• Tidak ada hasil yang ditemukan

USU Law Journal, Vol.7. No.6, Desember 2019, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "USU Law Journal, Vol.7. No.6, Desember 2019, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

93

USU Law Journal, Vol.7. No.6, Desember 2019, 93- 101

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Analisis Hukum Terhadap Keadilan Secara

Musyawarah Mufakat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Tingkat Kepolisian : Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VIi/2018

Nelson Syah Habibi S. [email protected] Madiasa Ablisar, M. Hamdan, Marlina

Abstract. Law enforcement sy stems and m ethods in Indonesia show that there is a developm ent in community justice by Restorative Justice that reflects justice as a balance of human life, so that deviant behavior from criminals is considered as an act that eliminates balance, the m odel of case settlement is an effort to restore that balance. Kapolri as the head of the Indonesian National Police then issues Circular Number: 8/VII/2018 concerning Restorative Justice in the Settlem ent of Criminal Cases, with hope to accomm odate the values of justice in society. The position of the Circular is a policy regulation or instructions to m embers of the National Police based on Law Number 2 of 2002 concerning the Indonesian National Police, it’s not part from the Legislative context that can bind the public, but manifestations of the Police's efforts in ov ercom ing criminal acts and are expected to fulfill a sense of justice am ong the community by obtaining satisfactory agreement according to their wishes win -win solutions. The im plementation process is at the Police level with the achievement of a peace agreem ent between the victim and the suspect, ending with the issuance of an order to terminate the Investigation with the reason that Restorative justice is signed by the supervisor's investigator. The criminal case that is settled in a case resolved through diversion based on the SPPA Law or case which is a com plaint offense will be com pleted and has legal certainty, but the case with a general offense still has the opportunity to continue if the victim feels dissatisfied. The results of peace will be a consideration of the judge in giving his decision.

Keywords : restorative justice, criminals case settlem ent, policy regulation PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsep penyelesaian suatu kasus pidana tidak agar lebih banyak orang dimasukkan ke penjara, karena hal itu merupakan perwujudan dendam. Pada saat yang sama, pidana penjara itu sekaligus juga beban pada negara karena adanya suatu tindak pidana itu, negara harus menyediakan semua kebutuhan dasar terpidana dalam penjara. Oleh karena itu, hukum acara pidana dewasa ini lebih ke arah bagaimana m erestorasi hubungan pelaku, korban dan masyarakat.

Penjara merupakan the last resort.

Konsep penyelesaian konflik yang terjadi dengan m elibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan penengah (m oderator)1 m erupakan paradigma Restorative Justice yang dikenal di indonesia sebagai keadilan secara musyawarah mufakat. Keadilan secara Musyarah Mufakat (Restorative justice) telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yaitu pada Pasal 1 angka 6 “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama - sama m encari penyelesaian yang adil dengan m enekankan pemulihan kem bali pada suatu keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Pengaturan tersebut dikhususkan pada penanganan Peradilan Pidana Anak, sementara untuk Peradilan Pidana Umum, ketentuan prinsip Restorative Justice masih dalam bentuk gagasan pada rancangan Undang -Undang KUHP.

1 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), hlm. 2.

(2)

94 Pada tanggal 27 Juli 2018, Kapolri menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, sebagai pedoman bagi aparatur penegak hukum Kepolisian dalam melakukan penegakan hukum dengan prinsip keadilan secara musyawarah mufakat untuk perkara pidana secara umum dan tidak terbatas dalam penanganan perkara peradilan pidana pada anak.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018 dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia?

2. Bagaimana Proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di tingkat Kepolisian?

3. Bagaimana Kedudukan perkara pidana yang diselesaikan dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan dan menganalisis kedudukan Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018 dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia?

2. Mengungkap proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di tingkat Kepolisian?

3. Menganalisis kedudukan perkara pidana yang diselesaikan dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian?

KERANGKA TEORI

Adapun kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah a. Teori Hierarki Perundang-Undangan

Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal dengan adanya teori hierarki. Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum m erupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.2

b. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum m erupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.3 Kaitannya dengan Surat Edaran Kapolri tentang Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dalam penyelesaian perkara, m enekankan pada penafsiran yang jelas agar suatu perkara pidana dapat diketahui proses dan kedudukan hukumnya setelah dilakukannya penghentian penyelidikan dan atau penyelidikan di Kepolisian.

c. Teori Restorative justice

Restorative Justice m erupakan filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang menekankan dalam mem perbaiki kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh pelaku kriminal.4 Restorative Justice adalah teori yang menekankan perbaikan kerusakan yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku kriminal. itu paling baik dicapai m elalui proses kerja sama yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Kaitan teori kepastian hukum dalam Surat Edaran Kapolri tentang Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dalam penyelesaian perkara, untuk mengetahui apakah proses penyelesaian perkara pidana yang dimaksud dalam Surat Edaran sudah sesuai dengan prinsip dari Teori Restorative Justice.

2JimlyAsshiddiqie dan M. AliSafa 'at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet I, (Jakarta : Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006), hlm.110.

3 Dom inikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), hlm.59.

4 Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yurids Filosofis dalam penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 Septem ber 2012, Hlm. 407.

(3)

95 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 dalam Hierarki Perundang- Undangan di Indonesia

1. Peraturan Perundang-undangan

Menurut Undang-Undang Nom or 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang m elalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang -undangan.

Dalam penjelasan Satjipto Rahardjo tentang hakikat peraturan perundang -undangan, suatu peraturan perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut5: a. Bersifat umum dan kom prehensif, sehingga merupakan kebalikan dari sifat -sifat khusus yang

terbatas;

b. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja; dan

c. Memiliki kekuatan untuk m engoreksi dan m emperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya m encantumkan klausul yang m emuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang -undangan di Indonesia m erujuk pada Undang-Undang Nom or 12 Tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang -undangan yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nom or 10 Tahun 2004. Sebelum diatur dalam bentuk Undang-Undang, hierarki peraturan perundang -undangan mengacu pada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sem entara (TAP MPR/MPRS).

Adapun tata urutan peraturan perundang -undangan di Indonesia berdasarkan Undang -Undang Nom or 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -undangan, antara lain : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; Ketetapan Majelis Perm usyawaratan Rakyat; Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang; Peraturan Pem erintah;

Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2. Peraturan Kebijakan

Peraturan kebijakan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan beleidsregel, pengertiannya tidak dapat dirujuk pada peraturan perundang -undangan. Undang-Undang Nom or 12 Tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang -undangan tidak memberikan pengertian yang kom prehensif tentang peraturan kebijakan. m enurut pendapat Darumurti6, maka peraturan kebijakan merupakan produk dari tindakan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan publik yang harus diberikan pem erintah. Pemerintah dalam fungsinya m emberikan pelayanan publik harus aktif berperan m encam puri bidang kehidupan sosial ekonom i masyarakat, dengan demikian pem erintah tidak boleh m enolak untuk bertindak dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan hukum.

Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam praktiknya di Indonesia, peraturan kebijakan dapat dibuat dalam bentuk-bentuk seperti:7

a. Surat edaran

b. Surat perintah atau instruksi, contoh: instruksi presiden;

c. Pedoman kerja atau manual;

d. Petunjuk pelaksanaan (Juklak);

e. Petunjuk Teknis (Juknis);

f. Buku panduan atau ‘guide’ (guidance);

g. Kerangka acuan atau Term Of Reference (TOR);

h. Desain kerja atau desain proy ek (Project Design);

3. Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018

Dalam Peraturan Kapolri Nom or 15 tahun 2007 tentang naskah dinas di lingkungan kepolisian Negara Republik Indonesia, definisi Surat Edaran adalah surat yang berbentuk naskah dinas yang dikeluarkan oleh Kapolri m emuat pem eberitahuan tentang tata cara yang berlaku ataupun ketentuan yang harus diperhatikan berdasarkan kebijaksanaan pelaksanaan. Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana m erupakan suatu peraturan kebijakan ( beleidsregel) atau delegasi mem berikan instruksi (petunjuk) dari Kapolri kepada anggota Polri sebagai pedoman bagi

5 Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 83 -84.

6 Krishna D. Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 57 -58.

7 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 274

(4)

96 penyelidik dan penyidik Polri dalam penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana. Surat Edaran Kapolri sebagai bagian dari Peraturan Kebijakan, maka kedudukannya bukan bagian dari Peraturan Perundang -undangan, Peraturan Kebijakan tidak termasuk didalamnya baik dari segi Teori hierarki Perundang -Undangan maupun dalam Undang-Undang Nom or 12 Tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang - undangan.

Polisi dalam melaksanakan tugasnya, terutama sebagai penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, perlu ditempuh m elalui kebijakan integral dengan memadukan antara social policy dan criminal policy serta m emadukan antara penal policy (dengan menggunakan Peraturan Perundang-undangan Pidana) dan non penal policy (Penyelesaian di Iuar Proses Peradilan).8 Surat Edaran Kapolri Nom or : SE/8/VII/2018 mengedepankan keadilan secara musyawarah mufakat (restorative justice) m erupakan satu bentuk dari penyelesaian sengketa diluar peradilan (Mediasi Penal), Upaya tersebut ditujukan untuk tercapainya “solusi sama-sama untung”9.

Surat Edaran Kapolri Nom or : SE/8/VII/2018 bukan merupakan Peraturan Perundang - undangan sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, m erupakan manifestasi upaya Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana dan diharapkan dapat m emenuhi rasa keadilan ditengah masyarakat dengan diperolehnya hasil kesepakatan yang memuaskan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berperkara. Penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana merupakan pilihan Penyidik Kepolisian (diskresi) dalam m enyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya10, dengan pijakan yuridis diskresi adalah Pasal 18 Undang -Undang Nom or 2 tahun 2002.11 Meski demikian tetap m enghayati nilai-nilai m oral dan etika karena akan melahirkan rasa keadilan dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi bila sebaliknya, maka akan melahirkan kesewenang-wenangan12.

Proses Penyelesaian Perkara Pidana Dengan Penerapan Keadilan Secara Musyawarah Mufakat (Restorative Justice) Di Kepolisian

1. Perkembangan Penerapan Keadilan Secara Musyawarah Mufakat (Restorative Justice) pada Polri

Di lingkungan Kepolisian, penegakan hukum pidana berdasarkan pendekatan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) telah dipraktikkan dan dikembangkan dalam penanganan/penyelesaian perkara pidana, antara lain13 : Penyelesaian tindak pidana dengan mekanisme Alternatif Dispute Resolusion (ADR) 14 /mediasi penal; Penyelesaian tindak pidana berdasarkan kesepakatan damai dalam proses penyidikan; Penyelesaian tindak pidana ringan dengan mekanisme Polmas oleh Bhabinkamtibmas; Penyelesaian tindak pidana dengan/melalui lembaga dalam masyarakat, seperti Rembug Pekon15 di Lampung (Bhabinkamtibmas sebagai salah satu unsur pada

8 Soerjono Soekanto, Faktor -faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 2008), hlm. 7.

9 Taufiqurrohman Abildanwa, “Mediasi Pena l Sebagai Upaya Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Keseimbangan”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No. 1 Januari - April 2016, hlm. 141.

10 Yunan Hilmi, “Penegakan Hukum oleh Kepolisian m elalu pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 2 Nom or 2, Agustus 2013, hlm., 256.

11 Pasal 18 Undang-Undang Nom or 2 Tahun 2002, ayat (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak m enurut penilaiannya sendiri, ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

12 Yunan Hilmi, Op.Cit., hlm 257.

13 Zulkarnein Koto, “Prospektif Penegekan Hukum Berdasarkan Pendekatan Keadilan Restoratif dengan indikator yang dapat terukur manfaatnya bagi masyarakat (Penerapan dan Pengembangannya di Lingkungan Polri”, Paparan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, hlm. 3. https://www.bphn.go.id/data/documents/paparan_rj,_bphn,_01 -12-16,_rev..pdf, diakses pada tanggal 18 Juli 2019

14 Alternatif Dispute Resolusion (ADR) yaitu Pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum/non litigasi al. m elalui upaya perdamaian

15 Rem bug Pekon ialah mekanism e penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa / pekon di wilayah Propinsi Lam pung dengan sikap rendah hati untuk mem ecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pem ecahan masalah yang terjadi dalam masyarakat. ErlinaB. Dkk. “Optimalisasi Nilai Kearifan Lokal Rem bug Pekon Dalam Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan

(5)

97 lembaga/ pelaksanaan Rembug Pekon); Penyelesaian berbagai tindak pidana adat dan agama, seperti penegakan hukum terhadap delik adat lokika sanggraha sebagaimana diatur dalam Kitab Adigama oleh Polda Bali;

Tahun 2003 Kapolri menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor : 15 tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, sebagai bentuk awal penerapan prinsip Restoratif Justice di tingkat Kepolisian, yaitu Pasal 63 Bagian Kedua Peny elesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Ringan.

Kemudian melalui Surat Telegram Kapolri Nomor : TR/1124/XI/2006, tanggal 16 Nopember 2006 tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, Selanjutnya Kapolri mengeluarkan kebijakan yang dituangkan di dalam Surat Keputusan Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, yaitu tentang penyelesaian penanganan kasus m elalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR). Selanjutnya Kapolri menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nom or : SE/8/VII/2018 pada tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

2. Rujukan Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018

Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 menggunakan Undang-Undang dan Peraturan Kapolri sebagai rujukannya, antara lain : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nom or 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang- Undang Nom or 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang -Undang Nom or 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nom or 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Kemudian pada huruf g Surat Edaran Kapolri Nom or : SE/8/VII/2018, juga disebutkan 4 metode penyelesaian perkara pidana yang mencerminkan penerapan prinsip Restorative Justice yang dijadikan acuan dalam penerapan prinsip keadilan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice), yaitu : Pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap; Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi; Pasal 15 ayat (2) Undang -Undang Nom or 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

Pasal 51 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bahwa untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana;

3. Penerapan Restorative justice oleh Polri

Penyelesaian kasus secara restorative justice dengan bersentuhan dengan sistem peradilan pidana melibatkan aparat Kepolisian. Ketika terjadi kasus, pihak Kepolisian yakni penyidik mengadakan pem eriksaaan atas peristiwa pidana yang telah dilaporkan. Pada saat proses penyidikan para pihak yakni pelaku dan korban dipertemukan. Apabila diperoleh persetujuan penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan atau restorative justice maka dilakukan gelar perkara di dalam forum restorative justice untuk dilakukan keputusan secara bersama yang selanjutnya dilakukan SP3 (Penghentian Penyidikan) dengan menggunakan kewenangan diskresi kepolisian, dengan demikian kasus berhenti di tingkat penyidikan dan tidak sampai ke Pengadilan.

Tindakan hukum yang berkaitan dengan kriminal, hanyalah sebahagian dari tugas kepolisian, tidak sekedar aspek represif dalam kaitannya dengan proses pidana saja, tetapi mencakup pula aspek preventif berupa tugas-tugas yang m elakukan yang melekat pada fungsi utama adm inistrasi negara mulai dari bimbingan dan pengaturan sampai dengan tindakan Kepolisian yang bersifat administrasi dan bukan kom petensi pengadilan. Pada dasarnya Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk m enjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna m ewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Polisi yang diberi wewenang untuk bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri, tidak berarti bahwa dapat berbuat sewenang-wenang, tidak boleh bertentangan dengan Undang -Undang.

Abdurahman Propinsi Lam pung Sebagai Kawasan Hutan Konservasi Berbasis Masyarakat”, Jurnal Keadilan Progresif, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, Volume 9 Nom or 2 Septem ber 2018.hlm. 109.

(6)

98 Dengan perkataan lain ialah bahwa tindakan polisi tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang atau setidaknya tindakannya itu harus sesuai dengan jiwa dari Undang -Undang.

Dalam Surat Edaran Kapolri Nom or: SE/8/VII/2018, tidak disebutkan secara spesifik Jenis Tindak pidana yang dapat ditangani/diselesaikan polisi/penyidik dengan mengim plementasikan pendekatan Restorative Justice, Jenis Jenis Tindak pidana yang dapat ditangani/diselesaikan secara spesifik disampaikan oleh Zulkarnaen Koto sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yaitu selain perkara anak atau anak yang berma salah dengan hukum yang penerapan Restorative Justice sudah diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain :16

a. Tindak pidana yang berhubungan dengan harta benda, seperti: pencurian, penipuan, pemalsuan, penggelapan, perusakan barang, dan pemalsuan surat.

b. Tindak pidana terhadap badan, seperti penganiayaan.

c. Tindak pidana kesusilaan, seperti perbuatan cabul dan perzinahan.

d. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

e. Tindak pidana dengan nilai kerugian yang kecil dan/atau tin dak pidana ringan.

f. Tindak pidana yang berpotensi m enimbulkan/berkaitan dengan konflik sosial.

g. Tindak pidana yang bersintuhan dengan delik adat.

h. Tindak pidana di bidang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) seperti m erek dan hak cipta.

Dem ikian juga dalam Prinsip pem batas pada jenis tindak pidana yang dapat dilakukan dengan Restorative Justice, disebutkan oleh Zulkarnaen Koto, Penerapan Restorative Justice berdasarkan tindak pidana adalah pada semua tindak pidana, kecuali :17 Tindak pidana pem bunuhan; Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak; Tindak pidana narkoba; Tindak pidana yang m enim bulkan keresahan yang m eluas di masyarakat, seperti penistaan agama; Tindak pidana terhadap negara, seperti korupsi, terorisme, terhadap Sumber Daya Alam ; Tin dak pidana pengulangan (recidive).

4. Persyaratan penyelesaian perkara dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) pada Polri sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018

a. Persyaratan Formil

1) tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyarakat;

2) tidak berdam pak konflik sosial

3) adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan m elepaskan hak m enuntutnya dihadapan hukum;

4) prinsip pembatas:

a) pada pelaku : (1) tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (schuld atau mens rea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk); (2) pelaku bukan resedivis;

b) pada tindak pidana dalam proses : (1) penyelidikan; (2) penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;18

b. Persyaratan Materiil

1) Surat Perm ohonan Perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

2) Surat Pernyataan Akta Perdamaian (acta van dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan penyidik;

16 Zulkarnein Koto, Op.Cit., hlm. 5.

17 Ibid., hlm. 7.

1 8 Kewajiban penyidik mengirimkan SPDP kepada Penuntut Umum diatur di dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang m enegaskan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik m emberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Pasal ini tidak tegas tentang batas paling lambat bagi penyidik untuk mengirimkan SPDP dan tidak m enerangkan pihak-pihak yang berhak mendapatkan SPDP itu. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nom or 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang amarnya mem perbaiki atau m elengkapi isi Pasal 109 ayat (1) KUHAP itu, dinyatakan dalam amarnya; Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang -Undang Nom or 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nom or 76, Tam bahan Lembaran Negara Nom or 3209) bertentangan dengan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mem punyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik mem beritahukan hal itu kepada puntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib mem beritahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

(7)

99 3) Berita Acara Pem eriksaan Tam bahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian

perkara melalui keadilan restoratif (Restorative justice);

4) rekom endasi gelar perkara khusus yang m enyetujui penyelesaian keadilan restoratif (Restoratice Jusctice);

5) pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab, ganti rugi, atau dilakukan dengan sukarela;

6) semua tindak pidana dapat dilakukan Restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia;

5. Mekanisme penyelesaian perkara dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) pada Polri sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018

a. setelah m enerima perm ohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) yang ditandatangani di atas materai, lakukan penelitian administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif (Restorative Justice);

b. perm ohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atasan penyidik untuk m endapatkan persetujuan;

c. setelah perm ohonan disetujui oleh atasan penyidik (Kabareskrim/Kapolda/Kapolres), kemudian ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian;

d. pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat;

e. mem buat nota dinas kepada pengawas penyidik atau kasatker perihal perm ohonan dilaksanakan gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara;

f. melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, dan perwakilan dari tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik, penyidik yang m enangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pem erintahan bila diperlukan;

g. menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara;

h. menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan Restorative justice;

i. untuk perkara pada tahap penyelidikan, penyelidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan yang ditandatangani oleh : 1) Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri; 2) Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Polda; 3) Kapolres pada tingkat Polres;

j. untuk perkara pada tahap Penyidikan, Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan yang ditandatangani oleh : 1) Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri; 2) Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Polda; 3) Kapolres pada tingkat Polres;

k. mencatat ke dalam buku register baru B-19 sebagai perkara keadilan restoratif (Restorative justice) dihitung sebagai penyelesaian perkara.

Proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara Musyawarah Mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian sesuai Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018 ditinjau dari asas kepastian hukum, tidaklah memiliki kepastian hukum, karena muatannya yang mengatur peryaratan dan mekanism e penyelesaian perkara pidana tidak m emiliki landasan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur diatasnya, karena penyelesaian perkara pidana dengan Prinsip Restorative Justice saat ini terbatas dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni perkara pidana yang melibatkan anak19. Sementara didalam Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018 menyebutkan bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan Restorative Justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia yang disebutkan pada peryaratan materil huruf f.

Jika dikaitkan dengan dari Teori Restorative Justice, Penyelesaian perkara pidana sebagaimana diatur didalam Surat Edaran Kapolri Nom or SE/8/VII/2018, maka sudah sesuai, karena telah m emuat prinsip-prinsip dari Restorative Justice20, yaitu : Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; Restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan; Restorative justice memberikan

19 Diversi terhadap perkara pidana anak dilakukan pembatasan yaitu diatur dalam Undang - Undang Nom or 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada Pasal 7 ayat (2)

“Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: huruf a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan, huruf b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

20 Marlina, Op.Cit., hlm. 33 -36.

(8)

100 pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh; Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal;

Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat m encegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Kedudukan Perkara Pidana Yang Diselesaikan Dengan Penerapan Keadilan Restoratif di Kepolisian

Dalam penyelesaian perkara pidana dengan keadilan secara musyawarah mufakat (restorative justice) oleh Kepolisian tidak m emiliki kedudukan yang sama atas semua perkara yang diselesaikannya, karena tetap harus melihat jenis perkaranya apakah dapat diselesaikan melalui diversi sesuai Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau perkara tersebut m erupakan perkara pidana dengan delik aduan.

Penyelesaian perkara pidana dengan Prinsip Restorative Justice di tingkat Kepolisian dilakukan dengan m enghadirkan pihak pelaku dan pihak korban untuk tercapainya suatu kesepakatan damai dengan segala konsekuensinya, kemudian dihasilkan akta perdamaian (acta van dading) diantara pihak yang diharapkan akan menutup kemungkinan perkara untuk tidak diteruskan dalam penyidikan lebih lanjut karena telah diperolehnya keadilan antara pelaku dan korban maupun keluarganya yang mewakilinya. Namun upaya tersebut masih mem iliki kemungkinan untuk dilanjutkan kembali perkara ke tahapan selanjutnya, karena Kepolisian sebagai aparatur penegak hukum harus tetap berpedoman atas hukum positif yang ada di Indonesia, jika dikemudian hari pihak korban m erasa tidak puas atau keberatan atas hasil perdamaian antar pihak yang sebelumnya telah dilaksanakan. Sekalipun petugas Kepolisian sebagai pihak yang menginisiasi terjadinya perdamaian antar pihak yang berperkara, petugas kepolisian tidak boleh m enolak apabila korban kembali m em buat pengaduan atas perkara yang dialami korban, karena belum adanya landasan hukum seba gai pedoman dalam melakukan penyelesaian perkara dengan Restorative Justice terkait perkara pidana dengan delik umum.

Hasil dari perdamaian yang terjadi antara pihak pelapor dan terlapor kemudian akan menjadi pertimbangan hakim dalam mem berikan putusannya di Pengadilan, namun demikian sejauh ini perdamaian yang merupakan itikad baik bagi para pihak untuk saling m emaafkan dan tercapainya win-win solution, sehingga tidak m embuka kem bali perkara tindak pidana yang telah terjadi. Kedudukan Perdamaian dalam perkara pidana belum mem iliki kepastian hukum seperti pada perkara perdata yang jelas dasar hukumnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.bg yang tidak dapat dibanding maupun dikasasi di pengadilan yang lebih tinggi.

Ketidakseragaman terhadap kedudukan perkara yang diselesaikan dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (restorative justice) di tingkat kepolisian, menjadikan tidak adanya jaminan bagi masyarakat sebagai pencari keadilan, dan tidak m encerminkan adanya kepastian hukum.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Restorative justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana merupakan suatu peraturan kebijakan (beleidsregel) atau delegasi memberikan instruksi (petunjuk) dari Kapolri kepada anggota Polri sebagai pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri dalam penerapan keadilan secara musyawarah mufakat dalam penyelesaian perkara pidana, bukanlah suatu bagian dari konteks perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, namun merupakan manifestasi upaya Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana dan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan ditengah masyarakat dengan diperolehnya hasil kesepakatan yang memuaskan sesuai dengan keinginan pihak yang berperkara.

2. Proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat di Kepolisian sebagaimana dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018, diawali dengan adanya permohonan perdamaian dari para pihak ke Kepolisian, setelah rangkaian penelitian dan pemeriksaan, Kepolisian selanjutnya menerbitkan surat perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan Restorative justice yang ditandatangani oleh atasan penyidik.

3. Kedudukan perkara pidana yang diselesaikan dengan Keadilan secara Musyawarah Mufakat (Restorative Justice) oleh Kepolisian tidak memiliki kedudukan yang sama atas semua perkara pidana yang diselesaikannya, Perkara yang diselesaikan dengan div ersi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau perkara yang merupakan delik aduan akan memiliki kepastian hukum, namun Perkara dengan delik umum masih terdapat peluang untuk dilanjutkan perkaranya jika dikemudian hari pihak korban merasa tidak puas atau keberatan atas perdamaian yang dicapai sebelumnya. Hasil perdamaian akan menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya.

(9)

101 Saran

1. Diharapkan Pem erintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan Perundang -Undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelesaian perkara pidana dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) khususnya di tingkat Kepolisian.

2. Untuk menjamin kepastian hukum, perlu adanya peraturan Perundang -undangan yang menjadi landasan hukum perdamaian di tingkat Kepolisian yang memuat Persyaratan, Mekanisme, serta Jenis Pidana yang dapat diselesaikan dengan keadilan secara musyawarah mufakat ( Restorative justice).

3. Perlu adanya peraturan Perundang-Undangan yang m enjadi landasan hukum perdamaian di tingkat Kepolisian dengan m emuat agar hasil kesepakatan perdamaian dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) ditingkat Kepolisian m emiliki Kepastian Hukum, yakni dengan m emintaan penetapan dari Pengadilan sebagaimana pengaturan penetapan oleh peradilan atas kesepakatan diversi di dalam Pasal 12 Undang -Undang Nom or 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Asshiddiqie, Jimly., M. Ali Safa'at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet I, Jakarta : Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006.

Darumurti, Krishna D., Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.

Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative justice Dalam Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2010.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Rato, Dominikus, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010.

Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.

Soekanto, Soerjono., Faktor -faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2008

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nom or 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nom or 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nom or 12 Tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang -undangan Undang-Undang Nom or 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Jurnal

Abildanwa, Taufiqurrohman, “Mediasi Penal Sebagai Upaya Dalam Rangka Pem baharuan Hukum Pidana Di Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Keseim bangan”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No. 1 Januari - April 2016

Hilmi, Yunan, “Penegakan Hukum oleh Kepolisian m elalu pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 2 Nom or 2, Agustus 2013.

Erlina B. Dkk. “Optimalisasi Nilai Kearifan Lokal Rem bug Pekon Dalam Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdurahman Propinsi Lampung Sebagai Kawasan Hutan Konservasi Berbasis Masyarakat”, Jurnal Keadilan Progresif, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, Volume 9 Nom or 2 September 2018

Koto, Zulkarnein, “Prospektif Penegekan Hukum Berdasarkan Pendekatan Keadilan Restoratif dengan indikator yang dapat terukur manfaatnya bagi masyarakat (Penerapan dan Pengembangannya di Lingkungan Polri”, Paparan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, https://www.bphn.go.id/data/docum ents/paparan_rj,_bphn,_01 -12-16,_rev..pdf, diakses pada tanggal 19 Juli 2019

Prayitno, Kuat Puji, “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yurids Filosofis dalam penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 Septem ber 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Alasan utama mengapa inovasi kolaboratif lebih cocok bagi inovasi di sektor publik, karena mampu membuka siklus inovasi ke berbagai aktor yang menyentuh sumber daya inovasi

BAB III : KENDALA PENEGAKAN HUKUM YANG TELAH DILAKUKAN PENYIDIK SUBNIT VICE CONTROL SATRESKRIM POLRESTABES MEDAN TERKAIT PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN ONLINE

Pemisahan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah bahwa Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “UU OJK”), bahwa : “OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang

Dalam hal laporan pertanggungjawaban tersebut ditolak atau tidak diterima oleh RUPS, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (6) UU Perseroan Terbatas, direksi tersebut

Dalam hal iuran, telah terdapat sanksi pidana bagi perusahaan yang menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan yaitu diancam 8 (delapan) tahun kurungan penjara atau denda sebesar

Upaya penyelesaian ganti rugi (retitusi) dalam perkara ABH secara diversi (non litigasi) yang telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri dan tidak

8/VII/2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Perkara Pidana di Kepolisian Resor Kota Pekanbaru, karena hambatan justru datang dari aspek pelaksanaan