• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIANA THERESIA LUBIS NIM : 150200507

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

Perkawinan beda kewarganegaraan atau sering dikatakan sebagai perkawinan campuran merupakan fenomena di Indonesia, khususnya dikalangan artis. Terdapat beberapa organisasi di Indonesia yang para anggotanya pasangan- pasangannya berbeda kewarganegaraan. Pemisahan harta merupakan hal yang paling penting dalam melakukan perkawinan campuran, sebagai upaya untuk menghindari hilangnya hak atas harta benda khususnya tanah akibat perkawinan campuran.dalam penelitian ini penulis mencoba meneliti tentang pemisahan harta perkawinan campuran di tinjau dari perundang-undangan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan harta perkawinan campuran untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing.

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian yuridis normatif yang penelitiannya berdasarkan pada data primer dan sekunder, dimana data primer bersumber pada perundang-undangan, yang mengkaji perundang- undangan, sedangkan data sekunder berdasarkan pada buku-buku, artikel maupun jurnal yang berkaitan dengan penelitian tentang pemisahan harta perkawinan campuran untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan terbitnya Putusan MK No.

69/PUUXIII/2015 perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, setelah perkawinan dilangsungkan dengan dibuktikan akta notaris sesuai Pasal 3 Ayat (2) PP No. 103 Tahun 2015. Keputusan ini memberikan jaminan kesetaraan hak dalam hal ini hak untuk dapat memiliki tanah hak milik, dan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015 karena belum tersosialisasikan secara optimal. Serta, tidak jarang notaris menolak membuat perjanjian perkawinan baik antara WNI-WNA maupun pasangan WNI-WNI, karena dapat diindikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Mengingat luasnya cakupan atau substansi perjanjian perkawinan yang belum ada batasan dengan tegas, disarankan agar pemisahan harta yang terdapat dalam Pasal 3 Ayat (2) PP No. 103 Tahun 2015 harus dijelaskan secara terperinci, serta Pemerintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM seharusnya dapat menindaklanjuti Putusan MK No. 69/PUUXIII/2015 terkait pelaksanaan tugas notaris selaku pejabat umum yang membuat atau mengesahkan perjanjian perkawinan.

Kata Kunci : pemisahan harta, perkawinan campuran, tanah hak milik

Mahasiswa Fakultas Hukum USU

 Dosen Pembimbing I

 Dosen Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas setiap rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul Pemisahan Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran Untuk Menghindari Kepemilikan Tanah Hak Milik Orang Asing Di Tinjau Dari Perundang-Undangan Di Indonesia ini dengan baik. Skripsi ini merupakan langkah awal bagi penulis untuk mengenal dan memahami lingkungan kerja serta dapat menerapkan ilmu yang telah penulis peroleh selama masa perkuliahan.

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Ok. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing dan mendukung penulis selama masa penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Eko Yudisthira, SH., M.Kn. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, mengarahkan, memberi motivasi, dukungan, ide, waktu dan sarannya selama penyelesaian skripsi ini.

10. Terkhusus Kepada kedua orang tua, terima kasih untuk setiap doa dan dukungan, semangat dan masukan yang diberikan kepada penulis

11. Seluruh keluarga yang telah mendukung dan memberikan motivasi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Medan, November, 2019 Penulis

Diana Theresia Lubis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan... 7

D. Manfaat Penulisan... 8

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN, PERKAWINAN CAMPURAN, AKIBAT HUKUMNYA MENURUT PERUNDANG- UNDANGAN ... 13

A. Perkawinan... 13

1. Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 13

2. Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 18

B. Perkawinan Campuran... 23

1. Perkawinan campuran menurut Staatblad 1898 nomor 158 ... 23

2. Perkawinan campuran menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 28

C. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ... 31

1. Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan ... 31

2. Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Harta Benda ... 34

(7)

1. Pengertian Hak Milik ... 37

2. Subjek Hak Milik ... 38

3. Objek Hak Milik ... 39

4. Peralihan Hak Milik ... 40

B. Penguasaan Hak Atas Tanah ... 41

1. Hak Atas Tanah Bangsa Indonesia ... 41

2. Hak Menguasai Tanah oleh Negara ... 43

3. Hak Ulayat ... 46

4. Hak Atas Tanah Individual ... 47

C. Pengaturan Larangan Pengasingan Tanah Oleh Orang Asing ... 52

1. Zaman Hukum Agraria Kolonial ... 52

2. Zaman Hukum Agraria Nasional ... 53

BAB IV PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK ORANG ASING DITINJAU DARI PERUNDANG-UNDANGAN 58 A. Pemisahan Harta Dalam Perkawinan Campuran ... 58

1. Pemisahan Harta Dalam Perkawinan Menurut PP Nomor 103 Tahun 2015 ... 60

2. Pemisahan harta Dalam Perkawinan Pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 ... 63

3. Surat Kementrian Dalam Negeri R.I Dukcapil Nomor 472.2/5876/Dukcapil dan Surat Kementrian Agama R.I 28 September 2017 Nomor B.2674/DJ.III.KW.00/9/2017 ... 65

(8)

B. Faktor Penghambat dan Pendorong Terlaksananya Pemisahan Harta

Dalam Perkawinan Campuran ... 67

1. Faktor Penghambat ... 67

2. Faktor Pendorong ... 68

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana dimuat dalam pasal 2, disebutkan bahwa suatu perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan perkawinan tersebut hendaknya dicatatkan. Sedangkan menurut hukum islam, suatu perkawinan dianggap sah adalah apabila perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syariat agama islam dan memenuhi ketentuan rukun dan syarat-syarat yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist.1

