• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA

CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH

KORPORASI (STUDI PUTUSAN NO.812/PID.SUS/2010/PN.BJM )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

REINHARD SIAHAAN 150200343

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih setia-Nya yang selalu melindungi, memberi kekuatan dan harapan di saat sulit serta pertolongan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI (STUDI PUTUSAN NO.812/PID.SUS/2010/PN.BJM )”. Skripsi ini ditujukan untuk melengkapi tugas-tugas serta memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta jauh dari kata sempurna.

Dengan kerendahan hati dan pikiran yang terbuka, penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan guna perbaikan penulisan skripsi ini kedepannya. Dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis secara khusus menyampaikan rasa sayang dan terima kasih kepada orangtua tercinta yakni ayahanda Alm. Panahatan Siahaan dan Ibunda Linceria br. Simanungkalit, yang atas kasih sayang merekalah yang membuat penulis dapat hadir ke dunia hasil karya Tuhan Yang Maha Esa.

Dan atas pengorbanan mereka yang sangat besar baik dari segi moril maupun

(4)

materil serta doa yang tiada henti yang membuat penulis mampu bertahan dan bisa mengenyam bangku pendidikan tinggi. Tidak lupa juga penulis ucapkan rasa sayang dan terima kasih untuk Lae Bonatua Siagian, S.E dan Kakanda Mariska br.

Siahaan, AMD, yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat bagi kami adek-adeknya agar menjadi pribadi yang tahan banting dalam setiap kondisi apapun begitu juga perngorbanan moril dan materi yang tak sedikit telah mereka korbankan untuk kepentingan pendidikan penulis.Selain itu untuk kakanda Stephani br Siahaan, SE, penulis sampaikan rasa sayang dan terima kasih untuk teladan yang diberikan kepada penulis, bagaimana cara untuk mengatur waktu dengan baik dan cara bersikap yang sopan terhadap setiap orang, serta banyak pengorbanan yang diberikan untuk penulis baik itu moril maupun materil. Atas semua pengorbanan kalian orang-orang terkasih dalam hidup penulis, penulis berdoa agar Tuhan senantiasa menopang kaki kalian dan menjadikan kalian pribadi yang berharga bagaikan mutiara yang tak lekang dimakan waktu dan zaman.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Ilmu Hukum Strata-1 di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan untuk

(5)

mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Hukum Strata-I pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Terima kasih secara khusus kepada Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Dosen Pembimbing II penulis, yang telah membimbing penulis dengan sabar dan penuh perhatian dalam penulisan skipsi ini hingga selesai. Penulis berdoa agar bapak-bapak dilimpahi kesehatan dan umur yang panjang.

9. Bapak Prof. Dr. Soewarto, S.H., M.H., dan Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dan memberikan semangat serta motivasi kepada penulis selama mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

10. Kepada Bapak, Ibu Dosen dan seluruh Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Keluarga besar Pomparan Alm. Ignatius Siahaan/ Alm. Meta br.Napitupulu yang memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

12. Untuk seluruh senior di Komunitas Peradilan Semu (KPS) yang telah membimbing dan memberi motivasi bagi penulis dalam masa-masa perkuliahan. Terima kasih, semoga kalian selalu sukses dimanapun berada 13. Untuk teman-teman BPH dan Pengurus KPS FH USU Periode 2016-2017

2017-2018, dan Periode 2018-2019 terima kasih karena menjadi sahabat seperjuangan penulis berproses dalam Komunitas Peradilan Semu (KPS).

Banyak ilmu dan pengalaman yang kita pelajari bersama.

14. Untuk adek-adek di Komunitas Peradilan Semu mulai stambuk 2016, 2017, 2018. Terima kasih atas kontibusi kalian yang menjadi penyemangat bagi penulis dalam menulis skripsi.

15. Untuk sahabat-sahabat delegasi NMCC Piala Prof. Soedarto VI Fakultas Hukum Univ. Diponegoro yang sudah seperti keluarga kedua bagi penulis adinda Hera Vanesa Sihombing, Itok Silvia Pratiwi Siahaan, sahabat Gom Banuaran, sahabat Dicky J.H. Purba, sahabat Putri Tresia Tampubolon, sahabat Kwartaria Gultom, Nande Bayang Ekinia Karolin, Sahabat Yosafat Tamba, sahabat Sugita Girsang, Sahabat Laora Silitonga, sahabat Santa Clara Damanik, adinda Theresia Junita, adinda Surya Baginda Sirait, adinda Haposan Banjarnahor, adinda Riah Saragih, adinda Sautmo Nipanta Berutu

(7)

adinda Muhammad Adil Ginting, juga yang utama kakanda Yunita Octavia Siagian. Terima kasih atas 5 bulan yang sangat berharga, suka dukanya sudah kita rasakan bersama dan kita adalah orang-orang yang sudah menaklukkan tantangan yang menguras fisik dan mental tapi kita tetap bertahan. Tuhan memberkati kalian

16. Untuk sahabat dan adek adek di delegasi NMCC Anti Money Laundering V Universitas Trisakti yang juga kelurga kedua bagi penulis dan menjadi rekan seperjuangan selama 7 bulan penuh tantangan, emosi dan tekanan namun kita berhasil menghadapinya. Untuk sahabat seperjuangan sesama stambuk di delegasi Jan Febri Putrado Purba, Samuel Joshua Sibarani, Elva Yohana Sianturi, Penita Azriani Nababan. Untuk adinda David Christopher, Frans Putra Hutabarat, Dodi Naufal Rizki, Edwin Van der Sar Siagian, Sheryn Nada Soraya, Dyssa Sitepu, Yossie Sinaga, Irna Irawan Simbolon, Agustin Aurelia, Dina M.S. Damanik, Inka Yuniar Ginting, Syahydah Napitu, semoga kalian sukses dan tetap semangat dalam perkuliahan.

17. Untuk adek-adek di delegasi CMCC Mahkamah Konstitusi 2018 Juanda Mandrofa, Kevin Situngkir, Girly Aneira, dan Surya Baginda Sirait, terima kasih karean kalian telah menjadikan KPS memiliki sejarah untuk meraih piala di masa kepengurusan Penulis.

