• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM MENGENAI HUKUMAN DENDA DALAM KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DILIHAT DARI PERSPEKTIF

VIKTIMOLOGI

TESIS

OLEH :

LIANTHA ADAM NASUTION 157005031/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

ANALISIS HUKUM MENGENAI HUKUMAN DENDA DALAM KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DILIHAT DARI PERSPEKTIF

VIKTIMOLOGI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

LIANTHA ADAM NASUTION 157005031/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Tanggal Lulus : 24 Januari 2018 Telah diuji

Pada Tanggal : 24 Januari 2018

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum Anggota : 2. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.H

3. Dr.Marlina, S.H., M.Hum 4. Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A

5. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

(5)
(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

Nama : Liantha Adam Nasution

NIM : 157005031

Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 01 Mei 1993 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Perhubungan. Gg. Karto. Perumahan Ray Pendopo II No. 1 Laut Dendang, Deli Serdang

Nama Bapak : Rahman Nasution, S.Sos, M.Si Nama Ibu : Naimah Siregar, S.E

No. Hp : 081360891493

Email : [email protected]

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN Formal

1999-2005 : SDN 158466 Sibuluan I.B Pandan, Tapanuli Tengah 2005 -2008 : MTS Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan 2008 -2011 : SMA Swasta Al–Azhar Medan

2011- 2015 : Strata I Al-Ahwal Asyakhsiyah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

2015-2018 : Strata II Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

ABSTRAK

Anak sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia (SDM) bagi pembangunan Nasional.

Setiap anak memiliki hak asasi sama seperti manusia pada umumnya. Melihat pada saat ini begitu banyaknya kasus-kasus kejahatan yang dialami oleh anak-anak yang menyebabkan kejiwaan anak terganggu dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya.Agar dapat berjalan dengan baik maka perlu dilakukannya penegakan hukum bagi pelaku tindak kekerasan seksual sehingga dapat memberikan efek jera dan meminimalisir tindak kekerasan seksual terhadap anak. pengaturan Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak selain menerapkan hukuman penjara terdapat juga pemberian Hukuman denda yang mana hasil dari pidana tersebut otomatis masuk kedalam kas Negara, Maka diambil perumusan masalah yaitu bagaimana pengaturan Hukuman Pidana denda dalam kasus kekerasan seksual, bagaimana faktor-faktor terjadinya kekerasan seksual dan bagaimana kebijakan Hukum pidana mengenai Hukuman denda dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak serta upaya perlindungan hukum terhadap korban dalam perspektif Viktimologi.

Spesifikasi penelitian ini merupakan penelitian Hukum Normatif bersifat deskriptif analitis yang menggunakan penelitian tehadap Sinkronisasi hukum.Pendekatan yang digunakan yaitu Pendekatan Undang–undang dan Pendekatan kasus. Sumber Data yang digunakan berupa data sekunder.Lokasi Penelitian ini diadakan pada Pengadilan Negeri Medan kelas 1 A khusus dengan mewawancarai terhadap hakim. Penelitian ini dilakukan dengan cara Studi kepustakaan / Dokumen dan Wawancara saja. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

Berdasarkan dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan terhadap Hukuman denda yang tercantum didalam KUHP atau Undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak pada penerapannya dalam rangka perlindungan korba saat ini Hukuman Denda bersifat Retributif lebih mengutamakan Penghukuman dan pemenuhan hak-hak tersangka atau terdakwa pada Fungsinya terutama menitik beratkan perlindungan pada harkat dan martabat tersangka atau terdakwa, dalam KUHP ,undang-undang perlindungan anak, undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan undang-undang Tindak Pidana perdagangan. konsep saat ini tidak mengatur hukuman denda diberikan kepada korban dalam rangka perlindungan korban. Jika ingin mendapatkan ganti rugi maka korban harus mengajukan permohonan restitusi yang mana Restitusi tidak diambil dari hasil pidana denda yang justru masuk menjadi pendapatan negara. Maka perlu untuk diubah konsep saat ini Hukuman denda mestinya bersifat restorative yaitu agar terpenuhinya kepentingan pelaku dan Korban dalam rangka perlindungannya

Kata Kunci : Hukuman, Denda, Kekerasan Seksual, Anak, Viktimologi

(8)

ABSTRACT

Children as the young generations are the successors to the ideals of the nation’s struggle and are the human resource for the National Development. Every child has equal human right like everyone in general. There are many criminal cases experienced by children causing mental disorders that they can no longer perform their obligations. Law enforcement needs to be conducted to the sexual violence perpetrators so that it will give them deterrence and minimize sexual violence against children. Sentence regulation for the perpetrators of sexual violence against children, besides imprisonment, also applies the sentence to fine which money is automatically put into the State Treasury Fund. The problems of this research are how the criminal sentence to fine is regulated in sexual violence case, what factors cause sexual violence and how the criminal law policy concerning the sentence to fine in the case of sexual violence against children is, and how the efforts of legal protection for the victim in Victimology perspective.

This is specifically a Normative Legal Research with descriptive analysis which studies the Synchronization of law. Statutory approach and case approach are employed in this research. The data source is secondary data. The research was done in Medan District Court for Class 1 A specific by having interview with the judge. It was done by means of Library/Document Study and interview. The analysis was done qualitatively.

Based on the results of the research and the analysis done by the author about the sentence to fine stated in KUHP (the Criminal Code) or the Law that regulates sexual violence against children, in its implementation, Sentence to fine that is retributive is implemented to protect the city today. It puts priority to the sentence and fulfills the rights of the suspect/defendant. Its function mainly stresses on the protection of the suspect/defendant’s prestige and dignity, in KUHP, child protection law, law of eradication of domestic violence and the law on trafficking. The concept applied in the present time does not regulate the sentence to fine that is given to the victim for their protection. If the victims want to obtain compensation, they have to file an application of restitution. This restitution is not to be taken by the victim, but it is kept in the Treasury Fund. Therefore, today concept needs to be amended; the sentence to fine should be restorative, so that it can meet the benefit for the protection of the perpetrator and victim.

Keywords: Sentence, Fine, Sexual Violence, Child, Victimology

(9)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahhirabbil’alamin, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, hidayah serta karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.Penulisan tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul tesis ini adalah “Analisis Hukum Mengenai Hukuman Denda dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap anak dilihat dari Perspektif Viktimologi”.

Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan tesis ini.Akan tetapi penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari segala kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan.Untuk itu penulis memohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala hormat penulis, mengucap terimakasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara

5. Bapak Prof. Dr. Ediwarman,S.H, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing/

Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah meluangkan waktu memberikan

(10)

bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini, bahkan nasehat, motivasi dalam menyelesaikan persoalan perkuliahan.

6. Bapak Dr. Ekaputra, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang sering berdiskusi dan bertukar pikiran dengan penulis, juga telah memberikan bimbingan dan memberi masukan bagi penulisan dalam pendalaman materi tesis ini.

7. Ibu Dr. Marlina, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III penulis yang sering berdiskusi dan bertukar pikiran dengan penulis, juga telah memberikan bimbingan dan memberi masukan bagi penulis dalam penulisan untuk kesempurnaan tesis ini.

8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A, selaku Dosen Penguji I Tesis Penulis, yang telah memberikan masukan secara teliti, baik dalam seminar proposal penelitian, seminar hasil penelitian maupun sidang meja hijau supaya tesis penulis menjadi lebih baik

9. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum, selaku Dosen Penguji II Tesis Penulis, yang telah memberikan masukan secara teliti, baik dalam seminar proposal penelitian, seminar hasil penelitian maupun sidang meja hijau supaya tesis penulis menjadi lebih baik

10. Bapak dan Ibu Guru Besar/ Dosen/ Staf pengajaran dan staf administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mentransfer ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan

(11)

11. Sembah sujud penulis kepada Ayahanda Rahman Nasution, S.Sos, M.Si dan Ibunda Naimah Siregar, S.E, yang telah membesarkan dan meridhoi setiap langkah penulis untuk menimba ilmu dan tidak lupa kepada kedua adik penulis tersayang ; Fatimah Islamy Nasution, S.H.I, dan Anantha Aulia Rahman Nasution.

12. Kepada teman-teman stambuk 2015 kelas Reguler A pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara.

13. Kepada teman-teman pada kelas pidana Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara.

14. Kepada teman-teman Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang sama-sama berjuang dalam masa perkuliahan yaitu Aida Nurhasanah, S.H.I, dan Fatimah Islamy Nasution, S.H.I, semoga dapat meraih kesuksesan kedepannya

15. Kepada teman-teman seperjuangan dan sudah penulis anggap sebagai saudara adalah Rudi Hartanto, S.H, Bang Alief Oemry S.H, Fahmi Tanjung, S.H, M.H atas segala duka dan suka yang kita alami bersama, semoga pertemanan dan persaudaraan kita tetap di ridhoi oleh Allah SWT.

16. Kepada seluruh sahabat, adik-adik, seperjuangan di Keluarga Besar Forum kajian Ilmu Syari’ah (FoKIS) Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang memberikan semangat kepada penulis.

Semoga semua bantuan materil dan immaterial, motivasi dan do’a yang telah diberikan, dibalas oleh Allah SWT sebagai amala shaleh.

(12)

Besar harapan penulis, tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum pidana khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.Wassalam.

Medan, 23 Januari 2018

Liantha Adam Nasution

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Kerangka Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 29

1. Spesifikasi Penelitian ... 31

2. Metode Pendekatan ... 33

3. Sumber data ... 34

4. Lokasi Penelitian ... 35

5. Alat Pengumpul data ... 35

6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan data ... 36

7. Analisis data ... 36

BABII PENGATURAN HUKUM PIDANA MENGENAI PIDANA DENDA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK ... 38

A. Inventarisasi Peraturan Pidana terkait Tindak Pidana KekerasanSeksual Terhadap Anak ... 38

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 38

2. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang perubahan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang PerlindunganAnak ... 45

3. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan dalam rumah tangga ... 53

4. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 55

B. Sinkronisasi Peraturan terkait Tindak Pidana Kekerasan seksualterhadap Anak ... 59

C. Perlindungan Hukum terhadap Korban Melalui Pidana Denda ... 62

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAKPIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA ... 68

A. Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana………. ... 68

(14)

1. Faktor Internal Yang Menyebabkan Ternjadinya

KekerasanSeksual Terhadap Anak ... 75

2. Faktor Eksternal Yang Menyebabkan Terjadinya KekerasanSeksual Terhadap Anak ... 77

B. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak ... 81

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI HUKUMAN DENDA DALAM KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK ... 86

A. Kebijakan Kriminal dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak . 86 1. Kebijakan Penal ... 91

2. Kebijakan Non Penal ... 96

B. Kebijakan Viktimologi Mengenai Hukuman Denda pada tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(15)

BAB I PENDAHULUAN D. Latar Belakang

Status dan kondisi anak Indonesia adalah Paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masihdan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.1

Kekerasan terhadap anak seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisikal dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat Psikis dan sosial ( Struktural ) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya, istilah child abuseatau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai yang bersifat fisik (Physical Abuse) hingga Seksual (Sexual abuse), dari yang bermatra psikis (Mental Abuse) hingga Sosial (Social Abuse) yang berdimensi kekerasan struktural.2

Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusiahingga saat ini tidak mereka dapatkan, sehingga anak berulang kali menjadi korban.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinya semakin tidak

1 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak,( Bandung : Penerbit Nuansa, 2006), Halaman. 13

2 Abu Huraerah, Ibid. Halaman. 14

(16)

berperikemanusiaan. Kuantitas kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan3

Beradasarkan Data yang tercatat pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2015 menunjukkan, dari 1.726 kasus pelecehan seksual yang terjadi, sekitar 58 persennya dialami oleh anak-anak. Sebagai pembanding, dari 3.339 kasus kejahatan terhadap anak, tahun 2014 kasus-kasus pelecehan seksual mencapai 52 persen. Sementara pada tahun 2013, dari 2.700 kasus kriminal yang melibatkan anak di bawah umur, 42 persen merupakan kasus pelecehan seksual.4

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat korban. Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru. Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal.

. berdasarkan data tersebut kekerasan seksual terhadap anak semakin tinggi dan perlu mendapat perhatian khusus.

5

3 Wisnu Sri Hertinjung, Dinamyc of causes of Child Sexual Abuse Based on Availability Of Personal Space and Privacy,Diunduh Tanggal 09 Maret 2017

4http://news.okezone.com/read/2016/01/22/337/1294743/kpai-catat-pelecehan-seksual- ialami- anak-capai-58 di akses Tanggal 08 Februari 2017

5Ivo Noviana, Kekerasan Seksual Terhadap Anak:Dampak dan Penaganannya,Jurnal Hukum, diunduh pada tanggal 09 Maret 2017

(17)

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya.

Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.

Dampak terhadap anakyang menjadi korban dari Kejahatan Seksual ialah menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaran menghadapi resiko usia yang lebih pendek, kesehatan fisik dan mental yang buruk, masalah pendidikan (termasuk Dropt-out dari sekolah), Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak, dan menjadi gelandangan.

Sementara itu, YKAI ( yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ) dalam Suharto menyimpulkan bahwa akibat dari kekerasan Terhadap anakantara lain6

1. Cacat Tubuh Permanen

:

2. Kegagalan Belajar

6Abu Huraerah,Op.Cit..Halaman. 46

(18)

3. Gangguan emosional bahkan dapat menjerumuskan pada gangguan kepribadian

4. Konsep diri yang buruk dan ketidak mampuan untuk mempercai atau mencintai orang lain

5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain

6. Agresif dan kadang – kadang melakukan tindakan kriminal 7. Menjadi penganiaya ketika dewasa

8. Menggunakan obat – obatan atau alkohol 9. Kematian

Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan- kegiatan tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan.7

1. Kekerasan seksual yang diatur didalam KUHP

Adapun jenis–jenis kekerasan seksualterhadap anak yang mendapat perlindungan khusus dari No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang–

undang No. 23 Tahun 2002yaitu :

2. Kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk eksploitasi seksual sebagaimana diatur di dalam pasal 66 UU No.23 Tahun 2002.

3. Kekerasan seksual terhadap anak yang didahului dengan penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana yang diatur dalam pasal 68 UU No. 23 Tahun 2002.

4. Kekekrasan seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam pasal 69 UU No. 23 Tahun 20028

Mencermati hal tersebut perlu disadari bahwa dalam melindungi anak dari tindak kejahatanKekerasan seksual tidak hanya membutuhkan perlindungan dari orang tua, melainkan juga masyarakat sekitar dan pemerintah harus turut serta.

7 Wisnu Sri Hertinjung, Op.Cit. Halaman. 1

8 Wisnu Sri Hertinjung, Ibid, Halaman. 57

(19)

Hukum di Indonesia telah mengatur Perlindungan terhadap anak dari kehajatan kekerasan seksual, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia bahwa pelaku kejahatan Kekerasan Seksual terhadap anak dikenakan pada pasal 2859 KUHP dan Pasal 28910

Secara Khusus Jika melihat dari Undang-udangNomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang – undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pelaku kejahatan Kekerasan seksual terhadap anakdikenakan pasal 81

KUHP yang mana di dalam pasal tersebut hukuman yang diberikan berupa tindak pidana penjara saja. Hukuman Bagi pelaku kekersan seksual juga dikenakan dengan UUNo.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang – undang No. 23 Tahun 2002, di dalam Undang-undang tersebut terdapat dua model sanksi pidana yaitu berupa pidana penjaradan pidana denda yang terdapat pada pasal 77 sampai dengan pasal 90.

11 dan pasal 82 di dalam pasal – pasal tersebut terdapat hukuman badan yaitu Penjara maksimal 15 Tahun dan Hukuman denda Maximal Rp. 300.000.000.12

9 Pasal 285 KUHP Berbunyi: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana Penjara paling lama dua belas tahun”

10 Pasal 289 KUHP Berbunyi :Barang siapa dengan kekerasan atas ancaman kekerasan memaksa Seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, di ancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”

11Pasal 81 UUPA Berbunyi “(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”

12Nisha Amalia Pratiwi dan I Ketut Sudantra, Kajian Yuridis Pidana DendaTerhadap Kekerasan Seksual pada Anak dibawah umur,Diunduh pada Tgl. 1 Maret 2017. Halaman. 4

(20)

Sesuai dengan perarturan Undang-undang maka uang hasil eksekusi terhadap pidana denda di setorkan kepada Kas negara13, Setoran hasil dari pidana denda menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP)14

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;

, seperti yang dijelaskan dalan UU No. 20 tahun1997 Tentang Penerimaan Negara bukan Pajak yaitu pada pasal 2 huruf e :

Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi:

b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yangdipisahkan;

d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;

e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari f. pengenaan denda administrasi;

g. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;

h. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.

Undang-undang diatas dapat dilihat bahwauang hasil dari Hukuman denda yang di jatuhi kepada pelaku kejahatan masuk kedalam kas negara tampa ada pemberian bangian dari uang denda tersebut dalam rangka Perlindungan terhadap korban, disatu sisi negara mendapatkan keuntungan dari penghukuman tersebut dengan menambahnya Pemasukan negara dan terhadap korban tidak ada bagian dalam hal rehabilitasi.

Hukuman Denda dan dampaknya pada Perlindungan Korban, masih menyisakan berbagai persoalan dalam Hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktek hukum. Kenyataannya dalam

13Didalam Penjelasan UU no 20 Tahun 1997 Pasal 2 yang dimaksud dengan Kas Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang Negara yang dibukadan ditetapkan olehMenteri untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran Negara,dibukukan pada setiap saat dalam 1 (satu) tahun anggaran serta dipertanggungjawabkan dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

14Nisha Amalia Pratiwi dan I Ketut Sudantra, Op.Cit. Halaman. 4

(21)

praktek peradilan di Indonesia menunjukkan belum ada keseimbangan asas Monodualistik atara Kepentingan negara dan Perlindungan korban.

pada kasus Misalnya, dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Tanggal 25 April 2014 No.1760/Pid.B/2013/PN.LP.SR, amar putusannya hakim Menjatuhi Hukuman Pidana penjara 6 tahun dan Pidana denda sebasar Rp.

60.000.000 terhadap Terdakwa kasus Pencabulan Terhadap anak,15dan terdapat juga dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Tanggal 21 September 2016 No.437/PID.SUS/2016/PT.MDN dengan amar putusan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 19 juli 2016 No.827/Pid.Sus/2016/PN-MDN yang amar putusan nya menjatuhi Hukuman Pidana Penajara 11 Tahun dan pidana denda Sebesar Rp. 60.000.000.16 jika melihat dari kasus diatas didalam putusan tersebut tidak ada mencantumkan bahwa uang hasil dari Hukuman denda untuk ganti rugi terhadap korbandalam rangka perlindungan Korban.Dalam hal ini, kesan yang didapat adalah negara di satu sisi melakukan perlindungan terhadap anak dibawah umur dengan memberikan hukuman yang cukup berat kepada pelaku namun di sisi lain negara seakan-akan mengeksploitasi anak dengan mencari pendapatan dengan adanya kasus kekerasan seksual atau kasus perlindungan anak lainnya17

15Direktori Putusan Mahkamah Agung, Diunduh pada Tgl. 15 Februari 2017

16Ibid.

17Nisha Amalia Pratiwi dan I Ketut Sudantra, Op.Cit.Halaman. 5

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk membahas hal tersebut dalam tesis ini dengan judul “Analisis Hukum Mengenai Hukuman Denda Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dilihat dari Presfektif Viktimologi

(22)

E. Perumusan Masalah

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Pidana Mengenai Pidana Denda terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak, apakah telah memberikan perlindungan hukum terhadap korban ?

2. Bagaimana Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak ? 3. Bagaimana kebijakan Hukum Pidana mengenai Hukuman Denda dalam kasus

kekerasan seksual terhadap anak serta upaya perlindungan Hukum terhadap korban dalam persfektif Viktimologi ?

F. Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penulisan Tesis ini adalah

1. untuk mengetahui Pengaturan Hukuman Pidana Denda dalam sistem Pemidanaan

2. untuk mengetahui dan menggambarkanFaktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual terhadap anak.

3. untuk mengetahui dan menggambarkanKebijakan Hukum Pidana dalam mengatur Hukuman Denda dalam rangka Perlindungan Korban dalam Perspektif Viktimologi.

G. Manfaat Penelitian

Kegiatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun praktis, Sebagai berikut :

(23)

1. Secara Teoritis

a. Untuk memberikan informasi dan kontribusi baru bagi pengembangan bidang pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana khususnya.

b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan suatu gambaran lebih nyata mengenai dampak Hukuman denda yang diberikan kepada pelaku dan hukuman tersebut dalam rangka perlindungan korban kekerasan seksual terhadap anak, sehingga dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut oleh para mahasiswa Fakultas Hukum serta memicu diadakannya penelitian lain yang lebih mendalam tentang Hukuman Denda dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.

2. Secara Praktis

a. Untuk memberikan kontribusi pemikiran dan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam rangka megoptimalkan Hukuman Denda pada Kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dan perlindungan korban

b. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum (Kepolisian, Hakim, kejaksaaan,Advokat,Akademisi) dan masyarakat dalam memahami Hukuman Denda dalam Rangka Perlindungan Korban.

E. Keaslian Penelitian

Menurut data yang ada berdasarkan pemeriksaan dan hasil–hasil judul Penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), Tesis mengenai judul ini belum pernah dilakukan Penelitian, hingga tesis ini ditulis,

(24)

meskipun dalam bentuk makalah pada seminar–seminar, maupun dalam diskusi panel sudah pernah dilakukan pembahasan atau diskusi.

Penulisan tesis ini dapat dipertanggungjawabkandan memiliki keaslian sesuai dengan asas–asas keilmuan yang harus di junjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritis yang sifatnya konstruktif (membangun)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan Ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangan ditentukan oleh teori.18

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut Variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satub penyebab.19

Menurut, Satjipto Raharjo, Kerangka Teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai–nilai oleh postulat–postulat hukum sampai pada landasan filosofisnya yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai

18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), Halaman. 6

19J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik ( Jakarta : Rineka Cipta, 2003) Halaman.

192 - 193

(25)

kelanjutan dari mempelajari hukum Posistif, setidak–tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita dapat merekronstruksi kehadiran teori hukum secara jelas20

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :

b. Teori sangat berguna untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenis yang ada

c. Teori merupakan suatu ikhtisar daripaa hal–hal yang diteliti

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi dimasa yang akan datang.21

Penelitian ini mengkaji tentang Analisis Hukum Mengenai Hukuman Denda Dalam Kasus Kekerasan Terhadap Anak Dilihat Dari Presfektif Viktimologi, berkat dari lingkup kajian tersebut, tentu diperlukan teori yang tepat dan mampu menuntun kearah tercapainya tujuan penelitian. untuk itu, dengan berbagai pertimbangan yang telah difikirkan dengan matang, ditetapkanlah teori yang digunakan dalam penelitian ini secara berurutan sebagai berikut :

1. Teori Sistem sebagaiGrand Theory ( Teori dasar )

Sistem hukum menggambarkan berbagai norma hukum. Norma-norma hukum dapat ditemukan dalam undang-undang, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, termasuk norma yang terdapat dalam putusan hakim. Sistem hukum merupakan transformasi suatu gejala sosial menjadi norma hukum.

20Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), Halaman 253

21Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta : UI Press, 1986), Halaman. 121

(26)

Teori Sistem Hukum di kemukakan oleh Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa suatu sistem hukum mengandung tiga komponen yaitu :

a. Legal Structure ( Struktur Hukum ) b. Legal Substance ( Substansi Hukum ) c. Legal Culture( Budaya Hukum )22

Structure Menurut Friedman adalah “The Structure of a System its Skeletal Framework; it is the Permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process following within bounds”. Struktur adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak didalam suatu mekanisme, berkaitan dengan lembaga pembuat undang – undang, pengadilan, penyidikan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. Structure adalah kerangka atau rangkanya sistem hukum, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan bangunan hukum. Struktur hukum termanifestasikan dalam bentuk lembaga – lembaga atau individu petugas pelaksana lembaga tersebut. Lawrence M. Friedman memberi contoh struktur sebagai Mahkamah Angung Amerika Serikat dengan sembilan Hakim Agung didalamnya. Struktur hukum ini termasuk di dalamnya struktur institusi penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.23

Subtance menurut Friedman adalah “the substance is composed of substantive rules and rules about how institution should be have”,Substance yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut, yang dapat berbentuk Inconcreto, atau norma hukum individuyang berkembang dalam masyarakat, hukum yang hidup dalam masyarakat (Living law). Maupun hukum

22Soerjono Soekanto, Faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman. 3

23Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika ; Sebuah Pengantar, Penerjemah : Wishnu Basuji, ( Jakarta : Tatanusa, 2001), Halaman. 6 - 12

(27)

Inabstracto, atau norma hukum umum yang tertaung dalam kitab undang–undang (Law in Book).24

Pada Konteks Indonesia substansi peraturan perundang–undangan khususnya peraturan hukum dalam bentuk tertulis, sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai–nilai yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut harus dilakukan dengan mengabstraksi nilai – nilai yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945, dan kemudian menderivasi sejumlah asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang–undang.25 Berkaitan dengan hal tersebut, substansi hukum yang dilahirkan tentu harus dapat mencegah terjadinya pertentangan atau bentrokan diantara kepentingan manusia (Conflic of human interest), dan sekaligus dapat memberikan tuntunan tentang bagaimana seseorang harus bertindak agar kepentingan manusia terlindungi, dengan disertai sanksi supaya terjamin.26

Culture adalah “ the legal Culture, system – their beliefs, values, ideas, and expectation”. Cultur yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya, kultur atau budaya hukum berupa sikap tindak masyarakat beserta nilai – nilai yang dianutnya, atau dapat juga dikatakan, bahwa budaya hukum adalah keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta nilai – nilai yang dianutnya, atau dapat juga dikatakan, bahwa budaya hukum adalah keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap tidak yang mempengaruhi hukum, seperti adanya rasa malu, rasa bersalah apabila melanggar hukum dan sebagainya.27

24 Lawrence M. Friedman, Ibid,. Halaman. 6 – 12

25 Syafruddin Kalo, Penegakan Hukum yang menjamin Kepastian Hukum dan rasa keadilan Masyarakat, diunduh dari www.academia.edu. Pada Tgl. 28 Februari 2017, Halaman. 6

26Sudikno Metokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum,(Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1986), Halaman. 107

27Lawrence M. Friedman, Op. Cit. Halaman. 8

(28)

Budaya hukum merupakan unsur penting dalam sistem hukum, karena budaya hukum memperlihatkan pemikiran dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagai hukum tersebut ditaati, dihindari, atau disalahgunakan. Lawrence M. Friedman menjelaskan pentingnya budaya hukum dengan memberikan kiasan filosofis ikan dengan air “ without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying a basket, not a living fish swimming in its sea”. Hukum tanpa budaya hukum adalah seperti ikan mati dalam suatu ember, bukan ikan yang hidup berenang di samudra sebagai wahananya.28

Setiap masyarakat, setiap daerah, setiap kelompok memiliki budaya hukum (Legal Culture) masing–masing, mereka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain ide, pandangan, dan sikap masyarakat terhadap hukum di pengaruhi oleh sub culture seperti suku, atau etnik, usia , jenis kelamin, atau sosial ekonomi, kebanggaan , pekerjaan dan pendapatan, kedudukan dan kepentingan, lingkungan dan agama.29

28Lawrence M. Friedman, Ibid, Halaman. 9

29Lawrence M. Friedman, Ibid.

Budaya hukum sebagai wujud pemikiran dalam masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat. Karenanya pemahaman akan budaya hukum suatu masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek–aspek kemasyarkatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi didalamnya.Karenanya teori hukum (Legal Theory) dalam kerangka ini merupakan budaya silang, bagaimanapun

(29)

arti dari hak, kebebasan, dan keadilan akan berbeda secara substansial dari satu budaya ke kebudayaan lain.30

Menurut teori pidana dijatuhkan semata – mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupaka akibat mutlak yang harus ada bagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andeaes tujuan utama dari pidana menurut teori Absolut atau Teori Pembalasan ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan (To satisfy the claim of justice) sedangkan pengaruh–

pengarugnya yang mengguntungkan adalah sekunder jadi menurut nya bahwa pidana yang dijatuhkan semata–mata untuk mencari keadilan dengan melakukan pembalasan.

2. Teori Pemidanaan sebagaiMiddle Theory (Teori Menengah)

Dalam Konteks Pemidanaan biasanya teori pemidanaan di bagi dalam 3 gologongan besar, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

31

Tuntutan dari keadilan yang sifatnya absolut ini dapat terlihat dengan jelas dalam pendapat immanuel kant yaitu pidana merupakan suatu tuntutan kesusialaan. Kant memandang pidana sebagai Kategorische Imperatif yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan dan

30 Erma Rajagukguk, Filsafat Hukum (Ekonomi), bahan kuliah, di unduh dari www.ermanhukum.com, tgl, 01 Maret 2017. Halaman. 4

31Muladi dan Barda Nawaw Ariefi, Teori – teori dan Kebijakan Pidana,(Bandung : PT Alumni, 1998), Halaman. 10

(30)

pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan melainkan mencerminkan keadilan.32

Teori Retributif mengajarkan bahwa seseorang bersalah patut mendapat ganjaran hukuman, dan dia harus mendapatkan penderitaan sebagai balasannya tanpa terlalu mempertimbangkan seberapa besar manfaatnya bagi masyarakat jika dia dikenai hukuman, meskipun besarnya hukuman tetap harus sebanding dengan tingkat kesalahan. Dalam hal ini, terlepas seberapa besar konsekuensi dari penghukumannya, secara moral seseorang yang berbuat salh lebih baik dihukum daripada tidak dihukum.33

Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita – susila, maka pidana merupakan suatu pembalasan. Lebih lanjut hegel mengatakan bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan yang seimbang dengan beratnya perbuatan yang dilakukan.34

Menurut John Kapla teori Retribution dibagi lagi menjadi dua teori yaitu teori Pembalsan dan Teori Penebusan Dosa. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (The Criminal is paid

32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Ibid. Halaman. 12

33 Munir Fuady,Teori – teori Besar ( Grand Theory ) dalam Hukum,(Jakarta : Kencanan PrenadaMedia Group, 2013), Halaman. 296

34Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. Halaman. 12

(31)

back) sedangkan penebusan mengadung arti bahwa si penjahat “ Membayar kembali Hutangnya” (The Criminal pays back) .35

teori memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sara pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidak puasan masyarakat sebagai akibat kejahatan. Tujuan hukum harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukum adalah untuk mencegah (Prevensi) Kejahatan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian)

36

Pidana Bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini inipun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian Theory).37

Teori utilitarian pada pokoknya mengajarkan bahwa menghukum seseorang yang telah berbuat salah adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mungkin lebih besar di kemudian hari. Dalam hal ini, besarnya

35Muladi dan Barda Nawawi Arief, Ibid.Halaman. 13

36Leden Marpaung, Asas-teori-praktek Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Halaman.

106 37Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,(Bandung: PT Rafika Aditama,2009), Halaman. 26

(32)

ancaman kerugian bagi masyrakat jika dia tidak dihukum jauh lebih besar dibandingkan besarnya penderitaan bagi si terhukum kalau dia dihukum.38

Pada dasarnya teori ini didasarkan kepada dua Presmis, yaitu pertama bahwa hukuman yang dijatuhkan itu pantas atas dasar pembenaran bahwa hukuman itu membawa manfaat kepada kebaikan secara umum, terutama untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Kedua, apabila penjautuhan hukuman itu tidak membawa manfaat yang baik secara umum, maka hal itu akan membawa rasa sakit bagi masyarakat tanpa mebawa keuntungan sama sekali, bahkan penghukuman itu merupakan suatu perlakuan yang salah.39

teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.

c. Teori Gabungan

40

Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori Relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan

38 Munir Fuadi, Op.Cit. Halaman. 295

39 Muhammad Hamdan, Alasan–alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus,(Bandung:

PT Refika Aditam, 2012), Halaman. 66

40 Leden Marpaung, Op.Cit. Halaman. 107

(33)

memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu41

a. Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyrakat dan asa kebenaran.

:

b. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki.

c. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan tertib Hukum.

Teori gabungan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :42

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

41Muladi, Op.Cit, Halaman. 19

42 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), Halaman. 83-84

(34)

3. Teori Kebijakan KriminalSebagai Applied Theory ( Teori Aplikasi )

Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social Defense) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (Social welfare), Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.43

a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana

Barda Nawawi Arif mengutip pendapat Sudarto yang mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu :

b. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi

c. Dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma Sentral dari masyarakat.44

Kemudian menurut G. pieter hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal polcy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan.Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.45

43Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Buku II, ( Jakarta : Kencana, 2008) .Halaman. 2

44Barda Nawawi Arief, Ibid, Halaman. 1

Oleh

45G. Pieter Hoefnagels. The Other Side Of Criminology, An Inversion of Concept of Crim, (Holland : Kluwer Deventer, 1972). Halaman. 57 dalam buku Marwan Effendy,Teori Hukum dari

(35)

karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahata (criminal policy designating humanbehavior as crime).46

Kebijakan penanggulangan kejahatan ( Criminal Policy) menurut hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (Criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (Prevention without punisment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa“Influencing view of society on crime and punishment (mass media)47

Pendekatan integral antara penal policy dan non penal policy dalam penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara.

Pertama, kebijakan penal (Penal Policy) yang disebut dengan “Criminal Law application”.Kedua, kebijakan non penal (Non-penal policy) yang terdiri dari

“prevention without punishment” dan “influencing view of society on crime and punishment (mass media)”

Perspektif Kebijakan, perbandingan, dan harmonisasi hukum pidana,(jakarta: Referensi Gaung Persada Group, 2014).Halaman. 226

46Marwan Effendy, Ibid. Halaman. 99 – 100

47 Marwan Effendy,Ibid. Halaman. 56

(36)

pidana semata-mata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum pidana ini ;

pertama, dari sisi hakikat terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah yang berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Jadi hukum pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan kejahatan ini bila tidak dibantu oleh disiplin lain. Untuk itulah hukum pidana harus terpadu dengan pendekatan sosial.48

Kedua, keterbatasan hukum pidana dapat dilihat dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum pidana pada hakekatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala Semata dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks ini hukum pidana berfungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hukum pidana tidak memberikan Efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam di tengah kehidupan masyarakat.49

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti

2. Kerangka Konsepsi

48Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Buku I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998). Halaman. 44 – 45

49Barda Nawawi Arief,Ibid.Halaman. 45

(37)

dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.50 Suatu konsep merupakan bukan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut.51 Gejala itu biasanya fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan – hubungan dalam fakta tersebut, penerapan konsep adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara bisnis dan realitas.52

a. Hukuman Denda

Oleh karena itu, kerangka konsep digunakan untuk menghindari perbedaan pengertian dari istilah yang digunakan. Hal ini sangat penting dan bermanfaat pada pembahasan berikutnya sebagai pedoman kerangka berpikir untuk memperoleh gambaran tentang penelitian. adapun kerangka konsep tersbut, yaitu :

Pidana denda adalah salah satu dari pidana pokok dalam stelsel pidana Indonesia. Pidana denda adalah merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku.53

50Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,(jakarta: Sinar Grafika, 2016). Halaman. 79

51H.M.Hamdan,Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana,(Medan : USU Press, 2008) Halaman. 79

52Muhammad Ainul Syamsul, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana,(Jakarta : Prenadamedia Group, 2016), Halaman. 68

53Aisah, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem KUHP, Lex Crime Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, Halaman. 215, diunduh pada Tgl. 3 Maret 2017

Adapun pidana denda adalah merupakan salah satu jenis pidana yang termuat dalam Kitab Undang-undangHukum Pidana (KUHP) yang bertujuan untuk membebani seseorang yangmelanggar ketentuan KUHP dengan membayar sejumlah uang atau harta kekayaan

(38)

tertentu agar dirasakan sebagai suatu kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di masyarakat itu pulih kembali.54

b. Sistem Pemidanaan

“Sistem” dalam kamus umum bahasa Indonesia mengandung dua arti yaitu seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, dan juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari pada pandangan, teori, asas dan sebagainya atau diartikan pula sistem itu “metode”.55

“Pemidanaan” atau pemberian/ penjatuhan pidana oleh hakim yang oleh Sudarto dikatakan berasal dari istilah penghukuman dalam pengertian yang sempit. Lebih lanjut dikatakan “Penghukuman” yang demikian mempunyai makna “sentence” atau “veroordeling”.

Dari pengertian Sistem tersebut dapat ditarik suatu makna bahwa sebuah sistem mengandung keterpaduan atau beberapa unsur atau faktor sebagai pendukungnya sehingga menjadi sebuah sistem.

56

Hulsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah “aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment).57

54Aisah, ibid

55Yrama Widya,Kamus Umum Bahasa Indonesi,(Bandung: Grafika,2003). Halaman.565

56Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,(Bandung : Alumni,1998).

Halaman. 1

57 L.H.C. Hulsman, The Dutch Criminal Justice System from A Comparative Legal Perspective dalam Buku Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan, Bahan Penataran Nasional Hukum dan Kriminologi XI Tahun 2005, Halaman. 1.

selanjutnya dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief apabila pengertian “pemidanaan” diartikan sebagai suatu “pemberian atau

(39)

penjatuhan pidana” maka pengertian sistem pemidanaan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut :58

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang undangan) untuk pemidanaan.

b. Keseluruhan sistem (aturan perundang undangan) untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Dari pengertian sistem pemidanaan di atas dapat dikatakan bahwa keseluruhan aturan perundang-undangan yang ada dalam KUHP dan yang di luar KUHP yang bersifat khusus semuanya merupakan sistem pemidanaan.

Sistem Pemidanaan yang dituangkan perumusannya di dalam. undang- undang pada hakikatnya merupakan suatu sistem kewenangan menjatuhkan pidana. Dari pernyataan tersebut secara implisit terkandung makna bahwa sistem pemidanaan memuat kebijakan yang mengatur dan membatasi hak dan kewenangan pejabat/ aparat negara di dalam mengenakan/menjatuhkan pidana. Di samping itu sistem pemidanaan juga mengatur hak/ kewenangan warga masyarakat pada umumnya.59

Sistem pemidanaan adalah sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana) maka pemidanaan yang biasa juga diartikan“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu “proses kebijakan” yang sengaja

58 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998).Halaman. 114

59Barda Nawawi Arief, Ibid. Halaman 2

(40)

direncanakan. Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:60

a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

b. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

c. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Keterpaduan dari ketiga tahapan di atas yang menjadikan sebuah sistem dan tahap penetapan pidana memegang peranan yang penting di dalam mencapai tujuan di bidang pemidanaan dan tahap ini harus merupakan tahap perencanaan yang matang dan yang memberi arah pada tahap-tahap berikutnya yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana

c. Korban

Menurut Arif Gosita Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain , yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain, yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pengertian korban disini, dapa berarti sebagai individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah61

Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta, maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan/atau

60 Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana: Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat Modern,(Bandung : Alumni,1992).Halaman. 91.

61Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan,(Jakarta : Akademika Pressindo, 1993) Halaman. 63 dalam buku H. Siswanto Sunarso,Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2015) Halaman. 31

(41)

pihak pelaku serta mereka yang secara langsung tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.62

d. Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak.63Secara umum yang dimaksud dengan Kekerasan Seksual adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak.64

Berdasarkan dua pasal tersbut maka dapat dipahami bahwa unsur–unsur yang ada di dalam pengertian kekerasan seksual yaitu terdiri dari unsur ancaman, memaksa dan memperkosa.

Sementara menurut Lyness kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya.

Kekerasan seksual terletak pada ancaman dan pemaksaan. didalam kitab undang –undang hukum pidana ( KUHP ) pengertian kekerasan seksual dapat ditemui didalam pasal 285 dan pasal 289.

65

e. Perlindungan Korban

Perlindungan korban dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian Konflik. Penyelesaian Konflik yang ditimbulkan oleh

62H. Siswanto Sunarso,Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2015) Halaman. 1

63Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak,(Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2015). Halaman.1

64Ismantoro Dwi Yuwono, Ibid.

65Ismantoro Dwi Yuwono, Ibid. Halaman. 2

(42)

adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarkat. Hal ini juga diadopsi dalam rancangan Konsep KUHP Nasional yang Baru (Pasal 47 ayat 1 Ke-3)66

f. Ganti rugi

Ganti rugi terhadap korban Kekerasan seksual Terhadap anak telah diatur didalam UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang – undang No. 23 Tahun 2002 pada pasal 71 D yang dikenal yaitu Restitusi

Restitusi adalah Salah satu bentuk ganti rugi terhadap korban tindak pidana. Restitusi sesuai dengan Prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum) adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadimeski didasari bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada kondisi semula. Prinsip ini menegaskanbahwa bentuk pemulihan kepada korban haruslah selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan dari akibat kejahatan. Dengan restitusi, maka korban dapat dipulihkan kebebasan, hak- hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta dipulihkan asetnya.

Dalam praktik hampir di banyak negara konsep restitusi ini dikembangkan dandiberikan pula kepada korban kejahatan atas penderitaan mereka sebagai korban tindak pidana.Dalam konsep ini maka korban dan keluarganya harus

66Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996) Halaman. 153-154 dalam buku C. Maya Indah,Perlindungan Korban : Suatu Presfektif Viktimologi dan kriminologi, edisi kedua,(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), Halaman. 112

(43)

mendapatkan ganti kerugian yang adil dan tepat dariorang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggungjawab. Ganti kerugian ini akan mencakup pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban, penyediaan jasa dan hak-hak pemulihan67

g. Viktimologi

Selanjutnya, dalam Penjelasan UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 71 D yang dimaksud dengan Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku beradasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya.

Pengertian Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang artinya Korban dan Logos artinya ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.68

G. Metode Penelitian

Istilah “Metode Penelitian” terdiri dari dua kata, yakni kata “Metode” dan kata

“Penelitian”. Kata “Metode” menurut etimologinya (asal kata) Merupakan gabunagn

67 Supriyadi Widodo Eddyono,“Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, (Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban), Halaman. 16.

Dalam Jurnal Hukum dikutif oleh Fauzy Marasabessy, Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana :Sebuah Tawaran Mekanisme Baru, diunduh pada Tanggal 14 Maret 2017

68Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,(Jakarat: Raja Grafindo Persada, 2007) Halaman. 34 dalam Buku H. Siswanto Sunarso,Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana,Op.Cit. Halaman. 1

(44)

dari dua kata, yait “meta” yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah dan

“hodos” yang berarti jalan, cara, arah sehingga pengertian dari metode etimologinya adalah jalan meuju. Jadi pengertian metode adalah kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (Sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian,sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya.69

kata “ Penelitian” Berasal dari kata dalam bahas inggris yakni Research, re yang berarti kembali dan Searcha yang berarti pencarian, sehingga pengertian penelitian menurut etimologi adalah pencarian kembali. Menurut tuckman, penelitian adalah suatu usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu masalah. Sistematis artinya mengikuti Prosedur atau langkah– langkah tertentu.

Jawaban ilmiah adalah rumusan pengetahuan, generalisasi, baik berupa teori, prinsip baik yang bersifat abstrak maupun konkrit yang dirumuskan melalui alat primernya, yaitu empiris dan analisi. Penelitian itu sendiri bekerja atas dasar asumsi, teknik dan metode.70

Setiap penelitian (Research):

Oleh karena itu, metode penelitian adalah rangkaian langkah sistematis untuk memecahkan suatu rangkaian sebab akibat dan menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu permasalahan.

71

69Rody Ruslan, Metode Penelitian Publik (Surabaya: PT Raja Grafindo, 2003),Halaman. 24

70 Sarwono Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan kualitatif, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), Halaman. 15

71Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Halaman. 19

a. Berangkat dari ketidaktahuan dan berakhir pada keraguan, dan tahap selanjutnya b. Berangkat dari keraguan dan berakhir pada

(45)

suatu hipotesis (Jawaban yang untuk sementara dapat dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya). Menurut Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.72

1. Spesifikasi Penelitian

Secara umum metode Penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode penelitian lapangan dan metode kepustakaan. Metode penelitian lapangan dilakukan untuk menadpatkan data secara langsung dari masyarakat atau pihak – pihak yang berwenang. Cara yang dilakukan dapat melalui observasi, wawancara ataupun kuisioner. Metode penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menganalisis bahan – bahan tertulis atau pustaka yang ada. Jenis data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan disebut sebagai data Primer atau data sekunder. Data, penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer bahkan, hukum sekunder, dan bahan hukum tensier. Bahkan hukum primer terdiri dari norma dasar, peraturan perundang–undangan, yurisprudensi maupun traktat. Bahkan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, makalah, buku, majalah, dan sebagainya. Bahan hukum tensier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia ataupun indeks.

Spesifikasi Penelitian penulis menggunakan Penelitian Hukum Normatif (Legal Research) dan Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah

72Peter mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet 2, (Jakarta: Kencana, 2008).Halaman 29

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulannya bahwa Pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual (perkosaan) yang berupa penjatuhan pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif, 5 tahun

Tindak pidana ini sudah diatur didalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 170. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ancaman hukuman bagi pelaku

Penguasaan dan pemanfaatan obyek sengketa dilakukan oleh pemilik yang sah hanyalah dapat lahir dan diwujudkan berdasarkan derifative action dari alas hak utama (a primary

Pidana yang tidak menjerat raga atau fisik secara langsung seperti penjara, hukuman mati, melaikan denda adalah hukuman yang dijatuhkan dengan membayar denda

Didalam hal adanya 2 (dua) penerima jaminan fidusia maka yang lebih didahulukan adalah penerima jaminan fidusia yang mendaftarkan jaminan fidusianya pertama kalinya. 42

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “UU OJK”), bahwa : “OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang

dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang- undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana,