ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) GANTI RUGI TERHADAP KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MATERIAL DI JALAN RAYA
(Studi pada Wilayah Hukum Polda Sumatera Utara)
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Bawah
Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
OLEH
SERIMIN PINEM 158101013 / HK
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) GANTI RUGI TERHADAP KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MATERIAL DI JALAN RAYA
(Studi pada Wilayah Hukum Polda Sumatera Utara)
DISERTASI
OLEH
SERIMIN PINEM 158101013 / HK
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
ABSTRAK
PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF (APS) GANTI RUGI TERHADAP KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN
MATERIAL DI JALAN RAYA (Studi pada Wilayah Hukum Polda Sumatera Utara)
Kerugian harta benda akibat kecelakaan lalu lintas dapat berwujud jumlah uang yang kadang berjumlah jutaan rupiah. Ini disebabkan karena kecelakaan tersebut mengakibatkan kerusakan saran dan prasarana jalan serta rusaknya kendaraan itu sendiri. Terjadinya korban materil disalah satu pihak, mewajibkan pihak lain harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya tersebut. Tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya kerugian kepada pihak lain atau kepada orang lain wajib mengganti kerugian tersebut karena kesalahannya yang mengakibatkan terjadinya kerugian tersebut. Meskipun perbuatan melawan hukum tersebut adalah tergolong kepada ranah hukum pidana namun penyelesaiannya dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan hukum yang termuat didalam hukum perdata yaitu dengan menggunakan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Material Di Jalan Raya, berupa budaya perdamaian di tingkat Kepolisian yang dilakukan karena adanya kesepakatan dari dua belah pihak, baik pelaku maupun korban, dengan syarat korban tidak mengalamai luka berat maupun kematian. Perdamaian yang dilakukan antara pelaku dengan korban lebih bersifat musyarawah, dengan memberikan biaya santunan atas kerugian yang diderita oleh korban, baik secara meteril dan immaterial. Pihak Kepolisian pada umumnya hanya memfasilitasi kedua pihak dalam menyelesaikan kasus kecelakaan.
Apabila kasus tersebut sampai ke tingkat pengadilan maka hasil perdamaian atas kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka ringan, hakim memberikan ruang atas hasil musyawarah perdamaian dalam pertimbangan hakim sebelum memuat putusan hukum yang tetap.
______________
ABSTRACT
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION IN TRAFFIC ACCIDENTS IN NORTH SUMATERA HIGHWAY
Every person who commits an unlawful act that results in a loss to another party or to another person is obliged to be punished and/or compensate for the loss. Although the unlawful act is classified into the realm of criminal law, the resolution can also be done by using legal provisions contained in civil law, namely by using the provisions of Article 1365 of the Civil Code.
Alternative Dispute Settlement in the form of compensation for traffic accidents can be carried-out provided the victim does not experience serious injuries or death. The police in general only facilitate both parties in resolving accident cases. If the case reaches the court level then the outcome of the peace agreement over the traffic accident case still will be considered by the presiding judge before he or she delivers a permanent legal decision.
In this research, it is shown the effectiveness of alternative dispute resolution in traffic accidents to help law enforcement officers to overcome the backlog in processing cases due to limitation of resources in the police department.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang masih memberikan kekuatan, kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul “ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) GANTI RUGI TERHADAP KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MATERIAL DI JALAN RAYA (Studi pada Wilayah Hukum Polda Sumatera Utara)” untuk memperoleh gelar doktor di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Perkenankan penulis dalam kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang tidak terhingga kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., atas kesediaannya menjadi promotor dan telah banyak memberi bimbingan, masukan dan arahan metodologi serta bersedia memberi bahan-bahan referensi kepada penulis untuk penyempurnaan disertasi ini. Disela-sela kesibukannya yang luar biasa sebagai Rektor USU beliau selalu memberi motivasi dan selalu menanyakan perkembangan disertasi baik melalui telepon maupun secara langsung kepada penulis, sehingga semakin memacu semangat penulis untuk berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan disertasi ini tepat pada waktunya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang tidak terhingga kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum sebagai Co-Promotor 1 dan
Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, sebagai Co-Promotor 2 dalam penulisan disertasi ini yang telah memberikan banyak masukan, arahan, perbaikan, metodologi, dan koreksi penulisan atas isi di dalam disertasi ini dan memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak Prof. Dr.
Suhaidi, S.H., M.S., Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H,. M.Hum dan Bapak Prof.
Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M, Ph.D bertindak selaku penguji yang telah banyak memberikan, masukan, kritikan maupun saran-saran yang sungguh bernilai dan berharga untuk penyempurnaan dan memperkaya argumentasi di dalam disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan sangat tulus kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Promotor yang telah memberikan kemudahan dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor (S3) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Co-Promotor 2 juga telah banyak memberi kemudahan di bidang adminitrasi selama penulis mengikuti pendidikan di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai komisi penguji yang telah banyak membimbing, memberi arahan dan kemudahan terutama di bidang administrasi di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh Bapak/Ibu Guru Besar maupun Dosen-Dosen di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ajaran, didikan, bimbingan dan materi-materi yang cukup menarik selama penulis mengikuti perkuliahan, serta memberikan metode membuat strategi dalam perkuliahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen yang ada di Fakultas Hukum Univeristas Sumatera Utara yang juga telah memotivasi dan memberikan masukan kepada penulis, baik terkait langsung dengan materi kuliah maupun topik yang berhubungan langsung dengan disertasi ini.