18. Sahabat-sahabat seperjuangan PARMABES Mouses Siringo-Ringo, Revi Atlanta Rambe Manalu, Pesta Parjagal Lumban Batu, Bang Janiel Gultom, bang Suspim Simanjuntak, kalau tanpa kalian masa perkuliahan tak berwarna jadinya.

(8)

19. Untuk sahabat Kelompok Kecil Ambriel yang menjadi pemberi motivasi dalam menjalani perkuliahan Benedicta Shintya Manurung, Pray Getsema Simanjuntak, Revi Atlnta Rambe Manalu, dan Landova Sihombing. Terima kasih kalian mengajariku banyak hal dalam persahabatan.

20. Untuk rekan-rekan seperjuangan dalam klinis, Susi Tinambunan, Marudut Sihotang, Santa Clara Damanik, Louisa Mayliani Siregar, Natal Hutasoit, Muhammad Husnul, Dodi Darmawan, Lismar Siregar, terima kasih untuk bantuan dan arahan kalian dalam perkuliahan penulis.

21. Untuk dosen dan rekan-rekan Klinik Anti Korupsi (KAK) tahun ajaran 2017-2018 terima kasih penulis ucapkan untuk kehangatan dan kebersamaannya

22. Untuk rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana ( IMADANA), Erick Jeremy, Yaya, Sri Mutiara, Ricky Martin Sihombing, Garry Fischer Simanjuntak, Jantrio Parhusip, Gracia Eilerta, Lampos Rivaldo, dll. Terima kasih sudah menjadi sahabat seperjuangan di IMADANA. Asal Semula Sampai Tak Terhingga.

23. Untuk abang dan kakak serta teman-teman di KMK Koms. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih karena selalu bersabar menghadapi tingkah laku penulis yang kurang dalam disiplin rohani serta terima kasih untuk nasehatnya. Tuhan berkati kalian semua.

24. Untuk rekan-rekan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), terima kasih atas segala kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk berkontribusi di organiasi. Penulis mohon maaf jika tidak bisa selalu berkontribusi dalam kegiatan organisasi.

(9)

25. Untuk rekan-rekan dan adek-adek Panitia Natal FH USU 2018 terima kasih atas segala kebersamaannya.

26. Untuk Keluarga besar Grup H terima kasih untuk semangat kebersamaannya.

27. Untuk Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Fakultas Hukum IMFAKUM 2015 Universitas Sumatera Utara terima kasih telah menjadi tempat berbagi informasi.

28. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini, dan tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Medan, Februari 2019

Reinhard Siahaan

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

1. Subjek Hukum Pidana dan Perluasan Subjek Hukum ... 13

2. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana serta Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana ... 18

F. Metode Penelitian ... 33

G. Sistematika Penulisan ... 35

BAB II : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana... 38

B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Korporasi. ... 43

(11)

1. Formulasi Pengaturan Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana

Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 43

2. Pengaturan Sanksi dan Pemidanaan terhadap Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi ... 49

BAB III : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN NO. 812/PID.SUS/2010.PN.BJM A. Kasus Posisi 1. Kronologis ... 57

2. Dakwaan ... 64

3. Fakta Hukum. ... 64

4. Tuntutan ... 94

5. Pertimbangan Hukum ... 110

6. Putusan Hakim ... 132

B. Analisis Putusan ... 136

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ... 157

B. Saran ... 158

DAFTAR PUSTAKA ... 159

(12)

ABSTRAK Reinhard Siahaan1

M. Hamdan2 Syafruddin Hasibuan3

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, ketentuan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi secara khusus ada diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang menjadi landasan bagi penegak hukum dalam memeriksa, mengadili, serta memutus perkara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan ini perlu dikaji terkait pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana khusunya tindak pidana korupsi sebagaimana dalam putuasan Nomor : 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM

Korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan suatu bangsa. Korupsi senantiasa berkembang dalam bentuk serta modus-modus canggih guna mengelabui aparat penegak hukum. Dewasa ini korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan saja, melainkan juga badan hukum atau korporasi sebagai salah satu subjek hukum. Dengan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, maka penting untuk diketahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Hal ini dikarenakan untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tidak sama dengan meminta pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh orang perorangan, selain itu sistem pertanggungjawaban pidana korporasi berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang akan diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi.

Dengan demikian berdasarkan pokok pemikiran yang telah dikemukakan di atas maka dirumuskan beberapa masalah yang ingin dikaji yaitu Bagaimana kebijakan hukum pidana di indonesia terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan hukum normatif (yuridis normatif) dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (library research) yang menitikberatkan pada data sekunder yaitu memaparkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi serta buku-buku, artikel, majalah yang menjelaskan peraturan perundang-undangan dan dianalisis secara kualitatif.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing 1, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Dosen Pembimbing 2, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dan selalu berkembang mengikuti perubahan dalam kehidupan masyarakat. Bersifat dinamis dapat diartikan bukanlah suatu yang bersifat monoton atau statis akan tetapi lebih bersifat pembaruan dalam memberi arah dan pedoman pengaturan kehidupan masyarakat. Banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan perumusan hukum dalam suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu4

Badan hukum sebagai suatu subjek hukum dalam hukum pidana lebih dikenal dengan sebutan korporasi. Dalam KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), tidak ada penjelasan yang pasti mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, dikarenakan secara teoritis, subjek hukum yang selama ini dikenal untuk dimintai pertanggungjawaban pidana adalah orang perseorangan (naturalijk . Dengan karakteristik yang dinamis, maka setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan selalu menjadi bahan pembaruan hukum. Sebagai perbandingan yakni subjek hukum tidak lagi hanya orang perseorangan sebagai pihak yang melakukan perbuatan yang menghasilkan peristiwa hukum, namun juga membahas badan hukum sebagai subjek hukum yang menimbulkan peristiwa hukum.

4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm 36

(14)

person) bukanlah badan hukum seperti korporasi, hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal 59 KUHP yang isinya :

“ Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungngannya”.5 Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya pengaruh doktrin yang dikenal “Societas delinquere non potes”, yakni korporasi ( badan hukum) tidak dapat melakukan tindak pidana6. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Von Savigny yang menyatakan sebenarnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, sedangkan badan hukum hanya suatu fiksi yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang yang menciptakan suatu pelaku hukum ( badan hukum) sebagai subjek hukum.7

Asas societas non potest inilah yang menjelaskan mengapa dalam KUHP tidak ditemukan tempat bagi korporasi seabgai suatu subjek hukum pidana;8

Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, undang-undang pidana di luar KUHP (Undang- Undang Pidana Khusus) telah memperluas subjek hukum karena korporasi dianggap tidak memiliki kemauan dan jiwa, yang karenanya tidak mungkin dianggap mampu melakukan suatu perbuatan dan tidak mungkin memiliki kalbu atau kesalahan.

5 KUHP, R.Soesilo, Politea, Bogor, hlm 77

6 C.S.T. Kansil, op cit, hlm 16

7 Ibid, hlm 17

8 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi¸ Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm 63

(15)

pidana, yaitu tidak hanya terbatas kepada manusia tetapi juga kepada korporasi.9

Seiring dengan perkembangan korporasi diterima sebaai subjek hukum pidana dan dapat dibebani pertanggungjawaban, dalam berbagai pendapat terdapat pro dan kontra.

Perkembangan ini sejalan dengan perkembangan hukum pidana di negara-negara lain. Diadopsinya korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia, terlihat dari berbagai undang-undang yang dibuat akhir-akhir ini.

10 Mereka yang menentang pemikiran bahwa korporasi diterima sebagai subjek hukum pidana dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana berpendapat korporasi tidak memiliki mind11, sehingga tidaklah mugkin menunjukkan suatu nilai moral yang diisyaratkan dapat dipersalahkan secara pidana. Masalah kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah. Sedangkan yag setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan:12

1. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakain memainkan peranan yang penting pula;

2. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.

3. Dipidananya korporasi adalah merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;

4. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan atau dengan suatu korporasi.

9Sutan Remi Sjahdeini, Ajaaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Selak Beluknya, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2017, hlm 20

10 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, PT. Softmedia, Jakarta, 2010, hlm 18

11 Ibid

12 Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Ibid

(16)

Korporasi memiliki banyak pengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Apabila pengaruh tersebut positif, maka tentu saja pengaruh tersebut tidak perlu kita risaukan.13 Akan tetapi, justru banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan masyarakat secara luas maupun merugikan anggota masyarakat secara individual.

Banyak korporasi-korporasi yang mengeruk keuntungan dengan melakukan berbagai kegiatan usaha yang merugikan masyarakat dengan cara-cara yang melanggar hukum.14 Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana, tidak terlepas dari akibat perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak negatif dari korporasi dalam menjalankan aktivitasnya terhadap kehidupan masyarakat telah menimbulkan kerugian yang lebih besar dan mengancam keselamatan bangsa.15

Agar subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka terlebih dahulu harus diperhatikan unsur kesalahannya. Sebab hukum pidana menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld ). Jika subjek hukumnya adalah orang perseorangan, maka unsur kesalahan dapat dilihat secara subjektif atau disebut mens rea dan juga objektif atau disebut dengan actus rea. Secara subjektif (mens rea) berarti dilihat dari niat atau keinginan subjek hukum yang bersangkutan. Secara objektif (actus rea) dilihat dari realisasi niat subjek hukum yang bersangkutan dalam bentuk perbuatan .Jika kedua unsur tersebut terpenuhi maka subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Apabila unsur pertanggungjawaban pidana tersebut diarahkan pada orang perseorangan, maka hal tersebut dapat diterima dengan akal sehat, sebab orang perseorangan dapat bertindak secara aktif melakukan suatu perbuatan, namun

13 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit, hlm 24

14 Ibid, hlm 29

15 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Op cit, hlm 19

(17)

bagaimana jika pertanggungjawaban pidana tersebut diarahkan pada korporasi sebagai subjek hukum pidana, yang perbuatan pidananya tidak tampak sebagai suatu perbuatan aktif, tentu sulit untuk dilakukan. Sutan Remy Sjahdeni16 mengemukakan bahwa adagium “actus non facit reum, mens sit rea” atau tiada pidana tanpa kesalahan menimbulkan konsekuensi bahwa hanya sesuatu yang memiliki kalbu saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, dimana hanya manusia yang mempunyai kalbu sedangkan korporasi tidak memiliki kalbu.

Oleh karena itu, tidak heran apabila banyak pihak yang tidak sepakat jika korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana, karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia hingga mampu melakukan kesalahan sehingga sulit untuk menentukan apa yang menjadi niat ( mens rea ) dari korporasi yang bersangkutan. Namun, perkembangan zaman yang semakin pesat menunjukkan bahwa korporasi selain banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan suatu negara, terutama di bidang ekonomi, juga tidak jarang menciptakan dampak negatif dari aktivitas seperti pencemaran lingkungan, memanipulasi pajak, ekploitasi terhadap buruh dan penipuan, oleh karena dampak tersebut, hukum sebagai pengatur dan pengayom masyarakat harus memberikan perhatian dan pengaturan terhadap aktivitas korporasi tersebut17

Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami suatu pembaruan selain yang diatur dalam RKUHP, dimana dalam Undang-undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-barang telah dirumuskan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selain itu, pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana

.

16 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit, hlm 42-43

17 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Op cit, hlm 18

(18)

banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada di luar KUHP yakni dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal ini menggambarkan bahwa perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana bukanlah hal yang baru lagi dalam hukum pidana Indonesia, norma tertulisnya sudah banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun implementasi penegakan hukum terhadap korporasi dalam tatanan praktis tidaklah sebanyak peraturan yang mengaturnya.

Sebagai perbandingan, putusan pidana yang benar-benar menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah putusan PN Banjarmasin No.812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm. Putusan ini memang benar-benar menempatkan korporasi sebagai terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pengurus korporasi. Jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang melibatkan korporasi, penempatan korporasi sebagai terdakwa sangatlah langka, kasus yang ditangani aparat penegak hukum kebanyakan menempatkan pengurus korporasi sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban, apabila tindak pidana yang dilakukan ada kaitannya dengan korporasi. Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1.146/Pid.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 1 Agustus 2002 menempatkan Komisaris PT. Bank Modern sebagai terdakwa kasus korupsi yang melibatkan Perseroan tersebut, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 551/PID.B /2002/PN.JKT.PST tanggal 26 April 2002, menempatkan

(19)

pengurus dari PT.Bank Industri sebagai terdakwa dalam tindakan pemberian kredit diatas batas maksimum, kasus dugaan korupsi pembelian mesin cetak di dinas Infokom Pemprov Nanngroe Aceh Darussalam oleh PT. Bintang Lokal Sejahtera18

Dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada terkait korporasi sebagai subjek hukum pidana, timbul suatu asumsi yang mengarahkan pada pemikiran tentang seberapa pentingnya korporasi ditempatkan sebagai subjek hukum pidana terutama dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan korporasi di dalamnya apalagi tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana korupsi yang tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tapi juga kepentingan masyarakat luas. Sudah banyak kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi didalamnya, namun yang tetap dimintai pertanggungjawabannya adalah direksi dari Korporasi tersebut. Dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa “ dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”. Norma ini jelas

, menempatkan pengurus dari Perusahaan tersebut sebagai terdakwa tindak pidana korupsi yang dilakukan, dan masih banyak kasus lain yang menempatkan pengurus korporasi dimintai pertanggungjawaban pidananya dalam kasus yang melibatkan korporasi. Hal tersebut semakin menguatkan fakta bahwa penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam tatanan praktis tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi tersebut sebagai subjek hukum pidana.

18 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. xiii

(20)

menyatakan bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana apabila melakukan tindak pidana korupsi baik korporasi secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan dengan pengurus korporasinya. Namun kenyataannya, norma ini terkesan sebagai norma yang tidak berjalan efektif karena hanya sebagian dari rumusan pasal tersebut yang diimplementasikan. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia terkait penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana, bahkan Prof. Soedarto seorang ahli hukum pidana dari Universitas Diponegoro sebagaiamana yang dikutip oleh Muladi dan Dwija Priyatno19

Pendapat dari Prof. Soedarto tersebut sangat sesuai untuk menjelaskan bahwa terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi pun, sangat sedikit korporasi yang dijatuhi hukuman pidana, bahkan bisa dihitung jari. Data, fakta serta pernyataan dari para ahli hukum tersebut memberi pertanda bahwa aparat penegak hukum di Indonesia belum memiliki kesiapan untuk menerapkan norma hukum bagi korporasi yang melakukan tindak pidana untuk dimintai pertangunggjawaban. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum acara pidana juga belum secara eksplisit mengatur mengenai cara pemidanaan bagi korporasi yang melakukan tindak pidana atau yang terlibat dalam tindak pidana, tentu hal tersebut sehubungan dengan masalah dapat dipidananya korporasi menyatakan:

“Saya tidak akan menyangkal kemungkinan peranan korporasi di kemudian hari, akan tetapi saya ingin mengetahui selama berlakunya Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi, berapakah korporasi yang telah dijatuhi pidana.

Sayang sekali, tidak dapat dijumpai angka-angka yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan perkiraan untuk masa depan. Angka-angka ini dapat memberikan petunjuk, dimana kebutuhan akan perluasan pertanggungjawaban dari korporasi.

Kalau pada delik-delik yang termasuk hukum pidana khusus, kenyataannya tidak banyak pemidanaan yang dikenakan kepada korporasi”.

19 Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, dalam Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Op cit, hlm 19

(21)

merupakan suatu ketimpangan sebab sudah banyak peraturan perundang- undangan yang mengatur serta menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Pernyataan ini diperkuat sebagaimana yang dimuat dalam bagian menimbang yang terdapat pada bagian menimbang huruf C Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang menuliskan sebagai berikut

“ bahwa banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana”.

Kejahatan-kejahatan korporasi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Konsekuensi yang ditimbulkan secara langsung terhadap masyarakat adlaah kerugian finansial, kehilangan pekerjaan, dan bahkan kehilangan jiwa.20

20 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit, hlm 22

Melihat keadaan yang demikian ditambah juga beberapa alasan yang menyatakan bahwa korporasi dalam kenyataaanya juga dapat membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat seperti misalnya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability), terutama apabila berasal dari tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara atau perekonomian negara tentu pertanggungjawaban terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi sangat masuk akal untuk dimintai. Payung hukum secara materiil sudah banyak yakni peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seperti Undang-Undang

(22)

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, payung hukum secara formil juga sudah ada yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, namun sebagaimana yang telah dikemukakan oleh penulis, salah satu putusan dan mungkin satu-satunya yang menempatkan korporasi sebagai terdakwa dalam suatu kasus tindak pidana adalah putusan PN Banjarmasin No.812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm, yang penulis anggap adalah suatu keberanian dari aparat penegak hukum yang memeriksa perkara ini baik jaksa maupun hakimnya.

Salah satu hal yang unik adalah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam putusan tersbut adalah tindak pidana korupsi, suatu kasus yang rumit jika menempatkan korporasi sebagai terdakwanya terlebih putusan tersebut dikeluarkan pada tahun 2010 dimana Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi belum dikeluarkan.

Maka berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam putusan PN Banjarmasin No.812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm serta pemidanaan korporasi tersebut ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

(23)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan oleh penulis maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia terkait Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Korporasi ?

2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Putusan No. 812/PID.SUS/2010.PN.BJM ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terkait tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dalam Putusan No.

812/PID.SUS/2010.PN.BJM ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penulisan yang diuraikan adalah sebagai berikut :

(24)

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penulisan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan bahan bacaaan yang menambah wawasan mengenai pertanggungajawaban pidana korporasi dan tata cara penanganan perkaranya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tindak pidana yang berkaitan dengan korporasi.

D. Keaslian Penulisan

Judul skrpisi ini adalah Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perma No. 13 Tahun 2016 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Studi Putusan No.812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm). Judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun dan juga diteliti dalam bentuk yang sama, namun objek kajian mengenai putusan dalam skripsi ini sudah ada diteliti namun dengan judul dan tinjauan permasalahan yang berbeda sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian isi keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

(25)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Subjek Hukum Pidana dan Perluasan Subjek Hukum Pidana

Hukum secara definitif dapat diartikan sebagai kumpulan peraturan yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dengan demikian hukum tentu memiliki subjek yang ingin diatur beserta objek yang melekat pada subjek tersebut. Subjek yang dimaksud lebih tepat dikatakan sebagi subjek hukum. Dewasa ini subjek hukum yang dikenal tidak hanya manusia (natural person) saja, akan tetapi mencakup juga korporasi ( legal person). Keduanya dipandang sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat menjadi subjek hukum pidana adalah natulijke person atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP, baik itu dalam buku II maupun buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana dalam KUHP dimulai dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari kata Belanda hij. Bahwa hanya manusialah yang dapat dianggap sebagai subjek hukum pidana, hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan E.Y. Kanter21

1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah : barangsiapa, warga negara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2-9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal 2,3, dan 4 KUHP digunakan istilahn een ieder ( dengan terjemahan “setiap orang”);

yang menyatakan sebagai berikut :

21 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 218.

