• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

814/PID.SUS/2018/PN.MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

INDRI CAROLINE NIM: 150200397

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara

(2)

Universitas Sumatera Utara

(3)

Universitas Sumatera Utara

(4)

i

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang tak terhingga yang telah diberikan kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP PRODUSEN YANG MENGGUNAKAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN YANG BERBAHAYA DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI (STUDI PUTUSAN NOMOR 113/PID.SUS/2017/PN.KTG DAN PUTUSAN NOMOR 814/PID.SUS/2018/PN.MDN) ini dengan baik. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi tugas dan persyaratan untuk dapat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat ilmu pengetahuan bagi para pembaca juga bagi Penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa adanya keterbatasan dalam pengerjaan dan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu Penulis berharap agar para pembaca dapat memaklumi kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Penulis juga meminta maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam skripsi ini dan dengan kerendahan hati Penulis akan sangat berterimakasih jika ada kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini.

Secara khusus Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua Penulis yaitu Papa Hotdi Siagian, S.E., M.M., B.K.P, Mama Masda Royani Manurung, S.E., adik-adik Christian John Siagian dan

Universitas Sumatera Utara

(5)

ii

Ester atas setiap doa, cinta, kasih sayang, pengorbanan, perhatian, didikan, nasihat serta motivasi yang tidak henti-hentinya diberikan kepada Penulis.

Dalam menyusun skripsi ini, Penulis mendapat bimbingan, arahan, bantuan, motivasi, dan semangat dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, Penulis juga mengucapkan terimakasih atas doa, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terimakasih Penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan., S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan kepedulian, bimbingan, arahan, saran, ilmu, serta semangat dalam penulisan skripsi ini;

Universitas Sumatera Utara

(6)

iii

8. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan kepedulian, bimbingan, arahan, saran, ilmu, serta semangat dalam penulisan skripsi ini;

9. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan;

10. Seluruh Dosen Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya pada Departemen Hukum Pidana;

11. Kedua abang Daniel Alexander Siregar, S.H., Yudika Ferinando Sormin, S.H. atas perhatian, waktu dan ilmu yang diberikan; serta kakak kelompok Ruth Secylia Siallagan, S.H. atas santapan rohani; kak Prima Sidabutar S.H. dan bang Kristian Hutapea S.H. atas waktu dan ilmu yang diberikan;

12. Sahabat-sahabat penulis selama kuliah Theresya Sihombing, Putri Sitanggang, dan Daniel Nikolas atas doa, semangat, dan kebersaman yang sudah terjalin;

13. Teman-teman seperjuangan skripsi yang selalu memberikan semangat Elysia Zaneta Sinaga dan Indrira Muliani Sinambela untuk setiap perhatian dan bantuan yang diberikan;

14. Teman-teman yang menjadi bagian dalam masa perkuliahan Abraham Sitompul, Arti Clara Silaban, Theofeni Yudea Bangun, Maysitah Nainggolan, Piranty Saras Titi, Vina Adelina Ginting, Ishak Ropepin Sembiring, Shela Violetta, Veby Claudya, Natasya Desiree, Regina

Universitas Sumatera Utara

(7)

iv

Pardede, Augrefvan Rumahorbo, dan adik Evelyn Bintang Siregar atas pelajaran, kenangan, waktu dan kebersamaan;

15. Rachel Rugun Mariana, Joshua Henri Nainggolan dan terkhusus Agung Mika Kristian Sibuea atas perhatian dan semangat yang diberikan;

16. Teman-teman Grup E dan stambuk 2015 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu-persatu;

17. Teman-teman Pengurus Komisariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Fakultas Hukum USU Masa Bakti 2017-2018 bang Hans, Amos, Andre, Yan, Ishak, Epin, Mesty, Sinta, Dicta, Garcia, Daniel, Abraham, Revi dan Ricky atas pelajaran tentang banyak hal;

18. Teman-teman Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Hukum USU, atas pelajaran tentang persaudaraan;

19. Seluruh teman yang telah mengisi kehidupan Penulis selama ini serta saudara-saudara Penulis yang telah memberikan semangat dan dukungan.

Demikianlah ucapan terimakasih Penulis sampaikan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, April 2019

Indri Caroline

Universitas Sumatera Utara

(8)

v DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI……….…..v

ABSTRAKSI………...viii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1

B. Perumusan Masalah……….8

C. Tujuan Manfaat Penulisan………..8

D. Keaslian Penulisan……….9

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Aturan Hukum yang Mengatur Tentang Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya………..10

2. Faktor Penyebab Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya………..12

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Memproduksi Pangan Dengan Menggunakan Bahan Berbahaya………..14

F. Metode Penelitian………..17

BAB II: ATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PRODUSEN YANG MEMPRODUKSI PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN BERBAHAYA A. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012…………..20

