• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM JUDI ONLINE YANG DILAKUKAN SAT.RESKRIM POLRESTABES MEDAN BERDASARKAN PENERAPAN KUHP DAN UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO.

11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

IQBAL RAMADHAN SATRIA PRAWIRA NIM. 157005138/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PENEGAKAN HUKUM JUDI ONLINE YANG DILAKUKAN SAT.RESKRIM POLRESTABES MEDAN BERDASARKAN PENERAPAN KUHP DAN UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO.

11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

IQBAL RAMADHAN SATRIA PRAWIRA NIM. 157005138/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : ____________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. MADIASA ABLISAR, SH., M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. SUNARMI, SH., M.Hum

2. Dr. MAHMUD MULYADI, SH., M.Hum 3. Dr. EDI YUNARA, SH., MH.

4. Dr. HAMDAN, SH., M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

Bukan suatu hal mudah untuk menuntaskan perjudian, perlu adanya peraturan hukum yang menindak tegas para pelaku tindak pidana perjudian. Peraturan atas perjudian pada mulanya diatur dalam Pasal 303 KUHP, dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah). Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 2 ayat (1) memuat ancaman hukuman atas tindak pidana perjudian Pasal 303 ayat (1) KUHP diubah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Kemudian mengubah Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis ayat (1) KUHP dengan ancaman diperberat menjadi 4 (empat) tahun penjara atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), kemudian Pasal 303 bis ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Namun penyidikan terhadap tindak pidana perjudian ternyata masih menemui hambatan ketika dihadapkan dengan proses pembuktian perjudian melalui internet, karena dalam KUHAP tidak diatur adanya unsur-unsur yang mengandung teknologi informasi, sementara pada kasus perjudian melalui internet (“internet gambling”) semua dilakukan melalui media internet. Untuk menanggulangi perjudian yang dilakukan di internet, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketika berhadapan dengan “internet gambling” tetap saja akan ada masalah baru yang akan muncul, terutama menyangkut barang bukti. Jika, pada perjudian biasa alat yang akan dipakai untuk berjudi seperti dadu atau kartu serta uang yang dipakai untuk bertaruh sudah cukup untuk dipakai sebagai barang bukti. Sedangkan, dalam “internet gambling” perjudian dilakukan seperti permainan komputer biasa. Pada perjudian yang dilakukan melalui internet taruhan dibayar bukan dari tangan ke tangan, tapi ditransfer langsung dengan menulis nomor account kartu kredit melalui internet pula.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka banyak timbul permasalahan- permasalahan hukum dalam penelitian ini, antara lain : bagaimana cara membuktikan tindak pidana perjudian online, sementara KUHP belum mengenal adanya internet.

Apakah pemenuhan unsur perjudian online hanya dengan memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana perjudian di dalam KUHP. Selanjutnya, mengenai bukti-bukti transfer apakah dapat juga dijadikan sebagai bukti, mengingat tentunya tidak ada spesifikasi khusus yang menjelaskan adanya transaksi perjudian.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sifat penelitian adalah deskriptif analisis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan dan studi lapangan dengan alat pengumpulan data berupa wawancara.

Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Penegakan hukum judi online yang telah dilakukan Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan masih menggunakan instrumen Pasal 303 KUHP daripada Pasal 27 ayat (2) Jo. Pasal 45 UU ITE; Kendala penegakan hukum judi online yang dilakukan, yaitu sanksi pidana dalam UU ITE lebih rendah daripada KUHP, kurangnya pemahaman penyidik mengenai perkembangan teknologi, penggunaan bukti elektronik membutuhkan keterangan ahli; Solusinya adalah menerapkan asas lex specialis derogat legi generalis, mengadakan pelatihan bimbingan teknologi informasi, mengajukan permohonan penambahan anggaran dan sarana prasarana.

Kata Kunci : Penegakan hukum; Judi Online; dan Polrestabes Medan.

(7)

ABSTRACT

It is not an easy thing to complete gambling, there needs to be a legal regulation that crack down on the perpetrators of gambling crime. Regulations on gambling are originally stipulated in Article 303 of the Criminal Code, subject to imprisonment of up to 2 (two) years 8 (eight) months or a maximum fine of Rp. 90.000, - (ninety thousand rupiah). With the issuance of Law No. 7 of 1974 on Gambling Control, Article 2 Paragraph (1) shall contain the penalty for the criminal act of gambling Article 303 paragraph (1) of the Criminal Code shall be changed to imprisonment for a maximum of 10 (ten) years or a maximum fine of Rp. 25.000.000, - (twenty five million rupiah). Then change Article 542 to Article 303 bis paragraph (1) of the Criminal Code with threatened to be 4 (four) years imprisonment or a maximum fine of Rp. 10.000.000 (ten million rupiah), then Article 303 bis verse (2) of the Criminal Code with a maximum imprisonment of 6 (six) years or a maximum fine of Rp. 15.000.000 (fifteen million rupiah). But the investigation of the crime of gambling was still facing obstacles when faced with the gambling proof process through the internet, because in the Criminal Procedure Code is not regulated the elements containing information technology, while in the case of gambling through the internet ("internet gambling") all done through the internet media. To overcome gambling conducted on the internet, has been issued Law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions. When dealing with

"internet gambling" there will still be new problems that will arise, especially regarding the evidence. If, in ordinary gambling, the tools to be used for gambling such as dice or cards and money used for betting are enough to be used as evidence. Whereas, in

"internet gambling" gambling is done like a normal computer game. On gambling made via internet bets are paid not from hand to hand, but are transferred directly by writing credit card account numbers over the internet anyway.

