Bob Sadiwijaya : Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi Kasus Putusan PN Tanjung Balai Karimun No. 135/PID.B/2008/PN.Tbk), 2009.
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
BOB SADIWIJAYA NIM. 050200269
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS TERHADAP UNSUR-UNSUR DARI SUATU PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN/ POGING
( STUDI KASUS PUTUSAN PN TANJUNG BALAI KARIMUN No. 135/PID.B/2008/PN.TBK)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
BOB SADIWIJAYA NIM. 050200269
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Abul Khair, SH, M.Hum) NIP. 131 842 854
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. Nurmalawaty, S.H., M.Hum
NIP. 130 809 557 NIP. 131 803 347
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat yang telah diberikan serta hikmat dan kebijaksanaan serta kekuatan lahir bathin kepada penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan serta menyusun skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan hormat kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, S.H., M.Hum., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Abul Khair, S.H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan serta masukan bagi penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yangt telah banyak memberikan bimbingan serta masukan bagi penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Orang tua saya yang tercinta, Ayahanda Fahuwusa Laia, S.H., M.H.,
dan Ibunda Nur Asna Larosa yang telah mendorong penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan membimbing penulis untuk melakukan penyusunan skripsi ini hingga selesai.
10. Saudara-saudara saya yang terkasih: Abangnda Filpan Fajar Dermawan Laia,S.H.; Kakaknda Megaria Keristiana Laia, S.S.T.P., M.Si.; Abangnda B.A.S. Faomasi Jaya Laia, S.H., dan Abangnda Agung Cory Fondara Dodo Laia, yang telah memberi semangat dan dukungan serta doanya dalam menyelsaikan perkuliahan ini.
11. Sepupuku Kak Kening, Bang Ucok, Bang Darta, Kak Yuli, Bang arif (A. Singgih), Bang Edwin, dan seluruh sepupuku yang tak dapat disebut satu per satu, terima kasih atas doa dan bantuannya.
12. Teman-temanku yang tergabung dalam Gank Rose (Renhard, Firdaus, Martina, Indah Tompul, Indah Siahaan, Adelina, Puteq), terima kasih
atas doa dan bantuannya serta persahabatan yang telah kita jalani dari awal perkuliahan tahun 2005.
13. Teman-Temanku yang tergabung dalam IMH (Ikatan Mahasiswa/ mahasiswi Hukum): Jona, Diki, Yanri, Ai, Wesi, Radith, Duma, Bulek, Rika, Juita, Eta, Dini, Pepep, Tika, dan juga SEGI. Terima kasi buat dukungannya dan doanya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan kita yang kita jalani walaupun itu rasanya sangat sebentar dan aku berharap kita semuannya tidak lupa dengan MOTO dari IMH.
14. Rekan-rekan GMNI Komisariat Fakultas Hukum, tetaplah berjuang untuk mewujudkan visi dan misi dari GMNI. Terima kasih atas dukungannya dalam perkuliahan saya.
15. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih banyak atas dukungan kalian semua.
Penulis menyadari sebagai seorang pemula dalam penulisan suatu karya ilmiah masih mempunyai banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan baik dalam isi, penyusunan kalimat, maka penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat membuat karya ilmiah yang lebih sempurna kemudian.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa kiranya memberi perlindungan, petunjuk, dan
anugerah-Nya bagi kita sekalian dalam kehidupan kita sehari-hari di dalam mengemban tugas yang akan datang.
Medan, Februari 2009 Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... v ABSTRAKSI ... vii Bab I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
1. Pengertian Kejahatan ... 7
2. Pengertian Percobaan ... 11
3. Pembagian Bentuk-Bentuk Kejahatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia ... 14
4. Pembagian Jenis Kejahatan Pencurian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia ... 18
F. Metode Penulisan ... 23
G. Sistematika Penulisan ... 24
Bab II Perumusan Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia ... 26
B. Perumusan Percobaan di Luar KUHP ... 27
C. Bentuk-Bentuk Percobaan ... 47
D. Perbuatan Yang Mirip Percobaan ... 55
E. Percobaan Pada Delik Kealpaan ... 56
Bab III Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Melakukan Percobaan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan ... 61
A. Unsur-Unsur Pencurian Dengan Pemberatan ... 61
B. Dasar Hukum Percobaan Pencurian Dengan Pemberatan ... 61
C. Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Percobaan Pencurian Dengan Pemberatan ... 63
Bab IV Kasus Posisi dan Analisa Kasus ... 68
A. Kasus Posisi ... 68 B. Analisa Kasus ... 81 Bab V Penutup ... 90 A. Kesimpulan ... 90 B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA ... 94
ABSTRAKSI
Pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat dilihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin masih sangat besar di Indonesia. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat. Kejahatan adalah suatu fenomena yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Hal ini disebabkan karena kejahatan adalah suatu tingkah laku yang menyimpang yang dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat, yang memberikan suatu kerugian baik dalam arti moril maupun dalam arti materil. Salah satu bentuk kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah pencurian. Dari kejahatan pencurian tersebut, ternyata sebagian dari kejadian tersebut tidak tercapai, dalam arti kata perbuatan kejahatan pencurian tersebut tidak selesai dilakukan, hal inilah yang disebut dengan percobaan melakuka n kejahatan atau poging.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perumusan unsur-unsur percobaan melakukan suatu kejahatan (poging) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dan juga untuk mengetahui dasar pemikiran seorang Hakim mengenai pertimbangan pertimbangan hukum dalam perkara percobaan melakukan kejahatan (poging). Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode juridis normatif deskriptif dan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder dan data primer. Sedangkan analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh baik yang berupa data sekunder dan data primer dikelompokan kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
Percobaan melakukan kejahatan seseorang baru bisa diancam dengan Pasal 53 KUHP apabila telah memenuhi unsur-unsur yang telah dirumuskan dalam pasal tersebut yaitu: adanya niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan kehendak pelaku. Dalam KUHp dikemukakan bahwa hanya percobaan terhadap kejahatan, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam percobaan terhadap kejahatan menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah maksimum pidana untuk kejahatan yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi, hukuman maksimal bagi pelaku percobaan pencurian dengan pemberatan adalah maksimal empat tahun delapan bulan. Dalam menentukan cocok atau tidaknya penerapan Pasal 53 KUHP untuk percobaan melakukan kejahatan harus dilihat dari rangkaian perbuatan yang dilakukan pelaku kejahatan serta dapat dilihat dari proses pembuktian di pengadilan, dimana hakim akan menentukan apakah tersebut termasuk dalam poging/ percobaan melakukan kejahatan atau tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut terutama dapat dirasakan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena perkembangan tersebut, juga telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan pertumbuhan perekonomian. Pada dasarnya, pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin masih sangat besar di Indonesia.