Universitas Sumatera Utara

(9)

vi

B. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen………...23

C. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan………..30

BAB III: FAKTOR PENYEBAB PRODUSEN YANG MEMPRODUKSI PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN BERBAHAYA A. Faktor Penyebab Kejahatan Menurut Teori-Teori Kriminologi….38 1. Teori Kriminal yang Berpusat Pada Keanehan dan Keabnormalan Pelaku………...42

2. Teori yang Berpusat Kepada Pengaruh–Pengaruh Kelompok atau Pengaruh Kebudayaan………..45

3. Teori Tipe Fisik………49

4. Penjelasan Psikologi Atas Kejahatan………...50

5. Teori Kriminologi Dari Perspektif Sosiologis………..54

B. Faktor Penyebab Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya dari Perspektif Kriminologi 1. Faktor Intern……….60

2. Faktor Ekstern………..61

BAB IV: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PRODUSEN YANG MEMPRODUKSI PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN BERBAHAYA DALAM PUTUSAN NOMOR 113/PID.SUS/2017/PN.KTG DAN PUTUSAN NOMOR 814/PID.SUS/2018/PN.MDN A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui Sarana Penal dan Non-Penal………...64

Universitas Sumatera Utara

(10)

vii

1. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui Sarana Penal……….65 2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui Sarana Non- Penal……….70 B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Memproduksi

Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya

1. Kasus Berdasarkan Putusan Nomor 113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan Putusan Nomor 814/Pid.Sus/2018/PN.Mdn………72 2. Analisis Hukum Putusan Nomor 113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan

Putusan Nomor 814/Pid.Sus/2018/PN.Mdn………..92 3. Putusan Hukum Dalam Putusan No. 113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan Putusan No. 814/Pid.Sus/2018/PN.Mdn……….95

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….………..101 B. Saran……..………...102

DAFTAR PUSTAKA………..………...104

Universitas Sumatera Utara

(11)

viii ABSTRAKSI Indri Caroline*

Ediwarman**

Rafiqoh Lubis***

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau. Tetapi kondisi keamanan pangan di Indonesia masih buruk karena belakangan ini sering terjadi peristiwa keracunan makanan. Hal ini disebabkan oleh munculnya produsen-produsen nakal yang menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya dalam proses produksi pangan mereka sehingga mengakibatkan kerugian terhadap konsumen seperti gangguan kesehatan. Bahan tambahan pangan yang berbahaya ini umumnya digunakan untuk mengemat biaya produksi. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang tegas sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku penyalahgunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana aturan hukum yang mengatur tentang produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya, bagaimana faktor penyebab produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya, dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya.

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data sekunder. Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam buku-buku, jurnal dan dokumen lain yang berkaitan dengan judul skripsi dan dianalisis secara kualitatif.

Aturan hukum yang mengatur tentang produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya terdapat dalam Pasal 136 huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Faktor penyebab produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya adalah faktor internal yaitu faktor individu dan faktor eksternal yaitu faktor ekonomi dan faktor Pendidikan. Kebijakan hukum pidana terhadap produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya dapat dilakukan melalui sarana penal dan non penal. Kebijakan Penal dalam Putusan No.

113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan Putusan No. 814/Pid.Sus/2018PN.Mdn sudah tepat dalam penerapan pasalnya dan diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap produsen yang menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya.

Kata Kunci: Produsen, Bahan Tambahan Pangan Yang Berbahaya, Kriminologi.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dan diperlukan untuk pertumbuhan, pertahanan serta berpengaruh terhadap eksistensi hidup dipandang dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Pangan berfungsi sebagai sumber energi untuk manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Pangan harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistem Pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun mengonsumsi pangan.2 Ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam merupakan persyaratan utama dalam usaha mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas, berharkat dan bermartabat. Dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas, berharkat dan bermartabat, penting untuk memperhatikan masalah kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan manusia tersebut. Mengingat kadar kepentingan kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan begitu tinggi, pangan berperan sangat penting, bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar

2 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan I.

Umum.

Universitas Sumatera Utara

(13)

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.3

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dasar yang merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yaitu pangan, dibutuhkan pangan yang cukup, aman, bergizi, bermutu dan beragam.

Salah satu indikator yang paling penting tentang pangan adalah aman tidaknya suatu pangan tersebut.

Keamanan pangan atau food safety merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak dikonsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Keamanan pangan ini dibutuhkan guna membuat produk pangan yang aman untuk dikonsumsi, misalnya tidak mengandung bahan kimia beracun, tidak mengandung zat penular penyakit, ataupun benda yang asing bagi kesehatan. Setelah keamanan pangan, indikator yang harus diperhatikan yaitu kualitas atau mutu pangan. Mutu pangan atau food quality merupakan hal yang harus diperhatikan oleh setiap individu dan pengelola pangan dari skala rumahtangga maupun industri pangan skala besar. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari industri pangan skala rumahtangga maupun dari industri pangan sekala besar. Oleh karena itu,

3 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

(14)

industri pangan merupakan salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, baik itu dari skala kecil hingga skala besar.

Perkembangan teknologi pangan pada saat ini telah sampai pada kondisi dimana begitu banyak bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu produk olahan. Apalagi di masa sekarang ini banyak sekali beredar makanan dan minuman berbahaya yang diperjual-belikan, karena sering ditemukan produk makanan yang telah tercampur dengan bahan yang membahayakan kesehatan seperti terdapat dalam tahu, mie basah, dan lain- lainnya.4

Kondisi keamanan pangan di Indonesia ini masih jauh dari keadaan aman, dapat kita lihat dari beberapa peristiwa keracunan makanan yang banyak terjadi belakangan ini. Dalam kondisi demikian, konsumen pada umumnya belum memperdulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman.5

Hal tersebut juga diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya seperti formalin, boraks, pewarna tekstil dan lain-lain tanpa memperhatikan takaran atau ambang batas serta bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia tersebut kepada

4 Afrianti Leni, Pengawet Makanan Alami dan Sintesis, Bandung: Alfabeta, 2010, halaman 74.

5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, halaman 170.

Universitas Sumatera Utara

(15)

konsumen.6 Padahal penggunaan bahan kimia dalam makanan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/988 dan SNI 01-354- 1994 tentang bahan tambahan makanan. Penggunaan dalam aneka produk makanan sudah ditentukan batasannya oleh pemerintah, yaitu maksimal 1.000 mg/kg.7

Industri pangan di Indonesia merupakan salah satu industri yang mendapat peluang yang sangat besar untuk terus bertumbuh dan berperan penting dalam pembangunan industri nasional sekaligus dalam perekonomian keseluruhan.

Bahkan, dalam krisis sekalipun industri inilah salah satu yang mampu bertahan karena luasnya pasar dan jenis pangan yang beragam. Salah satu faktor pendukung pesatnya perkembangan industri pangan ini adalah pangan itu sendiri yang merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap manusia yang wajib dipenuhi setiap harinya.

Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan industri pagan ini harusnya dapat mempermudah seseorang dalam memperoleh kebutuhan pokoknya terhadap produk-produk pangan dengan mutu terjamin dan harga yang bersaing. Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan industri pagan yang pesat juga dapat memperluas kesempatan kerja dan tentunya menambah devisa negara. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan industri pangan ini menciptakan daya saing yang tinggi bagi para produsen untuk menghasilkan produk yang menarik dengan harga yang bersaing.

6 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, halaman 3.

7 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 dan SNI 01-354-1994.

Universitas Sumatera Utara

(16)

Perilaku produsen dalam menghasilkan produk yang menarik dengan harga yang bersaing yaitu bagaimana dengan sumberdaya yang terbatas dapat menghasilkan produk yang optimal dengan keuntungan yang besar. Hal inilah yang sering menyebabkan produsen mengabaikan food safety dan food quality sehingga masih melakukan perilaku curang pada industri pangan skala rumahtangga maupun skala besar seperti penggunaan zat pewarna tekstil yang merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan untuk berbagai produk pangan karena pertimbangan ekonomis. Berkembangnya industri tekstil di Indonesia menyebabkan zat pewarna tekstil menjadi murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan produsen makanan.8

Beredarnya pangan yang mengandung bahan berbahaya ini memang tidak lepas dari tanggungjawab pemerintah sebagai pihak yang berwenang membuat peraturan. Dalam hal ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur bahwa masyarakat wajib mendapat perlindungan hak yang paling asasi yaitu mendapatkan informasi dan keamanan terhadap makanan yang dibeli di pasaran, karena jika masyarakat mengonsumsi makanan dengan bahan berbahaya tentu akan sangat membahayakan kesehatan.

Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari risiko dari produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah, padahal pewarna tersebut merupakan

8 Afrianti Leni, Op. Cit., halaman 74.

Universitas Sumatera Utara

(17)

bahan yang berbahaya dan menjadi sumber dan penyebab keracunan.9 Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai produk makanan yang membahayakan kesehatan merupakan faktor utama penyebab produsen menggunakan bahan- bahan kimia berbahaya sebagai campuran makanan.10 Kondisi ini jelas merugikan negeri kita ini, selain berdampak langsung terhadap masalah kesehatan, hal ini juga mempengaruhi aspek-aspek lainnya seperti aspek produktifitas kerja, aspek perdagangan, kepariwisataan dan sebagainya.

Dalam proses produksinya, para pelaku usaha ataupun produsen sering kali tidak jujur dan melakukan kecurangan-kecurangan atau penipuan kepada konsumen.

Penyebab produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan, yaitu:11

1. Konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan yang dikonsumsinya, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman.

2. Konsumen juga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga konsumen mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dan produk-produk makanan yang bermutu dan tidak aman bagi kesehatan.

Di lingkungan kita banyak sekali beredar makanan yang mengandung bahan- bahan berbahaya seperti boraks dan formalin, juga bahan berbahaya lainnya seperti di pasar tradisional, pinggir jalan, maupun sekolah-sekolah. Pemakaian

9 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., halaman 170.

10 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2014, halaman 56.

11 Sofie dan Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006, halaman 43.

Universitas Sumatera Utara

(18)

bahan kimia ini sangatlah berbahaya bagi kesehatan kita apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama ataupun dalam jumlah yang berlebihan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit, salah satunya kanker. Tetapi dalam jangka pendek juga dapat menimbulkan efek mual dan sakit kepala.

Seperti pada Pasar Induk Cibinong saat dilakukan sidak (inspeksi mendadak) yang dilakukan tim gabungan Satgas Pangan dari Satuan Narkoba Polres Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, dari enam jenis makanan yang dijual, dua diantaranya terbukti mengandung boraks.12 Selain itu, kasus yang sampai merugikan dan berdampak terhadap korban contohnya yang terdapat di Batam, puluhan karyawan PT Bintan Bersatu Apparel diduga mengalami keracunan setelah mengkonsumsi mie goreng kemasan yang diberikan perusahaannya.13 Selain itu terdapat 2 bocah yang tewas seusai makan daging kadaluwarsa di Karachi, Pakistan.14 Sudah banyak korban akibat makanan yang mengandung bahan berbahaya maupun kadaluarsa, sehingga sudah seharusnya produsen yang menggunakan bahan tambahan berbahaya.

Banyak faktor yang menyebabkan para produsen menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya walaupun sanksi pidananya tidak hanya diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tentang pengolahan

12 https://www.beritasatu.com/megalopolis/494737-makanan-berbahaya-dijual-di-pasar-induk- cibinong.html artikel “Makanan Berbahaya Dijual di Pasar Induk Cibinong” Diakses pada Rabu, 3 April 2019, 23:31 WIB

13 http://www.tribunnews.com/video/2015/06/07/newsvideo-puluhan-pekerja-pt-bba-keracunan- mie-goreng artikel “Puluhan Pekerja PT. BBA Keracunan Mie Goreng” Diakses pada Rabu, 3 April 2019, 22:23 WIB

14 https://video.tribunnews.com/view/66583/2-bocah-tewas-seusai-makan-di-restoran-penyelidik- temukan-daging-sudah-3-tahun-kedaluwarsa?_ga=2.56984938.1102059901.1554303840-

1573148708.1554303840 artikel “Bocah Tewas Seusai Makan di Restoran, Penyelidik Temukan Daging Sudah 3 Tahun Kadaluwarsa” Diakses pada Rabu, 3 April 2019, 22:27 WIB

Universitas Sumatera Utara

(19)

pangan dan mutu pangan yang dapat dikonsumsi oleh konsumen diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Dalam penanggulangan tindak pidana pangan ini diperlukan tindakan yang tegas sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku penyalahgunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya agar negeri kita aman dari makanan yang berbahaya.

Berdasarkan latar belakang, diangkat sebuah judul yaitu “Kajian Hukum Pidana Terhadap Produsen Yang Menggunakan Bahan Tambahan Pangan Yang Berbahaya Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Nomor 113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan Putusan Nomor 814/Pid.Sus/2018/PN.Mdn)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Aturan Hukum yang Mengatur Tentang Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya?

2. Bagaimana Faktor Penyebab Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya?

3. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :

Universitas Sumatera Utara

(20)

1. Untuk mengetahui Aturan Hukum yang Mengatur Tentang Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya.

2. Untuk mengetahui Faktor Penyebab Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya.

3. Untuk mengetahui Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya.

Selanjutnya adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Secara Teoritis

Penulisan skripsi ini kiranya dapat memberikan sumbangsi teoritis bagi perkembangan dan kemajuan ilmu hukum pidana, menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya mengenai bahan tambahan pangan yang berbahaya serta dijadikan kajian terhadap perkembangan Tindak Pidana Pangan di Indonesia khususnya di Kota Medan.

2. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana pangan serta menjadi informasi bagi masyarakat dan menjadi dasar pemikiran bagi pelaksanaan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pangan.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Menggunakan Bahan Tambahan Pangan yang Berbahaya dalam Perspektif

Universitas Sumatera Utara

(21)

Kriminologi (Studi Putusan Nomor 113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan Putusan Nomor 814/Pid.Sus/2018PN.Mdn)” merupakan hasil pemikiran penulisan sendiri tanpa adanya penjiplakan dan Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Menggunakan Bahan Tambahan Pangan yang Berbahaya dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Nomor 113/Pid.Sus/2017/PN.Ktg dan Putusan Nomor 814/Pid.Sus/2018PN.Mdn)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Apabila dikemudian hari diketahui ada skripsi dengan judul yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah dan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Aturan Hukum yang Mengatur Tentang Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya

Produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya tidak hanya diatur dalam satu melainkan beberapa aturan hukum, yaitu aturan hukum yang mengatur tentang produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya berdasarkan UURI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UURI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UURI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya juga dapat dikaitkan dengan Pasal 340 KUHP yang berbunyi “Barang

Universitas Sumatera Utara

(22)

siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” karena tindakan para produsen memenuhi unsur “sengaja dan dengan rencana” memasukkan zat berbahaya kedalam makanan dan menyebabkan sakit yang dapat menimbulkan kematian.