Based on the above, so many legal problems arise in this research, among others: how to prove the crime of online gambling, while the Criminal Code has not known the existence of the Internet. Is the fulfillment of the elements of online gambling only by fulfilling the elements of gambling in the Criminal Code. Furthermore, regarding the evidence of transfer whether it can also be used as evidence, considering of course there is no special specification that explains the existence of gambling transactions.

This research is normative law research and empirical law research. The nature of the research is descriptive analysis. The type of data used is secondary data derived from primary, secondary, and tertiary legal materials. Secondary data were collected by literature study technique and field study with data collection tool in the form of interview. Furthermore, the data are analyzed by using qualitative analysis method.

The results showed that: Online law enforcement that has been done Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan still use the instrument of Article 303 of the Criminal Code rather than Article 27 paragraph (2) Jo. Article 45 of the ITE Law; Obstacles of online gambling law enforcement conducted, namely criminal sanctions in the ITE Act is lower than the Criminal Code, lack of understanding of investigators about technological developments, the use of electronic evidence requires expert information; The solution is to apply the general lex specialis derogat legi principle, to conduct training in information technology guidance, to apply for additional budget and infrastructure.

Keywords : Law Enforcement; Internet Gambling; and Polrestabes Medan.

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

NAMA : IQBAL RAMADHAN SATRIA PRAWIRA

TMPT /TGL LAHIR : JAKARTA / 18 MARET 1993

ALAMAT : JALAN SEI BRANTAS NO. 14 MEDAN INSTANSI : POLRI

JABATAN : KASUBNIT 2 UNIT IDIK 5

SAT.RESKRIM POLRESTABES MEDAN

AGAMA : ISLAM

NAMA AYAH : HENDRA SUKMANA NAMA IBU : MARIANI

SUKU / BANGSA : JAWA / INDONESIA

E-MAIL : [email protected]

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM

a. SD : SD NEGERI BANJARSARI BANDUNG (2004) b. SMP : SMP NEGERI 5 BANDUNG (2007)

c. SMA : SMA NEGERI 8 BANDUNG (2010) 2. PENDIDIKAN TINGGI

a. S1 : SARJANA ILMU KEPOLISIAN STIK-PTIK (2014)

b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN (2018)

III. RIWAYAT KARIR DI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA - PAMA POLDA SUMUT (2013 S.D. 2014)

- PAMA POLRESTA MEDAN POLDA SUMUT (2014) - KANIT 1 SPKT POLRESTA MEDAN (2015)

- KASUBNIT 2 IDIK 3 SATRESKRIM POLRESTA MEDAN (2015)

(9)

- KASUBNIT 1 UNIT IDIK 1 SATRESKRIM POLRESTA MEDAN (2016)

- KASUBNIT 2 UNIT IDIK 5 SATRESKRIM POLRESTABES

MEDAN (2016 S.D. SEKARANG)

(10)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister Ilmu

Hukum (S2) dan Doktor Ilmu Hukum (S3) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk serta motivasi dan dorongan kepada

penulis untuk penyempurnaan penelitian yang penulis lakukan.

(11)

4. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang yang telah memberikan dorongan, arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penelitian penulis.

6. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., MH., sebagai Dosen Penguji I yang telah memberikan masukan dalam penelitian yang penulis lakukan.

7. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji II yang juga telah memberikan masukan dan saran-saran yang membangun dalam penelitian penulis.

8. Para Dosen dan Tata Usaha Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi.

9. Terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada ayahanda Hendra Sukmana dan ibunda Mariani yang telah mendidik penulis hingga sampai kepada jenjang pendidikan tinggi.

10. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku seperjuangan yang sudah membantu selama penyelesaian penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

11. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Pegawai Sekretariat Program

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis selama

menyelesaikan studi.

(12)

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.-

Wassalamualaikum wr. wb.

Medan, Juni 2018 Hormat Saya,

Penulis,

NIM. 157005138/HK.

IQBAL RAMADHAN SATRIA PRAWIRA

(13)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... iii

TANGGAL UJIAN ... iv

PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

a. Teori Sistem Hukum ... 16

b. Teori Pembuktian Tindak Pidana ... 21

2. Kerangka Konsep ... 29

G. Metode Penelitian ... 32

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 33

2. Sumber Data ... 34

3. Teknik Pengumpulan Data ... 35

4. Analisis Data ... 36

(14)

BAB II : PENEGAKAN HUKUM YANG TELAH DILAKUKAN SUBNIT VICE CONTROL SAT.RESKRIM POLRESTABES MEDAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN ONLINE (“INTERNET GAMBLING”) DENGAN MENGGUNAKAN INSTRUMEN

KUHP DAN UU ITE ... 38

A. Perjudian Online ... 38

1. Pengertian Perjudian ... 38

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perjudian ... 42

3. Sejarah dan Perkembangan Perjudian Online ... 49

4. Bentuk-Bentuk Perjudian Online ... 56

B. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana ... 57

1. Barang Bukti Yang Digunakan Dalam Acara Pidana di Indonesia ... 58

2. Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 61

3. Pembuktian Perjudian Online Berdasarkan UU ITE ... 67

C. Teknik Penyidikan Subnit Vice Control Satreskrim Polrestabes Medan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Perjudian Online (“Internet Gambling”) Dengan Menggunakan Instrumen KUHP dan UU ITE ... 75

1. Menerima Laporan Pengaduan Masyarakat ... 77

2. Melakukan Penyelidikan ... 78

3. Melakukan Penyidikan ... 79

4. Penangkapan ... 82

5. Penggeledahan dan Penyitaan ... 83

6. Penahanan ... 84

7. Pelimpahan Berkas Perkara dan Tersangka ke Kejaksaan ... 85

BAB III : KENDALA PENEGAKAN HUKUM YANG TELAH

DILAKUKAN PENYIDIK SUBNIT VICE CONTROL

SATRESKRIM POLRESTABES MEDAN TERKAIT

PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN

ONLINE (“INTERNET GAMBLING”) DENGAN

MENGGUNAKAN INSTRUMEN KUHP DAN UU ITE ... 88

(15)