Dapat diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu bentuknya adalah pencurian.
Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat tersebut, serta
keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari masyarakat tersebut.
Kejahatan adalah suatu fenomena yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Telah diketahui bahwa ada berbagai macam faktor yang dapat menjadi latar belakang dari suatu kejahatan, namun perlu dipahami bahwa kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku masyarakat sebagai fenomena, mengalami perkembangan yang sejalan dengan perkembangan dari masyarakat tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan semakin berkembangnya pula bentuk dan jumlah kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Hal ini disebabkan karena kejahatan adalah suatu tingkah laku yang menyimpang yang dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat, yang memberikan suatu kerugian baik dalam arti moril maupun dalam arti materil.
Mengenai fenomena tentang kejahatan dalam masyarakat ini, dapat dilihat dari pemberitaan yang dilakukan oleh media massa setiap harinya. Dapat dilihat bahwa berdasarkan pemberitaan yang ada, jumlah kejahatan yang terjadi dalam lingkup nasional sangatlah besar. Bahkan dapat dilihat bahwa tingginya jumlah kejahatan yang terjadi, seolah-olah telah menjadi suatu komoditi bagi media massa karena jumlah kuantitasnya yang sangat besar.
Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian.
Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa hal ini terjadi karena banyak kalangan masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli masyarakat yang sangat rendah.
Saat ini kejahatan pencurian sangat marak terjadi tidak hanya di kota-kota besar saja, tetapi juga di desa-desa, dengan cara atau modus yang semakin bervariasi. Tingginya tingkat pencurian, bukanlah suatu masalah baru di Indonesia. Masalah tersebut telah ada sejak lama. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa apakah hukum pidana Indonesia tidak efektif untuk dapat menanggulangi kejahatan terutama kejahatan pencurian?
Dalam hukum pidana Indonesia, pengaturan tentang delik Pencurian diatur dalam bab tersendiri dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan, yaitu pada Bab XXII tentang pencurian. Pada Pasal 362, menjelaskan secara umum bahwa yang dimaksud dengan pencurian adalah suatu tindakan mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum.
Berdasarkan pasal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa setiap tindakan yang dilakukan secara sengaja, dengan tujuan untuk memiliki barang yang merupakan milik orang lain secara tidak sah atau melawan hukum, adalah tergolong sebagai bentuk kejahatan pencurian.
Dari kejahatan pencurian tersebut, ternyata sebagian dari kejadian tersebut tidak tercapai, dalam arti kata perbuatan kejahatan pencurian tersebut tidak selesai dilakukan, dimana pelaku menginginkan terjadi peristiwa tersebut, tetapi
dikarenakan ada pengahalang yang datangnya dari luar diri pelaku sehingga kejahatan pencurian tersebut tidak selesai.
Apabila hal ini terjadi pelaku kejahatan tersebut tidak hanya diancam dengan pasal mengenai pencurian tetapi juga diancam dengan pasal yang lain yaitu: Pasal 53 KUHP yaitu tentang tindak pidana percobaan yang hukumannya dikurangi sepertiga dari hukuman pokok. Tetapi hukuman tambahan terhadap percobaan kejahatan sama dengan hukuman terhadap tindak pidana yang selesai dilaksanakan, hukuman ini berlaku untuk seluruh percobaan tindak pidana yang dilarang termasuk percobaan pencurian.
Berbicara tentang percobaan melakukan kejahatan seseorang baru bisa diancam dengan Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila telah memenuhi unsur-unsur yang telah dirumuskan dalam pasal tersebut yaitu: 1. adanya niat
2. Adanya permulaan pelaksanaan
3. pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan kehendak pelaku
Walaupun ancaman pidana percobaan pembunuhan lebih ringan dari pada tindak pidana yang telah diselesaikan dengan sempurna, andaikata masalah percobaan tidak dirumuskan seperti yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP, sudah tentu pelaku yang tidak menyelesaikan kejahatan tidak boleh dihukum, sebagaimana diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana hanyalah terhadap si pembuat yang telah menyelesaikan suatu kejahatan secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang, prinsip ini mengandung konsekuensi bahwa si pelaku yang belum menyelesaikan tindak pidana secara sempurna
sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tidak boleh dibebani pertanggungjawaban dan tidak boleh dihukum. Jadi dengan adanya Pasal 53 KUHP ini, maka pelaku yang tidak menyelesaikan kejahatan dapat dibebani pertanggungjawaban dan dapat dihukum.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan tentang percobaan/ poging dengan judul skripsi ”Analisis
Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi Kasus Putusan PN Tanjung Balai Karimun No. 135/Pid.B/2008/PN.TBK).”
B. Perumusan Permasalahan
1. Bagaimanakah perumusan unsur-unsur percobaan melakukan suatu kejahatan (poging) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana perkara percobaan melakukan
kejahatan (poging) dalam kasus perkara pidana No.
135/Pid.B/2008/PN.TBK?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan
Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan yang telah penulis kemukakan yang telah penulis kemukakan di atas maka penulisan skripsi ini memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui perumusan unsur-unsur percobaan melakukan suatu kejahatan (poging) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
2. Mengetahui pertanggungjawaban pidana perkara percobaan melakukan
kejahatan (poging) dalam kasus perkara pidana No. 135/Pid.B/2008/PN.TBK.
Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan penelitian yang penulis yakin dapat memberikan hasil dan manfaat yang cukup berarti baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum khususnya dan setiap orang yang membaca hasil penelitian ini pada umumnya. Manfaat penelitian secara umum yang dapat diambil dalam penulisan skripsi ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan hukum pidana khususnya dalam menganalisis unsur-unsur dari suatu percobaan melakukan kejahatan (poging).
2. Manfaat Praktis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada kalangan praktisi hukum, civitas akademika dan pemerintah dalam menganalisis unsur-unsur dari suatu percobaan melakukan kejahatan (poging) serta kepada penegak hukum seperti hakim dalam memberikan dasar pertimbangan kepada
hakim mengenai pertanggungjawaban pidana perkara percobaan melakukan kejahatan (poging).
D. Keaslian Penulisan
Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi Kasus Putusan PN Tanjung Balai Karimun No.135/Pid.B/2008/PN.TBK) yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya dari penulis sendiri dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan media massa baik media cetak maupun media elektronik, serta ditambah lagi dengan hasil riset lapangan, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama sebelum judul ini dibuat maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kejahatan
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang di berikan orang untuk menilai perbuatan-pebuatan tertentu sebagai perbuatan jahat.1
i. Kejahatan dalam arti praktis.
Menurut G W Bawengan, kejahatan dibedakan atas 3 (tiga) jenis sesuai dengan penggunaannya, yaitu :
iii. Kejahatan dalam arti yuridis.
Kejahatan dalam arti praktis banyak kita jumpai di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalimat-kalimat ” Teman yang jahat” atau “anjing yang jahat” ialah penggunaan kata dalam arti praktis itu.
Kejahatan dalam arti religius ialah suatu pengertian yang mengidentikkan “jahat” dengan “dosa”. Jahat dan dosa dalam arti religius itu merupakan sinonim. Berbuat jahat adalah dosa, sebaliknya berbuat dosa adalah kejahatan.
Berbeda dengan kedua pengertian terdahulu, maka kejahatan dalam arti yuridis dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai pelanggaran.
Dengan demikian, maka hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal buku ke II (dua) KUHPidana, itulah perbuatan yang disebut kajahatan.selain KUHPidana kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiscal, ekonomi, politik, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.
R.Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis pengertian kejahatan adalah suatu tingkah laku perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang, maka undang-undang itu harus diciptakan lebih dahulu sebelum adanya peristiwa berpidana, hal ini selain untuk mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari pihak penguasa juga agar dapat memberikan kepastian hukum. Asas ini dalam ilmu hukum
1
disebut sebagai “Nullum delictum nulla poena sine proviea” seperti tertera didalam pasal 1 KUHP : tiada satu perbuatan boleh dijatuhi hukuman selain berdasarkan undang-undang yang telah dibuat sebelumnya. Ditinjau dari segi sosiologis maka yang dimaksud kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya kesimbangan, ketentraman dan ketertiban.2
Dipandang dari sudut sosiologis, kejahatan adalah salah satu jenis gejala sosial, yaitu suatu kelakuan asosial dan amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah. Defenisi ini di berikan oleh W.A. Bonger.
H. Ridwan Hasibuan, SH membagi pengertian kejahatan dalam 3 (tiga) sudut, yaitu :
A. Kejahatan dipandang dari sudut sosiologis
3
Kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma yang dirasakan merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan. Disini tentu dimaksudkan bahwa apabila terjadi juga perbuatan tersebut maka si pembuat harus di tindak dan sarana yang paling tepat menindaknya adalah sarana hukum (pidana).
H. Ridwan Hasibuan, juga meletakkan defenisi kejahatan yang diberikan oleh Paul Mudikdo Muliono, ke dalam sudut sosiologi ini, yaitu :
4
B. Kejahatan dipandang dari segi hukum
hal. 1.
2
Bawengan , Psikology, Hal 3
3
H. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-ilmu Forensik, Medan, USU Press, 1994, hal 8.
Kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut maka ia akan dihukum. Jadi tegasnya, kejahatan disini adalah setiap perbuatan yang telah ditetapkan atau dirumuskan dalam suatu peraturan (Pidana). C. Kejahatan dipandang dari segi kejiwaan (psikologis)
Dipandang dari segi psikologis maka kejahatan adalah suatu tindakan (perbuatan) yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tertentu tersebut yang oleh karena itu pula perbuatan itu dapat dikatakan tidak normal (Abnormal).5
Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan manusia, yang merupakan pelanggaran.
Diluar dari defenisi-defenisi di atas, beberapa ahli juga memberikan defenisi kejahatan , diantaranya yaitu :
6
W A Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.7
Noach mengartikan kejahatan sebagai setiap perbuatan yang melanggar undang-undang dan merugikan masyarakat.8
J M Bemmelen mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat,sehingga
4 Ibid. 5 Ibid, Hal 10 6
H.M. Ridwan dan Ediwarman,Azas-azas Kriminologi,USU Press, Medan, 1994, hal.48.
7
Ibid. hal 46.
8
dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menenteramkan masyarakat negara harus menjatuhkan hukuman pidana kepada penjahat.9
9
Ibid, hal 47
2. Pengertian Percobaan
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V Pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari Pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54 :
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.
Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.10
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Yang artinya adalah: percobaan untuk
melakukan kejahatan itu dapat dihukum, apabila maksud pelakunya itu telah diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan, pelaksanaannya itu sendiri telah tidak selesai, dikarenakan masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya).
Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
11
10
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Jakarta, 1994, hal. 69. 11
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 535.
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
b. Menurut Tata Bahasa
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji, dengan demikian dapat ditarik 2 arti dari percobaan.
Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “ melakukan sesuatu dalam keadaan diuji ” adalah pengertian yang lebih spesifik yaitu berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar. Tetapi pengertian menurut tata bahasa ini tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari percobaan melakukan kejahatan sebagaimana dalam hukum pidana. Menurut hukum pidana untuk terjadinya percobaan kejahatan sehingga dapat dipidana mempunyai ukuran yang khusus dan berbeda dari ukuran percobaan menurut arti tata bahasa. Ukuran percobaan menurut arti bahasa hanyalah salah satu aspek saja dari percobaan sebagaimana yang dikenal dalam hukum pidana. Satu aspek itu adalah bahwa
dalam percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana, si pelaku telah memulai melakukan perbuatan tetapi perbuatan itu tidak selesai, sama dengan aspek yang sama dengan pengertian percobaan menurut tata bahasa yang pertama, tetapi dalam hukum pidana, untuk dapatnya dipidana bagi si pelaku percobaan kejahatan tidaklah cukup dengan demikian, tetapi jauh lebih luas baik dari sudut subjektif si pelaku maupun dari sudut objektif perbuatannya yang walaupun baru dimulai dan belum selesai.12
1) Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa pada umunya percobaaan (poging) dapat diartikan suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.
c. Menurut Para Sarjana
Selain pengertian menurut tata bahasa, para sarjana juga memberikan pendapatnya tentang apa yang dimkasud dengan percobaan melakukan kejahatan antara lain :
13
2) Jonkers, ia menyatakan bahwa mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai.14
12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, PT Raja Grafindo, Jakarta. 2008. hal. 3.
13
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit RT. Eresco, Jakarta, 1981, hal. 89.
14
J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda. Judul Asli: Handboek van het
3. Pembagian Bentuk-Bentuk Kejahatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
Pada dasarnya, apa yang menjadi bentuk dasar kejahatan adalah hakikat dari perbuatan jahat itu sendiri, misalnya pembunuhan, pencurian, atau penganiayaan. Dan untuk bisa mendapatkan perbedaan antara suatu bentuk kejahatan dengan bentuk kejahatan lainnya adalah dengan memberikan suatu batasan defenisi yang jelas dan tepat untuk masing-masing bentuk kejahatan tersebut.
Mengenai perumusan defenisi dari berbagai bentuk kejahatan tersebut sudah terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam buku kediua dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut, maka didapat beberapa bentuk kejahatan, yaitu:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104-129)
2. Kejahatan melanggar martabat Presiden dan martabat Wakil Presiden (Pasal 130-138)
3. Kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan terhadap kepala dan wakil kepala negara yang bersahabat (Pasal 139a-145)
4. Kejahatan mengenai perlakuan kewajiban negara dan hak-hak negara (Pasal 146-153)
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum (Pasal 153-181) 6. Kejahatan perkelahian satu lawan atu (Pasal 182-186)
7. Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang (Pasal 187-206)
8. Kejahatan terhadap kekuasaan umum (Pasal 207-241)
9. Kejahatan sumpah palsu dan keterangan palsu (Pasal 242-243)
10. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara serta uang bank (Pasal 244-252)
11. Kejahatan memalsukan materai dan merek (Pasal 253-262) 12. Kejahatan memalsukan surat-surat (Pasal 263-276)
13. Kejahatan terhadap kedudukan warga negara (Pasal 277-280) 14. Kejahatan terhadap kesopanan (Pasal 281-303)
15. Meninggalkan orang yang membutuhkan pertolongan (Pasal 304-309) 16. Penghinaan (Pasal 310-321)
17. Membuka rahasia (Pasal 322-323)
18. Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (Pasal 324-327) 19. Kejahatan terhadap jiwa seseorang (Pasal 338-350)
20. Kejahatan penganiayaan (Pasal 351-358)
21. mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya(Pasal 359-361) 22. Pencurian (Pasal 362-367)
23. Pemerasan dan ancaman (Pasal 368-371) 24. Penggelapan (Pasal 372-377)
25. Penipuan (Pasal 378-395)
26. Merugikan petagih hutang atau yang berhak (Pasal 396-405) 27. Menghancurkan atau merusak barang (Pasal 406-412) 28. Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan (Pasal 413-437) 29. Kejahatan pelayaran (Pasal 438-479)
30. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/ prasarana penerbangan (Pasal 479-479r)
31. Pertolongan (jahat) (Pasal 480-485) 32. Kejahatan residivis (Pasal 486-488)
Berdasarkan bentuk-bentuk atau defenisi dari kejahatan yang telah dipaparkan diatas, dapat kita ketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum dapat memberikan defenisi terhadap semua bentuk kejahatan, terutama kejahatan-kejahatan baru yang berkembang saat ini dalam masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan dalam masyarakat lebih cepat dari pada perkembangan hukum positif yang berlaku. Hal inlah yang menyebabkan timbulnya kendala dalam mengantisipasi kejahatan, karena adanya keterlambatan dalam pembuatan hukum atau Undang-Undang.
Bentuk-bentuk kejahatan dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: 1. cara melakukan kejahatan
Jika ditinjaudari cara, maka terbagi dalam dua bentuk, yaitu dengan cara yang dilihat oleh si korban, seperti misalnya menganiaya si korban dengan benda tajam atau tumpul. Bentuk yang kedua adalah dengan cara yang tidak terlihat oleh si korban, misalnya penipuan yang dilakukan lewat media Handphone.
2. Luasnya perlakuan jahat
Dalam hal ini bentuk kejahatan dilihat dari apa yang menjadi titik berat atau objek dari kejahatan, tempat atau lokasi kejahatan itu terjadi, waktu yang bagaimana kejahatan tersebut sering terjadi.
3. Frekuensi kejahatan
Jumlah kejahatan yang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat pada suatu periode tertentu dicatat dan dipelajari sehingga kelihatan bentuk kejahatan mana yang lebih dominan dalam masyarakat tersebut.15
Sebelum mengenal beberapa bentuk pencurian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka perlu diketahui pengertian dari pencurian itu sendiri. Kata pencurian dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “curi”yang memperoleh imbuhan, yaitu awalan “pe” dan akhiran “an”, sehingga membentuk kata “pencurian”. Kata pencurian tersebut memiliki arti proses, perbuatan cara mencuri dilaksanakan.
4. Pembagian Jenis Kejahatan Pencurian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesi, pengaturan tentang bentuk kejahatan pencurian diatur dalam buku kedua pada Bab ke XXII, tentang pencurian yang diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367.
16
Dalam kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa mencuri adalah suatu perbuatan yang mengambil barang milik orang lain dengan jalan yang tidak sah.17
15
H. Ridwan Hasibuan, op.cit. hal. 13.
16
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 2002, hal. 303.
17
Untuk mendapatkan batasan yang jelas tentang pencurian, maka dapat di lihat dari Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,-“18
a. Perbuatan mengambil
Berdasarkan defenisi yang telah diberikan diatas, maka dapat kita ketahui bahwa Pasal 362 ini adalah merupakan delik pencurian biasa yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
b. Yang diambil haruslah suatu barang
c. Barang yang diambil tersebut haruslah secara keseluruhan atau sebagian merupakan kepunyaan dari orang lain.
d. Pengambilan tersebut harus dilakukan scara sengaja dengan maksud untuk dapat memilki barang tersebut dengan cara yang melawan hukum.19
Berdasarkan sistematika jenis kejahatan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di ketahui bahwa delik pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kepentingan individu yang merupakan kejahatan terhadap harta benda ata kekayaan orang lain.
Adapun yang menjadi klasifikasi atau pembagian dari jenis kejahatan pencurian tersebut adalah sebagai berikut:
18
R. Soesilo, op.cit, hal. 249.
19
a. Pencurian biasa;
b. Pencurian dengan pemberatan; c. Pencurian ringan;
d. Pencurian dalam Keluarga; e. Pencurian dengan kekerasan.20 a. Pencurian Biasa
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa pencurian biasa adalah pencurian yang diatur pada Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan isi dari pasal tersebut, maka dapat di lihat bahwa unsur-unsur dari pencurian biasa adalah:
1) Mengambil, yang dimaksud dengan mengambil adalah pada saat pelaku pencurian tersebut mengambil barang itu, dimana barang itu belum ada dalam kekusaannya.
2) Suatu barang. Yang dimaksud dengan suatu barang disini adalah segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang.
3) Barang tersebut secara kesluruhan atau sebagian merupakn kepunyaan dari orang lain.
4) Perbuatan mengambil tersebut haruslah dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk dapat memilki barang tersebut.
b. Pencurian Dengan Pemberatan
Hal mengenai kejahatan pencurian dengan pemberatan ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 363. maksud dari
20
“pemberatan” disini adalah apabila pencurian tersebut memenuhi unsur-unsur pada pasal ini, maka akan diancam dengan hukuman yang lebih berat.
Yang dimaksud dengan kejahatan pencurian dengan pemberatan adalah apabila pencurian biasa disertai dengan keadaan tertentu. Adapun keadaan tersebut adalah:
1) Benda yang dicuri tersebut adalah hewan.
2) Pencurian tersebut dilakukan pada saat terjadinya suatu peristiwa malapetaka seperti kebakaran, bencana alam, kapal karam, huru-hara dan sebagainya.
3) Pencurian yang dilakukan pada malam hari, dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.
4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana kedua orang atau lebih tersebut, semuanya adalah bertindak sebagai pelaku, atau turut melakukan.
5) Pencurian dimana cara yang dilakukan untuk dapat masuk ke tempat pencurian tersebut dengan jalan membongkar, memecah, memanjat, atau dengan menggunakan kunci palsu atau dengan jabatan palsu.
6) Pencurian yang dilakukan pada malam hari, dalam rumah atau pekarangan yang tertutup yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dengan cara membongkar, memecah, memanjat, atau menggunakan kunci palsu, perintah palsu dan pakaian jabatan palsu.
Pencurian ringan ini diatur di dalam Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Berdasarkan Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersesut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pencurian ringan adalah pencurian biasa atau pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atau yang dilakukan atau yang dilakukan dengan jalan membongkar, memecah atau yang lainnya dimana harga barang yang dicuri tersebut tidak boleh lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dan pencurian tersebut tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya. d. Pencurian Dalam Keluarga
Mengenai pencurian dalam keluarga ini datur dalam Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Berdasarkan Pasal 367 tersebut, apabila pelaku atau pembantu dalam kejahatan pencurian ini adalah suami atau istri yang belum bercerai, maka ia tidak dapat dituntut. Namun apabila diantara mereka telah terjadi perceraian, maka pelaku dapat dituntut apabila ada pengadiuan yang dilakukan yang dilakukan oleh orang yang menjadi korban dalam pencurian tersebut (delik aduan). Demikian pula apabila dalam keluarga yang berdasrkan keturunan ibu seperti yang berlaku pada masyarakat Minangkabau (Padang), hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korabn pencurian tersebut.
e. Pencurian Dengan Kekerasan
Pencurian dengan kekerasan ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada diatur dalam Pasal 365. mengenai batasan pengertian “kekerasan”, dapat kita ketahui dari Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), yang berbunyi: “yang dimaksud melakukan kekerasana itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).”
F. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian Hukum Normatif (juridis normatif). Dalam hal ini penelitian normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini yaitu “ Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun No.135/Pid.B/2008/PN.TBK)
2. Lokasi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Tanjung Balai Karimun, provinsi Kepulauan Riau, tepatnya di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Library research (Penelitian Kepustakaan) yakni suatu penelitian
untuk mengumpulkan data sekunder melalui:
1) Bahan hukum primer, yaitu: bahan hukum yang mengikat, antara lain : peraturan perundang-undangan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: majalah, artikel, hasil-hasil penelitian atau tulisan para sarjana.
3) Bahan tersier, yaitu bahan hukum yang memeberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus dan ensiklopedia.
b. Field research (Penelitian Lapangan), yang dalam hal ini penulis melakukan studi kasus di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun. 4. Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan cara analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh, yang berupa data sekunder kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan (yang terdiri dari pengertian kejahatan, pengertian percobaan, pembagian bentuk-bentuk kejahatan dalam KUHP, pembagian jenis kejahatan pencurian dalam KUHP), metode penulisan dan sistimatika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang perumusan percobaan melakukan kejahatan menurut KUHP Indonesia yang terdiri dari unsur-unsur kejahatan, unsur-unsur percobaan, bentuk-bentuk percobaan melakukan kejahatan, perbuatan yang mirip dengan percobaan, percobaan pada delik kealpaan, dan unsur-unsur pencurian dengan pemberatan.
BAB III : Dalam bab ini penulis akan membahas tentang dasar hukum
pertanggungjawaban pidana pencurian dengan pemberatan dan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku percobaan pencurian dengan pemberatan.
BAB IV : Bab ini berisikan analisis kasus percobaan pencurian dengan pemberatan (Putusan PN Tanjung Balai Karimun No.135/Pid.B/2008/PN.TBK)
BAB V : Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini, dan bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.
Bob Sadiwijaya : Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi Kasus Putusan PN Tanjung Balai Karimun No. 135/PID.B/2008/PN.Tbk), 2009.
A. Perumusan Percobaan Dalam KUHP
Berdasarkan uraian mengenai pengertian percobaan dalam Bab I sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur percobaan (poging) adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut
dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3).21
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)).22
1. Niat
Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan. Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti : ‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald
wisdrijf’ (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan
tertentu).
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Sebagaimana dalam doktrin hukum, menurut tingkatannya kesengajaan
(opzettelijk) ada 3 macam, yaitu:
a. kesengajaan sebagau maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), yang dapat juga disebut kesengajaan dalam arti sempit.
21
b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn) atau kesadaran/ keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu akibat
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids
bewustzijn) atau suatu kesadaran/ keinsyafan mengenai suatu
perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut juga dengan dolus eventualis.23
Para ahli hukum yang berpendapat bahwa niat adalah kesengajaan dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, Simons, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).-
Tarumanegara, Jakarta, 1996, hal. 3.
22
R. soesilo, op.cit., hal. 72.
23
Sedangkan Simons tidak ragu-ragu dan tegas menyatakan bahwa Voornemen (niat) tidak mempunyai pengertian lain daripada telah dipergunakan untuk mengganti perkataan “opzet”, yang dalam hal ini dapat diterjemahkan dengan perkataan maksud. Jadi di sini disyaratkan, bahwa pelaku itu haruslah mempunyai opzet/ maksud untuk melakukan sesuatu tindakan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 24
Dalam hal niat, Jonkers secara tegas menyatakan bahwa si pembuat harus berkehendak untuk melakukan kejahatan. Jadi ini berarti bahwa pada orang itu ada kesengajaan. Kesengajaan yang berhubungan dengan percobaan dapat juga terjadi pada tingkatan-tingkatan, yaitu kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan yang diinsyafi sebagai sesuatu yang perlu dilakukan
(noodzakelijkheidsbewustzijn), kesengajaan yang diinsyafi bahwa mungkin terjadi
sesuatu (mogelijksheidsbewustzijn).25 24 Ibid, hal. 12. 25 Ibid.
Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan adalah sebagai berikut:
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik yang telah selesai.
b. Akan tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif onrechts-element”. c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi
niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi perbuatan.26
2. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoeringshandeling).
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin
van uitvoering).
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki,
26
Moeljatno, Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, tanpa tahun, hal. 19-20.
biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan.
Jika kita menggunakan penafsiran secara tata bahasa (taalkundige
interpretatie) maka sesuai dengan perumusan percobaan, kata-kata permulaan
pelaksanaan tindakan harus dihubungkan dengan kata-kata niat yang mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat perumusan tersebut. Jadi yang dimaksud ialah: permulaan pelaksanaan tindakan dari niat (pelaku). Jika penafsiran ini dihubungkan dengan ajaran tentang dasar-dasar pemidanaan percobaan, maka ia termasuk dalam ajaran percobaan subjektif.
Tetapi jika digunakan penafsiran secara sistematis, baik pada pokok kalimatnya demikian pula pada anak kalimatnya (yang berbunyi: “Dan pelaksanaan tindakan itu tidak selesai...”) terdapat istilah yang sama yaitu pelaksanaan tindakan. Karena istilah-istilah itu hampir sama artinya, maka istilah itu harus dikembalikan kepada persoalan pokoknya yaitu percobaan terhadap kejahatan. Sehingga yang dimaksud adalah: pelaksanaan tindakan dari kejahatan. Dihubungkan dengan ajaran pemidanaan percobaan, maka hal ini termasuk dalam ajaran percobaan objektif.
Akibat dari perbedaan cara penafsiran tersebut, pemecahan persoalan tidak semakin mudah. Kini dipersoalkan apakah yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan tindakan (baik dihubungkan dengan niat maupun dengan kejahatan), karena undang-undang sendiri tidak memberikan suatu pembatasan.
Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa
yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan
uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai
hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas.27
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak pada:
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberikan.
27
Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-undang.-
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan.
Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman.-
Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai paham objektif.
Menurut para penganut paham objektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan
perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya.28
Teori Subjektif
Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP bahwa “...apabila niat itu telah terwujud dari adanya permulaan pelaksanaan..” Jadi dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan adalah semua perbuatan yang merupakan perwujudan dari niat pelaku. Apabila suatu perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya yakni ingin membunuh B. Sehingga A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan melakukan percobaan membunuh B. Demikian juga dalam contoh kedua. P masuk ke kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan melakukan percobaan pencurian. Karena dengan masuknya P ke kamar kecil sudah merupakan permulaan pelaksanaan niatnya.29
Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat dan karena itu bertolak dari sikap bathin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan
Menurut teori subjektif dasar patut dipidananya percobaan (strafbare
poging) itu terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap
bathin itulah yang merupakan pegangan bagi teori ini.-
28
perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya.30
Menurut van Hammel tidak tepat pemikiran mereka yang mensyaratkan adanya suatu rectstreeks verband atau suatu hubungan yang langsung antara tindakan dengan akibat, dimana orang menganggap yang dapat dihukum itu hanyalah tindakan-tindakan yang menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat.31
Menurut van Hammel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja karena aliran ini sesuai dengan nieuwere strafrechtsleer (ajaran hukum pidana yang lebih baru) yang bertujuan untuk memberantas kejahatan sampai kepada akarnya, yaitu manusia yang berwatak jahat (demisdadige mens) akan tetapi juga karena dalam mengenakan pidana menurut rumus umum (algemene formule) sebagaimana halnya dalam percobaan, unsur kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya yang memberi pegangan kepada kita. Oleh karena kesengajaan (niat) dalam perbuatan percobaan adalah lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang ditimbulkan pada suatu ketika tetapi kemudian menjadi hilang. Dan juga justru dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa lalu menjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan terlepas dari hal- ikhwal yang mungkin akan timbul sama sekali tidak berbahaya. Apabila dengan kesengajaan untuk membunuh orang mengarahkan senapan kepada sasaran, padahal pelatuk senapan tidak terpasang, maka perbuatan tersebut hanya bersifat berbahaya karena perbuatan dilakukan oleh orang yang mempunyai kesengajaan (niat) tadi. Maka
29
menurut van Hammel jika ditinjau dari sudut niat si pembuat, dikatakan ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa yang telah dilakukan sudah ternyata kepastiannya niat untuk melakukan kejahatan tadi.32
Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori subjektif dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk melakukan kejahatan itu dianggap sudah membahayakan kepentingan hukum. Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap telah membahayakan.
Teori Objektif
Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak pidana, yaitu perbuatan. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum.
33
Jika mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, dari contoh pertama peristiwa yang menjadi tujuan A adalah membunuh
30
D. Schaffmeister dkk., Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 215.
31
P.A.F. Lamintang, op.cit. hal. 560.
32
Moeljatno, op.cit., hal. 22.