Terdapat pengaturan mengenai ketentuan pangan mengenai pangan tercemar, dimana setiap orang dilarang mengedarkan:15

a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;

b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;

c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;

d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia;

atau

e. pangan yang sudah kedaluwarsa.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya lebih memfokuskan kearah kesejahteraan

15 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Pasal 23.

Universitas Sumatera Utara

(23)

konsumen, dalam arti perlindungan akan konsumen lebih ditekankan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi tetap sesuai dengan ketentuan pidana yang terdapat didalamnya.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya memfokuskan kepada aturan hukum tentang keamanan pangan hasil rekayasa genetic. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah aturan hukum yang paling terkhusus membahas tentang aturan hukum yang mengatur tentang produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya karena diatur dalam Pasal 133 sampai Pasal 140 tentang macam- macam tindak pidana pangan.

2. Faktor Penyebab Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya

Produsen memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya pasti didasari oleh faktor-faktor yang menyebabkan perbuatan tersebut terjadi. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban daripada tindak pidana tersebut. Ada dua faktor yang menjadi penyebab produsen memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan kebalikannya faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu tersebut.

Faktor internal yaitu faktor individu itu sendiri. Individu tersebut dapat berupa masyarakat yang mengonsumsi pangan yang sudah terkontaminasi oleh bahan

Universitas Sumatera Utara

(24)

berbahaya berdasarkan ketidaktahuannya bahwa bahan berbahaya tersebut dapat berakibat buruk bagi kesehatan bahkan dapat mengakibatkan kematian bila dikonsumsi dalam jangka panjang.

Faktor dari luar antara lain faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Faktor ekonomi yang menjadi pemicu penggunaan bahan berbahaya dalam memproduksi pangan yaitu ketahanan pangan yang diproduksi tersebut. Yulius menyampaikan bahwa mie ini sebenarnya kalau tidak pakai pengawet tahan sehari namun jika ada pengawet tahan tiga hari.16 Pengawet yang dimaksud disini adalah formalin yang merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang berbahaya. Keuntungan yang didapat produsen dalam penggunaan formalin sebagai bahan tambahan pangan yaitu ketahanan mie tersebut, sehingga jika mie tidak laku pada hari produksinya tidak akan merugikan si produsen itu sendiri.

Faktor eksternal yang kedua yaitu faktor Pendidikan, yang dimaksudkan kurangnya edukasi tentang pembedaan bahan tambahan pangan yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam memproduksi pangan. Untuk mencegah produsen memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya yang didorong oleh faktor pendidikan, dibutuhkan peran pemerintah dalam melakukasn sosialisasi dan pemberian edukasi tentang klasifikasi bahan tambahan pangan.

16 https://news.metro24jam.com/read/2017/08/03/37473/sebelum-dijual-ke-balige-tarutung-1-ton- mie-formalin-beredar-di-siantar artikel “Sebelum Dijual ke Balige & Tarutung, 1 Ton Mie Formalin Beredar di Siantar” Diakses pada Kamis 4 April 2019, 04:35 WIB

Universitas Sumatera Utara

(25)

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Produsen yang Memproduksi Pangan dengan Menggunakan Bahan Berbahaya

Upaya penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal sebagai pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial.17 Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan tidak hanya menggunakan sarana penal, tetapi dapat juga menggunakan sarana non-penal.18 Kebijakan penal dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana.19 Kebijakan penal merupakan upaya Represif dalam menanggulangi berbagai bentuk kejahatan. Kebijakan non-penal merupakan upaya Preventif dalam menanggulangi berbagai bentuk kejahatan. Berikut penjelasan kebijakan atau upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi berbagai bentuk kejahan:

1. Upaya Pre-entif

Tahap ini merupakan suatu upaya dari Polri untuk mencegah secara dini agar tidak terjadi kejahatan, sistem ini dapat dilakukan:20

a. Bersifat moralitas yaitu bekerjasama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk lebih menyebarkan norma-norma agama, kesusilaan

17 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 23.

18 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2010, halaman 158.

19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996, halaman 29.

20 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, halaman 28.

Universitas Sumatera Utara

(26)

kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengekang nafsu untuk berbuat jahat.

b. Pembimbing disiplin terhadap anak-anak remaja, usaha ini Polri memberi bimbingan maupun penyuluhan ke sekolah-sekolah tingkat SLTP dan SLTA maupun perguruan tinggi dan dapat berbentuk ceramah-ceramah mengenai kejahatan yang dipandang perlu agar dapat menjaga diri.

Upaya Pre-entif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana secara pre-entif adalah menanamkan nilai- nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau tindak pidana tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi tindak pidana.21 Jadi dalam upaya pre-entif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

2. Upaya Preventif

Upaya preventif adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-entif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya tindak pidana tersebut.22

Tahap ini mencegah terjadinya kejahatan yang sudah terlibat adanya kecenderungan kearah itu, misalnya mengadakan Razia terhadap para anak, para

21 A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, Makassar: Pustaka Refleksi Books, 2010, halaman 79.

22 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

(27)

pelajar, para mahasiswa. Memang pada akhirnya ini sering kita lihat banyak anak- anak pada waktu belajar berkeliaran di tempat ramai, seperti plaza-plaza, tempat karoke, di tempat Bilyard, Diskotik, café-café dan lain-lain. Kepada mereka inilah dilaksanakan tindakan berupa preventif agar mereka terlepas dari sasaran perbuatan jahat.23

3. Upaya Represif

Tahap ini diterapkan kepada mereka yang telah melakukan kejahatan walaupun mereka masih tergolong anak-anak kepada mereka yang telah melakukan kejahatan ditindak, kemudian diproses dan dilanjutkan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.24 Upaya represif dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana yang tindakannya berupa penegak hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan tindak pidana secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya tindak pidana.

Penanggulangan dengan upaya represif untuk menindak para pelaku sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang ditanggungnya sangat berat.25

Kebijakan hukum pidana terhadap produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya juga dilakukan secara pre-entif, preventif dan represif. Upaya pre-entif terhadap produsen pangan dapat dilakukan dengan cara pemberian ilmu atau edukasi tentang bahan tambahan pangan yang berbahaya,

23 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana…, Op. Cit., halaman 28.

24 Ibid, halaman 28-29.

25 A. S. Alam, Op. Cit., halaman 79-80.

Universitas Sumatera Utara

(28)

seperti dilakukannya penyuluhan-penyuluhan tentang bahayanya bahan tambahan pangan yang berbahaya dan apa akibatnya bila bahan berbahaya tersebut tetap ditambahkan kedalam produksi pangan. Upaya preventifnya yaitu dengan melakukan pengawasan dan razia rutin ke dalam rumah-rumah produksi makanan.

Sedangkan upaya represifnya yaitu dilakukan setelah terjadinya tindak pidana atau kejahatan pangan tersebut yang merupakan penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman terhadap produsen yang menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif.

Metode penelitian hukum normatif sering juga disebut “penelitian hukum teoritis”.26 Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam buku-buku, dan dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.27

26 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, halaman 102.

27 Burhan Bungin, Analisis Data dan Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Model Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, halaman 68-69.

Universitas Sumatera Utara

(29)

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang mengikat seperti Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

b. Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku maupun literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/ atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul berupa:28 a. Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen

b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuisioner Angket) d. Pengamatan (Observasi)

28 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Medan: Softmedia, 2015, halaman 99.

Universitas Sumatera Utara

(30)

Alat Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research).

4. Analisis Data

Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur tindak pidana pangan dalam literatur atau sumber bacaan hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

(31)

BAB II

ATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PRODUSEN YANG MEMPRODUKSI PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN

BERBAHAYA

A. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012, yang dimaksud dengan Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Beberapa jenis bahan tambahan pangan yang diizinkan digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 menurut golongannya antara lain:

1. Antibuih (Kalsium alginat, mono dan Digliserida asam lemak) 2. Antikempal (Kalsium karbonat, Trikalsium fosfat)

3. Antioksidan (Asam askrobat, Natrium askrobat) 4. Bahan Pengkarbonasi (Karbon dioksida)

5. Garam Pengemulsi (Natrium dihidrogen sitrat, Trinatrium sitrat) 6. Gas Untuk Kemasan (Nitrogen, Karbon dioksida)

7. Humektan (Natrium laktat, Kalium laktat) 8. Pelapis (Malam, Lilin kandelia)

9. Pemanis Alami (Sorbitol, Manitol) dan Pemanis Buatan (Aspartam, Neotam)

10. Pembawa (Trietil sitrat, Propilenglikol) 11. Pembentuk Gel (Gelatin, Pektin)

Universitas Sumatera Utara

(32)

12. Pembuih (Gom xanthan, Selulosa mikrokristalin) 13. Pengatur keasaman (Asam asetat, Natrium asetat) 14. Pengawet (Asam benzoate, Natrium sulfit)

15. Pengembang (Natrium alumunium fosfat, Pati asetat) 16. Pengemulsi (Kalsium karbonat, Natrium laktat) 17. Pengental (Kalsium asetat, Asam alginate) 18. Pengeras (Kalsium laktat, Trikalsium sitrat)

19. Penguat Rasa (Asam L-glutamat dan Mononatrium L-Glutamat) 20. Peningkat Volume (Karagen, Gom guar)

21. Penstabil (Asam fumarate, Lesitin)

22. Peretensi Warna (Magnesium karbonat, Magnesium hidroksida) 23. Perisa (Preparat perisa, Perisa hasil proses panas)

24. Perlakuan Tepung (Amonium klorida, Kalsium oksida)

25. Pewarna Alami (Riboflavin, Beta-karoten) dan Pewarna Sintetis (Tartrazin C. No. 19140, Eritrosin CI. No. 43430)

26. Propelan (Dinitrogen monoksida, Propana)

27. Sekuestran (Isopropil sitrat dan Natrium Glukonat)

Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan antara lain:

1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylyrocarbonate, DEPC)

Universitas Sumatera Utara

(33)

4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehyde)

6. Kalium bromat (Potassium bromate) 7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 10. Nitrofurzon (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine)

13. Nitrobenzene (Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16. Biji tonka (Tonksa bean) 17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil)

Selain yang disebut diatas, khusus untuk bahan pewarna yang dilarang digunakan pada obat dan makanan ditetapkan dengan Permenkes RI No.

239/Menkes/Per/V/1985 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Zat warna tersebut adalah: Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Crysoine S, Citrus Red No 2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indranthrene Blue RS, Magenta, Metanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil

Universitas Sumatera Utara

(34)

Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil/Orcein, Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet GN, dan Violet 6B.

Peraturan ini kemudian direvisi dengan Keputusan Dirjen POM No.

00386/C/SK/II/1990 tentang perubahan lampiran Permenkes RI No.

239/Menkes/Per/V/1985, pada lampiran II ditetapkan zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika yaitu Jingga K1, Merah K3, Merah K4, Merah K10, dan Merah K11.29

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996, yang dimaksud dengan bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenic, mutagenik, korosif dan iritasi. Klasifikasi bahan berbahaya dapat dilihat dalam Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996.

B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini secara garis besar berbicara tentang upaya pemerintah dalam melindungi konsumen.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang

29 http://standarpangan.pom.go.id/berita/bahan-tambahan-yang-dilarang-digunakan-dalam-produk- pangan artikel “Bahan Tambahan Yang Dilarang Digunakan Dalam Produk Pangan” Diakses pada Rabu 10 April 2019, 05:07 WIB

Universitas Sumatera Utara

(35)

tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.

Undang-undang tentang Perlindungan konsumen pasti mengatur hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh para produsen dalam memproduksi pangan, disamping sudah merupakan kewajiban daripada produsen tersebut juga salah satunya karena penting untuk keberlangsungan penjualan dalam jangka panjang.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 tertulis hak-hak Konsumen yang harus dipenuhi agar terhindar dari Tindak Pidana Pangan diantaranya yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Universitas Sumatera Utara

(36)

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan Pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adanya pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang mengakibatkan munculnya tindak pidana. Begitu juga dengan tindak pidana pangan, dalam Undang-undang ini diatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha agar terhindar dari tindak pidana pangan. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha atau produsen telah diatur dalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungaan Konsumen yang terdapat dalam Pasal 8 yang isinya:

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

b. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan alam label atau etiket arang tersebut;

Universitas Sumatera Utara

(37)

d. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

e. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam lal atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

h. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

i. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

j. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

k. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

(38)

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa membarikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusah, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Selain kewajiban dan larangan atas produsen dalam memproduksi pangan, masih ada tanggungjawab yang harus ditanggung oleh seorang pelaku usaha.

Tanggungjawab ini juga disebut dengan istilah product liability. Pada perkembangan masa kini produsen memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati- hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya. Logikanya, berdasarkan hukum, segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mau tidak mau berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.30

Definisi product liability, yaitu “suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus

30 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008, halaman 36.

Universitas Sumatera Utara

(39)

melahirkan tanggungjawab produsen untuk memberikan ganti rugi” (sebagaimana dikutip oleh N.H.T. Siahaan). Pengertan lain dari product liability adalah pertanggungjawaban perdata dari produsen/pelaku usaha (dapat termasuk pihak lain dalam mata rantai perdagangan) untuk mengganti kerugian kepada pihak tertentu (dapat pembeli atau bahkan orang ketiga), atas kerusakan benda, badan dan kematian sebagai akibat penggunaan produknya. Namun secara harfiah product liability berarti pertanggungjawaban produk. Selanjutnya menurut Saefullah, yang dimaksud dengan Product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller,distributor) produk tersebut.31

Tanggungjawab para pelaku usaha ini telah dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pada Pasal 19 yang isinya:

(1) Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa ang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

31 Renny Supriyatni Bachro, ”Product Liability Sebagai Salah Satu Alternatif Perlindungan Terhadap Keselamatan Konsumen”, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 5, 2003, halaman 56-67.

Universitas Sumatera Utara

(40)

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Jika para pelaku usaha tidak melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik berdasarkan Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat ditindaklanjuti berdasarkan Pasal 23 yang isinya:

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Adanya pengaturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini pasti mengakibatkan munculnya ancaman sanksi pidana yang diatur pada Pasal 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang isinya:

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan

Universitas Sumatera Utara

(41)

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Aturan hukum tentang tindak pidana pangan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini lebih menjurus ke arah pemberian perlindungan kepada konsumen terhadap pelaku tindak pidana pangan.

C. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Guna memberi perlindungan yang lebih memadai sehubungan dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan peraturan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada tanggal 16 November 2012 untuk mengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Berbeda dengan undang- undang sebelumnya, didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini tidak diatur secara khusus tentang pertanggungjawaban produsen- pelaku usaha pangan.32

Sebelum suatu pangan didistribusikan, terlebih dahulu pangan tersebut harus memenuhi standar keamanan pangan, tentang persyaratan citarasa, penampilan dan kualitas, apakah pangan tersebut layak untuk dikonsumsi. Karena keamanan pangan merupakan salah satu dari sekian banyak faktor penting yang harus menjadi perhatian dalam konsumsi sehari-hari. Artinya pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti cemaran pestisida, logam berat, mikroba pantogen ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu

32 Janus Sidabalok, Op.Cit., halaman 110.

Universitas Sumatera Utara

(42)

kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat misalnya tercemar bahan berbahaya.33

Bahan Tambahan Pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan antaralain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental.34 Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012, Bahan Tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Pasal 11 yaitu setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang.35

Didalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini dijelaskan bahwa:

“Pelaku usaha pangan dalam melakukan Produksi Pangan harus memenuhi berbagai ketentuan mengenai kegiatan atau proses Produksi Pangan sehingga tidak berisiko merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. Pelaku Usaha Pangan bertanggungjawab kepada pangan yang diedarkan, terutama apabila Pangan yang diproduksi menyebabkan kerugian, baik terhadap gangguan kesehatan maupun kematian orang yang mengonsumsi Pangan tersebut.”

33 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., halaman 169.

34 Wisnu Cahyadi, Bahan Tambahan Pangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, halaman 1.

35 Cahyo Suparinto dan Diana Hidayati, Bahan Tambahan Pangan, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 57-58.

Universitas Sumatera Utara

(43)

Banyak sekali macam dan cara tindak pidana pangan yang dapat dilakukan oleh para produsen pangan, sehingga pengaturan tentang macam-macam tindak pidana pangan tidak hanya diatur dalam satu pasal melainkan banyak. Pengaturan tentang macam-macam tindak pidana pangan ini diatur dalam Pasal 133 sampai Pasal 140 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang. Pada Pasal 133 diatur tentang pelaku usaha pangan yang menyimpan melebihi jumlah maksimal dengan tujuan harga pangan pokok menjadi mahal yang bunyinya:

Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Dalam Pasal 134 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan ini diatur tentang pelaku usaha pangan yang dengan sengaja menerapkan tata cara pengolahan pangan yang mengakibatkan hilangnya kandungan Gizi pada bahan pangan yang bunyinya:

Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 135 dalam Undang-undang ini mengatur tentang rangkaian kegiatan proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi pangan, yang bunyinya:

Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)

Universitas Sumatera Utara

(44)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Aturan tentang peredaran pangan yang dengan sengaja menggunakan bahan tambahan pangan melampaui ambang batas dan bahan tambahan yang dilarang diatur dalam pasal 136 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang bunyinya:

Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan:

a. bahan tambahan Pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;

atau

b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Produksi maupun bahan baku pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik bila belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan juga termasuk dalam tindak pidana pangan yang diatur dalam Pasal 137 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang bunyinya:

(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan

Universitas Sumatera Utara

(45)

persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Kemasan pangan yang dapat mencemari yang dapat membahayakan kesehatan manusia juga dilarang dan diatur dalam pasal 138 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 yang bunyinya:

Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan, yang dengan sengaja menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pengemasan kembali juga dilarang dalam aturan produksi pangan karena disamping memang pelaku usaha pada dasarnya tidak boleh dengan sembarangan mengemas dan menjual kembali, juga sudah diatur dalam Pasal 139 Undang- undang Nomor 18 Tahun 2012 yang bunyi pasalnya:

Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Yang paling utama dalam memperdagangkan pangan yaitu produksi pangan harus memenuhi standar keamanan pangan yang jika dilanggar dapat digolongkan menjadi tindak pidana pangan karena sudah diatur dalam Pasal 140 Undang- undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang bunyinya:

Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

3. suatu sebab yang halal. Pos Indonesia bergerak dalam bidang jasa, maka faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang

Ketidakterlaksanaannya suatu kontrak konstruksi dapat menimbulkan perselisihan atau yang sering disebut dengan “sengketa konstruksi” diantara pihak pengguna dengan pihak

Maka dengan demikian, berdasarkan pembahasan yang dijelaskan sebagaimana yang dimaksud di atas, timbul keinginan untuk mengkaji tentang keringanan pajak sebagai bentuk insentif

Maka, atas pertimbangan tersebutlah Majelis Hakim menyatkan bahwa terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Dari pemaparan

Menimbang, bahwa menurut hemat hakim, pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah merupakan hal yang refresif akibat perbuatan yang dilakukan karena

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan