• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harmonisasi Mediasi Dalam Perspektif Perdamaian/Dading

MELALUI PERADILAN

E. Harmonisasi Mediasi Dalam Perspektif Perdamaian/Dading

Dalam menghadapi situasi yang menekan akseptibilitas pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien dengan azas yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat dengan memanfaatkan mekanisme ADR dalam prosedur pengadilan. Adanya kewajiban bagi hakim (pasal 130 HIR/154 RBg) untuk pertama-tama mengusahakan perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa. Hanya saja praktek selama ini menunjukkan bahwa Hakim tampak tidak bersungguh-sungguh mendorong pihak-pihak untuk mengupayakan perdamaian tersebut. Hakim tidak berusaha melakukan mediasi. Tetapi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa Hakim Indonesia tidak terlatih untuk melakukan tugas semacam itu.

Suatu mekanisme ADR melalui pasal 130 HIR/154 RBg akan sangat

efektif jika berhasil, karena kesepakatan pihak-pihak dalam perdamaian tersebut akan dituangkan dalam akta perdamaian, yang sekaligus mempunyai kekuatan sebagai putusan yang telah in Kracht Van Gewijsde serta mempunyai titel eksekutorial. Pemanfaatan ADR melalui pengadilan jika berhasil pada kesepakatan di samping efektif dan efisien juga akan dapat mengurangi potensi tunggakan perkara di tingkat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, karena kesepakatan yang telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap telah menutup kemungkinan akan upaya-upaya hukum banding dan kasasi.

Mahkamah Agung–RI atas dasar kewenangan yang dimilikinya telah melakukan terobosan besar dengan mengeluarkan SEMA No.l Tahun 2002 tanggal 30 Januari 2002 tetapi banyak kekurangan yang segera terlihat dalam aturan SEMA yang seharusnya merinci pelaksanaan upaya perdamaian yang dilakukan hakim sebelum sidang perkara secara adversarial dilakukan.

Melengkapi surat edaran tersebut, Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) No.02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sekaligus mengadopsi prinsipprinsip hukum modern mengenai ADR. Sebenarnya pengenalan akan konsep ADP ini sudah diperkenalkan sejak lama di Indonesia, hanya sifatnya secara spradis.

Pelbagai ketentuan dalam perundang–undangan telah memperkenaikan metode penyelesaian sengketa melalui proses ADR yang independen.

Disamping itu Undang–Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Sian Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang lebih mempertegas keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pasal 1 angka

10 dinyatakan : “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”. Akan tetapi undang-undang ini tidak mengatur dan memberikan definisi lebih rinci dari lembaga-lembaga alternatif tersebut, sebagaimana pengaturannya tentang arbitrase. Walaupun demikian, kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di Iuar pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah arbitrase saja.

Sejarah ADR yang sekarang dicoba untuk di adopsi dalam proses perdamaian Pengadilan Negeri, menghendaki adanya sifat flexible, sederhana, efisien, efektif dan comfidential sehinga Court Annexed Dispute Resolution atau lebih spesifik Court Annexed Mediation tersebut akan memakai prinsip-prinsip ADR dalam pasal 130 HIR/154 RBg tersebut dalam proses perdamaian (yang di Singapura disebut sebagai tahap Pre Trial Conference-PTC). Semua mekanisme ADR yang dikenal adalah prosedur yang bersifat konsensual, dimana pihak-pihak secara sukarela menyetujui baik sebelum sengketa melalui klausula dalam perjanjian yang mengikat pihak-pihak, maupun sesudah timbulnya sengketa dituangkan dalam kontrak. Oleh sifatnya yang konsensual, baik dalam prosedur maupun pihak ketiga yang dipilih sebagai mediator, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa. Code praktek yang termuat dalam The Law Institute of Victoria's Mediation, menyatakan agar proses mediasi memiliki

integritas, maka sangat penting bahwa mediator bersikap impartial dan independen. Setiap faktor yang kelihatan boleh mempengaruhi imparsialitasnya harus segera dan sepenuhnya diungkapkan. Jikalau seorang mediator memiliki hubungan dengan salah satu pihak atau dengan masalah yang dipersengketakan.

Mediator yang demikian seyogianya mengundurkan diri.133 Persyaratan- persyaratan ini menunjukkan pentingnya mediator tidak memiliki kepentingan pribadi dalam sengketa yang tengahinya. Hal ini juga ikut diadopsi ke dalam PERMA No.02 Tahun 2003 tersebut dengan menaati kode etika mediator. Jika kita kembali melihat pada lembaga dading, atau lebih dikenal dengan sebutan perdamaian, baik yang dilakukan dalam perkara perdata oleh dan di hadapan Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa perkara itu, maupun yang terjadi sebelum atau setelah perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri di luar sidang, maka hakin segera diketahui bahwa banyak perdamaian yang dilakukan di luar selain yang dilakukan di Pengadilan, tetapi ada perbedaan yang jelas antara perdamaian di luar sidang dengan perdamaian yang dilakukan di Pengadilan. Perdamaian yang dilakukan di luar persidangan mengikat para pihak. Diharapkan mereka akan tunduk dan taat melaksanakan perjanjian itu, tetapi manakala salah satu pihak tidak mau melaksanakan secara suka rela akan menjadi problem, karena perdamaian itu tidak dapat dimohonkan eksekusi ke Pengadilan. Perdamaian seperti itu biasanya berbentuk akta notaris tetapi tetap tidak dapat dimintakan pelaksanaannya kepada Pengadilan kalau salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian itu dengan sukarela. Bentuknya yang merupakan akta autentik hanya

133 M. Siahaan, Op. cit. hal. 132

dapat dijadikan alasan dalam gugatan meminta putusan serta merta. Begitu pula pasal 6 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, diuraikan langkah-langkah dalam melakukan perdamaian yang dimulai dengan negosiasi, tenggang waktunya dan sebagianya.

Kalau sudah tercapai perdamaian maka perdamaian itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Apakah fungsi pendaftaran itu mempunyai kedudukan yang sama dengan putusan perdamaian. Jelas tidak, karena fungsi pendaftaran disini seperti juga akta atentik, kalau tidak dilaksanakan dengan sukarela, tidak bisa dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri, yang dapat dilakukan adalah menggugat kembali. Dengan demikian ada dua macam perjanjian perdamaian, yang dilakukan di luar Pengadilan yang jika tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak tidak dapat langsung dieksekusi. Berbeda dengan akte perdamaian melalui putusan perdamaian di Pengadilan Negeri yang bersifat final dan banding, sehingga potensi permohonan banding dan kasasi atas perkara tersebut akan sendirinya hilang. Tepatlah kalau dikatakan pemberdayaan lembaga perdamaian tersebut sesungguhnya merupakan salah satu strategi yang ditempuh untuk mengatasi tunggakan perkara di Mahkamah Agung.

Keluarnya SEMA No.l Tahun 2002 kemudian disempurnakan dengan SEMA No.02 Tahun 2003 tersebut sebagai satu trend yang universal dari lembaga alternatif dispute resolution, yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang telah disebut di atas, yang kemudian berkembang dengan apa yang disebut court annexed dispute resolution, yang sebenarnya secara pokok telah ada dasar hukumnya dalam pasal 130 HIR/I54 RBg, dapat mendorong para pihak untuk

menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Tingkat Pertama. Kini Mediasi telah menjadi hukum positif dalam beracara di Pengadilan Negeri. Dengan pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di Pengadilan. Mediasi merupakan salah satu proses yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Istitusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan akan memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudicative).

Dalam rangka itu Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan No.

KMA/159/SK/XII/2003 tentang Penunjukan Pengadilan Negeri sebagai Pelatihan Mediasi yang menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batu Sangkar sebagai pilot proyek yang dibina dan diamati secara khusus dalam pelaksanaan dan pengembangan mediasi (lihat lampiran). Masih menyisakan pertanyaan bagaimanakah harmonisasi Mediasi dalam persfektif dading. Apakah dengan memperlakukan Mediasi di Pengadilan ini, sinkron atau tidak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Satu-satunya peraturan yang khusus mengatur ADR adalah Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Satu-satunya pula pasal yang mengatur

penyelesaian sengketa dalam undang-undang tersebut adalah Pasal 6. Sehubungan pasal tersebut ada beberapa hal yang belum jelas, mengenai:

1. Tahap-tahap

Apakah para pihak wajib melalui (compulsory) secara berurutan tahap negosiasi dan apabila gagal, selanjutnya melangkah ke Mediasi, dan apabila gagal lagi mencapai kesepakatan, melanjutkan perkara ke Arbitrase. Apakah para pihak dapat langsung ke Mediasi atau Arbitrase tanpa melalui negosiasi.

Menurut Ahmad Santosa bahwa negosiasi dan mediasi adalah prior to arbitrase, namun menurut Umar Zen bahwa Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencakup negosiasi dan Mediasi adalah berdiri sendiri dan bukan bagian dari Arbitrase, lalu beliau menyatakan bahwa BANI melakukan proses Arbitrase tanpa para pihak harus melalui negosiasi atau dan Mediasi.

2. Jangka waktu

Tentang jangka waktu 14 hari, apakah itu bersifat wajib, dan kalau demikian, penghitungannya dimulai sejak kapan.

3. Konsiliasi

Bahwa UU No.30 Tahun 1999 tidak mengatur konsiliasi.

4. Juridiksi Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Juridiksi arbitrase adalah tentang masalah perdagangan sedangkan juridiksi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) tidak diatur tentang apa saja.

5. Ketentuan pasal-pasal Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ketentuan pasal-pasal lembaga arbitrase diatur secara jelas dan rinci

sedangkan Alternative Penyelesaian Sengketa hanya dalam pasal 6 saja, oleh karena itu Undang-undang No.30 Tahun 1999 seakan peraturan yang hanya mengatur tentang arbitrase.

6. Wajib daftar ke Pengadilan Negeri

Kesepakatan wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Cara pelaksanaannya tidak dirinci dan sampai sekarang, setahu kita pendaftaran ini belum pernah dilaksanakan.

7. Sengketa dan beda pendapat

Kurang memberi pengertian perbedaan sengketa dan beda pendapat.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa alternative (PSA) telah disebutkan di muka, dihubungkan dengan UU No.30 Tahun 1999, maka :

1. Undang-undang No.30 Tahun 1999 tidak mengatur konsiliasi namun beberapa peraturan mengatur konsiliasi misalnya dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 mengatur konsiliasi oleh seorang konsiliator.

2. Pasal 6 UU No.30 Tahun mengatur tentang perdamaian/kesepakatan atas sengketa atau beda pendapat. Namun pasal tersebut kurang memberi pengertian dari penyelesaian sengketa dan beda pendapat. Berbeda dengan KUH Perdata dalam pasal 1851 bahwa perdamaian itu dilakukan atas sengketa yang telah ada. KUH perdata tidak ada menyebutkan tentang perdamaian atas perbedaan pendapat. Di beberapa Negara, misalnya Singapore, penyelesaian perselisihan atas perbedaan pendapat dapat

dilakukan. Contoh kasus, di Singapore sering terjadi atas perkara yang sedang berjalan/diperiksa di Pengadilan, para pihak yang berperkara datang ke SMC tmtuk meminta menyelesaikan perbedaan pendapat atas satu hal.

3. UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah dipertentangkan oleh para ahli hukum Indonesia dan Priyatna menyatakan kesalahan dalam pembuatan UU tersebut adalah karena badan legislative membuang pasal-pasal tertentu dari rancangan yang telah dipersiapkan134 UU No.30 Tahun 1999 untuk dirinya sendiri saja belum sinkron, sehingga peraturan perundang-undangan yang lain juga belum sinkron dengan UU No.30 Tahun 1999. Peraturan yang lain sebagaimana disebutkan di atas sendiri, mengatur modelnya sendiri-sendiri tanpa mempertalikan dengan peraturan-peraturan yang lain.

Sinkronisasi Lembaga Mediasi dalam pengembangan pasal 130 HIR/154 RBg terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, karena pasal 130 HIR/154 RBg sudah lama ada tidak perlu lagi dipertanyakan sinkronisasinya dengan peraturan yang lain. Namun demikian karena pasal tersebut hendak dikembangkan, maka untuk mempertahankan statusquo synchronization dengan peraturan yang lain sehingga terdapat harmonisasi, maka pembentukan Lembaga Mediasi dalam pengembangan pasal 130 HIR/154 RBg haruslah hati-hati dengan tetap berjalan di coridor jiwa dan philosophy pasal tersebut. Untuk mendukung pengembangan pasal tersebut terutama dalam pelaksanaan Mediasi terintegrasi dengan Pengadilan, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pengetahuan

134 Priyatna Abdurrasyd, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Pusat pengkajian Hukun dan Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 5

mereka (Hakim dan Panitera) sangat minim tentang ADR, perlu ditingkatkan.

Untuk itu pelaksanaan pelatihan tentang tehnik mediasi mutlak diperlukan (sekarang ini sedang dilangsungkan).