33
B. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan pelaksanaan agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif dalam kasus ini adalah pada saat A menarik pelatuk pistol untuk membunuh B. Demikian pula pada kasus P. P menyelinap ke kamar kecil bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap perbuatan yang diniatkan. Perbuatan yang diniatkan adalah mencuri. Unsur utama dari mencuri adalah mengambil, yaitu apabila seseorang telah menjulurkan tangannya untuk mengangkat/memindahkan suatu barang. Oleh karena itu menurut teori objektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan.34
Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif itu adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan dan telah membuat segala sesuatunya menjadi tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim.35
Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoering) ini dapat dilihat di arrest tanggal 7 Mei 1906, W. 8372, yang
menyatakan bahwa perkataan begin van uitvoering” di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan “permulaan
34
Loebby Loqman, op.cit., hal. 20-21.
35
pelaksanaan” itu terutama harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk melakukan kejahatan”.36
a. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah dirumuskan secara formil, suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan dianggap telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan tersebut mulai dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920 halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest ini merupakan suatu permulaan dari tindakan pemalsuan yang dapat dihukum.
Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan yang dapat dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons. Ajaran-ajaran Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat) para anggota Hoge Raad antara lain :
b. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah dirumuskan secara materil, suatu percobaan yang dapat dihukum dianggap telah terjadi yaitu segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa
36
pelakunya tersebut harus melakukan suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J. 1934 halaman 450, W. 12731, yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest pembakaran rumah di kota Endhoven.
c. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa untuk melakukan delik-delik tersebut harus dipergunakan alat atau cara-cara tertentu, ataupun dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang dapat dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi, yaitu segera setelah pelakunya menggunakan alat atau cara yang bersangkutan untuk melakukan kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat kita lihat antara lain di dalam arrest-arrestnya masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J. 1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941 No. 883 yang pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran, perusakan, atau pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan pemanjatan itu merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan. 37
37
Dan di dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 20 Januari 1919, N.J. 1919 halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19 Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu merupakan suatu kejahatan. Dengan merusak penutup sebuah rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian tersebut. Dalam hal ini telah terjadi suatu percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan.38
Menurut van Bemmelen, kedua metode baik metode objektif maupun metode subjektif, jika diberlakukan secara terlalu kaku, maka pemberlakuan seperti ini akan menjurus kepada ketidakbenaran. Karena paham subjektif itu telah mengartikan hubungan kausal secara terlalu luas, sehingga seseorang telah dapat dihukum sebagai seorang pelaku atau dalam masalah poging sebagai orang yang telah melakukan percobaan, padahal hubungan antara tindakan mereka dengan akibat akhirnya itu terlalu jauh atau tindakan mereka itu tidak mendatangkan bahaya yang begitu besar untuk dapat menimbulkan suatu akibat tersebut. Sebaliknya paham objektif murni tidak akan menghukum mereka yang telah menunjukkan adanya sifat berbahaya dan telah diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata. Dalam hal ini van Bemmelen memberikan contoh seperti kasus mereka yang telah mencoba melakukan pembakaran.39
Oleh karena itu menurut van Bemmelen, bahwa di antara paham subjektif dan paham objektif itu diperlukan suatu tussenopvatting (paham antara), yang memandang suatu uitvoeringshandelingen (tindakan pelaksanaan) itu sebagai tindakan yang mendatangkan bahaya bagi kemungkinan timbulnya akibat yang
38
tidak dikehendaki oleh undang-undang. Bahaya yang dimaksud tersebut haruslah dianggap telah ada yaitu jika pelakunya telah menciptakan sejumlah keadaan yang menurut pengalaman manusia, tanpa masih diperlukan lebih banyak hal yang lain, dapat menimbulkan keadaan yang lain lagi. Jika sejumlah keadaan telah tercipta, dimana keadaan semacam itu telah menimbulkan suatu bahaya bagi kemungkinan timbulnya keadaan yang lain, maka sebenarnya tindakan seorang pelaku itu telah mencapai suatu tingkat tertentu dimana tindakannya itu telah dapat disebut sebagai suatu uitvoeringshandelingen atau tindakan pelaksanaan.40
a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari delik yang dituju oleh si pelaku, jika memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang tertentu tadi.
39
Ibid., hal. 569.
40
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.41
Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa berkenaan dengan ketiga syarat tentang permulaan pelaksanaan tersebut perlu dikemukakan catatan-catatan sebagai berikut:
a. Oleh karena delik yang dituju tidak diketahui, lebih dahulu bahkan harus ditetapkan, antara lain dengan mengingat perbuatan yang telah dilakukan. Maka istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap.
b. Karenanya juga tidak mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk menentukan delik yang dituju) diperlukan adanya bukti-bukti di luar wet.
c. Sehubungan dengan ini, meskipun perbuatan yang dilakukan ini mungkin dipisahkan dari unsur niat, tapi dalam pada itu jangan lalu berpendapat bahwa isinya niat hanya mungkin dibuktikan dari perbuatan yang telah dilakukan saja.42
41
Moeljatno, Op.cit., hal. 28-29.
42
3. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Pada syarat ketiga ini ada 3 macam hal yang menjadi perhatian yaitu: a. tidak selesai
b. hanyalah
c. keadaan-keadaan di luar kehendak pelaku.43
Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya; Dengan perkataan lain niat pelaku untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan, bahwa tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang-hukum-pidana itu terhenti sebelum terjadi “kerugian” yang sesuai dengan perumusan undang-undang.44
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam
43
diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas.
Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang
44