6. Seluruh Staf maupun Tata Usaha di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univeristas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai kemudahan pelayanan yang berkaitan dengan adiminitrasi selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Seluruh rekan-rekan calon-calon Doktor maupun yang telah memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya rekan-rekan satu angkatan dalam T.A. 2015/2016 telah banyak memberikan masukan dan dorongan kepada penulis, bertekad
bersama-sama berjuang yang terkadang antara kebahagiaan dan kesedihan bercampur menjadi satu kekuatan yang bulat demi memperoleh Doktor Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
8. Keluarga Besar Kepolisisan Daerah Sumatera Utara yang memberi dukungan dan semangat agar cepat selesai pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum.
9. Kedua orangtua saya, kedua mertua saya dan Suami tercinta dan anak-anak saya. Mereka telah berbuat banyak, mendampingi, mendorong serta memberikan inspirasi untuk terus maju yang kadang kala menanyakan kapan selesai kuliahnya. Semua itu semakin mendorong penulis untuk tetap bersemangat menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
10. Saudara-saudara saya, kakak, adek, keponakan, yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi agar cepat menyelesaikan perkuliahan Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara dan agar menjadi contoh di dalam keluarga.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak kekurangan, masih banyak yang perlu diperbaiki dan disempurnakan baik tentang subtantifnya maupun cara penulisannya dan salah pengetikan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang konstruktif guna penyempurnaan disertasi ini. Semoga pemikiran-pemikiran yang baru dalam disertasi ini berguna menambah wawasan dan argumentasi bagi kalangan Kepolisian Republik Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua untuk selalu patuh pada undang-undang dan peraturan yang ada di Negara kita ini. Amin.
Terimakasih, Tuhan memberkati kita semua.
Medan, Desember 2019
Penulis,
Serimin Pinem
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
1. Kerangka Teori ... 14
2. Kerangka Konsepsi ... 52
G. Metode Penelitian ... 61
H. Sistematika Penulisan ... 66
BAB II : PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) DIBANDINGKAN MELALUI PERADILAN ... 70
A. Pandangan Hukum Progresif ... 70
1. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis ... 71
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan ... 72
3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku ... 73
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan ... 74
B. Sejarah Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 75
C. Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Masyarakat Tradisional Indonesia ... 81
D. Kritik Umum Terhadap Lembaga Peradilan ... 84
E. Harmonisasi Mediasi Dalam Perspektif Perdamaian/Dading 99 F. Perbedaan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Pengadilan ... 108
BAB III : PELAKSANAAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF TINDAK PIDANA KECELAKAAN
LALU LINTAS MENGAKIBATKAN KERUGIAN
MATERIL DI PROPINSI SUMATERA UTARA ... 120
A. Kecelakaan Lalu Lintas ... 120
1. Peraturan Lalu Lintas di Jalan Raya dalam Undang- Undang No. 22 Tahun 2009 ... 120
2. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 122
3. Jenis dan Dampak Kecelakaan Lalu Lintas ... 131
4. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas ... 131
5. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kecelakaan Lalu Lintas ... 142
B. Mediasi Dalam Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ... 144
C. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 199
1. Sejarah Mediasi di Indonesia ... 199
2. Peran Mediator ... 235
3. Fungsi mediator ... 269
D. Alasan Penyelesaian Sengketa Alternatif Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Mengakibatkan Kerugian Materil 285
E. Legalitas Penyelesaian Sengketa Alternatif Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Mengakibatkan Kerugian Materil 286
F. Peran Para Pihak Dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Mengakibatkan Kerugian Materil ... 289
G. Ganti Rugi Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas 307
BAB IV : HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF TINDAK PIDANA LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MATERIL ... 316
A. Hambatan Dalam Kaitannya dengan Peraturan Perundang- Undangan ... 316
B. Hambatan-hambatan yang Bersasal dari Intern Penegak Hukum ... 320
C. Hambatan-hambatan yang Berasal dari Masyarakat ... 334
D. Solusi Dalam Penyelesaian Masalah Sengketa Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Terjadinya Korban Material ... 343
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 353
A. Kesimpulan ... 353
B. Saran ... 362
DAFTAR PUSTAKA ... 363
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 374
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Data Penyelesaian Perkara dan SP2HP Januari s/d
Desember 2016 ... 150
Tabel 2 : Data Penyelesaian Perkara dan SP2HP Januari s/d Desember 2017 ... 151
Tabel 3 : Data Laka Tahun 2016 ... 152
Tabel 4 : Data Laka Tahun 2017 ... 153
Tabel 4 : Personil Penyidik Laka Lantas ... 348
Tabel 4 : Undang-Undang dan peraturan ... 350
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Proses Penyelesaian Secara Alternative Penyelesaian
Sengketa (APS) ... 352 Gambar 2 : Proses Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Dalam
Tahap Penyidikan Polri ... 352
DAFTAR SINGKATAN
ADR : Alternative Dispute Resolution APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia BPSK : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BW : Burgerlijk Wetboek
HAKI : Hak atas Kekayaan Intelektual HAM : Hak Asasi Manusia
KADIN : Kamar Dagang dan Industri Kepres : Keputusan Presiden
KPPU : Komisi Pengawas Persaingan Usaha KUH Perdata : Kitab Undag-Undang Hukum Perdata KUHAP : Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana LPSK : Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
P4P : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PERMA : Peraturan Mahkamah Agung PK : Peninjauan Kembali
Polmas : Perpolisian Masyarakat PP : Peraturan Pemerintah PTC : Pre Trial Conference
SDM : Sumber Daya Manusia
SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung SHM : Sertifikat Hak Milik
SIM : Surat Izin Mengemudi
SOP : Standar Operating Procedure
SP2HP : Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan SPDP : Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan TAA : Traffic Accident Analysis
TKP : Tempat Kejadian Perkara
UU LLAJ : Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan UUD : Undang-Undang Dasar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran yang sangat strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menyadari peranan transportasi, lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dan dikembangkan dalam satu sistem transportasi nasional agar mampu mewujudkan adanya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, aman, lancar, dan terpercaya. Mencapai daya guna dan hasil guna nasional yang maksimal, disamping itu harus ditata roda transportasi laut, udara, lalu lintas yang mempunyai kesamaan wilayah pelayanan seperti di daratan. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan perlu diselenggarakan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar daya jangkau dan pelayanannya lebih muda diakses ke masyarakat, dengan memperhatikan kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan, kordinasi antara wewenang pusat dan daerah antara instansi, sektor, dan unsur yang terkait serta terciptanya nuansa keamanan dan ketertiban dalam menyelenggarakan lalu lintas dan angkutan jalan, sekaligus menciptakan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional maka lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan,
1
ketertiban dan kelancaran berlalulintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah.1
Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi pada lalu lintas dan angkutan jalan pada masa sekarang ini maka pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang mengatur secara lebih rinci dan lengkap tentang pengaturan lalu lintas dan angkutan jalan yang ada di Indonesia. Meskipun Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 lebih lengkap dan lebih rinci mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan dibandingkan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992, namun tetap saja banyak terjadi permasalahan di lapangan, khususnya mengenai peristiwa kecelakaan lalu lintas yang belum memperoleh solusi secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.2 UU LLAJ yang baru telah diberlakukan sejak tahun 2010 diharapkan dapat menyelesaikan masalah turunan akibat adanya kecelakaan lalu lintas. Proses penegakan hukum yang seringkali berbelit-belit membuat sebagian besar masyarakat enggan menyelesaikan permasalahan mereka melalui aparat kepolisian. Setiap pengguna jalan wajib turut serta terlibat dalam menciptakan situasi yang kondusif dan lalu lintas yang tertib dan lancar. Ketertiban lalu lintas merupakan keadaan dimana manusia dalam mempergunakan jalan secara tertib dan lancar atau bebas dari kejadian kecelakaan lalu lintas. Maka dalam hal
1 Dasar Pertimbangan Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
2 Aldian, dkk., Analisa Karekteristik Kecelakaan Lalu lintas, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2009, hal. 47
ini diperlukan aturan hukum yang dapat mengatur lalu lintas untuk mewujudkan ketertiban dalam berlalu lintas. Diharapkan peraturan yang ada saat ini dapat menjadi pedoman dalam mengantisipasi terjadinya permasalahan lalu lintas dan kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerugian materi maupun korban jiwa.
Akibat hukum dari kecelakaan lalu lintas adalah adanya pidana bagi si pembuat atau penyebab terjadinya peristiwa itu dan dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material yang ditimbulkan. Kebiasaan dalam praktek di masyarakat, para pihak yang terlibat dalam kecelakaan seringkali melakukan penyelesaian sendiri masalah ganti kerugian tersebut, dengan memberikan ganti kerugian, santunan, bantuan kepada pihak yang dianggap sebagai korban secara sukarela, bahkan kadang tidak mempersalahkan salah benarnya. Kebiasaan tersebut diibaratkan dalam sebuah perdamaian yang mana antara si korban dan si pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk sama-sama berbicara.
Perdamaian sendiri sebenarnya bukanlah bentuk dari restorative justice sesungguhnya. Semua bentuk pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban luka ringan, luka berat bahkan meninggalnya seseorang dapat diterapkan dengan sistem restorative justice. Di Indonesia, praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Praktik- praktik yang ada tetap mempunyai dasar restorative justice yang telah diakui banyak Negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Restorative justice memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan atau pelanggaran yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan.
Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan dan pelanggaran tersebut.
Perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena adanya bentuk suatu peristiwa kejahatan atau pelanggaran tersebut.
Secara normatif tugas dan wewenang polisi berkait dengan proses peradilan lalu lintas meliputi pembinaan di bidang lalu lintas, penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Kepolisian juga berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkenaan dengan pemenuhan persyaratan teknis dan layak jalan kendaraan bermotor. Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum pidana lalu lintas ini, aparat Kepolisian tunduk pada aturan-aturan khusus untuk melakukan tindakan hukum. Ketentuan ini tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kepolisian), UU LLAJ serta aturan moral yang menjadi pedoman yang harus ditaati. Oleh karenanya tidak mungkin kerja polisi menjadi kaku karena tuntutan untuk cepat tanggap terhadap fenomena sosial dibandingkan secara rigid bertindak sesuai ketentuan tertulis. UU Kepolisian. Memberikan kewenangan atau otoritas yang dimiliki polisi untuk melakukan tindakan yang menyimpang sesuai dengan situasi dan pertimbangan hati nuraninya.
Pasal 18 UU Kepolisian menyatakan:
1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian negara republik Indonesia.
Pasal tersebut memberikan kewenangan penuh kepada pejabat kepolisian untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam kata lain aparat kepolisian memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi. Dengan kewenangan diskresi yang dimiliki tersebut, maka bisa jadi ada satu persoalan hukum yang tidak diselesaikan melalui jalur pengadilan melainkan diserahkan penyelesaiannya pada keputusan anggota polisi. Apalagi secara faktual tidak setiap kasus kecelakaan lalu lintas selalu berakhir di pengadilan.Kasus kecelakaan lalu lintas lebih sering berakhir dengan perjanjian damai di antara kedua belah pihak atau lebih, hal ini dimungkinkan karena UU LLAJ memberikan peluang kepada aparat kepolisian untuk memfasilitasi upaya perdamaian di luar pengadilan. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 236 ayat (2) UU LLAJ: “Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat.”
Penggunaan diskresi Kepolisian menjadi isu yang menarik untuk diteliti karena korelasinya dengan proses penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas, tentunya penggunaan diskresi ini tidak dimaksudkan sebagai solusi satu-satunya untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas namun sebagai salah satu pintu keluar dalam menyelesaikan problematika yang timbul sebagai efek adanya kecelakaan lalu lintas. Meski dalam Surat Kapolri Nopol B/3022/ XII/2009/Sdeops tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) untuk kasus yang sudah mendapatkan keputusan dari Kapolda tidak boleh disentuh oleh tindakan hukum lagi, namun hal ini sangat rawan
disalahgunakan oleh oknum aparat penegak hukum. Harusnya diatur yang jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan mengenai mekanisme diversi untuk kasus kecelakaan lalu lintas, untuk menjamin kepastian hukum.
Kecelakaan lalu lintas merupakan kata yang biasa digunakan untuk menguraikan kegagalan kinerja satu atau lebih komponen pengendaraan, yang mengakibatkan kematian, luka badan, dan atau kerusakan harta benda atau disebut pula dengan kerugian materil. Secara teoritis kecelakaan lalu lintas dapat dilihat dari aspek legalitas atau sesuai dengan aspek hukum. Menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan atau pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan kerugian harta benda.3 Korban kecelakaan lalu lintas dapat berupa korban luka ringan, luka berat dan meninggal dunia diperhitungkan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan terjadi.4 Kecelakaan biasanya terjadi berawal dari ketidak patuhan pengguna jalan terhadap peraturan lalu lintas.
Kurangnya kesadaran hukum dari pengendara kendaraan bermotor atas apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan menjadi titik awal terjadinya kecelakaan. Mobilitas kendaraan bermotor yang semakin pesat sangat berpengaruh dalam hal banyaknya kecelakaan di jalan raya, yang berakibat korban luka, meninggal dunia dan kerusakan pada kendaraan yang mengakibatkan terjadinya kerugian materil bagi pengendara kendaraan bermotor tersebut.
3Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96
4Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1528
Model pendekatan keadilan restoratif ini banyak digunakan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja atau tindak pidana yang berkaitan dengan penduduk asli tertentu (indigineous offenders). Sementara itu, Eva Achjani Zulfa5 berpendapat bahwa pada dasarnya penerapan pendekatan keadilan restoratif ini sangat mungkin diterapkan dalam berbagai jenis tindak pidana yang sifatnya umum dan bukan merupakan perbuatan yang pelaku dan korbannya tidak dapat teridentifikasi secara jelas, bersifat politis dan mengancam keselamatan masyarakat secara luas.Selain itu, patut pula diperhatikan bahwa penanganan tindak pidana yang mengancam hak hidup (nyawa) dan tubuh serta kehormatan kesusilaan, perlu dipertimbangkan perlu tidaknya penerapan pendekatan keadilan restoratif mengingat karakteristik kasus dan sifat berbahayanya tindak pidana terhadap masyarakat. Sementara terhadap tindak pidana yang mengancam harga diri (nama baik) dan hak milik (harta benda), sifat privat dari jenis tindak pidana ini menjadikan penanganan tindak pidana dengan menggunakan keadilan restoratif secara murni dapat diterapkan. Kerugian yang mengacu pada kepentingan orang-perorangan memungkinkan model penyelesaian
5Dalam disertasinya Eva Achjani Zulfa melakukan penelitian terhadap beberapa putusan pengadilan yang ternyata menunjukkan bahwa hakim menjadikan perdamaian sebagai dasar peringan atau penghapus pidana.Namun demikian, dalam kasus dimana tindak pidana yang dilakukan dianggap bersifat berbahaya dan mengancam serta meresahkan masyarakat luas, perdamaian antara pelaku dan korban tidak diperhitungkan sebagai baik alasan peringan maupun penghapus pidana. Sebagai contoh, Putusan Mahkamah Agung No. 2127 K/Pid/2001 dalam kasus kelalaian yang menyebabkan orang lain luka (perkara lalu lintas), mempertimbangkan perdamaian sebagai alasan penghapus pidana ; namun Putusan Mahkamah Agung No. 15 K/Pid/2007 dalam kasus eksploitasi seksual terhadap anak dibawah umur 15 tahun tidak mempertimbangkan
“perdamaian” melalui upaya pelaku menikahi korban sebagai alasan peringan atau penghapus pidana sehingga pelaku tetap dipidana.Lihat Ringkasan Disertasi, Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Fakultas Hukum Pogram Studi Ilmu Hukum Kekhususan Sistem Peradilan Pidana Universitas Indonesia, Depok, 20 Juni 2009 (tidak dipublikasi) Dalam pendekatan keadilan restoratif: Upaya melibatkan partisipasi korban dan pelaku secara langsung dalam penyelesaian perkara pidana, olehNefa Claudia Meliala, email:
[email protected]., diakses 17-11-2015, pukul 17.40 WIB.
melalui jalur musyawarah dan mediasi menjadi lebih terbuka keselamatan masyarakat secara luas. Selain itu, patut pula diperhatikan bahwa penanganan tindak pidana yang mengancam hak hidup (nyawa) dan tubuh serta kehormatan kesusilaan, perlu dipertimbangkan perlu tidaknya penerapan pendekatan keadilan restoratif mengingat karakteristik kasus dan sifat berbahayanya tindak pidana terhadap masyarakat. Sementara terhadap tindak pidana yang mengancam harga diri (nama baik) dan hak milik (harta benda), sifat privat dari jenis tindak pidana ini menjadikan penanganan tindak pidana dengan menggunakan keadilan restoratif secara murni dapat diterapkan. Kerugian yang mengacu pada kepentingan orang-perorangan memungkinkan model penyelesaian melalui jalur musyawarah dan mediasi menjadi lebih terbuka dan menjadi legal dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya menjadi alasan penulis untuk mengungkap ke permukaan Permasalahan tentang kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya kerugian materil yang diselesaikan di luar peradilan atau penyelesaian sengketa alternative yang dibahas secara lebih mendalam dan lebih mendetail pada bab-bab selanjutnya dalam penelitian ini guna memberikan kontribusi bagi pembaharuan hukum pidana lalu lintas di Indonesia di masa depan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyelesaian sengketa dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dibandingkan dengan penyelesaian melalui peradilan/litigasi?
2. Bagaimana Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Alternatif terhadap ganti rugi tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban material di wilayah Hukum Polda Sumatera Utara?
3. Apa hambatan-hambatan dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif ganti rugi terhadap tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban material di wilayah Hukum Polda Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami secara lebih mendalam tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Alternatif terhadap tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban material di wilayah Hukum Polda Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui Alasan-alasan dilakukannya Penyelesaian Sengketa Alternatif terhadap tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban material di wilayah Hukum Polda Sumatera Utara 3. Untuk mengetahui Bagaimana legalitas dilakukannya Penyelesaian Sengketa Alternatif terhadap tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban material di wilayah Hukum Polda Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini dapat dilihat secara teoritis dan praktis yaitu:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam ilmu hukum khususnya di bidang hukum lalu lintas dan angkutan jalan bagi aparatur penegak hukum khususnya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan serta para pihak yang terkait, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam menangani masalah-masalah kecelakaan lalu lintas di jalan raya dengan korban jiwa maupun luka-luka pada umumnya dan korban material pada khususnya. Dengan sumbang saran melalui penelitian ini diharapkan bahwa penanganan kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan luka-luka pada umumnya maupun yang mengakibatkan korban materil pada khususnya dapat ditangani secara lebih bijaksana sehingga dapat memenuhi rasa keadilan.Sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 tahun 2009.
2. Secara Praktis
a. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberi manfaat dan sumbang saran kepada para pihak yang berkepentingan dalam hal ini Institusi Kepolisian, Polisi Lalu Lintas khususnya sebagai garda terdepan di dalam penanganan kasus kecelakaan lalu lintas dan menjadi referensi di dalam proses penyidikan.
b. Menjadi satu Rool Model bagi masyarakat yang terlibat perkara kecelakaan lalu lintas khususnya bagi korban yang mengalami kerugian material dapat dengan mudah memperoleh hak-haknya, contohnya di dalam ganti kerugian akan kendaraan yang rusak akibat kecelakaan lalu lintas.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap literatur yang ada khususnya di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sepanjang yang penulis ketahui, sampai saat ini belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa lain dengan judul, “alternative penyelesaian sengketa (APS) ganti rugi terhadap kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban material di jalan raya (Studi Pada Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara)”.
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan lalu lintas dapat dikemukakan di bawah ini, namun permasalahan dan kajiannya berbeda, yaitu : 1. Tesis atas nama Pria Alfisol Rahardi, mahasiswa Program Studi Magister
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, Program Pascasarjana Universitas Jember, Tahun 2016, dengan judul “Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Melalui pendekatan Alternative Dispute Resolution”.
Permasalahan yang diteliti adalah :
a. Apakah Pendekatan melalui Alternative Dispute Resolution dapat dijadikan alternatif penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas?
b. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam merumuskan pendekatan melalui Alternative Dispute Resolution terkait Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?
2. Skripsi atas nama Andre Jevi Surya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bagian Hukum Pidana, Tahun 2015 dengan judul : “Analisis Penyelesaian Kecelakaan Lalu Lintas Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif” (Studi di Kota Bandar Lampung). Permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimanakah cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif?
b. Bagaimanakah dampak bagi korban, pelaku, dan masyarakat dari proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif di Kota Bandar Lampung?
3. Tesis atas nama Boxgie Agus Santoso, mahasiswa Program studi ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, tahun 2014 dengan judul “Model Penyelesaian Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas.” Permasalahan yang diteliti adalah : a. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban anak sebagai pelaku dalam
kecelakaan lalu lintas?
b. Bagaimanakah kedudukan anak dihadapan hukum sebagai pelaku dalam kecelakaan lalu lintas?
c. Bagaimanakah model penyelesaian hukum yang ideal bagi anak sebagai pelaku dalam kecelakaan lalu lintas?
4. Skripsi atas nama Arie Daryanto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Tahun 2012, dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pengemudi Kendaraan Roda Empat Yang Karena Ugal-Ugalan Di Jalan Raya Mengakibatkan Kematian Orang Lain” (Studi Kasus Pengadilan Kelas I A Padang). Permasalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengemudi kendaraan roda empat yang karena ugal-ugalan mengakibatkan kematian orang lain di jalan raya?
b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang yang karena ugal-ugalan mengakibatkan kematian orang lain?
5. Skripsi atas nama Antonio S. Padaga, mahasiswa Fakultas Hukum Bagian Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin, Tahun 2012 dengan judul:
“Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan lalu lintas di Kota Makassar”. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Upaya apa yang dapat ditempuh oleh korban kecelakaan lalu lintas di Kota Makassar dalam rangka pemenuhan haknya untuk mendapatkan Restitusi?
b. Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam upaya pemenuhan Restitusi bagi korban kecelakaan lalu lintas di Kota Makassar?
Dengan demikian sampai saat ini penulis yakin bahwa penelitian disertasi ini benar-benar asli adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.6 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.7 Teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Negara hukum (grand theory), teori sistem hukum (middle theory) dan teori keadilan dan kepastian hukum gustav radbruch (applied theory)
a. Grand Theory Negara Hukum
Konsep negara hukum yang menganut paham “rule of law,” menurut
Dicey mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) HAM dijamin lewat undang-undang, (2) persamaan di muka hukum (equality before the law), (3) supremasi aturan-
aturan hukum dan tidak ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.
Menurut Emanuel Kant dan Julius Stahl negara hukum mengandung 4 (empat) unsur, yaitu: (1) adanya pengakuan HAM, (2) adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, (3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), (4) adanya peradilan tata usaha negara.8 A. Gunawan Setiardja mengatakan bahwa dalam negara-negara yang demokratis terdapat ciri- ciri khas: a. adanya pemilihan umum yang bebas dan rahasia; b. adanya dua atau
6 M. Solly Lubis, FilsafatIlmudanPenelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
7 Lexy J. Moleong, MethodePenelitianKualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 101.
8 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999, hal. 22.
lebih partai politik; c. kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam batas-batas yang cukup luas; d. HAM dihargai dan dijunjung tinggi; e. kekuasaan para penguasa tidak tak terbatas.9
Dalam hukum diatur rambu-rambu berikut:
1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights and freedoms of others);
2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui oleh umum (the generally accepted moral code);
3. Menghormati ketertiban umum (public order);
4. Menghormati kesejahteraan umum (general welfare);
5. Menghormati keamanan umum (public safety);
6. Menghormati keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national and social security);
7. Menghormati kesehatan umum (public health);
8. Menghindarkan penyalahgunaan hak (abuse of right);
9. Menghormati asas-asas demokrasi;
10. Menghormati hukum positif.10
Asas-asas yang merupakan pembatas pengaturan hak dan kewajiban warga negara, yang paling sedikit sebagai berikut: 1. Asas legalitas; 2. Asas negara hukum; 3. Asas penghormatan terhadap martabat kemanusiaan; 4. Asas bahwa segala pembatasan HAM merupakan perkecualian; 5. Asas persamaan dan non
9 A. Gunawan Setiardja. 1993. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.
Yogyakarta: Kanisius. Op-cit., hal. 94.
10 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Op-cit., hal. 62-63.
diskriminasi; 6. Asas non-retroaktivitas (peraturan tidak berlaku surut); 7. Asas proporsionalitas.11
Pengakuan terhadap hak negara untuk mengatur dalam kerangka kebijakan sosial (social policy), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) maupun kebijakan keamanan sosial (social defence policy).
Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi. Dalam negara hukum, rambu-rambu pengaturan ini terbentuk dalam asas-asas hukum.
Asas-asas hukum mempunyai karakteristik antara lain:
a. Merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dituntut oleh rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan yang bersifat langsung dan menonjol;
b. Merupakan ungkapan-ungkapan yang sifatnya sangat umum, yang bertumpu pada perasaan yang hidup pada setiap orang;
c. Merupakan pikiran-pikiran yang memberikan arah/pimpinan, menjadi dasar kepada tata hukum yang ada;
d. Dapat diketemukan dengan menunjukan hal-hal yang sama dari peraturan yang berjauhan satu sama lain;
e. Merupakan sesuatu yang diyakini oleh setiap orang, apabila mereka ikut serta bekerja mewujudkan undang-undang;
f. Dipositifkan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun yurisprudensi;
11 Ibid, hal. 63.
g. Tidak bersifat transendental atau melampaui alam kenyataan dan dapat ditangkap oleh panca indera;
h. Artikulasi dan penjabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi-kondisi sosial, sehingga open-ended, multi-interpretable dan dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan bukannya bersifat absolut;
i. Berkedudukan relatif otonom, melandasi fungsi pengendalian masyarakat dan penyelenggara ketertiban;
j. Legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum;
k. Berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-pejabat resmi (penguasa), sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya dalam hukum positif. 12
Secara teoritis, dibedakan adanya 3 (tiga) alasan berlakunya hukum:
1. Berlakunya secara yuridis, terdapat pandangan-pandangan sebagai berikut:
a. Hans Kelsen dalam teorinya: The Pure Theory of Law mengatakan bahwa hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (berdasar teori: Stufenbau des Rechts);
b. Zevenbergen dalam: Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila kaidah hukum tersebut terbentuk menurut cara-cara yang telah ditetapkan;
12 Ibid, hal. 49-50.
c. Logemann dalam Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berlaku apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya.
2. Berlakunya secara sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hukum.
Terdapat dua teori pokok yang menyatakan bahwa:
a. teori kekuasaan yang menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dan hal itu adalah terlepas dari masalah apakah masyarakat menerimanya atau bahkan menolak;
b. teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat
3. Berlakunya secara filososfis, artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.13
Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan sendirinya menuntut berbagai konsekuensi antara lain:14
“1. Hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasar rule of law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum bukan oleh manusia. Peran rule of law dalam kehidupan masyarakat, menjadi unsur landasan (basic ingredient) tata tertib kehidupan dari pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya paksa yang dilakukan dalam setiap penyelesaian sengketa baik pidana maupun perdata harus sesuai dengan proses yang ditentukan oleh hukum (due process of law) berdasar atas: equal treatment before the law atau equal dealing (perlakuan yang sama di depan hukum); equal protection of the law (perlindungan yang sama di depan hukum).
2. Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka, memberi kewenangan kepada badan peradilan menjadi “katub
13 Soerjono Soekanto. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986, hal.34-35.
14 M. Yahya Harahap. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 33-39.
penekan” atau “pressure valve”: atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapa dan pihak manapun tanpa kecuali; atas segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional (unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan (reasonableness).
3. Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan kekuasaan kehakiman sebagai “katub penekan” dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai “tempat terakhir” atau “the last resort”
dalam upaya penegakan “kebenaran dan keadilan.” Dalam hal ini, tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), apabila timbul sengketa atas pelanggaran hukum.
4. Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana “penegakan hukum.” Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai “Judciary as the upholders of the rule of law.” Pemberian kekuasaan kepada kekuasaan kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan sendirinya menempatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga atau institusi alat negara yang bertindak sebagai: “penjaga kemerdekaan masyarakat”
(“in guarding the freedom of society”); kekuasaan kehakiman sebagai wali masyarakat (judiciary is regard as custodian of society).
5. Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak “tidak demo- kratis secara fundamental”. Sesuai dengan kemerdekaan dan kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman, badan-badan peradilan dibenarkan bertindak dan mengambil putusan
“fundamentally undemocratic.” Pada saat peradilan mengambil tindakan dan putusan: tidak membutuhkan akses dari siapapun; tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun; dan tidak perlu meminta kompromi dari pihak yang berperkara.
6. Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan kekuasaan peradilan. Kerangka imunitasnya, mengandung arti: imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan (the immunity of judges); sifat imunitasnya absolut dan total, dalam arti mereka tidak dapat dituntut atas pelaksanaan yustisial, meskipun tindakan yang dilakukannya malapraktik (malpractice), melampaui batas kewenangan (exceeds his authority) atau melakukan kesalahan proses (procedural error). “
Radbruch mengemukakan 3 (tiga) aspek dari idea hukum yaitu kepastian hukum (rechtsicherheit), kegunaan (zweckmassigkeit) dan keadilan
(gerechtigkeit).15 Menurut B. Arief Sidharta ketiga unsur tersebut merupakan perwujudan dari cita hukum. Cita hukum itu terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan, dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan.16 Kepastian hukum merupakan kehendak setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam peristiwa konkrit. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum, ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum.17
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.18 Berkaitan dengan penegakan hukum ini, B. Arief Sidharta mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).19
15 Meuwissen. Pengembanan Hukum. dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XII Nomor 1 Januari 1994, Bandung: FH Unpar, hal. 78.
16 B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 1999, hal.181.
17 Franz Magnis Suseno. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, hal.
79.
18 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 2.
19 B. Arief Sidharta. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia). Bandung: Mandar Maju. Op-cit., hal. 180.
Kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas materil/
substansial. Strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum harus ditujukan pada kualitas substansif seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat saat ini, yaitu antara lain:
a. adanya perlindungan HAM;
b. tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama;
c. tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan;
d. bersih dari praktik favoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi dan nepotisme dan mafia peradilan;
e. terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode etik/kode profesi;
f. adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.20
Perumusan hak dan kedudukan warga negara di hadapan hukum merupakan penjelmaan dari salah satu sila Pancasila yaitu sila Keadilan Sosial.
Kedudukan seorang warga negara di dalam hukum di Indonesia yang merupakan republik yang demokratik berlainan sekali dengan negara yang berdasar supremasi rasial maupun berdasarkan agama, negara kerajaan (feodal) atau negara kapitalis.21 Agar hukum berkembang dan dapat berhubungan dengan bangsa lain sebagai sesama masyarakat hukum, perlu dipelihara dan dikembangkan asas-asas
20 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal.14-15.
21 Moctar Kusumaatmadja. Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2 April 1997, Bandung: FH Unpar, hal. 3-4.
dan konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang universal.22
Asas-asas yang merupakan pencerminan dan tekad dan asosiasi sebagai bangsa yang mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan bangsa Indonesia terkandung dalam UUD 1945 dan mukadimahnya yang merupakan pencerminan dari falsafah Pancasila. Asas persatuan dan kesatuan dan kebangsaan yang mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum Nasional berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia. Asas Ke-Tuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan terhadap agama. Asas demokrasi mengama- natkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis terakhir kekuasaan ada pada rakyat dan wakil-wakilnya. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum. Asas kesatuan dan persatuan tidak berarti bahwa kenyataan adanya keanekaragaman budaya tidak perlu diperhatikan. “Bhinneka Tunggal Ika”
merupakan motto negara yang mencerminkan keanekaragaman budaya itu. Lagi pula merupakan kenyataan dalam negara yang secara geografis terdiri dari beribu- ribu pulau yang tersebar dalam suatu negara yang terdiri dari darat (pulau) dan laut (air) yang meliputi tiga zona waktu.
22 Ibid, hal. 5.
Membangun hukum berdasarkan Wawasan Nusantara berarti membangun hukum nasional dengan memadukan tujuan membangun hukum nasional yang satu atau menyatukan dengan memperhatikan keanekaragaman budaya dari penduduk yang mendiami suatu negara kepulauan.23 Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini seperti yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen ke-3 yang menentukan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Selain itu, konsep Negara hukum Indonesia juga ditemukan pada konsideran KUHAP huruf a yang menentukan bahwa “bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).24
Teori Negara hukum dalam kaitannya dengan judul penelitian ini terlihat dari “dengan mengancam pidana tingkah laku manusia, berarti negara mengambil alih tanggung jawab mempertahankan peraturan-peraturan yang telah ditentukan yang tidak lagi diserahkan kepada orang-perorangan. Negara dalam hal ini memikul tugas menyidik dan menuntut pelanggaran peraturan yang berisi
23 Ismail Sunny, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 123.
24 Jamaluddin Karim, Politik Hukum Legalistik, Imperium, Jogjakarta, 2013, hlm 1
ancaman pidana. Dalam konteks ini, negara justru hadir untuk mencegah terjadinya tindakan “main hakim sendiri”. Namun demikian, saat ini pemikiran tersebut justru dihadapkan pada realita kebutuhan masyarakat atas mekanisme penyelesaian perkara pidana yang dianggap lebih mengakomodasi partisipasi dan aspirasi korban dan pelaku.
b. Middle Range Theory Teori Sistem
Teori sistem hukum yang dipopulerkan oleh Lawrence M. Friedman25 merupakan middle theory dalam penelitian ini. Lawrence M. Friedman menyatakan yang dimaksud dengan sistem hukum adalah gabungan 3 (tiga) unsur yang meliputi :
a. Struktur hukum yaitu kelembagaan, proses pembentukan, pelaksanaan penegakan hukum dan penyelenggaraan hukum;
b. Substansi hukum, yaitu asas dan kaidah hukum;
c. Budaya hukum, yaitu persepsi/pandangan masyarakat terhadap hukum.
Ketiga unsur diatas merupakan elaborasi lebih lanjut dari sistem hukum dalam konteks hukum yang diarahkan dan difungsikan sebagai sarana pembangunan masyarakat. Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan 26 To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction. Strukture also means how the legislature is organized what procedures the police department
25Lawrence M. Friedman, American Law, 1998, hal. 1.
26Ibid., hal. 5-6.
follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system a kind of still photograph, with freezes the action.”
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya.
Struktur juga berarti bagaimana badan legislative ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan- ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Substansi hukum menurut Friedman adalah:
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law books”.27 Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.
27 Ibid.
Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat :“The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and legal system their belief …in other word, is the climinate of social thought and social force wicch determines how law is used, avoided, or abused”.28 Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.
Bila dikaitkan dengan judul penelitian “penyelesaian sengketa alternatif dalam kecelakaan lalu lintas terhadap korban yang mengalami kerugian material”, maka teori Teori sistem hukum yang dipopulerkan oleh Lawrence M. Friedman,
28 Ibid.
“Dengan seringnya terjadi perdamaian dalam kasus kecelakaan lalu lintas”
menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat, secara sosiologis (budaya), menghendaki adanya lembaga APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) dalam hukum pidana. Bila dikaji berdasarkan teori Lawrence M Friedman maka dapat dikatakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.
Budaya hukum dari masyarakat memegang peranan penting untuk terlaksananya penegakan hukum berlalu lintas di Indonesia. Dalam hal kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban material dimana Pasal 310 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tidak mencerminkan suatu keadilan bagi korban karena hanya menghukum pelaku penyebab kecelakaan lalu lintas dengan hukuman maksimal 1 tahun atau denda 1 juta rupiah. Ketentuan Pasal 310 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tidak mencerminkan suatu keadilan baik bagi pelaku penyebab kecelakaan lalu lintas maupun korban kecelakaan lalu lintas yang meyebabkan korban materil tersebut, oleh karena itu berdasarkan teori Lawrence M. Friedman tersebu maka berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung kepada peraturan perundang-undangan yang dapat diterima oleh masyarakat suatu peraturan yang mencerminkan keadilan bagi para pihak. Ketentuan Pasal 310 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tersebut bukan merupakan suatu ketentuan
yang diterima oleh masyarakat karena tidak mencerminkan suatu keadilan bagi pelaku maupun korban kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban materiil tersebut, oleh karena itu dibutuhkan suatu ketentuan hukum yang lebih adil dengan menempuh jalur alternatif selain ketentuan pidana yang termuat di dalam Pasal 310 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tersebut. Ketentuan hukum tersebut harus sesuai dengan budaya hukum dari masyarakat yang diaturnya.
Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan suatu lembaga peradilan non litigasi yang menangani permasalahan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban materil dimana baik pelaku maupun korban dapat memperoleh suatu putusan yang mencerminkan suatu keadilan berdasarkan win win solution. Dasar filosofis terhadap perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil adalah ganti rugi, sehingga pihak yang dirugikan harus memperoleh ganti kerugian atas barang-barang dan kendaraan yang rusak oleh karena perbuatan pelaku yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban materil tersebut.
Ganti rugi merupakan suatu perbuatan hukum yang dibutuhkan oleh korban kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban materil karena telah mengalami kerugian karena barang-barangnya termasuk kendaraannya mengalami kerusakan akibat kelalaian pelaku yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut. Oleh karena itu ketentuan Pasal 310 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang lebih menekankan sanksi pidana terhadap pelaku adalah kurang tepat karena yang dibutuhkan oleh korban adalah ganti rugi atas barang-barang atau kendaraan miliknya yang mengalami kerusakan tersebut, oleh karena itu