• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: FAKTOR PENYEBAB PRODUSEN YANG MEMPRODUKSI

5. Teori Kriminologi Dari Perspektif Sosiologis

Teori sosiologis sendiri mencari perbedaan dari angka kejahatan di dalam lingkungan social. Teori ini dapat dibagi menjadi 3 kategori umum, yaitu:62

a. Strain Theories

Strain Theories merupakan Theory Anomie dari Emile Durkheim. Durkheim meyakini jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju suatu masyarakat yang modern dan kota, maka kedekatan yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma akan merosot, di mana kelompok-kelompok akan terpisah dan dalam ketiadaan dalam satu set aturan-aturan umum,

60 Ibid, halaman 56.

61 Ibid.

62 Wahju Muljono, Op. Cit., halaman 56-65.

Universitas Sumatera Utara

tindakan dan harapan orang lain dengan tidak dapat diperediksi perilaku sistem tersebut secara bertahap akan runtuh dan masyarakat itu dalam keadaan anomi.

Durkheim mempercayai bahwa hasrat manusia adalah tidak terbatas, karena alam tidak mengatur batas-batas yang ketat untuk kemampuan manusia.

b. Cultural Deviance Theories

Teori ini juga disebut dengan teori-teori penyimpangan budaya. Ada tiga teori utama dari Teori Penyimpangan budaya ini, yaitu:

1. Social Disorganization Theory

Teori ini terfokus pada perkembangan disintegrasi nilai konvensional yang disebabkan industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi.

Adapun tokoh-tokoh yang terkenal disini adalah:

a. W.I Thomas dan Florian Znanieck, dalam buku mereka yang berjudul The Polish Peasant in Ueropa and America menggambarkan pengalaman sulit yang dialami para petani Polandia ketika mereka meninggalkan dunia lamanya yaitu pedesaan untuk menuju kota industri di dunia baru. Selain itu mereka menyelidiki asimilasi dari para imigran dimana para imigran tua tidak begitu terpengaruh akan kepindahan itu meskipun berada di daerah kumuh, tetapi dengan adanya generasi muda mereka memliki sedikit tradisi lama tetapi tidak terasimilalsi dengan tradisi dunia baru.

b. Robert Park dan Ernest Burgess, mengembangkan teori Social Disorganization dari Thomas dan Znanieck yang

Universitas Sumatera Utara

mengintrodusir analisis ekologi dari masyarakat dunia, yang meniliti karakter daerah dan bukan meneliti para penjahat untuk penjelasan tentang tingginya angka kejahatan. Mereka mengembangkan pemikiran tentang Natural Urban Areas yang terdiri atas zona – zona konsentrasi yang memanjang keluar dari distrik pusat bisnis dan kota.

c. Clifford Shaw dan Hendri McKay, menunjukkan bahwa angka tertinggi dari delinquent berlangsung terus di area yang sama dari kota Chicago meskipun komposisi etnis berubah. Penemuan ini memberi kesimpulan bahwa faktor yang paling menentukan bukanlah etnisitas melainkan posisi kelompok di dalam penyebaran status ekonomi dan nilai – nilai budaya.

2. Culture Conflict Theory

Teori ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar conduct norm yang berbeda dan bahwa banyak conduct norm dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan konvensional kelas menegah. Tokoh yang terkenal dari teori ini adalah Thorsten Sellin dimana ia mengatakan bahwa conduct norm merupakan aturan yang merefleksikan sikap-sikap dari kelompok yang masing-masing dari kita memilikinya.

3. Differential Association Theory

Teori ini berpendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat dari hubungan dengan nilai-nilai dan sikap anti social serta pola tingkah laku criminal. Jadi kejahatan terjadi karena hasil peniruaan terhadap kejahatan yang

Universitas Sumatera Utara

ada di dalam masyarakat. Adapun tokoh dari teori ini adalah Edwin H. Sutherland dimana ia menggantikan konsep Social Disorganization dengan konsepnya tentang Dfferential Social Organization.

c. Social Control

Teori control sosial merupakan suatu teori yang berusaha untuk mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Teori Kontrol Sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaataan kepada aturan-aturan masyarakat.63 Beberapa teori yang termasuk dalam teori-teori control sosial, yaitu:64

1. Social Bonds (Travis Hirschi)

Hirschi menyebut empat sosial bonds yang mendorong socialization (sosialisasi) dan conformity (penyesuaian diri, yaitu attachment, commitment, involvement, dan belief. Menurut Hirschi “the stronger these bonds, the less likelihood of delinquency” (semakin kuat ikatan ikatan ini, semakin kecil kemungkinan terjadi delinquency atau kenakalan) dalam penelitannya ia mendapati bahwa “weakness in any of the bonds was asocited with delinquent behavior” (kelemahan di setiap ikatan – ikatan itu berkaitan dengan tingkah laku delinquent).

2. Self-Control Theory (Michael Gotfredson dan Travis Hirschi) Gotfredson dan Hirschi dalam buku nya A General Theory Of Crime (1990) menemukan satu penjelasan yang signifikan dengan karya Hirschi terdahulu.

Social bonds dari Hirschi menolak usaha menjelaskan kejahatan melalui

63 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op. Cit., halaman 87.

64 Ibid, halaman 89-96.

Universitas Sumatera Utara

internalized control dan ia justru menggunakan pendekatan sosiologis. Kontrol tersebut menurut teori Hirschi sebelumnya, dihasilkan oleh hubungan berlanjut si individu dengan conventional order yaitu oleh ikatan-ikatan dengan keluarga, sekolah, pekerjaan, aktivitas sehari-hari, dan kepercayaan. Mereka meninggalkan pemikiran bahwa berlanjutnya social bonds merupakan pencegahan terhadap keterlibatan perbuatan illegal. Mereka justru menegaskan dalil bahwa self control , yang terpendam dalam awal kehidupan seseorang menentukan siapa yang jatuh sebagai pelaku kejahahtan. Jadi control merupakan suatu keadaan integral yang permanen disbanding dari hasil perjalanan faktor sosiologis. Menurut mereka , self control merupakan pencegah yang membuat orang menolak kejahtan dan pemuasaan sesaat.

3. Techniques of Netralization (David Matza)

David Matza mengembangkan suatu perspektif yang berbeda secara signifikan pada social control dengan menjelaskan mengapa sebagian remaja hanyut ke dalam atau keluar dari delinquency. Menurutnya, para remaja merasakan suatu kewajiban moral (moral obligation) untuk menaati atau terikat dengan hukum.

“Ikatan” atau “bond” antara seseorang dengan hukum sesuatu yang menciptakan tanggung jawab dan kontrol akan tetap di tempatnya sepanjang waktu. Apabila ia tidak ditempatnya lagi, remaja itu mungkin masuk ke dalam drift, atau periode dimana: delinquent sementara hadir dalam keadaan linglung (terlantar atau terombang ambing) antara convention dan crime, merespon permintaan dari masing–masing, kadang dekat dengan yang satu kadang dengan yang lain, tetapi

Universitas Sumatera Utara

menunda komitmen, menghindari putusan. Jadi ia drift antara tindakan criminal dan konvensional.

4. Personal and Social Control (Albert J. Reiss)

Personal control didefinisikan sebagai “the ability of the individual to refrain from meeting needs in ways which conflict with the norms and rules of the community” (kemampuan individu untuk menolak memenuhi kebutuhan dengan cara yang berlawanan dengan norma-norma atau aturan masyarakat), sedangkan social control di defenisikan sebagai “the ability of sosial groups or institusion to make norms or rules effective” (kemampuan kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga sosial untuk membuat norma norma atau aturan-aturanya dipatuhi).

Menurut Reiss, penyesuaian diri dengan norma mungkin dihasilkan dari penerimaan (acceptance) individu atas aturan dan peranan atau semata-mata dari ketundukan kepada norma.

5. Containment Theory (Walter C. Reckless)

Containment Theory menurut Reckless adalah menjelaskan mengapa di tengah berbagai dorongan dan tarikan-tarikan kriminogenik yang beraneka macam, apa pun itu bentuknya, conformity (penerimaan kepada norma) tetaplah menjadi sifat yang umum. Menurut Reckless, untuk melakukan kejahatan atau delinquency mempersyaratkan si indivdu memecahkan atau menerobos suatu kombinasi dari outer containment (pengurungan luar) dan inner containment (pengurangan dalam) yang bersama-sama cenderung mengisolasikan seseorang baik dari dorongan ataupun tarikan itu. Kemungkinan terjadi penyimpangan berhubungan secara langsung dengan sejauh mana dorongan-dorongan internal (seperti

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan harus dipenuhi, keresahan, kekejaman) tekanan eksternal (kemiskinan, pengganguran) tekanan-tekanan eksternal dikontrol dengan inner containment atau outer containment seseorang.

B. Faktor Penyebab Produsen yang Memproduksi Pangan Dengan Menggunakan Bahan Berbahaya dari Perspektif Kriminologi

Produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya pasti didorong oleh beberapa faktor yang mempunyai hubungan dengan timbulnya tindakan tersebut. Ada dua faktor penyebab terjadinya tindakan kriminal, yang pertama adalah faktor intern yaitu yang bersumber dari dalam diri individu seperti sakit jiwa, daya emosional, rendahnya mental, anomi, umur, sex, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah hiburan individu.

Sedangkan faktor kedua adalah faktor ekstern, yaitu bersumber dari luar diri individu seperti faktor ekonomi, agama, bacaan dan film.

Begitu juga dengan produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya, ditinjau dari perspektif kriminologi, faktor-faktor yang mendorong produsen memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya antara lain faktor intern dan faktor ekstern.

1. Faktor Intern

Faktor intern penyebab produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya yaitu faktor Individu itu sendiri. Setiap individu memiliki kepribadian, karakteristik dan tingkah laku yang berbeda. Kepribadian setiap individu dapat dinilai dari cara individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Bila individu tersebut berprilaku baik di

Universitas Sumatera Utara

tengah masyarakat maka ia akan dinilai baik dan mendapatkan penghargaan diri dari masyarakat sekitarnya, dan bila sebaliknya, maka ia akan dinilai tidak baik dan dianggap akan menimbulkan masalah didalam lingkungannya.

Dalam tindak pidana pangan, faktor individu yang mendorong produsen memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya salah satunya dapat berupa ketidaktahuan masyarakat. Sebagai contoh, pada kasus penggunaan formalin, boraks maupun zat pewarna non-makanan di Solo, Jawa Tengah, menurut pelaku lebih disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat.65 Juga kurangnya kesadaran produsen akan kewajibannya sebagai pelaku usaha dalam mempertimbangkan hak-hak konsumen juga merupakan salah satu faktor yang mendorong produsen tersebut menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya.

Dokumen terkait