(26)

2. Ketentuan mengenai pertangunggjawaban pidana seperti diatur, terutama dalam Pasal 44, 45, 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan

“kejiwaan” dari pelaku;

3. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang.

Pernyataan di atas juga diperkuat oleh Doelder yang menyatakan enam karakteristik dari hukum pidana Belanda. Kita mengetahui bahwa hukum pidana Indonesia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh hukum pidana Belanda. Hal tersebut dikarenakan kita menganut asas konkordansi. Berdasarkan keterangan tersebut, Doelder 22

1. Pengertian mengenai tindak pidana dalam Buku II dan III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Dutch Penal Code) kebanyakan dimulai dengan kata-kata: “The person, who..”

menyatakan enam karakteristik hukum pidana Belanda yakni sebagai berikut:

2. Beberapa pengertian tindak pidana, sebenarnya memberikan cukup alasan untuk memidana korporasi, akan tetapi ancaman pidana yang berdasarkan pada asas yang lain tidak ada. Contohnya pasal 140 Dutch Penal Code ( Ikut serta dalam organisasi kejahatan), Pasal 343 Dutch Penal Code ( kecurangan dengan menyatakan bahwa korporasi adalah pailit/fraudulent bankruptcy within a corporation).

3. Dasar penghapusan pidana dalam bagian III buku I Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Belanda, menunjuk pada orang.

4. Sebagian besar pidana dan tindakan yang tersebut dalam bagian II dan IIA Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (contoh penjara dan kurungan) hanya menunjuk pada orang;

5. Peraturan mengenai proses dalam beracara (pidana) yang terkodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga menunjuk pada orang. Contohnya penahanan, memasukkan ke dalam tahanan.

6. Akhirnya dalam memori penjelasan pada pasal 51 lama: suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh orang dan fiksi terhadap korporasi.

22 Doelder dalam M.Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Jawa Timur, 2006, hlm 206-207

(27)

Pemikiran-pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya pengaruh doktrin yang dikenal “ Societas delinquere non potes”, yakni pidana korporasi (badan hukum) tidak dapat melakukan tindak pidana23

Di Indonesia, yang dapat dianggap sebagai subjek hukum bukan hanya manusia saja melainkan juga badan hukum atau korporasi terutama dalam hal-hal yang menyangkut:

.

24

1. Sumber keuangan negara ( perpajakan, bea import dan eksport barang dan lain sebagainya),

2. Pengaturan perekonomian ( pengendalian harga, penggunaan cek, pengaturan perusahaan dan sebagainya),

3. Pengaturan keamanan ( subversi, keadaan bahaya dan lain sebagainya).

Perluasan subjek hukum pidana dari yang tadinya hanya mengenal manusia kemudian berkembang dengan adanya korporasi bukanlah terjadi secara kebetulan. Singkatnya penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subjek tindak pidana adalah karena suatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia25

23 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Op cit, hlm 16.

24 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, op cit, hlm 219

25 Ibid, hlm 222

. Sebagaimana diketahui kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia maka akan semakin mewarnai corak dan bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan ini. Munculnya

(28)

bentuk-bentuk kejahatan baru yang begitu kompleks seperti “kejahatan korporasi”

merupakan konsekuensi yang logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek positif dan efek negatif26. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak terlepas dari akibat perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak negatif dari koporasi dalam menjalankan aktivitasnya terhadap kehidupan masyarakat telah menimbulkan kerugian yang lebih besar dan mengancam keselamatan bangsa. Studi mengenai aktivitas korporasi yang memberikan dampak negatif secara rinci dikemukakan oleh Clinad dan Yaeger (1980:113-115) yang melakukan studi terhadap kejahatan korporasi menemukan adanya enam jenis kejahatan yang sering dilakukan oleh korporasi yaitu kejahatan korporasi yang berkaitan dengan administrasi, lingkungan, keuangan, tenaga kerja, produk barang, dan parktik-praktik perdagangan tidak jujur.27

1. Pelanggaran di bidang administratif meliputi tidak memenuhi persyaratan suatu badan pemerintahan atau badan pengadilan seperti tidak mematuhi perintah pejabat pemerintah, sebagai contohnya membangun fasilitas pengendalian pencemaran lingkungan.

Uraian mengenai enam kejahatan tersebut yakni sebagai berikut :

2. Pelanggaran di bidang lingkungan hidup meliputi pencemaran udara dan air berupa penumpahan minyak dan kimia, yaitu seperti pelanggaran terhadap surat izin yang mensyaratkan kewajiban penyediaan oleh korporasi untuk pembangunan perlengkapan pengendalian polusi, baik polusi udara maupun air.

3. Pelanggaran di bidang keuangan meliputi pembayaran secara tidak sah atau mengabaikan untuk menyingkap pelanggaran tersebut, seperti penyuapan di bidang bisnis, sumbangan politik secara tidak sah, dan pembayaran (suap) untuk pejabat-pejabat asing, pemberian persenan, dan manfaat atau keuntungan secara illegal.

26 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hlm 4

27 M. Arief Amrullah, op cit, Hlm 82

(29)

4. Pelanggaran perburuhan dapat dibagi menjadi empat tipe utama yaitu diskriminasi tenaga kerja ( ras, jenis kelamin, atau agama), keselamatan pekerja, praktik perburuhan yang tidak sehat, upah, dan pelanggaran jam kerja.

5. Pelanggaran ketentuan pabrik.

6. Praktik perdagangan yang tidak jujur meliputi bermacam-macam penyalahgunaan persaingan (antara lain monopolisasi, informasi yang tidak benar, diskriminasii harga), iklan yang salah dan menyesatkan merupakan hal penting dalam praktik perdagangan yang tidak jujur.

Faktor-faktor di atas yang menyebabkan terjadinya perluasan subjek hukum pidana yakni dari yang semula hanya manusia berkembang menjadi badan hukum atau sering disebut dengan istilah korporasi (legal person).

Korporasi sebagai subjek hukum pidana, sekarang ini telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di Indonesia ada beberapa peraturan28

1. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ( Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 L.N No. 27 Tahun 1995, jo Perpu L.N No.

118 Tahun 1960) pada Pasal 15 disebut antara lain : ayat (1). Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perserikatan orang yang lainnya, atau suatu yayasan maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Ayat (3), jika suatu tuntuan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan orang atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu, diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain, dan seterusnya.

yang mengatur mengenai badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi acuan dalam menentukan korporasi atau badan hukum layak menjadi subjek hukum yakni :

2. Dalam Undang-Undang No.66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer, Pasal 66 menyebutkan jika seuatu hal yang diancam dengan pidana

28 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, op cit, hlm 219

(30)

dalam atau berdasarkan undang-undang ini dilakukan oleh suatu badan hukum atau perserikatan, maka tuntutan ditujukan serta pidana dijatuhkan terhadap pengurus atau pemimpin-pemimpin badan hukum atau perserikatan itu.

3. Dalam Undang-Undang Keadaan Bahaya ( Undang-undang Nomor 23 Perpu Tahun 1959 L.N. No. 139 Tahun 1959, T.L.N. No, 1908) pada Pasal 56 disebut : Apabila tanggung jawab atas tindak pidana menurut atau berdasarkan peraturan ini ada pada suatu badan hukum maka tuntutan hukum dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan terhadap anggota-anggota pengurusnya.

4. Dalam Undang-Undang No. 11 PNPS Tahun 1963 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 lampiran II a No. 9 pasal 17 ayat (1) menyebut: Jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayaasan atau organisasi lainnya maka tindakan peradilan dilakukan “terhadapnya” dan seterusnya. Ayat (3) nya berbunyi hampir sama dengan ayat (3) tersebut pada no. 93 a di atas.

5. Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong Pasal 2 disebut antara lain. Apabila penarikan cek kosong teesebut dalam Pasal 1 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, suatu perseroan suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka tuntuan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan cek kosong itu maupun terhadap keduanya.Namun undang-undang ini sudah tidak berlaku lagi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1971 tertanggal 16-10- 1971 ( jo Perpu No. 1 Tahun 1971).

2. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana serta Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari isitlah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Istilah inilah yang dikenal dan digunakan dalam Konsep KUHP baru.29 Dalam KUHP sendiri tidak dikemukakan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit begitu juga dengan peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Barda Nawawi Arief menyebutkan30

29 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hlm 76

30 Barda Nawawi Arief Op cit, hlm 80

bahwa di dalam KUHP (Wvs) hanya ada asas legalitas ( Pasal 1 KUHP) yang merupakan

(31)

“Landasan Yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (Feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana “Strafbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.

Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang, misalnya :31

1. Pada tanggal 13 Juli 1938 Rb. Dordecht, dalam kasus pembunuhan, menjatuhkan pidana penjara 7 tahun pada seorang perempuan (banding tidak diupayakan), yang dalam kapasitasnya sebagai ibu dan pengasuh anaknya secara sistematis dengan sengaja tidak memberi anaknya yang berumur 4 bulan makanan yang ia perlukan sehingga anak itu mati;

2. Seseorang ditunjuk menjadi pengawas toko, namun membiarkan terjadinya pencurian kopi: HR 21 Februari 1921, NJ 1921, 465, W 10717.

R. Tresna.32

31 Mohammad Ekaputra, Ibid

32 R. Tresna dalam Mohammad Ekaputra, Ibid, hlm 79

, menyatakan pertimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan-perbuatan terlarang, yang menetapkan mana yang harus ditetapkan sebagai peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat berubah-ubah tergantung dari keadaan, tempat dan waktu atau suasana serta berhubungan erat dengan perkembangan dan pendapat umum. Apa yang pada suatu waktu di tempat itu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa berubah dan dianggap sebagai suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi dianggap sebagai suatu kejahatan, di waktu lain keadaannya dapat berubah menjadi tidak membahayakan. Undang-undang harus mencerminkan keadaan,

(32)

pendapat atau anggapan umum, dan mengikuti perkembangan gerak hidup dalam masyarakat, akan tetapi terhadap beberapa perbuatan, ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya pembunuhan, dari dulu sampai sekarang, tetap sebagai sesuatu perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut agama atau moral, maupun dilihat dari sudut sopan santun, sehingga sudah semestinya terhadap perbuatan yang demikian itu diadakan ancaman hukuman pidana.

Pembentuk Undang-Undang menggunakan kata “Strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan tindak pidana, di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan tentang “Strafbaar feit”. Oleh karena itu muncul di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan

“Strafbaar Feit ”. Jan Rammelink33

33 Jan Rammelik dalam Mohammad Ekaputra, Ibid, hlm 82

menyatakan bahwa untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningwatbaar) atau schuldfahig. Untuk itu menurut Remmelink, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen : yang mencakup dalam hal ini berbuat atau tidak berbuat) yang dilakukan dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, yang perilaku itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana. Berdasarkan hal ini dapat didistribusikan syarat-syarat umum dari tindak pidana, yaitu sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), kesalahan (schuld), dan kemampuan bertanggung jawab menurut hukum pidana (werekeningwatbaarheid).

(33)

Menurut D. Schaffmeister34

Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Pembentuk Undang-Undang dalam menentukan perbuatan yang dapat dipidana, harus memperhatikan keselarasannya dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Pada umumnya setiap tindak pidana dipandang bertentangan dengan hukum, namun dalam keadaan khusus menurut kejadian-kejadian konkrit, tidak menutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Dalam hal demikian pembuat tindak pidana membuktikan bahwa perbuatannya tidak bertentangan dengan hukum.

, suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik tidak dapat dijatuhkan pidana. Hal ini berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk dapat menjatuhkan pidana diperlukan dua syarat: (1) Perbuatan itu bersifat melawan hukum dan (2) dapat dicela. Dengan demikian suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

35

Menurut Barda Nawawi Arief

36

34 D. Schaffmeister, Kejzer, Sutorius, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm 91

35 Ibid, hlm 92

36 Barda Nawawi Arief, Op cit, hlm 85

dengan menegaskan bahwa setiap tindak pidana dianggap selalau bertentangan dengan hukum, konsep berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak dari tindak pidana. Artinya

(34)

walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum, namun delik itu harus selalau dianggap bersifat melawan hukum. Jadi perumusan formal dalam undang-undang hanya merupakan ukuran formal atau ukuran objektif untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum . Ukuran formal/onjektif itu masih harus dikaji lebh teliti, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul-betul bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila perbuatannya secara materil tidak bersifat melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan ada tindak pidana dan oleh karena itu tidak dapat dipidana. Dengan ketentuan demikian terlihat disini adanya asas keseimbangan antara patokan formal ( melawan hukum formal/kepastian hukum) dan patokan materiil ( melawan hukum materil/nilai keadilan).

Moeljatno37

37 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Di Dalam Teori dan Praktek, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, halaman 56-57

membedakan dengan tegas antara dapat dipidananya perbuatan (criminal act) dengan dapat dipidananya orang (criminal responsibility). Perbuatan pidana hanya menunjuk keada sifat perbuatannya saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi, dalam perbuatan pidana dipisahkan antara pertanggungjawaban pidana dengan kesalahan. Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban

(35)

pidana. Pandangan seperti ini disebut dengan pandangan yang dualistis mengenai perbuatan pidana.

Kemampuan bertanggungjawab menjadi hal yang sangat penting dalam hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hak terjadinya tindak pidana (konkret).

Untuk terjadinya/terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan dengan semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan.38

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undnag-undang. Teoritis artinya, berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin dalam bunyi rumusannya Sementara itu dari sudut undang-undang yaitu bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. 39

Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/elemen.

40 Para ahli ada yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yang merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan undang-undang.41

Vrij dalam Sudarto

42

38 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I , PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm 78

39Ibid, hlm 79

40 Mohammad Ekaputra, Op Cit, hlm 107

41 Ibid

42 Sudarto,Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm 48-49

menyatakan, bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap adalah sifat melawan hukum dan kesalahan, namun hal ini menurutnya belum lengkap. Vrij menambahkan satu unsur lagi untuk dapat dikatakan sebagai

(36)

delik,yaitu unsur Het Subsiciale yang merupakan semacam “kerusakan dalam ketertiban hukum” ( deuk in de rechtsorde).Vrij dalam E.Y Kanter 43

1. Hasrat-hasrat penjahat untuk mengulangi kejahatannya

menyatakan bahwa Het Subsiciale ( maatschappelijke minustoestand) atau kegelisahan masyarakat ditimbulkan oleh:

2. Kekecewaan para korban dan fihak ketiga karena suatu kejahatan

3. Keinginan meniru dari fihak ketiga yang menjadi penjahat

4. Ketidakpercayaan atas kesanggupan petugas untuk menjamin keamanan

Menurut Jan Remmelink44

1. Perilaku

unsur-unsur tindak pidana yang dapat ditentukan dalam rumusan tindak pidana, adalah sebagai berikut :

Dalam setiap delik terdapat unsur perilaku manusia, baik itu berbuat atau tidak berbuat dalam arti melakuakn suatu hal. Apa yang berada di luar lingkup itu tidak menjadi perhatian hukum pidana; sikap batin dalam diri seseorang, betapapun immoral ataupun tercelanya bagi masyarakat tidaklah penting.

2. Subjek

Manusia adalah subjek tindak pidana. Dalam arti tertentu dapat juga menyebut subjek sebagai salah satu unsur tindak pidana. Hal ini juga berarti bahwa hukum pidana hanya berlaku bagi subjek hukum manusia.

Namun kenyataannya jauh berbeda, karena tuntutan kebutuhan social yang muncul tatkala stelsel (sistem) teoritik (hukum) pidana yang ( masih) terfokus hanya pada perilaku dan kesalahan manusia, kemudian menempatkan kita pada posisi sulit, yakni ketika dihadapkan pada ketidakadilan yang dilakukan oleh badan hukum atau bentuk-bentuk korporasi lainnya. Oleh karena itu sejumlah undang-undang dalam bidang

43 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Op Cit, hlm 217

44 Jan Rammelink dalam Mohammad Ekaputra, Op Cit, hlm 110

(37)

social dan ekonomi mengadopsi kemungkinan dapat dipidananya suatu korporasi.

3. Akibat Konstitutif

Sejumlah delik ditujukan pada perbuatan yang mengakibatkan suatu sebab atau yang dinamakan akibat kosntitutif. Setiap tindakan apapaun mengakibatkan dan memunculkan suatu akibat. Hanya dalam bentuk delik materil unsur akibat disebabkan secara eksplisit di dalam undang-undang;

hanya dalam jenis delik materiil saja akibat bagian dari rumusan delik.

4. Sifat psikis

Banyak rumusan delik mencakup unsur-unsur yang sifatnya psikis misalnya ‘dengan maksud’ (oogmerk), ‘kesengajaan’ (opzet),

‘kelalaian/culpa’ (onachtzaamheid). Dalam bentuk kejahatan, penyebutan unsur-unsur ini mutlak ada. Sebaliknya dalam pelanggaran merupakan pengecualian.

5. Situasi dan kondisi objektif tertentu

Banyak delik-delik pidana isinya mensyaratkan adanya situasi dan kondisi objektif tertentu. Jadi, tindakan menghasut (opruiing, pasal-pasal 160 KUHP), mabuk-mabukan (dronkenschap, pasal 536 KUHP) hanya dapat dipidana apabila dilakukan di muka umum.

6. Syarat tambahan dapat dipidana

Sejumlah delik lain mengandung syarat-syarat tambahan sifat dapat dipidana. Maksudnya adalah suatu keadaan yang timbul (segera) setelah perliaku atau tindakan yang dirumuskan dalam delik terjadi, akibat konstitutifnya, dan keadaan itulah yang pertama-tama menetapkan sifat dapat dipidananya perilaku tersebut.

7. Unsur-unsur rumusan delik lainnya yang juga dapat dianggap sebagai kelompok khusus, misalnya wederrechtelijk, onrechtmatig ( melawan hukum), zonder daartoe gerechtigd te zijn ( tanpa memiliki kewenangan untu itu, zonder verlof ( tanpa izin), met overschrijding van de bevogheid ( dengan melampaui batas kewenangan/ultravires ).

8. Meskipun setiap delik pada akhirnya diandaikan akan diwujudkan dalam ruang dan waktu, kategori-kategori ini galibnya tidak dicantumkan sebagai unsur dalam rumusan delik. Sekalipun demikian, tempat dan waktu pada prinsipnya harus diperhitungkan sebagai bagian fakta yang tidak terpisahkan dari tindak pidana, yakni sebagai sachverhalt: kondisi konkrit yang dalam penerapan undang-undang harus disandingkan dengan unsur- unsur yang secara tegas termaktub dalam rumusan delik. Hanya dalam hal- hal khusus pembuat undang-undang menyebut konteks ruang dan waktu

(38)

dalam rumusan delik, misalnya yang berkenan dengan waktu adalah saat membahayakan keamanan negara sewaktu perang.

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Toerekenbaarheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.45 Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.46 Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.47 Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya:48

a. Keadaan jiwanya :

1) tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara ( temporair)

2) tidak cacad dalam pertumbuhan ( gagu, idiot, imbicile, dan sebagainya) dan

3) tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidam, dan lain sebagainya.

Dengan perkataan lain dalam keadaan sadar b. Kemampuan jiwanya :

1) dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya

45 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op Cit , hlm 34

46 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Op Cit, hlm 249

47Ibid

48Ibid

(39)

2) dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,

3) dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan

“jiwa” (geestelijke vernogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogens. Untuk terjemahan dari verstandelijke vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”. Terjemahan tersebut sesuai dengan perkembangan doktrin yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan seharusnya adalah keadaan dan kemampuan jiwa (goestelijke vermogens).49 Telah diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.50 Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan bergantung dari tindakan yang dilakukan, apakah tindakan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan.51 Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa tiada ketentuan hukun yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut atau tiada alasan pembenar dan juga tiada ketentuan yang meniadakan kesalahan tertuduh atau tiada alasan pemaaf. 52

Akan tetapi mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidanan terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta

49Ibid, hlm 250

50 Ibid

51 Ibid

52 Ibid

(40)

pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan.53 Pertanggungjawaban pidana bukan hanya berarti “rightfully sentences” melainkan

“rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupaka keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana dan menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. 54 Berhubungan dengan hal itu Sudarto menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.

Pemidanaan masih diperlukan syarat-syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut haruslah mempunyai kesalahan atau bersalah (berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan “ Geen Straf Zonder Schuld” atau nulla poena sine culpa). 55

Kesimpulan dari uraian diatas tersebut diatas, bahwa bilaman kita hendak menghubungkan antara petindak dengan tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibuktikan bahwa:56

1. Subyek harus sesuai dengan perumusan undang-undang 2. Terdapat kesalahan petindak

3. Tindakan itu bersifat melawan hukum

4. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (dalam arti luas);

5. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

5353 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op Cit, hlm 36

54 Ibid

55 Ibid

56 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Op Cit, hlm 253

(41)

Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana, adalah suatu hal yang tidak mudah untuk dapat menentukan kemampuan bertanggungjawab korporasi, sebab korporasi tidak mempunyai sifat kejiwaan sebagaimana halnya dengan manusia alamiah. Namun demikian persoalan ini dapat diatasi dengan diterimanya ajaran atau konsep pelaku fungsional (functioneel daderschaap).

Rolling dalam Andi Hamzah57

Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik dari sesorang yang sebernanya melakukan telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan bertanggungjawab masih berlaku dalamm mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut, selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian kemampuan bertanggungjawab oleh orang-oeang yang berbuat untuk dan atas

menyatakan bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yaitu pertanggungjawabannya dbebankan kepada badan hukum atau korporasi dilakukan dalam rangka tugas dan pencapain tujuan-tujuan badan hukum tersebut.

Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana social ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat sebagaimana aktivitas social atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.

57 Andi Hamzah, Delik-delik tertentu, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 260

(42)

nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP termasuk di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan sudah barang tentu hal ini telah terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, dimana suatu badan hukum apabila dituntut telah melakukan tindak pidana baik dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.58

Berkaca pada pernyataan yang menyatakan bahwa subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terpenuhi unsur kesengajaan dan kealpaan, maka ada hal yang perlu diperhatikan yakni badan hukum yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan dan usnur-unsur psychis dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Menyikapi hal ini Muladi dalam Mahmud Mulyadi59, menyatakan ada 2 (dua) persoalan yang harus perlu untuk diperhatikan; Pertama, apakah ukuran-ukuran yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi. Hal ini dapat dipecahkan dengan melihat apakah tindakan pengurus tersebut dalam rangka tujuan statutair dari korporasi atau sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari korporasi. Kedua, bagaimana menentukan kesengajaan dan kealpaan pada korporasi ? Mengenai hal ini, masalah kejiwaan atau sikap bathin dapat dilakukan dengan melihat apakah kesengajaan atas tindakan para pengurus pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu.60

58 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, opcit, hlm 47

59Ibid, hlm 48

60 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op cit, hlm 48.

Referensi

Dokumen terkait

Berbicara tentang hak cipta tidak dapat dipisahkan dari masalah moral karena di dalam hak cipta itu sendiri melekat hak moral sepanjang jangka waktu perlindungan hak

Penerapan Good Corporate Governance pada perusahaan PT. Torganda yang berada di Medan, sudah mulai diterapkan secara bertahap sesuai dengan peningkatan Standar

Keterkaitannya dengan illegal fishing terletak pada pengaturan garis batas ZEE yang sering digunakan oleh pelaku illegal fishing sebagai tempat pelarian dari

dan saksi Dedi Irwanto Tarigan (Anggota Kepolisian Ditresnarkoba Polda Sumut) melakukan penyamaran dengan berpura-pura akan membeli kosmetik berupa Temulawak Cream

Pasal tersebut menyatakan bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung

Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan menganalisis Putusan

1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, pemilik Merek dan/atau penerima Lisensi selaku penggugat dapat mengajukan permohonan

Seperti diantaranya adalah praktik perjanjian jual beli tanah hak milik oleh pihak asing dengan cara pinjam nama (nominee) yang seolah-olah bahwa pembeli tanah