A. Kelemahan UU ITE Dalam Pembuktian Tindak Pidana

Perjudian Online ... 88

B. Masa Penahanan Penggunaan Instrumen KUHP dan Undang-Undang Penertiban Perjudian Terhadap Tindak Pidana Judi Online Lebih Lama ... 93

C. Kurangnya Pemahaman dan Penguasaan Penyidik di Bidang Teknologi Informasi ... 94

D. Penggunaan Bukti Elektronik Membutuhkan Keterangan Ahli ... 102

BAB IV : SOLUSI MENGATASI KENDALA PENEGAKAN HUKUM YANG TELAH DILAKUKAN PENYIDIK SUBNIT VICE CONTROL SAT.RESKRIM POLRESTABES MEDAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN ONLINE (“INTERNET GAMBLING”) ... 103

A. Penerapan KUHP dan UU ITE Dalam Perkara Judi Online Harus Mengedepankan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis ... 103

B. Mengadakan Pelatihan Bimbingan Teknologi Informasi Kepada Sat.Reskrim Polrestabes Medan ... 105

C. Mengajukan Permohonan Penambahan Anggaran dan Sarana Prasarana ... 106

BAB V : KESIMPULAN & SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Laporan Polisi Subnit Judisila Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan Tahun 2014 s.d. 2016 ... 9 Tabel 2. Penelitian Terdahulu ... 15 Tabel 3. Daftar Personil Sat.reskrim Polrestabes Medan ... 95 Tabel 4. Rekapitulasi Personil Riil Sat.Reskrim Polrestabes Medan

Berdasarkan Struktur Organisasi ... 97 Tabel 5. Rekapitulasi Personil Riil Sat.Reskrim Polrestabes Medan

Berdasarkan Kepangkatan ... 97

Tabel 6. Dukungan Sarana dan Prasarana Polrestabes Medan Tahun 2016 ... 99

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi ternyata tidak hanya membawa dampak positif bagi masyarakat. Sebagai contoh, teknologi internet bisa memberikan pengaruh negatif bagi para pemakainya. Melalui media internet beberapa jenis tindak pidana semakin mudah untuk dilakukan seperti pencemaran nama baik, pornografi, pembobolan rekening, perusakan jaringan, penyerangan melalui virus, dan termasuk perjudian online. Salah satu alat yang sering digunakan dalam perjudian online adalah handphone dan komputer, dimana handphone dipergunakan sebagai sarana komunikasi. Sedangkan, komputer sebagai sarana untuk bekerja, tetapi pada prinsipnya tetap sama, dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan.

Pada hakikatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat terutama generasi muda. Di satu pihak judi adalah merupakan problem sosial yang sulit ditanggulangi dan timbulnya judi tersebut sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Judi atau permainan “judi”

atau “perjudian” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Permainan

dengan memakai uang sebagai taruhan”. Berjudi ialah “Mempertaruhkan sejumlah

uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan

(18)

mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula”.

1

Perjudian adalah suatu permainan dimana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan diantara beberapa pilihan dimana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum pertandingan dimulai.

2

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut

“KUHP”) Pasal 303 ayat (3) mengartikan judi adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan permainan. Termasuk juga main judi adalah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala permainan lain-lainnya. Jika, melihat Pasal 303 ayat (3) dapat dipersepsikan bahwa unsur utama dari judi adalah “untung-untungan” yang juga ada pakar menyebut

“tergantung nasib”.

3

Pada sebagian besar jenis perjudian di dunia memiliki peraturan persis seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun banyak juga jenis perjudian yang memliki peraturan tersendiri namun intinya sama, yang kalah kehilangan uang,

1

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1995), hlm. 419.

2

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1974), hlm. 134-135.

3

Leden Marpaung, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,

1996), hlm. 82.

(19)

yang menang mendapat uang. Pada beberapa perjudian, terdapat seseorang yang menjadi Bandar Judi. Setiap pemain bertaruh pada Bandar, jika kalah uang akan mengalir ke tangan Bandar namun jika menang Bandar akan mengalirkan sejumlah uang yang telah dilipat gandakan kepada pemenang.

Perjudian di Indonesia dewasa ini merupakan suatu hal yang cukup meresahkan masyarakat sehingga hal tersebut masih dipersoalkan. Perjudian bukanlah hal baru atau suatu bentuk permainan baru bagi masyarakat Indonesia karena permainan judi sebenarnya sudah ada sejak dulu dan berkembang secara subur sejalan dengan perkembangan zaman. Keberadaan permainan judi ini tidak ada yang mengetahui pasti, kapan permainan ini dimulai dan dikenal oleh masyarakat Indonesia, dan perjudian bagi masyarakat dikategorikan sebagai bentuk permainan yang sangat digemari karena permainan perjudian dianggap memiliki nilai hiburan, seni.

4

Bukan suatu hal mudah untuk menuntaskan perjudian, perlu adanya peraturan hukum yang menindak tegas para pelaku tindak pidana perjudian.

Peraturan atas perjudian pada mulanya diatur dalam Pasal 303 KUHP, dengan Berdasarkan pengamatan sendiri, hal tersebut berawal dari pertandingan-pertandingan olahraga khususnya sepak bola yang ditambahkan unsur taruhan secara kecil-kecilan. Menonton pertandingan bola yang tadinya hanya sekedar hobi pun berubah menjadi perjudian. Mereka tidak sadar akan pengaruh buruk yang akan datang saat ketagihan dan terlibat perjudian secara besar-besaran, karena tidak ada jaminan kemenangan di dalam perjudian apapun bentuknya.

4

Sanyoto, “Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Dinamika, Vol. 8 No. 3, September

2008.

(20)

ancaman hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah). Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, di mana Pasal 2 ayat (1) memuat ancaman hukuman atas tindak pidana perjudian Pasal 303 ayat (1) KUHP diubah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Kemudian mengubah Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis ayat (1) KUHP dengan ancaman diperberat menjadi 4 (empat) tahun penjara atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), kemudian Pasal 303 bis ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).

Penegakan hukum adalah pekerjaan dari Polri, dapat disebutkan bahwa

5

Penegakan hukum oleh pihak berwenang wajib memperhatikan asas hukum dalam Pasal 1 KUHP yang menyatakan : “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. Ketentuan tersebut memuat asas yang tercakup dalam rumusan : “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali”. Asas

“nullum delictum” ini memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang dilakukan :

“Polisi sebagai hukum yang hidup. Melalui posisi itulah polisi mempunyai tanggungjawab untuk mengamankan dan melindungi masyarakat.

Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain tergantung pada kesadaran hukum masyarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat penegak hukum, oleh karena sering terjadi beberapa peraturan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik oleh karena itu, ada beberapa oknum penegak hukum yang tidak melaksanakan suatau keterangan hukum sebagaimana mestinya”.

5

Ibid.

(21)

tanpa ada Undang-Undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dapat dipidana.

6

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (“criminal law application”) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 (tiga) dimensi

Indonesia merupakan negara yang menempatkan hukum sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara. Upaya penegakan hukum harus terus dilakukan untuk menanggulangi segala bentuk kejahatan. Meskipun kebijakan hukum yang ditempuh selama ini masih terus dikaji dan disesuaikan dengan tindak pidana yang terus berkembang baik cara maupun sarana yang digunakan. Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum harus dijalankan secara baik dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

7

1. “Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (“normative system”) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

:

2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (“administrative system”) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

6

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1984), hlm. 179.

7

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Undip Press, 1995), hlm.

40.

(22)

3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (“social system”), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial”.

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, haruslah dicari suatu kebenaran materiil. Pencarian kebenaran materiil ini tentunya harus melalui suatu proses pembuktian, suatu proses yang paling penting dalam hukum acara pidana.

Hukum acara pidana dalam bidang pembuktian mengenal adanya barang bukti dan alat bukti, dimana keduanya diperlukan dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.

Barang bukti atau “corpus delicti” adalah benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana.

8

1. “Keterangan Saksi;

Sedangkan alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah :

2. Keterangan Ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa”.

Selanjutnya, terkait dengan pembuktian tindak pidana perjudian di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

8

Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 1989),

hlm. 14.

(23)

Namun penyidikan terhadap tindak pidana perjudian ternyata masih menemui hambatan ketika dihadapkan dengan proses pembuktian perjudian melalui internet, karena dalam KUHAP tidak diatur adanya unsur-unsur yang mengandung teknologi informasi, sementara pada kasus perjudian melalui internet (“internet gambling”) semua dilakukan melalui media internet.

9

(1) “Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Oleh karena itu untuk menanggulangi perjudian yang dilakukan di internet, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga diatur tentang pengesahan alat bukti perjudian melalui internet yaitu Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

(2) Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Penegakan hukum mengenai tindak pidana perjudian online tersebut sulit dilakukan, karena perbuatan tersebut dapat dilakukan setiap saat oleh siapapun

9

Hetty Hassanah, “Tindak Pidana Perjudian Melalui Internet (Internet Gambling)

Ditinjau Dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”,

Majalah Ilmiah Unikom, Vol. 8, No. 2, hlm. 232.

(24)

dan dimanapun yang seringkali tidak dapat diawasi oleh para penegak hukum.

Adanya tindak pidana perjudian ini, menggambarkan keterpurukan masyarakat baik secara ekonomis maupun moral. Perkembangan teknologi informasi dengan adanya internet menimbulkan bentuk kejahatan baru dalam perjudian yakni perjudian melalui internet (“internet gambling”). Tindak pidana perjudian melalui internet ini, mengakibatkan pemberantasan perjudian semakin sulit untuk dilakukan, karena perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan pihak manapun, tanpa terlihat oleh siapapun, dan dapat dilakukan dimanapun.

10

Ketika berhadapan dengan “internet gambling” tetap saja akan ada masalah baru yang akan muncul, terutama menyangkut barang bukti. Jika, pada perjudian biasa alat yang akan dipakai untuk berjudi seperti dadu atau kartu serta uang yang dipakai untuk bertaruh sudah cukup untuk dipakai sebagai barang bukti. Sedangkan, dalam “internet gambling” perjudian dilakukan seperti permainan komputer biasa. Pada perjudian yang dilakukan melalui internet taruhan dibayar bukan dari tangan ke tangan, tapi ditransfer langsung dengan menulis nomor account kartu kredit melalui internet pula. Sejak ICI (Internet Casinos Inc.) memperkenalkan “internet gambling” pada 18 Agustus 1995 yang meliputi 18 permainan casino yang berbeda, ICI telah melayani lebih dari 40.000 pendaftar dan mencatat lebih dari 7 juta kunjungan (yaitu situs di internet secara sengaja maupun tidak sengaja) per bulan. Selanjutnya “internet gambling”

merupakan sebuah industri yang berkembang dalam dunia siber (cyberspace).

11

10

Ibid., hlm. 233.

11

Ibid., hlm. 233.

(25)

Dalam penelitian ini akan menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul, antara lain mengenai bagaimana cara membuktikan tindak pidana perjudian online, sementara KUHP belum mengenal adanya internet. Apakah pemenuhan unsur perjudian online hanya dengan memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana perjudian di dalam KUHP. Selanjutnya, mengenai bukti-bukti transfer apakah dapat juga dijadikan sebagai bukti, mengingat tentunya tidak ada spesifikasi khusus yang menjelaskan adanya transaksi perjudian.

Sat.Reskrim Polrestabes Medan yang menangani perjudian adalah Subnit Vice Control / VC yang terbiasa menggunakan KUHP dalam membuktikan perjudian konvensional. Berikut ini adalah data Laporan Polisi yang masuk di Subnit Judisila Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan sejak tahun 2014 s.d.

2016.

Tabel 1

Data Laporan Polisi Subnit Judisila Subnit VC. Sat.Reskrim Polrestabes Medan Tahun 2014 s.d. 2016

TAHUN NO. NO. LAPORAN POLISI JENIS KASUS/PASAL

YANG DILANGGAR

2 0 1 4

1. LP/223/IV/2014/Reskrim., tgl. 12 April 2014 An.

Pelapor Aiptu. Syarif Manik

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 2. LP/291/V/2014/Reskrim., tgl. 10 Mei 2014 An. Pelapor

Aiptu. Syarif Manik

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 3. LP/418/VI/2014/Reskrim., tgl. 16 Juni 2014 An.

Pelapor Aiptu E. Simanjuntak

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 4. LP/702/XI/2014/Reskrim., tgl. 19 November 2014 An.

Pelapor Aipda. Elia Karo-Karo

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana

2 0 1 5 1. LP/22/I/2015/Reskrim., tgl. 12 Januari 2015 An.

Pelapor Aiptu. AP. Situmorang

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 ayat (1) ke-1e, 2e KUHPidana

2. LP/107/II/2015/Reskrim., tgl. 07 Februari 2015 An.

Pelapor Aiptu. E. Simanjuntak

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 ayat (1) ke-1e, 2e

(26)

KUHPidana 3. LP/416/VI/2015/Reskrim., tgl. 02 Juni 2015 An.

Pelapor Aiptu. Budianto

Perjudian Online Turn Poker/

Pasal 303 KUHPidana 4. LP/401/VI/2015/Reskrim., tgl. 06 Juni 2015 An.

Pelapor Aiptu. Nurul Andika

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 5. LP/432/VI/2015/Reskrim., tgl. 06 Juni 2015 An.

Pelapor Aiptu. E. Simanjuntak

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana

2 0 1 6

1. LP/08/I/2016/Reskrim., tgl. 05 Januari 2016 An.

Pelapor Aiptu. Budianto

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 2. LP/97/II/2016/Reskrim., tgl. 08 Februari 2016 An.

Pelapor Aiptu. Budianto

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 3. LP/341/V/2016/Reskrim., tgl. 19 Mei 2016 An. Pelapor

Aiptu. Nurul Andika

Perjudian Online Turn Poker/

Pasal 303 KUHPidana 4. LP/342/V/2016/Reskrim., tgl. 19 Mei 2016 An. Pelapor

Aiptu. Nurul Andika

Perjudian Online Turn Poker/

Pasal 303 KUHPidana 5. LP/438/VI/2016/Reskrim., tgl. 15 Juni 2016 An.

Pelapor Aiptu. Ranto Siburian

Perjudian Jenis Online Bola/

Pasal 303 KUHPidana 6. LP/464/VI/2016/Reskrim., tgl. 27 Juni 2016 An.

Pelapor Aiptu. Nurul Andika

Perjudian Online Jenis Turn Poker/ Pasal 303 KUHPidana 7. LP/675/IX/2016/Reskrim., tgl. 10 September 2016 An.

Pelapor Aiptu. Budianto

Perjudian Online Jenis Bola/

Pasal 303 KUHPidana 8. LP/822/X/2016/Reskrim., tgl. 31 Oktober 2016 An.

Pelapor Aiptu. Nurul Andika

Perjudian Online Jenis Turn Poker/ Pasal 303 KUHPidana

Sumber : Data Laporan Polisi Subnit Judisila Subnit VC. Sat.Reskrim Polrestabes Medan Tahun 2014 s.d. 2016.

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat pada tahun 2014 tindak pidana judi

yang masuk adalah sebanyak 4 (empat) kasus, judi online jenis bola. Jenis perkara

judi online yang masuk adalah pada tahun 2015 sebanyak 5 (lima) kasus judi

online jenis judi bola dan poker. Pada tahun 2016, kasus tindak pidana yang

masuk sebanyak 8 (delapan) kasus yang kesemuanya adalah judi online jenis judi

bola dan poker.

(27)

Terhadap pasal yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana tersebut masih menggunakan Pasal 303 ayat (1) KUHPidana, bukan Undang-Undang No.

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal, sesuai asas

“lex specialis derogat lex generali”, bahwasanya hukum yang bersifat khusus (“lex specialis”) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (“lex generalis”).

12

Apakah Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan dapat menjerat pelaku judi online. Berdasarkan pengamatan awal mengenai sistem perjudian online pada Sesuai Pasal 63 ayat (1) KUHP, menyatakan bahwa : “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.

Dalam hal ini, tindak pidana perjudian online telah terdapat pengaturannya di dalam Pasal 27 UU ITE yang ancaman hukumannya adalah 6 (enam) tahun penjara. Sementara, menurut Pasal 303 ayat (1) KUHP Jo. Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, ancaman hukuman tindak pidana perjudian adalah selama 10 (sepuluh) tahun penjara. Penelitian ini mencoba menganalisis kenapa Subnit Judisila Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan masih menggunakan Pasal 303 ayat (1) KUHP sementara telah terdapat pengaturan yang khusus lagi mengenai tindak pidana perjudian online yaitu Pasal 27 UU ITE.

12

Menurut Bagir Manan, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas

“lex specialis derogat legi generalis”, yaitu : 1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan

hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2)

Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis

(undang-undang dengan undang-undang); 3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam

lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. KUHD dan KUHPerdata sama-sama

termasuk lingkungan hukum keperdataan. Sumber : Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia,

(Yogyakarta : FH UII Press, 2004), hlm. 56.

(28)

situs-situs perjudian online yang sedang marak di kalangan masyarakat, dan melihat kelemahan-kelemahan KUHP tentang penetapan alat bukti yang sah dalam kasus perjudian online, maka penelitian berjudul : “Penegakan Hukum Judi Online Yang Dilakukan Sat.Reskrim Polrestabes Medan Berdasarkan Penerapan KUHP dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, layak untuk dianalisis dan dikaji lebih jauh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka adapun permasalahan yang dapat dirumuskan, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penegakan hukum yang telah dilakukan Subnit Vice Control Sat.Reskrim Polrestabes Medan dalam mengungkap tindak pidana perjudian online (“internet gambling”) dengan menggunakan instrumen KUHP dan UU ITE?

2. Bagaimana kendala penegakan hukum yang telah dilakukan penyidik Subnit Vice Control Sat.Reskrim Polrestabes Medan terkait pengungkapan tindak pidana perjudian online (“internet gambling”) dengan menggunakan instrumen KUHP dan UU ITE?

3. Apa solusi untuk menghadapi kendala penegakan hukum yang telah

dilakukan penyidik Subnit Vice Control Sat.Reskrim Polrestabes Medan

dalam kaitannya dengan pengungkapan tindak pidana perjudian online

(“internet gambling”)?

(29)

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan tersebut, sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis penegakan hukum yang telah dilakukan Subnit Vice Control Sat.Reskrim Polrestabes Medan dalam mengungkap tindak pidana perjudian online (“internet gambling”) dengan menggunakan instrumen KUHP dan UU ITE;

2. Untuk mengkaji dan menganalisis kendala penegakan hukum yang telah dilakukan penyidik Subnit Vice Control Sat.Reskrim Polrestabes Medan terkait pengungkapan tindak pidana perjudian online (“internet gambling”) dengan menggunakan instrumen KUHP dan UU ITE;

3. Untuk mengkaji dan menganalisis solusi untuk menghadapi kendala penegakan hukum yang telah dilakukan penyidik Subnit Vice Control Sat.Reskrim Polrestabes Medan dalam kaitannya dengan pengungkapan tindak pidana perjudian online (“internet gambling”).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya sangat bermanfaat

bagi Peneliti karena sebagai salah satu syarat dan tugas akhir untuk memperoleh

Gelar Magister Hukum dalam mengikuti Program Studi Magister Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain bermanfaat bagi

Peneliti, penelitian ini juga memberikan manfaat, sebagai berikut :

(30)

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi, maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan;

b. Memperkaya khasanah perpustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan agar mengetahui teknik penyidikan pengungkapan tindak pidana perjudian online dengan menggunakan instrumen KUHP dan UU ITE;

b. Sebagai bahan masukan (edukasi) bagi masyarakat agar mengetahui walaupun perjudian konvensional sudah ditinggalkan, namun dalam hal perjudian online yang sering dilakukan masyarakat dapat dijerat dengan tindak pidana berdasarkan KUHP dan UU ITE.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya

Perpustakaan USU, maupun Perpustakaan Cabang USU di Fakultas Hukum USU,

bahwa penelitian ini yang berjudul : “Penegakan Hukum Judi Online Yang

Dilakukan Sat.Reskrim Polrestabes Medan Berdasarkan Penerapan KUHP dan

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, belum pernah

dilakukan. Namun, ada beberapa penelitian yang membahas tentang perjudian

online, akan tetapi, bukan tentang bagaimana mengungkapkan/menjerat pelaku

(31)

perjudian online dengan menggunakan instrumen KUHP dan UU ITE oleh Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan. Rumusan masalah pada penelitian tersebut juga berbeda dari penelitian ini, antara lain :

Tabel 2 Penelitian Terdahulu

NO. JUDUL PENELITIAN PERMASALAHAN NAMA

MAHASISWA 1. KEBIJAKAN KRIMINAL

DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE YANG

DILAKUKAN MARKAS BESAR KEPOLISIAN RI (MABES POLRI)

Tesis diterbitkan 28 Oktober 2013

- Pengaturan tindak pidana judi online dalam peraturan perundang-undangan Indonesia;

- Peran Mabes Polri dalam penanggulangan tindak pidana judi online ditinjau dari kebijakan kriminal;

- Faktor-faktor penghambat Mabes Polri dalam penanggulangan tindak pidana judi online.

MARIA MARGARETTA

SITOMPUL Nim.117005012/HK

2. KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

PERJUDIAN DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA

Tesis diterbitkan 2016

- Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian;

- Kebijakan penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut;

- Faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut.

HARRY AZHAR HASRY Nim.117005112/HK

3. PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH BANK DALAM CYBER CRIME TERHADAP INTERNET BANKING DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DNA

TRANSAKSI ELEKTRONIK Tesis diterbitkan 03 September 2009

- Pengaturan internet banking di Indonesia;

- Bentuk-bentuk cyber crime di bidang perbankan;

- Perlindungan hukum nasabah bank dalam cyber crime terhadap internet banking dikaitkan dengan UU ITE.

KHAIRIL ASWAN HARAHAP Nim.077005051/HK

Sumber : Database Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Universitas Sumatera Utara di Fakultas Hukum USU, diakses hari Senin, tanggal 13 November 2017.

Penulisan penelitian ini memiliki judul, rumusan masalah, dan tujuan

penelitian yang berbeda. Begitu juga dengan kajiannya, yaitu mengenai penerapan

(32)

KUHP dan UU ITE dalam perkara tindak pidana perjudian online dalam penyidikan yang dilakukan Subnit VC Sat.Reskrim Polrestabes Medan, baik itu mengenai rumusan masalah maupun kajiannya tidak ada yang sama dengan penelitian terdahulu. Oleh karenanya, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik berupa isi maupun contoh-contoh kasus yang dipaparkan.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Adapun teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : Teori Sistem Hukum; dan Teori Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Online. Berikut pembahasan teori-teori hukum dimaksud, sebagai berikut :

a. Teori Sistem Hukum

Adapun teori sistem hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang menyatakan efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum, yaitu

13

a. “Substansi Hukum (Substance of The Law)

:

Substansi hukum adalah peraturan perundang-undangan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada pada sistem itu. Jadi, substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak.

b. Struktur Hukum (Structure of The Law)

Struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Ketika berbicara mengenai struktur hukum tidak terlepas dari institusi-

13

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung : Nusa

Media, 2013), hlm. 6.

(33)

institusi aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari polisi, jaksa, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang keseluruhannya memiliki tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

14

c. Budaya Hukum (Legal Culture)

Hukum tidak bisa berjalan dengan baik atau tidak dapat ditegakkan bila tidak ada aparat hukum yang berkredibilitas, kompeten, dan independen.

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat ke arah yang lebih baik. Jadi, bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka melainkan dukungan dari budaya hukum orang-orang yang terlibat dalam sistem hukum dan masyarakat, semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum yang baik”.

Selain beberapa elemen di atas, Soerjono Soekanto juga menambahkan bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor,

15

a. “Faktor hukum itu sendiri;

berikut diantaranya :

b. Faktor penegak hukum;

c. Faktor sarana pendukung;

d. Faktor masyarakat;

e. Faktor kebudayaan”.

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan aspek- aspek tersebut secara stimulan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat karena

14

Zulkifli Koho, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Illegal Fishing di Indonesia (Studi Kasus Penyalahgunaan Metode Tangkapan Dengan Peledak di Wilayah Perairan Kabupaten Alor)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015, hlm. 10.

15

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta :

Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 7.

(34)

merupakan esensi dari penegakan hukum sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Kata “sistem” berasal dari kata “systema” yang diadopsi dari bahasa Yunani yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.

16

Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum.

17

JH. Merryman, mengatakan, “Legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules”.

18

Dalam teori JH. Merryman ini sistem hukum merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum. Kemudian dalam teori Lawrence Milton Friedman, bahwa dalam sistem hukum harus meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.

19

Dalam teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Mengenai total enforcement, menyangkut Bagian penting yang dibicarakan dalam sistem hukum sebagaimana di atas adalah masalah prosedur (dalam JH. Merryman) dan struktur hukum (dalam Lawrence Milton Friedman) untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian ini. Alasan memfokuskan analisis ini pada prosedur dan struktur hukum bahwa prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum (law inforcement).

16

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 4.

17

HS. Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2012), hlm. 71.

18

JH. Merryman dalam Loc.cit.

19

Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh

Wishnu Basuki, (Jakarta : Tatanusa, 2001), hlm. 9.

(35)

penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahapan-tahapan itu, hukum pidana substantif memberikan batasan-batasan.

Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik- delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

20

Sedangkan full enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement yang dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal.

Kemudian dalam actual enforcement, menurut Joseph Goldstein actual enforcement merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Di mana bahwa full enforcement dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan- keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

21

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang

20

Joseph Goldstein dalam Muladi, Op.cit., hlm. 40.

21

Ibid.

(36)

tidak diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

22

Komponen-komponen tersebut sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, Lawrence Milton Friedman menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.

23

Sistem peradilan pidana erat kaitannya dengan mekanisme kerja aparatur penegak hukum untuk melaksanakan dan menerapkan hukum pidana dalam kerangka SPP yang dikatakan oleh Remington dan Ohlin, sebagai berikut

24

Menurut Mardjono Reksodiputro sistem hukum dalam kerangka SPP memiliki tujuan, yaitu

:

“Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang- undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”.

25

1) “Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

:

2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas dengan keadilan yang telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

3) Mengusahakan agar pelaku yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya”.

22

Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 5.

23

Lawrence M. Friedman, Op.cit.

24

Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta : Binacipta, 1996), hlm. 14.

25

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia : Melihat Pada Kejahatan

dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap

Universitas Indonesia, (Jakarta : FH-UI, 1993), hlm. 1.

(37)

Kepolisian berperan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan berperan melakukan fungsinya di bidang penuntutan terhadap perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya. Sementara Pengadilan memainkan peranan penting dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidana kepada pelaku.

Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Lembaga tersebut sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya berlangsung berbagai proses interaksi di mana para aktor dalam litigasi berperan menegakkan hukum, serta bertemunya kepentingan-kepentingan yang berbenturan.

26

b. Teori Pembuktian Tindak Pidana

Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan dasar bagi hakim untuk menarik kesimpulan ataupun menjatuhkan pidana dalam sidang pengadilan dan menyatakan bahwa seorang terdakwa terbukti secara sah atau tidak terbukti dalam melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatur penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses pembuktian disebutkan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

26

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas Media

Nusantara, 2006), hlm. 212.

(38)

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa disidang pengadilan. Rusli Muhammad menyebutkan, “Ada beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Teori ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori tersebut”.

27

1)

Teori pembuktian tersebut antara lain :

Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim (“Conviction in Time”)

Teori ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan.

28

27

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 186.

28

Ibid.

Menurut teori ini, sangat memungkinkan bagi seorang hakim untuk

mengabaikan hal-hal tertentu jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan

keyakinan hakim tersebut. Apabila bukti-bukti lainnya sebagai pendukung

pembelaan terdakwa itu tidak diakui dan diterima oleh hakim, maka hal ini dapat

membuat suatu putusan hakim dianggap tidak adil.

