dan sudah pasti menimbulkan berbagai macam kerugian materil dan immateril, antara lain kerugian waktu, kerugian keuangan, kerugian tenaga, dan lain-lain. Sehingga proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak lagi mencerminkan kepentingan terbaik untuk anak.

Setiap tindakan, prosedur, maupun pemidanaan yang diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum harus mengutamakan pendekatan kejiwaan anak, dan unsur pskilogis anak sehingga tujuan pemidanaan anak dapat tercapai dan tidak mengguncang dan mengancam kejiwaan anak. Anak dianggap belum mengerti akan kesalahan yang ia perbuat, dan pembinaan terhadap anak lebih mudah dibandingkan orang dewasa. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka harus sedapat mungkin untuk tidak mengenyampingkan kesejahteraan anak dan kemerdekaan anak.13

Diversi ditawarkan untuk mengedepankan kesejahteraan dan keseimbangan yang juga dipandang mampu efisiensi peradilan anak di Indonesia. Dengan adanya mekanisme ini diharapkan akan muncul beberapa manfaat antara lain: (1) anak yang berhadapan dengan hukum terhindar dari penahanan dan penjara, (2) penyelesaian lebih bermanfaat karena memulihkan korban dan pelaku, (3) meningkatkan kesadaran masyarakat untuk turut sebagai pembimbing bukan justru menjustifikasi anak sebagai penjahat atau anak nakal, anak geng, anak bandel, anak kurang ajar, dan lain-lain.14

13 Mega Wardani & Kelly Manthovani, “Perma Nomor 4 Tahun 2014 Sebagai Produk Optimalisasi Efisiensi Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 1 No. 3, November 2014, hal. 156.

14 Ibid., hal. 157.

(26)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ditemukan beberapa poin penting yang menjadi fokus kajian atau pembahasan yaitu pertama tentang ketentuan di dalam UUSPPA yang mengatur mengenai ganti rugi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi. Kedua tentang konsekuensi hukum dari ganti rugi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi dalam praktek. Dari kedua poin tersebut akan dicari solusi yang seharusnya diadakan untuk penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi dengan cara ganti rugi. Oleh sebab itulah “Penyelesaian Ganti Rugi Terhadap Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi (Studi Kasus Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)”, dipilih, dan diajukan untuk ditetapkan sebagai judul di dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan tiga permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai ganti rugi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi?

2. Bagaimanakah konsekuensi hukum penyelesaian ganti rugi terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi dalam praktek?

3. Bagaimanakah upaya yang seharusnya diadakan untuk penyelesaian ganti rugi terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi yang tidak dilaksakan oleh pelaku maupun keluarganya?

(27)

B. Tujuan Penelitian

Adapaun yang menjadi tujuan dilakukan penelitian terhadap ketiga permasalahan di atas adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan mengenai ganti rugi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi.

2. Untuk mengetahui dan memahami konsekuensi hukum penyelesaian ganti rugi terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi dalam praktek.

3. Untuk memberikan solusi yang seharusnya diadakan untuk penyelesaian ganti rugi terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi yang tidak dilaksakan oleh pelaku maupun keluarganya.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberi sejumlah manfaat yang berguna, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut, memperluas khasanah pemikiran sekaligus menjadi sumber referensi, dan bermanfaat bagi masyarakat umum dalam memahami tentang ganti rugi untuk penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi.

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi aparatur penegak hukum antara lain yaitu penyidik Kepolisian Republik Indonesia khususnya penyidik

(28)

perkara pidana yang melibatkan anak sebagai korban maupun pelaku kejahatan, dan juga bermanfaat bagi Kejaksaan khususnya penuntut umum dan bagi hakim-hakim pengadilan untuk mengedepankan kewajiban diversi perkara anak yang berhadapan dengan hukum, dan juga bagi para Advokat/Pengacara maupun Lembaga Pemasyarakatan.

D. Keaslian Penelitian

Sebelumnya telah dilakukan penelusuran terhadap karya-karya ilmiah milik orang lain dan karya ilmiah mahasiswa di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) dan di perpustakaan Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara untuk mencegah dan menghindari perbuatan menduplikasi (plagiat) terhadap karya ilmiah (tesis) milik orang lain dan/atau mahasiswa lain.

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut ditemukan karya ilmiah / tesis atas nama Fahrizal, NIM: 117005100, Judul “Pengawasan Masyarakat Terhadap Penyelesaian Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi (Studi di Kepolisian Resor Kota Medan). Fokus permasalahan adalah:

1. Bagaimanakah aturan hukum yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi dalam rangka melakukan fungsi kontrol terhadap aparat penegak hukum?

(29)

2. Bagaimanakah pengawasan masyarakat terhadap penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi di Kepolisian Resor Kota Medan?

3. Apa saja hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengawasan terhadap penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi di Kepolisian Resor Kota Medan?

Tesis atas nama Fahrizal tersebut di atas berfokus pada kajian tentang penyelesaian perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum (disingkat ABH) secara diversi bilamana tidak melibatkan peran serta pengawasan masyarakat dipandang sangat tidak adil dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap anak.

Penyelesaian perkara anak bisa saja telah dianggap selesai, namun belum tentu dapat memberikan rasa keadilan bagi anak. Dengan tidak melibatkan peran serta masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap proses penyelesaian perkara ABH secara diversi, dapat menimbulkan ketidakadilan bagi anak yang perkaranya diselesaikan secara diversi.

Perbedaannya dengan kajian ini adalah terletak pada ganti rugi. Penelitian ini berfokus pada ketentuan tentang ganti rugi di dalam UUSPPA tidak merupakan suatu kewajiban meskipun di dalam praktek ganti rugi sering kali dipilih. Selain itu SOP penyidik tentang ganti rugi dengan cara diversi tidak ada sehingga ketika pelaku tidak mau membayar ganti rugi tersebut menemui kesulitan untuk melakukan tindakan lain untuk melanjutkan perkara tersebut ke proses peradilan pidana.

(30)

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut setelah dibandingkan tidak ditemukan judul maupun permasalahan di dalam karya ilmiah (tesis) yang sama dengan judul dan permasalahan di dalam penelitian ini. Fokus kajian di dalam penelitian ini adalah membahas ketentuan di dalam UUSPPA yang mengatur mengenai ganti rugi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum secara diversi, konsekuensi hukum dari ganti rugi tersebut bila tidak dibayar oleh pelaku, dan memberikan solusi kedepannya agar tidak terkendala dalam pembayaran ganti rugi.

Berdasarkan fokus kajian tersebut maka judul penelitian ini yaitu “Ganti Rugi Dalam Penyelesaian Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi (Studi Kasus Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)” adalah asli (original) dan terhindar dari unsur plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain, serta originalisasi penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

E. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sesuai dengan judul dan permasalahan yang diajukan di dalam penelitian ini, sehingga dipilih teori keadilan restoratif digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan. Keadilan restoratif (restorative juctice) bila dilihat dari berbagai doktrin yang mengemuka pada prinsipnya keadilan ini muncul sebagai bentuk protes terhadap keadilan yang dihasilkan dari teori pemidanaan retributif (penghukuman dengan pembalasan), sedangkan teori-teori pemidanaan lain yang juga mengajukan

(31)

protes terhadap teori pemidanaan retributif adalah detterence (pencegahan), teratment (pembinaan), dan social defence (tertib sosial).

Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini dalam hal penerapan restorative justice.15 Keadilan yang selama ini berlangsung dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah retributive justice atau keadilan retributif sebagai hasil dari konsep pemidanaan retributif, sedangkan yang diharapkan adalah restorative justice atau keadilan restoratif, yaitu suatu proses di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang.16

Peradilan yang ada sudah terpola dengan retributive justice yang memandang kejahatan dan pelanggaran harus dihukum oleh negara dengan sanksi berupa pidana.

Pendekatan retributive justice ini berpola pada masa lalu dan tujuannya adalah menentukan siapa yang harus disalahkan dan pidana apa yang harus dijatuhkan kepada yang melakukan kesalahan. Lain halnya dengan keadilan restoratif yang kemungkinan besar dapat diterapkan dalam penegakan hukum in concreto.17

Paradigma dalam hukum pidana tetang keadilan telah mengalami pergeseran dari retributive justice, retitutive justice, ke arah restorative justice. Keadilan

15 DS. Dewi, “Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children’s Courts In Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Expert Consultation Meeting, Mercure Kuta – Bali, Tanggal 26 - 28 Juni 2013, hal. 4.

16 I Made Wahyu Chandra Satriana, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, (Bandung: Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013), hal. 3.

17 Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Philosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, hal. 408.

(32)

retributif (retributive justice) menekankan keadilan pada pembalasan, pelaku dan korban diposisi sebagai objek, dan penyelesaian bermasalah hukum dilakukan secara tidak seimbang. Keadilan restitutif (retitutive justice) menekankan keadilan pada aspek pemberian ganti rugi. Keadilan restoratif (restorative justice) muncul sejak era tahun 1960-an18 menekankan keadilan pada aspek: perbaikan/pemulihan keadaan ke keadaan semula, berorientasi pada korban, memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab, memberikan kesempatan pertemuan antara pelaku dan korban untuk mengurangi permusuhan dan kebencian, mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat, dan melibatkan anggota masnyarakat dalam upaya pemulihan.19

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.20 Keadilan restoratif (restorative juctice) menekankan perbaikan/pemulihan terhadap kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana dan melibatkan semua pihak (stakeholders).21

18 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 2.

19 DS. Dewi, “Proses Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia”, Makalah dalam bentuk presentase yang disampaikan pada Seminar Expert Consultation Meeting, Mercure Kuta – Bali, Tanggal 26 - 28 Juni 2013, hal. 9.

20 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

21 Kuat Puji Prayitno, Op. cit., hal. 409.

(33)

Keadilan restoratif sebagai alternatif atau cara lain dalam menyelesaikan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat, dalam satu kesatuan untuk mencari solusi yang baik. Jantungnya keadilan restoratif adalah empowerment yaitu berkaitan dengan pihak-pihak dalam perkara yaitu korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat. Masing-masing pihak harus aktif dalam menyampaikan kehendak untuk menemukan titik temu dan memberikan solusi atas permasalahan sebagai akibat dari tindak pidana.22

Keadilan restoratif sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah pidana.23 Tanpa kerja sama itu menurut Paulus Hadisuprapto konsep ini juga tidak mampu menjamin keberhasilan.24 Itu sebabnya jantungnya restorative justice adalah empowerment.25 Metode yang digunakan adalah melalui musyawarah untuk memulihkan kerusakan hubungan antara korban, pelaku, dan keluarga, serta mengundang wakil masyarakat untuk mewakili warga di lingkungan sekitar tempat terjadinya tindak pidana.26

Keadilan restoratif (restorative justice) bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan

22 Ibid.

23 Eva Achjani Zulfa, Op. cit., hal. 4.

24 Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2006), hal. 225.

25 Kuat Puji Prayitno, Loc. cit.

26 Rien Uthami Dewi, Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak Dikaitkan Dengan Hukum Tindakan Dalam Putusan Nomor 08/Pid.Anak/2010?PN. Jaksel, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hal. 3.

(34)

melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.27 Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.28

Menurut Nur Hidayati konsep keadilan retoratif menjadi penting untuk menemukan dan mengenali kerangka pendekatan penanganan perkara pidana tertentu, prinsip-prinsip keadilan restoratif menurutnya adalah:29

a. Adanya keterlibatan para pihak secara maksimal dan bermakna, selain pelaku dan korban, keluarga pelaku dan korban serta masyarakat merupakan pihak- pihak yang telah dirugikan oleh korban.

b. Ada kesempatan kepada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitas di samping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif.

c. Menitikberatkan pada kerugian yang ditimbulkan, memulihkan kerugian yang diderita korban serta mengurangi kerugian di masa depan dengan melakukan pencegahan kejahatan.

d. Hukuman yang disepakati bagi pelaku mestinya mempertimbangkan aspek kesejahteraan dan kesepadanan.

Prinsip-prinsip lain dalam keadilan restoratif adalah 1) membuat pelaku bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat

27 Pavlich G., Towards An Ethics of Restorative Justice, In L. Walgrave (Ed.), Restorative Justice and The Law, (Oregon: Willan Publishing, 2002), hal. 1.

28 Wright M., Victim-Offender Mediation as A Step Towards A Restorative Sistem of Justice.

In H. Messmer & H.-U. Otto (Eds.), Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1992), hal. 529.

29 Nur Hidayati, “Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dan Kepentingan Terbaik Bagi Anak”, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 13 No. 2, Agustus 2013, hal. 147.

(35)

kesalahannya, 2) memberikan kesempatan kepada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif, 3) melibatkan korban, pelaku, keluarga korban maupun pelaku, teman sekolah, teman sebaya, masyarakat dan lain-lain yang dipandang sangat berperan penting dalam perkara tersebut, dan 4) menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah, menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial.30

Harus diakui pula bahwa di sisi lain ada kemungkinan kekhawatiran dari penerapan keadilan restoratif ini, pelaku tidak mendapat nilai pembelajaran bilamana dikaitkan dengan hakikat dari hukum pidana yaitu penjatuhan hukuman harus memenjarakan pelaku.31 Apapun bentuk konsep dari philosofi pemidanaan tidak menjamin seutuhnya membuat masyarakat jera terhadap pidana yang berlaku, namun yang paling penting adalah bagaimana konsep baru yang ditawarkan itu agar tujuan hukum dapat tercapai.

Tujuan diadakannya penjara sebagai tempat untuk menampung narapidana dimaksudkan untuk membuat jera (regret) agar tidak melakukan kejahatan lagi, justru memiliki sisi negatif, karena konsep lama demikian berupaya membuat aturan dengan keras, bahkan tidak manusiawi.32 Sistem pemenjaraan tidak pula membawa hasil yang efektif untuk meminimalisir narapidana di penjara. Pembenaran pidana penjara dilihat dari efektifitasnya, masalah efektifitas pidana penjara, apakah efektif atau

30 Rien Uthami Dewi, Op. cit., hal. 4.

31 Nur Hidayati, Op. cit., hal. 5.

32 Harsono H.S., Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 9.

(36)

tidak harus dilihat dari aspek sejauh pidana penjara itu dapat melindungi kepentingan masyarakat dan sejauh mana pidana itu dapat memberikan perbaikan terhadap diri si pelaku.33

Kunci pendekatan restorative justice adalah membangun hubungan langsung dan nyata antara kejahatan dengan respon. Hal yang menjadi ukuran bukanlah hukumannya, melainkan bagaimana hukuman itu disepakati para pihak serta proses monitoring terus dilakukan terhadap hukuman itu. Menjadi fokus pendekatan keadilan restoratif bukanlah pelaku jera atas perbuatannya, melainkan terbangunnya kesadaran untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan kemampuan untuk mengendalikan perilaku di masa yang akan datang. Keadilan retoratif ini berbeda dengan pendekatan retributif yang mengandalkan efek jera.34

Teori tentang keadilan restoratif sebagaimana telah diuraian pada hakikatnya lahir sebagai bentuk protes terhadap keadilan yang dihasilkan dari teori-teori pemidanaan yang sudah ada sebelumnya seperti teori pemidanaan retributif yang menghasilkan retributive justice, dimana keadilan yang dihasilkan dari konsep pemidanaan ini terkesan keji dan kejam karena metodenya berupaya memberikan penghukuman dengan cara pembalasan (penghukuman badan) terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana.

Perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum diundangkan UUSPPA belum memiliki payung hukum yang jelas untuk penerapan keadilan

33 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 246-256.

34 Nur Hidayati, Loc. Cit.

(37)

restoratif. Untuk menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum tahun 2012 sangat bergantung pada kemauan (political will) aparatur penegak hukum, tetapi kini setelah UUSPPA ini berlaku dan efektif di bulan Juli 2014 bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum wajib menerapkan konsep keadilan restoratif.35

Keadilan restoratif sebagai salah satu upaya untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat lemah, miskin, memprihatinkan, anak-anak, dan lain-lain yang berhadapan dengan hukum. Keadilan restoratif merupakan konsep baru dalam penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.36 Restorasi (pemulihan) berupaya membangun kembali hubungan dan memperbaiki keretakan setelah terjaidnya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat sekaligus menjadi karakter sistim peradilan pidana modern.37

Konsep keadilan restoratif mulai diterapkan dalam penyelesaian kasus pidana dan penghukuman dalam perspektif hukum adat yang mengutamakan mediasi dan keseimbangan masyarakat bisa diangkat ke dalam sistim hukum positif.38 Penggunaan konsep ini bertujuan untuk menciptakan keadilan restoratif yang di

35 M. Taufik Makarao, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia, 2013, hal. ii.

36 Ibid., hal. 4 dan hal. 9.

37 Ibid., hal. 120.

38 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hal. 140.

(38)

dalam hukum positif Indonesia memang belum menyeluruh diatur, tetapi beberapa putusan hakim dan sejumlah doktrin para pakar hukum mendukung penerapan keadilan restoratif di Indonesia pada kasus-kasus pidana tertentu, misalnya untuk pemidanaan anak.39

Sekalipun UUSPPA dan Perma Nomor 4 Tahun 2014 dapat dijadikan pedoman untuk penyelesaian perkara pencurian anak secara diversi, namun tidak semua perkara pencurian dapat diselesaikan dengan menggunakan konsep keadilan restoratif. Misalnya bila pelaku pencurian benar-benar tidak memiliki uang/harta untuk membayar denda karena uang hasil pencurian tersebut sudah dihabiskan untuk membeli sepotong roti.40

Secara umum konsep hukum di Indonesia masih menekankan pendekatan refresif dan retributif, sedangkan pendekatan restoratif masih sebagai alternatif atau sebagai pelengkap dalam sistem peradilan pidana.41 Penerapan pendekatan restoratif dalam hukum pidana Indonesia merupakan amanat pelaksanaan asas hukum pidana ultimum remedium dan termasuk filosofi tujuan pemidanaan yang sejalan dengan

Pancasila.42 Penerapan restorative justice masih berbanding terbalik dengan negara lain seperti Belanda menurut Andi hamzah sekitar 60 % perkara pidana diselesaikan

39http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3c69bb66db7/pergeseran-paradigma-

pemidanaan, diakses tanggal 2 Juni 2017, Artikel, “Pergeseran Paradigma Pemidanaan”

Dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 16 Februari 2012.

40http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt519065e9ed0a9/penyelesaian-perkara-

pencurian-ringan-dan-keadilan-restoratif, diakses tanggal 2 Juni 2017, Artikel, “Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan Restoratif”, Dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 13 Juni 2013.

41 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika: 2013), hal. 282.

42 Ibid., hal. 256.

(39)

di luar pengadilan dengan ganti rugi dan denda sedangkan di Norwegia lebih tinggi lagi yaitu sekitar 74 %.43

Proses yang berlaku di Belanda adalah afdoening buiten process atau settlement out of judiciary (penyelesaian perkara di luar pengadilan) atau dengan kata

lain Belanda menerapkan restorative justice. Sedangkan di Indonesia yang menganut asas legalitas membuat Lembaga Pemasyarakatan semakin sesak napas karena banyak perkara pidana termasuk perkara “orang kecil” yang dilimpahkan ke pengadilan dan menjadi penghuni penjara.44 Kondisi penjara di hampir seluruh LP di Indonesia umumnya sangat memprihatinkan dengan over capacity membuat narapidana semakin tidak manusiawi.

Penjatuhan pidana penjara belum tentu dapat menimbulkan efek jera dan bisa pula menimbulkan pembelajaran yang negatif bagi narapidana, sebagaimana dikatakan adagium “too short for rehabilitation, too long for corruption” (di dalam penjara, terlalu singkat untuk pemulihan dan terlalu lama untuk pembusukan), tidak jarang narapidana menjadi kurir narkotika di LP dan bahkan ada pula yang menjadi residivis.45 Sudah saatnya dilakukan pembaharuan terhadap hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk didalamnya memasukan kewajiban penyelesaian perkara

43http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9ac62885275/keadilan-restoratif-dalam- putusan-putusan-ma, diakses tanggal 2 Juni 2017, Artikel, “Keadilan Restoratif Dalam Putusan- Putusan MA”, Dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 27 April 2012.

44http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt519065e9ed0a9/penyelesaian-perkara-

pencurian-ringan-dan-keadilan-restoratif, diakses tanggal 2 Juni 2017, Artikel, “Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan Restoratif”, Dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 13 Juni 2013.

45 ibid.

(40)

anak yang berhadapan dengan hukum diselesaikan secara diversi untuk mencapai keadilan restoratif.

Apabila dikaitkan teori keadilan restoratif dengan permasalahan di dalam penelitian ini, maka dapat pula ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa munculnya keadilan restoratif ini adalah sebagai konsep baru yang berupaya mengoreksi konsep keadilan yang telah hilang di dalam ketentuan undang-undang, yaitu keadilan harus dikoreksi kembali untuk menemukan keadilan yang lebih bermanfaat melalui putusan-putusan hakim atau menemukan keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum melalui proses diversi.

2. Kerangka Konsepsional

Landasan konsepsional digunakan di dalam penelitian ini untuk menghindari penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda dalam menafsirkan istilah-istilah atau variabel-variabel yang dipergunakan. Istilah-istilah yang digunakan di dalam penelitian ini sesuai rumusan judul adalah:

a. Ganti rugi adalah ganti rugi yang diberikan / dibayarkan oleh pelaku kejahatan terhadap korban.46 Ganti rugi terdiri dari dua macam, yaitu restitusi dan kompensasi.47 Lima cara pemberian kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan, yaitu:48

46 Syafruddin, “Pidana Ganti Rugi: Alternatif Pemidanaan di Masa Depan Dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu”, Artikel pada Digitized by USU Digital Library, Medan, Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, 2002, hal. 3-4.

47 Didik Endro Purwoleksno, “Naskah Akademik RUU Tentang Hukum Acara Pidana”, Laporan Kegiatan Tim, (Jakarta, Desember 2010), hal. 114. Restitusi adalah ganti rugi yang diberikan

(41)

a. Ganti rugi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses hukum perdata, terpisah dengan proses hukum pidana.

b. Kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana.

c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana.

d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara.

e. Kompensasi yang bersifat netral diberikan melalui prosedur khusus.

Pemberian ganti rugi dari pelaku / keluarganya kepada korban dalam hanya bersifat fakultatif, bukan imperatif, artinya pemberian ganti rugi tidak selalu ada, meskipun perkara pidana telah diselesaikan secara damai atau melalui putusan hakim. Sekalipun dalam undang-undang pidana (hukum pidana) mengandung aturan tentang denda dan ganti rugi namun dalam praktiknya tidak selalu harus dijatuhkan oleh majelis hakim, demikian pula dalam hal mediasi perkara, karena sifatnya fakultatif.

b. Anak adalah adalah orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.49 Anak tersebut telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur

pelaku tindak pidana kepada korban. Sedangkan kompensasi adalah pemberian bantuan keuangan kepada korban tindak pidana yang diambilkan dari dana umum atau negara.

48 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal, (New York: Randam House, 1968), hal.

105.

49 Pasal 1 angka 1 UUPA.

(42)

18 (delapan belas) tahun yang diduga terlibat di dalam tindak pidana, terhadapnya diwajibkan diversi.50

c. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.51

d. Anak yang Berhadapan dengan Hukum (disingkat ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.52

e. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.53

f. Keadilan Retoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.54

50 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Perma Nomor 4 Tahun 2014).

51 Pasal 1 angka 12 UUPA.

52 Pasal 1 angka 2 UUSPPA.

53 Pasal 1 angka 7 UUSPPA.

54 Pasal 1 angka 6 UUSPPA.

(43)

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang mengkaji terhadapasas-asas atau prinsip-prinsip hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum, norma-norma hukum positif, asas-asas, prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin hukum.55

Sifat penelitian ini adalah deskriptif dan preskripsi. Selain menggambarkan atau memaparkan atas subjek dan objek penelitian sekaligus dilakukan analisis terhadap permasalahan yang telah dirumuskan.56 Memberikan argumentasi- argumentasi hukum, kemudian melakukan penilaian (perskripsi) mengenai benar atau salah atau bagaimana seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum.57

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan Hukum Primer (BHP) yaitu bahan hukum utama meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

55 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hal. 45-62, dan hal. 390.

56 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 183.

57 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hal. 183-184.

(44)

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlidungan Saksi dan Korban (UUPSK), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana (PP No. 43/2017), Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat (PP No.2/2002), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Perma Nomor 4 Tahun 2014), dan Penetapan Nomor: 2/Pent.Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn., Tanggal 16 Mei 2016.

b. Bahan Hukum Sekunder (BHS) yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, internet, dokumen pribadi, dan pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan di dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier (BHT) yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalah pokok dalam penelitian ini berkisar pada masalah penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak (The Best

Selain yang telah diuraikan diatas, akibat hukum dari adanya putusan pailit juga menimbulkan hak bagi kreditor melalui kurator untuk dapat melakukan tindakan hukum actio pauliana

Kemudian pada huruf g Surat Edaran Kapolri Nom or : SE/8/VII/2018, juga disebutkan 4 metode penyelesaian perkara pidana yang mencerminkan penerapan prinsip

Ketentuan dalam annex yang menyangkut perundingan di bidang angkutan laut dalam ayat (1) menyatakkan bahwa Pasal 2 dan annex tentang pengecualian Pasal 2 termasuk keharusan

a) Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa, karena terdakwa tidak melaporkan kejahatan Narkotika jenis ganja yang dilakukan oleh Burhan (DPO) selaku

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

Terima kasih penulis kepada sahabat dan teman-temanku yang sangat memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Suhaidi, SH, M.H selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam