• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Produsen yang

Upaya penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal sebagai pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial.17 Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan tidak hanya menggunakan sarana penal, tetapi dapat juga menggunakan sarana non-penal.18 Kebijakan penal dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana.19 Kebijakan penal merupakan upaya Represif dalam menanggulangi berbagai bentuk kejahatan. Kebijakan non-penal merupakan upaya Preventif dalam menanggulangi berbagai bentuk kejahatan. Berikut penjelasan kebijakan atau upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi berbagai bentuk kejahan:

1. Upaya Pre-entif

Tahap ini merupakan suatu upaya dari Polri untuk mencegah secara dini agar tidak terjadi kejahatan, sistem ini dapat dilakukan:20

a. Bersifat moralitas yaitu bekerjasama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk lebih menyebarkan norma-norma agama, kesusilaan

17 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 23.

18 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2010, halaman 158.

19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996, halaman 29.

20 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, halaman 28.

Universitas Sumatera Utara

kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengekang nafsu untuk berbuat jahat.

b. Pembimbing disiplin terhadap anak-anak remaja, usaha ini Polri memberi bimbingan maupun penyuluhan ke sekolah-sekolah tingkat SLTP dan SLTA maupun perguruan tinggi dan dapat berbentuk ceramah-ceramah mengenai kejahatan yang dipandang perlu agar dapat menjaga diri.

Upaya Pre-entif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana secara pre-entif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau tindak pidana tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi tindak pidana.21 Jadi dalam upaya pre-entif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

2. Upaya Preventif

Upaya preventif adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-entif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya tindak pidana tersebut.22

Tahap ini mencegah terjadinya kejahatan yang sudah terlibat adanya kecenderungan kearah itu, misalnya mengadakan Razia terhadap para anak, para

21 A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, Makassar: Pustaka Refleksi Books, 2010, halaman 79.

22 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pelajar, para mahasiswa. Memang pada akhirnya ini sering kita lihat banyak anak-anak pada waktu belajar berkeliaran di tempat ramai, seperti plaza-plaza, tempat karoke, di tempat Bilyard, Diskotik, café-café dan lain-lain. Kepada mereka inilah dilaksanakan tindakan berupa preventif agar mereka terlepas dari sasaran perbuatan jahat.23

3. Upaya Represif

Tahap ini diterapkan kepada mereka yang telah melakukan kejahatan walaupun mereka masih tergolong anak-anak kepada mereka yang telah melakukan kejahatan ditindak, kemudian diproses dan dilanjutkan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.24 Upaya represif dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana yang tindakannya berupa penegak hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan tindak pidana secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya tindak pidana.

Penanggulangan dengan upaya represif untuk menindak para pelaku sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang ditanggungnya sangat berat.25

Kebijakan hukum pidana terhadap produsen yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan berbahaya juga dilakukan secara pre-entif, preventif dan represif. Upaya pre-entif terhadap produsen pangan dapat dilakukan dengan cara pemberian ilmu atau edukasi tentang bahan tambahan pangan yang berbahaya,

23 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana…, Op. Cit., halaman 28.

24 Ibid, halaman 28-29.

25 A. S. Alam, Op. Cit., halaman 79-80.

Universitas Sumatera Utara

seperti dilakukannya penyuluhan-penyuluhan tentang bahayanya bahan tambahan pangan yang berbahaya dan apa akibatnya bila bahan berbahaya tersebut tetap ditambahkan kedalam produksi pangan. Upaya preventifnya yaitu dengan melakukan pengawasan dan razia rutin ke dalam rumah-rumah produksi makanan.

Sedangkan upaya represifnya yaitu dilakukan setelah terjadinya tindak pidana atau kejahatan pangan tersebut yang merupakan penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman terhadap produsen yang menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif.

Metode penelitian hukum normatif sering juga disebut “penelitian hukum teoritis”.26 Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam buku-buku, dan dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.27

26 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, halaman 102.

27 Burhan Bungin, Analisis Data dan Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Model Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, halaman 68-69.

Universitas Sumatera Utara

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

b. Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku maupun literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/ atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul berupa:28 a. Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen

b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuisioner Angket) d. Pengamatan (Observasi)

28 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Medan: Softmedia, 2015, halaman 99.

Universitas Sumatera Utara

Alat Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research).

4. Analisis Data

Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur tindak pidana pangan dalam literatur atau sumber bacaan hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

BAB II

ATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PRODUSEN YANG MEMPRODUKSI PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN

BERBAHAYA

A. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012, yang dimaksud dengan Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Beberapa jenis bahan tambahan pangan yang diizinkan digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 menurut golongannya antara lain:

1. Antibuih (Kalsium alginat, mono dan Digliserida asam lemak) 2. Antikempal (Kalsium karbonat, Trikalsium fosfat)

3. Antioksidan (Asam askrobat, Natrium askrobat) 4. Bahan Pengkarbonasi (Karbon dioksida)

5. Garam Pengemulsi (Natrium dihidrogen sitrat, Trinatrium sitrat) 6. Gas Untuk Kemasan (Nitrogen, Karbon dioksida)

7. Humektan (Natrium laktat, Kalium laktat) 8. Pelapis (Malam, Lilin kandelia)

9. Pemanis Alami (Sorbitol, Manitol) dan Pemanis Buatan (Aspartam, Neotam)

10. Pembawa (Trietil sitrat, Propilenglikol) 11. Pembentuk Gel (Gelatin, Pektin)

Universitas Sumatera Utara

12. Pembuih (Gom xanthan, Selulosa mikrokristalin) 13. Pengatur keasaman (Asam asetat, Natrium asetat) 14. Pengawet (Asam benzoate, Natrium sulfit)

15. Pengembang (Natrium alumunium fosfat, Pati asetat) 16. Pengemulsi (Kalsium karbonat, Natrium laktat) 17. Pengental (Kalsium asetat, Asam alginate) 18. Pengeras (Kalsium laktat, Trikalsium sitrat)

19. Penguat Rasa (Asam L-glutamat dan Mononatrium L-Glutamat) 20. Peningkat Volume (Karagen, Gom guar)

21. Penstabil (Asam fumarate, Lesitin)

22. Peretensi Warna (Magnesium karbonat, Magnesium hidroksida) 23. Perisa (Preparat perisa, Perisa hasil proses panas)

24. Perlakuan Tepung (Amonium klorida, Kalsium oksida)

25. Pewarna Alami (Riboflavin, Beta-karoten) dan Pewarna Sintetis (Tartrazin C. No. 19140, Eritrosin CI. No. 43430)

26. Propelan (Dinitrogen monoksida, Propana)

27. Sekuestran (Isopropil sitrat dan Natrium Glukonat)

Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan antara lain:

1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylyrocarbonate, DEPC)

Universitas Sumatera Utara

4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehyde)

6. Kalium bromat (Potassium bromate) 7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 10. Nitrofurzon (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine)

13. Nitrobenzene (Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16. Biji tonka (Tonksa bean) 17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil)

Selain yang disebut diatas, khusus untuk bahan pewarna yang dilarang digunakan pada obat dan makanan ditetapkan dengan Permenkes RI No.

239/Menkes/Per/V/1985 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Zat warna tersebut adalah: Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Crysoine S, Citrus Red No 2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indranthrene Blue RS, Magenta, Metanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil

Universitas Sumatera Utara

Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil/Orcein, Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet GN, dan Violet 6B.

Peraturan ini kemudian direvisi dengan Keputusan Dirjen POM No.

00386/C/SK/II/1990 tentang perubahan lampiran Permenkes RI No.

239/Menkes/Per/V/1985, pada lampiran II ditetapkan zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika yaitu Jingga K1, Merah K3, Merah K4, Merah K10, dan Merah K11.29

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996, yang dimaksud dengan bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenic, mutagenik, korosif dan iritasi. Klasifikasi bahan berbahaya dapat dilihat dalam Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996.

B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini secara garis besar berbicara tentang upaya pemerintah dalam melindungi konsumen.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang

29 http://standarpangan.pom.go.id/berita/bahan-tambahan-yang-dilarang-digunakan-dalam-produk-pangan artikel “Bahan Tambahan Yang Dilarang Digunakan Dalam Produk Pangan” Diakses pada Rabu 10 April 2019, 05:07 WIB

Universitas Sumatera Utara

tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.

Undang-undang tentang Perlindungan konsumen pasti mengatur hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh para produsen dalam memproduksi pangan, disamping sudah merupakan kewajiban daripada produsen tersebut juga salah satunya karena penting untuk keberlangsungan penjualan dalam jangka panjang.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 tertulis hak-hak Konsumen yang harus dipenuhi agar terhindar dari Tindak Pidana Pangan diantaranya yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Universitas Sumatera Utara

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan Pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adanya pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang mengakibatkan munculnya tindak pidana. Begitu juga dengan tindak pidana pangan, dalam Undang-undang ini diatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha agar terhindar dari tindak pidana pangan. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha atau produsen telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungaan Konsumen yang terdapat dalam Pasal 8 yang isinya:

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

b. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan alam label atau etiket arang tersebut;

Universitas Sumatera Utara

d. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

e. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam lal atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

h. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

i. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

j. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

k. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa membarikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusah, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Selain kewajiban dan larangan atas produsen dalam memproduksi pangan, masih ada tanggungjawab yang harus ditanggung oleh seorang pelaku usaha.

Tanggungjawab ini juga disebut dengan istilah product liability. Pada perkembangan masa kini produsen memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya. Logikanya, berdasarkan hukum, segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mau tidak mau berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.30

Definisi product liability, yaitu “suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus

30 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008, halaman 36.

Universitas Sumatera Utara

melahirkan tanggungjawab produsen untuk memberikan ganti rugi” (sebagaimana dikutip oleh N.H.T. Siahaan). Pengertan lain dari product liability adalah pertanggungjawaban perdata dari produsen/pelaku usaha (dapat termasuk pihak lain dalam mata rantai perdagangan) untuk mengganti kerugian kepada pihak tertentu (dapat pembeli atau bahkan orang ketiga), atas kerusakan benda, badan dan kematian sebagai akibat penggunaan produknya. Namun secara harfiah product liability berarti pertanggungjawaban produk. Selanjutnya menurut Saefullah, yang dimaksud dengan Product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller,distributor) produk tersebut.31

Tanggungjawab para pelaku usaha ini telah dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pada Pasal 19 yang isinya:

(1) Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa ang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

31 Renny Supriyatni Bachro, ”Product Liability Sebagai Salah Satu Alternatif Perlindungan Terhadap Keselamatan Konsumen”, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 5, 2003, halaman 56-67.

Universitas Sumatera Utara

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Jika para pelaku usaha tidak melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik berdasarkan Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat ditindaklanjuti berdasarkan Pasal 23 yang isinya:

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Adanya pengaturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini pasti mengakibatkan munculnya ancaman sanksi pidana yang diatur pada Pasal 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang isinya:

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan

Universitas Sumatera Utara

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Aturan hukum tentang tindak pidana pangan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini lebih menjurus ke arah pemberian perlindungan kepada konsumen terhadap pelaku tindak pidana pangan.

C. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Guna memberi perlindungan yang lebih memadai sehubungan dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan peraturan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada tanggal 16 November 2012 untuk mengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini tidak diatur secara khusus tentang pertanggungjawaban produsen-pelaku usaha pangan.32

Sebelum suatu pangan didistribusikan, terlebih dahulu pangan tersebut harus memenuhi standar keamanan pangan, tentang persyaratan citarasa, penampilan dan kualitas, apakah pangan tersebut layak untuk dikonsumsi. Karena keamanan pangan merupakan salah satu dari sekian banyak faktor penting yang harus menjadi perhatian dalam konsumsi sehari-hari. Artinya pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti cemaran pestisida, logam berat, mikroba pantogen ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu

32 Janus Sidabalok, Op.Cit., halaman 110.

Universitas Sumatera Utara

kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat misalnya tercemar bahan berbahaya.33

Bahan Tambahan Pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan antaralain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental.34 Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012, Bahan Tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Pasal 11 yaitu setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang.35

Didalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini dijelaskan bahwa:

“Pelaku usaha pangan dalam melakukan Produksi Pangan harus memenuhi berbagai ketentuan mengenai kegiatan atau proses Produksi Pangan sehingga tidak berisiko merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. Pelaku Usaha Pangan bertanggungjawab kepada pangan yang diedarkan, terutama apabila Pangan yang diproduksi menyebabkan kerugian, baik terhadap gangguan kesehatan maupun kematian orang yang mengonsumsi Pangan tersebut.”

33 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., halaman 169.

34 Wisnu Cahyadi, Bahan Tambahan Pangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, halaman 1.

35 Cahyo Suparinto dan Diana Hidayati, Bahan Tambahan Pangan, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 57-58.

Universitas Sumatera Utara

Banyak sekali macam dan cara tindak pidana pangan yang dapat dilakukan oleh para produsen pangan, sehingga pengaturan tentang macam-macam tindak pidana pangan tidak hanya diatur dalam satu pasal melainkan banyak. Pengaturan tentang macam-macam tindak pidana pangan ini diatur dalam Pasal 133 sampai Pasal 140 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang. Pada Pasal 133 diatur tentang pelaku usaha pangan yang menyimpan melebihi jumlah maksimal dengan tujuan harga pangan pokok menjadi mahal yang bunyinya:

Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Dalam Pasal 134 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan ini diatur tentang pelaku usaha pangan yang dengan sengaja menerapkan tata cara

Dalam Pasal 134 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan ini diatur tentang pelaku usaha pangan yang dengan sengaja menerapkan tata cara

Dokumen terkait