(39)

2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (“Conviction Raisonnee”)

Teori ini tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam teori ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya. Keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinan itu.Alasan tersebut harus reasonable yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran.

29

3)

Dalam teori ini tidak disebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ini mirip dengan teori pembuktian conviction intime yakni sama-sama menggunakan keyakinan hakim, perbedaannya hanya terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Oleh karena itu teori pembuktian dengan alasan yang logis lebih maju dibandingkan teori berdasarkan keyakinan hakim.

Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Berwijstheorie)

Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti tersebut di dalam Undang-Undang. Jika alat-alat bukti tersebut telah

29

Ibid.

(40)

terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.

30

4)

Teori ini sudah menuntut bukti-bukti yang harus dipenuhi sebelum hakim dapat menjatuhkan putusan. Jadi sangat bertentangan dengan teori berdasarkan keyakinan hakim. Teori ini akan lebih mempercepat penyelesaian suatu perkara dan memudahkan hakim dalam membuat keputusan karena bukti-bukti yang kuat akan mengurangi kesalahan dalam menjatuhkan putusan pengadilan.

Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Berwijstheorie)

Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

31

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif karena kedua syarat yang harus dipenuhi

Teori pembuktian ini menggunakan kombinasi dalam menjatuhkan putusan. Jadi apabila alat-alat bukti telah sah dan hakim tersebut mempunyai keyakinan terhadapnya, maka terdakwa dapat diputuskan bersalah dan dijatuhi sangsi pidana. Membahas tentang sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, perlu membahas Pasal 183 KUHAP.

30

Ibid., hlm. 187.

31

Ibid., hlm. 188.

(41)

dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal 183 dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti yang sah. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP ini telah disebutkan bahwa : “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang”.

Bila ada alat bukti selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang diluar KUHAP tersebut, maka akan digolongkan sebagai tambahan jenis alat bukti hukum yang sah dari jenis alat-alat bukti yang sah sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu perlu adanya perluasan alat bukti di Indonesia khususnya dalam pembuktian kasus perjudian online.

UU ITE telah memperluas atau menambahkan jenis alat bukti hukum yang baru dengan menyatakan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diakui sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan. Barang- barang bukti seperti perangkat elektronik maupun catatan elektronik baik berupa bukti transaksi uang melalui rekening bank ke pemilik situs perjudian, kepemilikan ID dan situs perjudian yang dikunjungi, SMS, BBM (Blackberry Messenger), e-mail, komputer, handphone, modem dan akses-akses elektronik lainnya yang bermuatan perjudian sudah dianggap sebagai barang bukti kejahatan.

Dengan dikeluarkannya UU ITE, yang memperluas pengertian alat bukti

sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebelumnya, UU ITE telah

mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum

acara di Indonesia. Ada 2 (dua) hal penting di dalam UU ITE mengenai

pembuktian tindak pidana perjudian online diantaranya adalah :

(42)

1) Barang bukti digital (digital evidence) pada Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE, bahwa :

Pasal 1 angka 1 :

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang”.

Pasal 1 angka 4 :

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.

2) Alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di

Indonesia terdapat pada Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU ITE, bahwa :

(1) “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yangberlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Sedangkan untuk pembuktian dalam UU ITE melibatkan penyidikan

khususnya pada Pasal 43 ayat (5) huruf e yang berbunyi :

(43)

“Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kejahatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang ini”.

Kehadiran Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, akan memberikan manfaat, beberapa diantaranya

32

1) “Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik;

:

2) Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia;

3) Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi;

4) Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi”.

Dalam UU ITE ini, sudah diatur tentang Perbuatan Dilarang yaitu termasuk perjudian secara online yang dijelaskan pada Pasal 27 ayat (2), yaitu :

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.

Perbuatan ini diancam dengan pasal 45 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dengan keluarnya UU ITE ini, perjudian seharusnya lebih mudah untuk ditindaklanjuti. Karena kelemahan KUHAP dalam pembuktian tindak kejahatan

32

Damang, “Urgensi Transaksi Elektronik Dalam UU ITE”,

http://www.negarahukum.com/hukum/urgensi-transaksi-eektronik-dalam-uu-ite.html., diakses

pada hari Minggu, tanggal 12 November 2017.

(44)

perjudian melalui internet sudah diperkuat oleh Undang-Undang ini. Alat bukti yang telah diatur oleh KUHAP secara limitatif, tertera dalam Pasal 184 KUHAP adalah :

1) “Keterangan Saksi;

2) Keterangan Ahli;

3) Surat;

4) Petunjuk;

5) Keterangan Terdakwa”.

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga perlu melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain

33

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,

:

a) “Proses Acquiring dan Imaging

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/

menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

b) Melakukan Analisis

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan.Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan”.

Dalam Pasal 6 UU ITE menyebutkan :

33

Radian Adi, “Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3077/cara-pembuktian-cyber-crime-menurut-hukum-

indonesia., diakses pada hari Minggu, tanggal 12 November 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)

Erwin Harris Rahman : Tindak Pidana Penggelapan Yang Dilakukan Pejabat Notaris Dikaitkan Dengan Sumpah Jabatan Notaris (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan 2601/Pid.B/2003/

Selanjutnya, dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 pada angka 2 huruf a dinyatakan bahwa: “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam

Ketentuan dalam annex yang menyangkut perundingan di bidang angkutan laut dalam ayat (1) menyatakkan bahwa Pasal 2 dan annex tentang pengecualian Pasal 2 termasuk keharusan

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

Travel Medan dengan konsumennya hanya berbentuk lisan tanpa ada perjanjian tertulis, perlu dibuat penelitian mengenai kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian

Suhaidi, SH, M.H selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam