MENGAKIBATKAN KERUGIAN MATERIL DI PROPINSI SUMATERA UTARA
B. Mediasi Dalam Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas
Kasus kecelakaan lalu lintas adalah termasuk ke dalam rana hukum pidana dengan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum acaranya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Apabila kecelakaan tersebut terjadi karena kelalaian dari pengendara hingga korban meninggal dunia, maka akibat hukum bagi pembuat atau penyebab terjadinya kecelakaan tersebut diancam sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 358 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa: ”Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kematian orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”142
Bagi korban yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas terhadap nyawanya tidak mungkin dapat digantikan oleh siapapun dan apapun, bahkan
142Ari, P. Faktor-faktor penyabab terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas, Citra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 23
dengan uang triliunan Rupiah sekalipun.Dalam banyak kasus yang terjadi, ada keluarga korban yang mengintimidasi pelaku dengan mengancam “nyawa dibayar nyawa dan seterusnya”. Hal ini merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena, di dalam hukum pidana tidak dikenal hukuman nyawa ganti nyawa. Korban yang telah meninggal dunia tidak mungkin dapat hidup kembali meskipun pelaku dihukum mati atas kasus kecelakaan lalu lintas tersebut.
Mengenai ganti rugi materil dalam suatu kecelakaan lalu lintas diatur dalam Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, dimana pada Pasal 310 ayat (1) diatur tentang sanksi bagi pelaku yang karena kelalaiannya mengendarai kendaraan mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah). Selanjutnya pada ketentuan Pasal 310 ayat (2) mengatur tentang sanksi bagi pelaku yang juga karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah).
Pada ketentuan Pasal 310 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengatur tentang sanksi bagi pelaku yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Pada ketentuan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan mengatur sanksi tentang pelaku yang karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000 (dua belas juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal 310 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dimaksud di atas maka dapat dikategorikan tingkat kecelakaan lalu lintas ke dalam empat kriteria yaitu :
1. Kecelakaan yang menyebabkan kerusakan kendaraan dan/atau barang (kerugian materil) bagi pengendara diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah)
2. Kecelakaan menyebabkan “luka ringan” dan kerusakan kendaraan dan/atau barang diancam hukuman pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) 3. Kecelakaan menyebabkan “luka berat” diancam hukuman pidana
penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
4. Kecelakaan menyebabkan “orang meninggal dunia” diancam hukum pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
Berdasarkan kriteria tingkat kecelakaan lalu lintas yang telah diuraikan di atas maka yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah mengenai kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan terjadinya kerusakan kendaraan dan/atau barang (kerugian materil) bagi pengguna kendaraan dimana ancaman hukuman yang ditetapkan pada Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas adalah pidana penjara maksimal 6 (enam) bulan dan/atau denda maksimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah). Dalam prakteknya penerapan Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan sulit untuk diterapkan oleh para penegak hukum (polisi lalu lintas) di lapangan. Hal ini disebabkan karena ketentuan Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan hanya memuat sanksi pidana maksimal 6 (enam) bulan penjara dan/atau denda maksimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah). Dalam penyelidikan dan penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materil dari pengendara, langkah pertama adalah menentukan siapa yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti di lapangan yang mendukung tentang telah terjadi suatu kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya kerugian materil dan bukti-bukti tersebut dapat membuktikan siapa penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut.
Untuk menentukan siapa penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil membutuhkan keterangan dari para pengendara yang mengalami kecelakaan lalu lintas tersebut. Pada tahap ini sering kali dalam prakteknya para pengendara yang mengalami kecelakaan lalu lintas tersebut tidak menginginkan proses penyelidikan dan penyidikan tersebut berlangsung dan lebih menginginkan terjadinya perdamaian antara para pengendara yang mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil tersebut.
Hal ini mengakibatkan proses penyelidikan dan penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban material tersebut menjadi berhenti karena adanya perdamaian diantara para pihak yang mengalami kecelakaan tersebut. Hal ini menjadi dilema bagi penegakan hukum khususnya ketentuan Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang seharusnya diterapkan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut.
Bagi pengendara kendaraan bermotor yang memiliki kategori sebagai kendaraan mewah apabila terjadi kerusakan pada kendaraannya maka hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerugian materil yang cukup besar, sedangkan bagi pengendara yang mengendarai kendaraan bermotor dengan kategori kendaraan umum, maka kerugian materil yang harus dideritanya tidak sebesar kendaraan mewah tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakadilan dalam perdamaian yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya kerugian material tersebut. Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 hanya memberikan sanksi denda sebesar maksimal Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) terhadap pelaku yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan timbulnya kerugian materil tersebut.143
Penerapan Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada prakteknya cenderung tidak menyelesaikan masalah dan dirasa tidak adil.
Hal ini disebabkan karena pelaku yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan korban materil tersebut justru dikenakan sanksi penjara 6
143Dewanti, Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintasyang Mengakibatkan Terjadinya Korban Materil Dan Penanganan Kasusnya, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2012, hal. 62
(enam) bulan dan sanksi denda kepada negara sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) bukan sebaliknya diberikan sanksi untuk mengganti kerugian dari pihak korban yang telah mengalami kerugian materil yang cukup besar. Di dalam praktek di lapangan opini masyarakat pada umumnya terhadap suatu kecelakaan lalu lintas selalu menyatakan kendaraan yang lebih besar selalu dipandang salah, dan kendaraan yang lebih kecil selalu saja dianggap benar. Secara hukum tidak selamanya kendaraan yang lebih besar selalu salah dan kendaraan yang lebih kecil selalu benar apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas. Hal ini didasarkan pada siapa yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan atau siapa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut atau dengan kata lain siapa yang menggunakan kendaraan di jalan dengan tidak mematuhi aturan-aturan dan tidak mengutamakan ketertiban berlalu lintas yang baik sesuai dengan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut.144
Dalam setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai konsekuensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut.
Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus adalah diatur dalam Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang
144Mustari Surono, Penegakan Hukum Terhadap Tertib Berlalu Lintas di Jalan Raya, MitraIlmu, Surabaya, 2010, hal. 65
bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan.
Berikut dimuat tabel tentang jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2016 dan tahun 2017 yang terdata di wilayah hukum Polda Sumatera Utara.
Tabel 1.
Data Penyelesaian Perkara dan SP2HP Januari s/d Desember 2016
NO SATUAN WILAYAH JLH
26 RES NIAS SELATAN 26 2 5 0 7 27% 19
27 RES BATU BARA 329 3 164 0 167 51% 162
*) JUMLAH 6,276 96 3,029 15 3,240 52% 3,036
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah Hukum Sumatera Utara
Data diatas di wilayah Hukum Polda Sumatera Utara jumlah perkara kecelakaan lalu lintas 6.276 perkara yang lanjut ke JPU 96 perkara, SP3 3.029 perkara limpahkan ke instansi terkait 15 perkara, sehingga penyelesaian perkara adalah 3.240 perkara atau rata-rata sebanyak 52 %.
Tabel 2.
Data Penyelesaian Perkara dan SP2HP Januari s/d Desember 2017
NO SATUAN WILAYAH JLH
26 RES NIAS SELATAN 32 1 16 0 17 53 15
27 RES BATU BARA 267 10 202 0 212 79 55
*) JUMLAH 5,308 278 3,508 5 3,791 71 1,517
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah Hukum Sumatera Utara
Pada tahun 2017 Januari s/d Desember jumlah perkara kecelakaan lalu lintas 5.308 perkara, P21 278 perkara, SP3 3.508 perkara limpahkan ke instansi terkait 5 perkara, jumlah penyelesaian perkara adalah 3.791 perkara atau rata-rata 71 % adanya peningkatan dalam kriteria P21 antara tahun 2016 dibanding tahun 2017.
Tabel. 3
25 RES PAKPAK BARAT 11 1 13 12 123,000,000
26 RES NIAS SELATAN 26 12 14 31 23,000,000
27 RES BATU BARA 329 107 191 415 362,135,000
*) JUMLAH 6,276 1,765 2,593 6,802 14,499,180,000
Sumber : Direktorat Lalulintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah
Hukum Sumatera Utara Sumber : Direktorat Lalulintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah
Hukum Sumatera Utara
Dari tabel data diatas maka dapat dirangkum bahwa angka penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas pada tahun 2016 dan tahun 2017 secara umum rata-rata 50% saja dan penyelesaian tersebut dominan dalam kategori Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dan minim sekali yang P21, artinya penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas secara umum di selesaikan dengan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) oleh karena sudah adanya perdamaian kedua belah pihak dan para korban sudah membuat pernyataan untuk perkara tidak dilanjutkan ke pengadilan sehingga dalam hal ini pihak penyidik membuat kebijakan untuk melakukan kebijakan dan menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) padahal belum ada suatu acuan yang jelas untuk perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian material dapat dihentikan Tetapi oleh karena kepentingan sosial (para perkara bertikai) maka tindakan diskresi Kepolisian adalah salah satu pola yang tepat sehingga para pihak sudah merasa di Fasilitasi dan memperoleh keadilan dan lebih bermanfaat secara finansial.
Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil disalah satu pihak, mewajibkan pihak lain harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya tersebut.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Tiap perbuatan melawan hukum yang membuat kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut di atas dapat diketahui bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya kerugian
kepada pihak lain atau kepada orang lain wajib mengganti kerugian tersebut karena kesalahannya yang mengakibatkan terjadinya kerugian tersebut. Meskipun perbuatan melawan hukum tersebut adalah tergolong kepada ranah hukum pidana namun penyelesaiannya dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan hukum yang termuat didalam hukum perdata yaitu dengan menggunakan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.145
Dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut dapat dilihat bahwa dalam hal melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang. Dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara : Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat.
Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya. Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan ini
145Suhermanto Hardono, Perbuatan Melawan Hukum Dan Ganti Rugi Menurut KUH Perdata, Eresco, Bandung, 2009, hal. 38
terdapat dua kemungkinan : Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja. Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan
causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu: Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum. Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.146
Perbuatan melawan hukum secara singkat dapat diperinci sebagai berikut : untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal 1364 KUH Perdata. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1367 KUH Perdata. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUH Perdata. Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.
146Deni Dinata, Perbuatan Melawan Hukum dan Ganti Rugi Dalam Hukum Perdata dan Pidana, Selekta, Jakarta, 2007, hal. 51
Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata nyata barulah menjadi unsur delik. Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum.
Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.147
Dalam hal penuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang berkaitan dengan penyelesaian ganti rugi atas kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil dapat dilakukan melalui jalur non litigasi. Jalur non litigasi maksudnya adalah bahwa proses penyelesaian ganti rugi dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil tersebut tidak ditempuh melalui lembaga pengadilan yang ada di dalam sistem hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Penyelesaian masalah ganti rugi dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil tersebut dapat ditempuh melalui jalur non litigasi, yang maksudnya adalah bahwa proses penyelesaian ganti rugi dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban materil tersebut dapat ditempuh melalui jalur
147Antonius Hendrata, Delik-delik Tindana Ringan Menurut KUHP Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2013, hal. 39
alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative DisputeResolution (ADR), yaitu dengan menggunakan lembaga arbitrase yang khusus menangani penyelesaian masalah ganti rugi dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil tersebut.
Penyelesaian non litigasi dalam suatu masalah ganti rugi pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase yang telah ada atau dengan membentuk suatu institusi yang khusus menangani masalah ganti rugi dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil tersebut.
Penyelesaian masalah ganti rugi dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan terjadinya korban materil melalui jalur non litigasi dimaksudkan agar penanganan masalah tersebut dapat lebih efektif dan efisien dari segi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Apabila penanganan masalah ganti rugi dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibat terjadinya korban materil dilakukan dengan menggunakan jalur litigasi (pengadilan) maka proses hukum yang terjadi akan memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam suatu penyelesaian ganti rugi pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban materil dibutuhkan proses penyelesaian yang efektif dan efisien, tanpa harus dilakukan melalui suatu proses hukum pidana yang terdapat di dalam KUHAP sebagaimana
termuat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan juga di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.148
Kerugian material yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan terjadinya kerugian material lebih banyak berakhir dengan penyelesaian perdamaian diantara para pihak yang mengalami kecelakaan lalu lintas tersebut dan cenderung tidak diproses secara hukum. Hal ini kemungkinan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pihak yang mengalami kerugian materil yang lebih besar dalam kecelakaan lalu lintas tersebut dan ini merupakan dilema bagi penegakan hukum terhadap ketentuan Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Perkara kecelakaan lalu lintas menurut pasal 229 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digolongkan dan ditangani sebagai berikut :
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada (1) huruf b
148Gunawan Herlambang, Alternatif Penyelesaian Sengketa Ganti Rugi Terhadap Tindak Pidana Ringan, Mitra Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 53
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Perdamaian dalam hukum pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas sebenarnya juga sering terjadi dan diterapkan oleh masyarakat Indonesia.
Perdamaian kerap kali terjadi diantara pihak pengemudi yang menabrak dengan pihak korban dengan cara pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia. Biasanya pihak korban telah merasa adil sementara pihak pelaku sendiri dengan tulus ikhlas membayarkan sejumlah uang tersebut.
Meskipun demikian, bagi penerapan hukum pidana yang berlaku, maka pengemudi sebagai pihak penabrak tetaplah harus diajukan ke sidang pengadilan untuk diproses secara hukum karena memang secara aturan hukum tidak ada
Meskipun demikian, bagi penerapan hukum pidana yang berlaku, maka pengemudi sebagai pihak penabrak tetaplah harus diajukan ke sidang pengadilan untuk diproses secara hukum karena memang secara aturan hukum tidak ada