Dari perkawinan yang dilakukan kedua mempelai, kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Akibat hukum perkawinan antara lain adalah akibat perkawinan terhadap suami isteri, akibat hukum terhadap harta kekayaan dan akibat hukum perkawinan terhadap anak. Khusus mengenai akibat hukum perkawinan terhadap harta kekayaan, timbul adanya harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan adalah harta yang dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami ataupun istri. Masing-masing suami ataupun istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bendanya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sedangkan harta bersama adalah harta yang dikuasai suami dan istri, suami atau isteri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan dari kedua belah pihak. Dalam pasal 36 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang

1 Yusthia Misliranti, kedudukan dan bagian isteri atas harta bersama bagi isteri yang dicerai dari pernikahan sirri, http://eprints.undip.ac.id/17762/1/ Yusthia_Misliranti.pdf. diunduh pada tanggal 12 Juni 2019, Pukul 15.40 WIB

(10)

2

Perkawinan diatur mengenai hal tersebut, terhadap harta bersama suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama.2

Dalam kehidupan berumah tangga tidak jarang ditemukan suami isteri yang sama-sama bekerja untuk mencukupi keperluan dan kebutuhan keluarga, sehingga menjadi suatu harta kekayaan dari hasil usaha tersebut, misalnya suami bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, sedangkan istrinya tinggal dirumah, memelihara dan mengasuh anak-anak mereka, merawat dan menjaga rumah tangga, mengatur rumah tangga dan sebagainya. Maka secara tidak langsun isteri juga membantu dan menunjang usaha suami. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil usaha suami dalam mencari nafkah yang dibantu baik secara langsung ( dalam hal isteri bekerja) maupun tidak langsung membuahkan harta kekayaan milik suami dan isteri tersebut atau yang sering disebut sebagai harta bersama.3

Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan denganberkembangnya perekonomian Indonesia dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi ini, maka semakin terbuka kesempatan bagi investor asing untuk berinvestasi, membuka usaha, maupun mempunyai rumah di Indonesia. Tentu saja bagi Warga Negara Asing (WNA) yang hendak berinvestasi dan menetap di Indonesia sangatmemerlukan tanah untuk dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) bahwa hanya

2 http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan/

diakses pada tanggal 12 juni 2019, pukul 20.12 WIB

3 Ibid

(11)

Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai tanah dengan status hak milik di Indonesia.

Penyelundupan hukum merupakan kaidah-kaidah hukum asing yang terkadang dikesampingkan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan atau tujuan tertentu. Selain itu, praktik penyelundupan hukum hak milik atas tanah juga terjadi melalui lembaga perkawinan dengan konsep perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Baik melalui persoalan harta kekayaan dalam perkawinan, baik harta bersama, harta bawaan maupun harta perolehan membuka peluang besar bagi orang asing untuk mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.4

Prinsip nasionalitas atau yang kemudian disebut prinsip kebangsaan dipertegas dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA, bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hubungan hukum yang sepenuhnya dengan bumi,air dan ruang angkasa.5 Atas dasar prinsip nasionalitas itulah, maka ada ketentuan Pasal 21, 26 dan Pasal 27 UUPA4 yang merupakan politik hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Ketentuan yang membedakan antara WNI dan orang asing dalam pemilikan tanah, jika ditinjau dari segi hukum perdata internasional, pembatasan hak-hak orang asing atas tanah dapat dipertanggungjawabkan.

4Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti : Bandung, hlm. 109-110

5 FX. Sumarja, 2015, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, STPN Press : Yogyakarta, hlm. 6

(12)

4

UUPA membedakan antara warga negara dan orang asing, pandangan ini selain sejalan dengan semangat kemerdekaan juga sesuai dengan sikap hukum adat yang membedakan antara warganya dengan orang asing. Orang asing hanya dapat memperoleh suatu kemudahan, demikian pula orang atau perusahaan asing di Indonesia hanya dapat mempunyai hak atas tanah yang terbatas, seperti hak pakai dan hak sewa. Selama kepentingan warga negara tidak terganggu dan diperlukan dalam pembangunan Indonesia.5 Orang asing tidak boleh dan tidak dapat memiliki tanah dengan hak milik. Selain itu, orang asing dengan izin penguasa adat diperbolehkan mengambil hasil hutan, berburu, dan lain sebagainya. Hasil yang diperoleh dari pemanfaatan hasil hutan, orang asing harus menyerahkan sebagian biasanya sepersepuluh kepada penguasa adat.6

Sangat disadari bahwa dengan adanya larangan penguasaan hak milik atas tanah bagi orang asing ini menimbulkan berbagai problematika dan konsekuensi yang dilakukan dengan cara praktik-praktik penyelundupan hukum. Berbagai macam cara dilakukan orang asing untuk mendapatkan penguasaan tanah hak milik di Indonesia, selalu ada celah-celah di dalam pengaturan hukum tanah kita yang dapat dengan mudah dilakukannya praktik penyelundupan hukum. Seperti diantaranya adalah praktik perjanjian jual beli tanah hak milik oleh pihak asing dengan cara pinjam nama (nominee) yang seolah-olah bahwa pembeli tanah tersebut adalah warga negara Indonesia, padahal yang mempunyai dana adalah orang asing.7

6 FX. Sumarja, 2012, Problematika kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing, Indepth Publishing : Bandar Lampung, hlm. 30-31

7 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang- Indang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, Djambatan : Jakarta, hlm.190

(13)

Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia, dan perkawinan itu sendiri merupakan masalah hukum, negara, dan agama. Menurut Anita D.A. Kolopaking penyelundupan hukum melalui lembaga perkawinan biasanya terjadi melalui modus perkawinan siri, yang menggunakan nama wanita WNI yang diikat dengan perjanjian melalui Notaris antara WNA dengan pasangan wanita WNI dimana jika akan melakukan pelepasan hak kepemilikan atas tanah tersebut harus dilakukan dengan kedua pasangan sirih ini. Padahal dalam Pasal 3 PP Nomor 103 tahun 2015 menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya, hak atas tanah bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.8

Ditinjau dari segi hukum internasional publik, Republik Indonesia, sebagai negara merdeka dan berdaulat, berhak mengadakan ketentuan yang membatasi kemungkinan bagi orang-orang asing menguasai tanah dengan hak-hak tertentu.

Bukan hanya hak milik yang tidak dapat dimiliki orang-orang asing, begitu juga hak guna usaha dan hak guna bangunan. Sesuai ketentuan hukum adat, Penjelasan Pasal 42 UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Peraturan Mentri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 7 Tahun 1996 juncto Nomor 8 Tahun 1996 tentangPersyaratan Pemilikan

8 Anita D.A. Kolopaking, 2009, Kepemilikan Tanah Hak Milik Oleh WNA dan Badan Hukum Dikaitkan Dengan Penggunaan Nominee sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum, Disertasi UNPAD : Bandung, hlm. 15, 55.

(14)

6

Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing, orang asing hanya dapat menguasai tanah hak pakai dengan kewenangan yang terbatas.9

Dampak negatif globalisasi terhadap kepemilikan tanah WNI perlumendapat perhatian dari Pemerintah. Perhatian yang dapat dilakukan Pemerintah adalah memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah WNI dari penguasaan dan eksploitasi asing, sejalan dengan salah satu dari fungsi hukum. Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab atas hak-hak atas tanah warganegara nya, sebagaimana jelas dikatakan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.10

Sebebas apapun paham sebuah Negara, sendi-sendi kehidupan masyarakat didalamnya pasti ada batas-batas atau aturannya. Begitu juga di Indonesia, yang meski dikatakan sebagai negara yang demokratis, yang menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat , tentu tidak membiarkan begitu saja kehidupan bermasyarakatnya berjalan tanpa aturan. Tak terkecuali di dunia pertanahan.

Bagaimanapun, tanah merupakan bagian permukaan bumi yang mempunyai fungsi sosial dimana pemanfaatannya diperuntukan untuk sebesar-besar kepentingan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.11

9 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang- Indang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, Djambatan : Jakarta, hlm. 223

10 Maria S.W. Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Buku Kompas : Jakart, 2007, hlm. 171

11 Lihat pasal 1 angka (2) dan pasal 6 UUPA

(15)

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum terhadap “Pemisahan Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran Untuk Menghindari Kepemilikan Tanah Hak Milik Orang Asing Di Tinjau Dari Perundang-Undangan Di Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas, penulis merumuskan beberapa hal yang menjadi titik permasalahan dalam penulisan ini, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan pemisahan harta dalam perkawinan campuran untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan harta dalamperkawinan campuran?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dituliskan diatas, tujuan dari penulisan adalah memperoleh gambaran secara lengkap dan jelas tentang :

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang pemisahan harta dalam perkawinan campuran untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan harta dalamperkawinan campuran.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan ini mencakup manfaat secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut :

(16)

8

1. Manfaat Teoretis, yaitu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan bantuan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya mengenai kepemilikan tanah bagi orang asing.

2. Kegunaan Praktis dari penulisan ini antara lain;

a) Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai hukum kepemilikan hak atas tanah bagi orang asing.

b) Sebagai sumber bacaan dan informasi bagi mahasiswa dan dosen yang tertarik dengan penelitian ini.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang ditujukan dan dilakukan dengan menggunakan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.12

2. Sumber Data a. Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Pokok Agraria, PP Nomor 103 Tahun 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, dan Surat Kementrian Dalam Negeri R.I Dukcapil Nomor 472.2/5876/Dukcapil dan Surat

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI-Press, 1986), hlm. 20

(17)

Kementrian Agama R.I 28 September 2017 Nomor B.2674/DJ.III.KW.00/9/2017.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

c. Teknik Pengumpulan Data

Agar penelitian menjadi kajian yang baik, maka penulis menggunakan literatur yang ada, yaitu mencari hal-hal atau variable berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya. Penulis juga menggunakan berita-berita dan artikel dari internet yang berkaitan dengan permasalahan ini, catatan, maupun laporan hasil penelitian yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

F. Keaslian Penulisan

Pemisahan harta bersama dalam perkawinan campuran untuk menghindari kepemilikan tanah hak milik orang asing di tinjau dari perundang- undangan di indonesia sengaja diangkat sebagai judul skripsi ini karena telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tema di atas didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, fakta yang terjadi di masyarakat, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat. adapun judul yang berkenaan dengan skripsi penulis iyalah tentang akibat hukum perkawinan campuran terhadap anak dan harta benda yang

(18)

10

diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan yang di teliti oleh mariam yasmin FH UI. Yang pada inti penelitian terdahulu hanya fokus terhadap akibat hukum dari perkawinan campuran, sementara didalam penelitian penulis, penulis lebih menitik beratkan kepada proses pemisahan harta benda sebagai bentuk menghindari kepemilikan tanah oleh warga Negara asing. Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang dibagi dalam beberapa bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar dari pembahasan selanjutnya yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN, PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pada bab ini berisikan 2 (dua) sub bab yang mana masing-masing sub bab memiliki sub poin , yaitu yang pertama menjelaskan tentang Perkawinan, yang terbagi kedalam dua sub poin yaitu : pertama menjelaskan perkawinan menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Yang kedua menjelaskan tentang perkawinan menurut hukum islam. Sub bab kedua menjelaskan tentang

(19)

perkawinan campuran. Dalam sub bab ini terbagi lagi kedalam dua sub poin, yang pertama menjelaskan tentang perkawinan campuran Perkawinan Campuran menurut Staatblad 1898 nomor 158, yang kedua menjelaskan perkawinan campuran menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

BAB III PENGATURAN HAK MILIK,PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DAN LARANGAN PENGASINGAN TANAH HAK MILIK OLEH ORANG ASING

Pada Bab ini berisikan uraian 3 (tiga) sub bab yang pertama menguraikan tentang Hak Milik, sub bab kedua menjelaskan tentang penguasaan hak atas tanah, dan sub bab yang terakhir atau ketiga menjelaskan tentang pengaturan larangan pengasingan tanah oleh warga Negara asing.

BAB IV ASPEK HUKUM PERJANJIAN BPJS DENGAN RSUD KOTA PINANG DALAM PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PASIEN

Pada Bab ini berisikan uraian 2 (dua) sub bab, dimana sub bab ini menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini, adapun yang pertama menjelaskan tentang Pemisahan harta bersama antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Yang kedua menjelaskan tentang faktor penghambat dan pendorong terlaksananya pemisahan harta perkawinan campuran.

BAB V PENUTUP

Berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dalam skripsi ini, disertai dengan saran.

(20)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN, PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Perkawinan

1. Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Definisi ini diberikan oleh pembentuk undangundang yang diharapkan sebagai pembakuan pengertian tentang perkawinan, sehingga masyarakat telah memahami apa inti makna sebuah perkawinan.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:

1) digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.

Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.

2) digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3) dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan

(21)

sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.

4) disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.13

Beranjak dari definisi Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saja, sudah jelas terbersit betapa kentalnya nuansa agamawi mewarnai hukum perkawinan dibuat oleh pemerintah Indonesia. Pilihan ini antara lain didasarkan pada suatu fakta, bahwa bangsa Indonesia yang memiliki dasar Pancasila, benar-benar harus dijadikan landasan saat membuat aturan hukum. Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sengaja dibenamkan secara tegas pada pasal awal Undang-undang Perkawinan untuk membuktikan bahwa bangsa ini selalu mengawali hidupnya dengan sila tersebut.

Memindai Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, asas hukum perkawinan sudah kelihatan mencuat jelas, misalnya asas yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Terbukti bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai awal batang tubuh undang-undang, sudah menunjukkan formatnya untuk selalu bertumpu pada fondasi asas hukum yang dimiliki bangsa Indonesia. Pasal awal Undang-undang Perkawinan merupakan gerbang yang akan menuntun siapapun penyimaknya agar sadar sejak

13 Amir Syarifuddin, 2014, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Kencana Prenadamedia Group : Jakarta, hlm.40.

(22)

14

dini, bahwa memindai pasal selanjutnya, unsur agama akan selalu menjadi esensinya.14

Menurut Hazairin perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.15Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah SWT yang diantara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya.16 Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan naluri Ilahiyah untuk berkembang biak melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai Khalifah di muka bumi.

Perkawinan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.17

Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam kehidupan manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagaimana orang menganggapnya sebagai peristiwa sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian yang diusahakan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.18

14 Moch. Isnaeni, 2016, Hukum Perkaawinan Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung, hlm.35-38.

15Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, Kencana : Jakarta, hlm. 40.

16 Muhammad Ali Hasan, 2003, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Siraja : Jakarta, hlm.1

17 Rie. G. Kartasapoetra, 1998, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Cetakan 1, Bina Aksara : Jakarta, hlm.97

18 Wasman & Wadah Nuromiyah, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (perbandingan Fiqh dan Hukum Positif), Teras : Yogyakarta, hlm. 279.

(23)

Secara otentik Hukum Perkawinan telah mengatur tentang Dasar Perkawinan yang terdiri dari:

a) Di dalam Pasal 1 ditegaskan mengenai pengertian bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membenuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

b) Adapun yang menyangkut sahnya perkawinan dan pencatatannya ditentukan bahwa:

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Ketentuan ini dimuat di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

(24)

16

sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masng agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang- undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Pasal 2 menunjuk paling pertama kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Menurut penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) “tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melangggar “hukum agamanya sendiri”. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau “Budha”

seperti yang dijumpai di Indonesia.

Dalam alinea kedua penjelasan atas pasal 2 tadi diperingatkan bahwa ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah mendahului itu tidak berlaku lagi jika bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan Nasional atau jika materinya telah diatur secara lain dalam Undang-undang Perkawinan Nasional.Ketentuan tersebut juga dijumpai dalam ketentuan Pasal 66, malahan lebih luas lagi, yakni bukan hanya terbatas kepada ketentuan perundang-undangan tetapi diperluas lagi kepada peraturan-peraturan lain yang telah mendahului Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

2. Perkawinan Menurut Hukum Islam

Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain.

(25)

Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.19Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti akan kithabah, akad salam, akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna akad dan secara majas bermakna wat’un.20

Arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT.

Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara majaz nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Menurut Abu Hanifah adalah Wati’ akad bukan Wat’un (hubungan intim). Kedua, secara hakiki nikah adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti yang dijelaskan dalam alQuran dan Hadist, antara lain adalah firman Allah. Pendapat ini adalah pendapat yang paling diterima atau unggul menurut golongan Syafi’yah dan Imam Malikiyah. Ketiga, pengertian nikah adalah antara keduanya yakni antara akad

19 Slamet Dam Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat I, CV Pustaka Setia : Bandung , hlm.

298.

20 Ibid

(26)

18

dan Wati’ karena terkadang nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wat’un (hubungan intim).

Dalam setiap perikatan akan timbul hak-hak dan kewajiban pada dua sisi.

Maksudnya, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan disayaratkan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan.21

Dari pengertian di atas walaupun ada perbedaan pendapat tentang pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu, bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual- beli atau sewa-menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan antara keduanya dan juga mewujudkan kebahagiaan dan ketentraman serta memiliki rasa kasih sayang, sesuai dengan sistem yang telah ditentukan oleh syari’at Islam.

Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara orang laki-laki dan orang perempuan, dalam hal ini perkawinan merupakan perjanjian yang sakral untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, bahkan dalam pandangan masyarakat perkawinan itu bertujuan membangun, membina dan memelihara

21 Achmad Kuzairi, 1995, Nikah Sebagai Perikatan, Raja Grafindo Persada : Jakarta, hlm. 1-2

(27)

hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, seperti yang telah diisyaratkan dalam Alquran surat al-Rum ayat 21 yang artinya :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakanuntukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”

Perkawinan bagi manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda, sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan basis yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum adat juga berperan serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti halnnya pernikahan dini atas latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat hingga hal ini adat menjadikan hukum untuk mengawinkan secara mendesak oleh aparat desa, yang itu mengacu kepada kesepakatan masyarakat yang tidak lepas dari unsur agama Islam.22

Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam Alquran surat an-Nur ayat 32 yang berbunyi :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan oran- orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”

22 Imam Sudiyat, 1991, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty : Yogyakarta, hlm. 1-2

(28)

20

Dengan berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapatmenjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.23

Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah baginya untuk kawin. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah bagi orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.24

Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi biaya hidup sudah mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah mendesak untuk kawin,sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin.

Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang dipandang dari segi jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup isteri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya untuk kawin.

Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan

23 Ibid, 20.

24 Hamdani, 1995, Risalah Al Munakahah, Citra Karsa Mandiri : Jakarta, hlm. 24-25

(29)

kewajiban batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkansemuanya itu kepada laki-lakinya. Ibaratnya seperti seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya bilamana ada aibnya.25

Bila terjadi salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak untuk membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka suaminya boleh membatalkan dan dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikan.26

Dalam perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. 27 Diantaranya adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum Islam akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon suami isteri. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab (penawaran tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum perkawinan dilangsungkan, adanya syarat ini berartibahwa tidak boleh ada pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri

25 Ibid., 21.

26 Sayyid Sabiq, 2000, Fiqih Sunnah, PT Al Ma’arif, Juz VI : Bandung, hlm. 24.

27 Amir Syarifuddin, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan Undangundang Perkawinan, Prenada Media : Jakarta, hlm. 59.

(30)

22

(calon wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana kawin paksa dibawah umur.

B. Perkawinan Campuran

1. Pengertian Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Sebelum terbentuknya Undang-undang tentang Perkawinan di Indonesia (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974), telah terdapat pelbagai peraturan perundangundangan yang mengatur tentang perkawinan. Keadaan hukum menjelang terbentuknya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menunjukkan adanya pluralism terutama dalam hal hukum perdatanya. Pluralisme ini awal mulanya adalah sebagai akibat dari perbedaan corak dan kebudayaan penduduk Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 163 Indisch Staatsblad (selanjutnya disebut I.S.), penduduk Hindia-Belandadibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a) Penduduk golongan Eropa b) Penduduk golongan Bumiputera c) Penduduk golongan Timur Asing

Pasal 131 dan 163 I.S. menentukan bahwa terhadap golongan-golongan penduduk tersebut, berlaku hukum yang berbeda-beda. Bagi golongan Eropa berlakulah peraturan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang, yang menurut ketentuan Pasal 131 I.S. dianutlah asas konkordansi bagi mereka yang sebanyak mungkin sesuai dengan hukum yang berlaku di Nederland/Belanda. Dengan Staatsblad 1917 No. 129 jo 1924 No. 557, hukum perdata dan hukum dagang Eropa ini hampir seluruhnya dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing

(31)

Tionghoa, sedangkan dengan Saatsblad 1924 No. 556, berlakulah undang-undang tersebut di atas bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dengan pengecualian ketentuanketentuan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris karena kematian.

Untuk bagian-bagian hukum yang menurut staatsblad itu tidak dikuasai oleh ketentuanketentuan untuk golongan Eropa, maka tetaplah berlaku adatnya sendiri, kecuali bilamana mereka secara sukarela berdasarkan ketentuan Staatsblad 1917 No. 12 jo 528 menundukkan diri terhadap hukum privat golongan Eropa.28

Untuk golongan Bumiputera, berdasarkan ketentuan Pasal 131 I.S berlakulah hukum adatnya sendiri, sejauh tidak menggunakan kesempatan seperti apa yang diatur oleh Pasal 131 ayat (4), Staatsblad 1917 No. 12 jo 528, yaitu menundukkan diri secara sukarela pada seluruh atau sebagian Hukum Perdata dan Dagang Eropa. Selanjutnya, bagi golongan Bumiputera yang beragama Islam oleh pemerintah Hindia – Belanda dikeluarkan Ordannantie 8 September 1895 I.S.

1895 No. 198, tentang perkawinan dan perceraian antara umat Islam di Jawa dan Madura dengan pengecualian karesidenan Surakarta dan Yogyakarta, yang mengalami beberapa perubahan dengan ordanansi dalam I.S. 1898 No. 149, Staatsblad 1904 No. 212, Saatsblad 1909 No. 409, Staatsblad 1910 No. 660, Staatsblad 1917 No. 497 dan Staatsblad 1923 No. 586, diubah dengan Staatsblad 1931 No. 467. Ordonansi tersebut juga berlaku bagi golongan Timur Asing yang beragama Islam.

Untuk daerah luar Jawa telah dikeluarkan Ordonnantie 16 Desember 1910

28 Rachmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia Cet-1, Sinar Grafika : Jakarta, hlm. 230

(32)

24

I.S. 1910 Nomor 659 tentang perkawinan dan perceraian bagi umat Islam di luardaerah Jawa dan Madura. Sedangkan untuk Praja Kejawen Surakarta dan Yogyakarta dengan Ordonnantie 2 Maret 1933, Staatsblad 1933 No. 98 jo Staatsblad 1941 No.320. Ordonansi-ordonansi tersebut tidak satu pun yang mengatur materi hukum perkawinan, tetapi hanya mengatur sebatas pendaftaran perkawinan, talak dan rujuk serta penetapan biaya maksimum, juga biaya para pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pendaftaran tersebut.29

Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dengan Ordonnantie 9 Desember 1924, Staatsblad 1924 No. 556, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang Eropa dinyatakan berlaku untuk mereka, kecuali ketentuan- ketentuan yang menyangkut Hukum Perkawinan dan Keluarga. Sehingga dengan begitu mereka tetap dikuasai oleh Hukum Adatnya sendiri.

Banyak peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik dibidang hukum perdata, pidana maupun bidang hukum lain. Seiring dengan semakin kompleks dan beragamnya peristiwa hukum yang terjadi di era globalisasi ini, menuntut pola-pola hubungan hukum yang lebih komprehensif dalam pergaulan di masyarakat yang tidak hanya di lingkup nasional, namun juga internasional.30

Salah satu bidang ilmu hukum yang menjawab tantangan zaman mengenai beragamnya masalah dalam pergaulan masyarakat internasional adalah Hukum Perdata Internasional (HPI). Sebagai bagian dari hukum perselisihan. Hukum Perdata Internasional pada dasarnya merupakan perangkat di dalam sistem hukum

29 Sudarsono, 2008, Hukum Perkawinan Nasional, PT Rineka Cipta : Jakarta, hlm. 197.

30 Joko Parmito, 2013, Hukum Perkawinan Campuran Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 33

(33)

nasional yang mengatur hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan dengan lebih dari satu sistem hukum nasional. Dari batasan yang sederhana ini saja sudah dapat dirasakan bahwa bidang hukum ini tentunya semakin dibutuhkan peran dan fungsinya, terutama dalam mengatur pergaulan masyarakat internasional.

Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat kaidah-kaidah, asas-asas, dan atau aturan-aturan hukum nasional yang dibuat untuk mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional (atau unsur-unsur ekstrateritorial). Oleh sebab itu, persoalan-persoalan HPI yang mengandung unsur asing tersebut akan dapat terselesaikan secara optimal bila asas-asas dalam HPI dapat ditegakkan. Salah satu asas-asas umum HPI dalam beberapa hukum keperdataan adalah asas-asas dalam hukum keluarga yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti, perkawinan, hubungan orang tua dan anak, pengangkatan anak (adoption), perceraian (divorce), dan harta perkawinan (marital property), yang mana semua masalah ini mengandung unsur asing.31

Pada dasarnya perkawinan dalam arti yang luas dan mencakup persyaratan materiil/formil perkawinan, keabsahan perkawinan, akibat-akibat perkawinan, harta perkawinan dan berakhirnya perkawinan. Dalam Hukum Perdata Internasional, persoalan perkawinan transnasional adalah salah satu bidang yang paling vulnerable terhadap persoalan-persoalan hukum perdata internasional. Di Indonesia, sesuai Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah:

31 Bayu Seto Hardjowahono, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Cet-4, PT Citra Aditya Bakti : Bandung, hlm. 11.

(34)

26

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Ikatan Semacam itu yang berlangsung antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda tentunya akan memunculkan persoalan-persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI) dalam bidang hukum keluarga. Persoalan-persoalan tersebut meliputi masalah validitas perkawinannya sendiri, kekuasaan orang tua, status anak, dan segala konsekuensi yuridik lainnya dari perkawinan itu.

2. Sahnya Perkawinan Campuran

Pesatnya kemajuan teknologi dan juga meningkatkanya mobilitas manusia menyebabkan banyak terjadi hubungan hukum tidak lagi sebatas pada ruang lingkup negara nasionalnya, tetapi sudah menjangkau kawasan internasional. Hal ini menimbulkan adanya hubungan hukum antara warga dari suatu negara dengan warga negara lain. Apabila suatu hubungan hukum ini terjadi maka hubungan hukum tersebut mereka tunduk pada hukum yang berlainan, tidak hanya tunduk pada satu sistem hukum, melainkan tunduk lebih dari sistem hukum. Hukum nasional di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai hubungan hukum perdata yang mengandung unsur asing (foreign element) akibat terkait dengan sistem hukum yang berbeda, yaitu menggunakan Hukum Perdata Internasional (HPI). HPI merupakan hukum nasional yang dipergunakan untuk memecahkan kasus-kasus yang di dalamnya terdapat unsur asing, yang masing-masing negara memiliki HPI masingmasing. Negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dan

(35)

berdaulat juga mempunyai sistem HPI sendiri yang mempunyai ciri-ciri khas.32Hal ini menandakan bahwa HPI bukan bersifat internasional, tetapi HPI bersifat nasional yang kegunaannya terbatas pada perkara perdata yang mengandung unsur asing.

Sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas, perkawinan campuran yang terdapat yang mana perkawinannya terdapat unsur asing, maka perkawinan tersebut akan dikuasai oleh HPI yang tidak serta merta hanya tunduk pada UUP.

Perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang sebagaimana diatur pada Pasal 56 UUP maka proses dan tata caranya mengikuti cara negara asing dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Begitu pula dengan Pasal 57 UUP yang menyangkut para pihaknya yang berbeda kewarganegaraan yang menandakan ada unsur asing di dalamnya maka materinya termasuk pada ranah HPI.

Berdasarkan Pasal 56 UUP terkait dengan perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang salah satu pihaknya adalah orang asing, maka prosesnya wajib mengikuti hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan, dan dinyatakan sah, maka saat pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia, maka perkawinan mereka harus diakui sah. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa adanya unsur asing dari perkawinan tersebut, penentuan keabsahannya harus dilandaskan pada kaidah HPI Indonesia yang mengenal ketentuan lex loci celebrationis, bahwa suatu perkawinan keabsahannya ditentukan oleh hukum dari negara dimana perkawinan itu diselenggarakan. Pada umumnya di berbagai sistem hukum, berdasarkan asas

32 Sudargo Gautama, 2010, Hukum Antar Tata Hukum, Alumni : Bandung, hlm. 171.

(36)

28

locus regit actum, diterima asas bahwa validitas/persayaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis.33Jadi, asas ini menentukan bahwa keabsahan suatu perkawinan campuran diukur menurut hukum dari Negara dimana perkawinan tersebut diselenggarakan.

Pasal 2 UUP mengatur bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, pasal ini hanya dipergunakan oleh perkawinan sesama WNI tidak tepat apabila dipergunakan dalam perkawinan campuran. Oleh karena perkawinan yang diselenggarakan diluar negeri tidak dilangsungkan berdasarkan hukum agama sebagaimana Pasal 2 UUP, negara akan menerapkan prosedur lex fori negara penyelenggara perkawinan yang dimaksud. Negara yang memiliki kedaulatan dan mempunyai sistem hukum yang berbeda dengan negara lain sebagai hukum nasionalnya, dan bagi hakim setempat hal disebut lex fori.34

Pada sisi lain apabila perkawinan campuran diselenggarakan di Indonesia tentunya perkawinan tersebut mengikuti tata cara perkawinan yang ada di Indonesia yang sesuai dengan UUP Menyangkut prosedur perkawinan, memang harus diikuti baik oleh perkawinan intern maupun perkawinan campuran agar perkawinan itu sah.Hal ini sejalan dengan kaidah locus regit actum, bahwa bentuk perbuatan hukum itu dikuasai oleh hukum dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan.

Sesuai dengan Pasal 56 UUP, apabila perkawinan yang diselenggarakan diluar Indonesia baik salah satu maupun kedua-duanya merupakan warga negara

33 Bayu Seto Hardjowahono, 2013, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti : Bandung, hlm. 266.

34 Ibid, hlm. 253

(37)

Indonesia, maka dalam waktu 1 (satu ) tahun setelah mereka kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan yang di dapat di luar negeri harus didaftarkan pada di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Istilah didaftarkan dalam Pasal 56 UUP ini fungsinya hanya sebagai pelaporan bukan penentu keabsahan adanya suatu perkawinan.

3 Akibat Hukum Perkawinan Campuran

a) Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Perkawinan Campuran menimbulkan hubungan hukum dan akibat hukum.

Perkawinan campuran selain menimbulkan hubungan hukum antara suami istri juga menimbulkan akibat hukum termasuk didalamnya mengenai status kewarganegaraannya dan juga mengenai pembentukan harta benda sebelum dan sesudah perkawinan campuran dilakukan.

Warga Negara di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatur kewarganegaraan adalah “Warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Warga negara Indonesia di dalam UUD 1945 pada Pasal 26 ayat (1) yang kemudian di repetisi di dalam Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan mengatur bahwa

“Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Dengan demikian, WNI adalah orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan tata cara yang diberlakukan undang-undang sebagai WNI.

(38)

30

Sehubungan dengan masalah perkawinan campuran yang melibatkan orang-orang yang berlainan kewarganegaraan berdasarkan Pasal 58 UUP orang yang melakukan perkawinan campuran itu dapat memperoleh kewarganegaraannya dari suami atau istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Terkait dengan status kewarganegaraan perkawinan campuran menurut hukum positif Indonesia yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang Kewarganegaraan ini menganut asas persamaan kedudukan bahwa wanita maupun laki-laki dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesianya akibat perkawinan campuran tersebut.

Pada Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur :

(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut;

(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan Warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara Istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut;

Di dalam UUP status kewarganegaraan istri tidak dengan sendirinya tunduk pada status kewarganegaraan suami dan tidak dengan sendirinya tunduk pada hukum yang berlaku bagi suami. Jadi dilihat dari ketentuan tersebut kedudukan suami dan istri sama yaitu laki-laki atau perempuan sama-sama dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia akibat dari perkawinan

(39)

campurannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Kewarganegaraan yaitu laki-laki maupun perempuan yang melakukan perkawinan campuran akan mengikuti status istri atau suami apabila negara menghendakinya.

Namun apabila tidak masing-masing istri atau suami dapat mempertahankan kewarganegaraannya Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada WNI yang melakukan perkawinan campuran untuk memilih kewarganegaraannya, yang berarti suami dapat memperoleh kewarganegaraan istri begitu juga sebaliknya istri dapat memperoleh kewarganegaraan suami jika istri dengan kehendak sendiri menentukan mengikuti kewarganegaraan suami.

Seorang WNI laki-laki atau perempuan yang kawin dengan seorang WNA kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila dan pada waktu dia dalam satu tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesianya.

Apabila seorang WNI laki-laki atau perempuan yang menikah dengan seorang WNA ingin mempertahankan kewarganegaran Indonesianya yaitu dengan cara mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya tetap sebagai Warga Negara Indonesia kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan. Hal ini sesuai dengan Pasal 26 ayat (3) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan kebebasan kepada warga negara untuk tetap mempertahankan kewarganegaraannya.

b) Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Harta Benda

(40)

32

Setelah berlakunya UUP terkait dengan harta benda perkawinan diatur pada Bab VII. Berbeda dengan KUH Perdata yang menggunakan istilah harta kekayaan dalam perkawinan.UUP melihat harta benda perkawinan dari sisi benda materiil yaitu berupa benda berwujud. Sedangkan istilah harta kekayaan yang digunakan KUH Perdata maknanya lebih luas dibanding benda karena harta kekayaan meliputi benda dan hak-hak kebendaan, termasuk piutang dan hak-hak kebendaan lain yang tidak berwujud.35

Dalam UUP terkait dengan Harta Benda Perkawinan diatur pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UUP, sedangkan dalam KUH Perdata terkait dengan Harta Kekayaan Perkawinan diatur pada Pasal 119 sampai dengan Pasal 198 yang dituangkan secara rinci dan detail.Pasal 35 UUP mengatur :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Ketentuan pasal tersebut membedakan harta benda perkawinan menjadi 2 (dua) macam yaitu harta bersama atau yang biasa disebut harta gono gini dan harta bawaan atau harta asal. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Harta yang diperoleh tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut. Kemudian mengenai harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Hal

35 Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika : Jakarta, hlm. 64.

(41)

ini diatur di dalam Pasal 36 ayat (1) UUP “mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.

Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUP, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya harta bawaannya masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain yaitu dengan perjanjian kawin.

Dalam hal ini yang termasuk harta milik pribadi masing-masing suami istri tersebut adalah sebagai berikut :

a. Harta yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan termasuk di dalamnya hutang-hutang yang belum dilunasi

b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian kecuali ditentukan lain

c. Warisan yang diperoleh masing-masing, kecuali ditentukan lain.

d. Hasil-hasil dari milik pribadi masing-masing sepanjang perkawinan berlangsung, termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan pengurusan harta milik pribadi tersebut.36

Pengaturan harta benda perkawinan dalam KUHPerdata mempunyai ketentuan hukum berbeda dengan UUP. Pada prinsipnya KUHPerdata hanya mengenal satu kelompok atau golongan harta dalam perkawinan yaitu harta persatuan suami istri, sedangkan dalam UUP mengenal pemisahan harta antara suami istri. Akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan campuran antara lain kepemilikan atas benda tidak bergerak berupa tanah dan segala sesuatunya yang melekat pada tanah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.Pada Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan bahwa Warga Negara

36 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, 2004, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta, hlm. .66.

(42)

34

Asing tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik Atas Tanah meskipun perolehannya merupakan perolehan dari akibat adanya harta bersama yaitu percampuran harta dalam perkawinan. Atas perolehannya tersebut WNA harus melepaskan tanahnya tersebut dalam jangka waktu 1 tahun apabila lewat jangka waktu tersebut makan tanahnya akan jatuhnya pada Negara.

(43)

BAB III

PENGATURAN HAK MILIK,PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DAN LARANGAN PENGASINGAN TANAH HAK MILIK

OLEH ORANG ASING

A. Hak Milik

1. Pengertian Hak Milik

Hak milik sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) UUPA, ialah hakturun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosialnya. Sesuai dengan penjelasan UUPA bahwa pemberian sifat terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagai hak eigendom dalam pengertian aslinya. Arti terkuat dan terpenuh dari hak milik adalah untuk membedakan dengan hak-hak atas tanah yang lainnya.

Hak milik adalah hak turun-temurun, artinya hak itu dapat diwariskan terus menerus, dialihkan kepada orang lain tanpa perlu diturunkan derajat haknya.

Salah satu kekhususan hak milik adalah tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya, yaitu selama hak milik masih diakui.

Terjadinya hak milik atas tanah merupakan dasar timbulnya hubungan hukum antara subjek dengan tanah sebagai objek hak. Pada dasarnya hak milik dapat terjadi secara original dan derivatif yang mengandung unsur, ciri, dan sifat masing-masing. Secara original hak milik terjadi berdasarkan hukum adat, sedangkan secara derivatif ditentukan oleh peraturan perundang undangan.

(44)

36

Hubungan hukum antara tanah dengan manusia akan melahirkan hak milik. Boleh tidaknya orang asing akses terhadap tanah di Indonesia tergantung apa yang menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Pendapat Notonagoro tersebut sebenarnya sebagai peringatan bagi pemerintah untuk sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat dalam pengelolaan sumber daya agraria,terutama tanah. Manfaat atas tanah jangan sampai lebih banyak dinikmati oleh orang asing.37

2. Subjek Hak Milik

Seperti yang dijelaskan dalam penjelasan hak menguasai negara termaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA memberi wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang udara, atas dasar kewenangan tersebut telah ditentukan macam-macam hak atas tanah (sebagai objek hak) seperti yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, dan juga orang-orang yang dapat mempunyai hak atas tanah (sebagai subjek hak).

Seperti juga telah disinggung di atas bahwa semua macam hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dapat diberikan kepada individu WNI.

Sementara untuk individu orang asing tidak dapat diberikan hak milik atau sebagai subjek hak milik. Hak milik hanya dapat diberikan kepada WNI.

Kepemilikan tanah hak milik hanya diperuntukan kepada WNI sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana Ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA. Pada dasarnya hak milik hanya dapat diberikan kepada warga negara perorang ataupun bersama-

37 FX. Sumarja, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, Yogyakarta: STPN Press, 2015, hlm.

60

Referensi

Dokumen terkait

Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan menganalisis Putusan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 35 TAHUN 2014

Jadwal penerbangan menjadi salah satu hal yang penting dalam pengoperasian pesawat udara karena hal tersebut harus dilaksanakan sesuai yang Keterlambatan

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya

Dapat disimpulkan dengan keputusan atau kesimpulan hakim yang telah menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan 5 (lima)

Berbicara tentang hak cipta tidak dapat dipisahkan dari masalah moral karena di dalam hak cipta itu sendiri melekat hak moral sepanjang jangka waktu perlindungan hak

Penerapan Good Corporate Governance pada perusahaan PT. Torganda yang berada di Medan, sudah mulai diterapkan secara bertahap sesuai dengan peningkatan Standar

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak