• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP PELAKU

PENAMBANG LIAR

(STUDI PUTUSAN NOMOR: 226/PID.B/2014/PN-MDL)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

NIM : 120200018 YUSNI MARIANA LUBIS

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

ABSTRAK Yusni Mariana Lubis*

Alvi Syahrin**

Rafiqoh Lubis ***

Pertambangan liar bukanlah kejadian baru yang dinikmati masyarakat Indonesia. Banyaknya masyarakat yang tidak sadar hukum dan demi memenuhi kebutuhan ekonomi, mereka melupakan akan pentingnya lingkungan yang berkelanjutan. Tidak hanya masyarakat saja yang dapat disalahkan, namun para penegak hukum itu sendiri yang tidak bertindak tegas memberikan kepastian kebijakan dan politisasi demi keuntungan masing-masing juga dapat diperhatikan.

Adapun masalah hukum yang muncul adalah bagaimana penerapan undang- undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap para penambang liar yang terdapat pada putusan hakim (Studi Putusan Nomor: 226/Pid.b/2014/PN-Mdl).

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis normative) dengan mengumpulkan bahan hukum (primer, sekunder dan tersier) melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum utama yang dikaji adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Untuk mendukung bahan hukum tersebut, digunakan bahan hukum sekunder dan tersier berupa buku, karya ilmiah dari para sarjana, ensiklopedia, majalah, media massa, internet dan lain-lain. Bahan hukum tersebut ditelusuri dan dikaji sehingga menjadi satu yang berhubungan dengan pertambangan liar.

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pertama, pertambangan tanpa izin merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No. 4 tahun 2009. Tindak pidana pertambangan tanpa izin dapat merugikan negara, merusak lingkungan, dan hal lainnya karena perbuatan tersebut hanya dapat menguntungkan diri sendiri. Kedua, penerapan UU No. 4 tahun 2009 dalam kasus ini, Pelaku H. Zalzali yang melakukan pertambangan tanpa izin dijatuhkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kata Kunci: Penerapan Undang-Undang, Pertambangan Mineral dan Batubara, Pertambangan Liar

____________________________

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana.

** Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillahi Robbil Alamin, Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin serta segala nikmat yang diberikannya-Nya, khususnya nikmat kesehatan dan rezeki sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa Penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun ummatnya dari alam kebodohan hingga alam yang penuh ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Kebesaran jiwa dan kasih sayang yang tak bertepi, doa yang tidak pernah putus, nasihat, perhatian, bimbingan serta doa restu dari kedua orangtua tercinta, Ayahanda Endar Lubis, S.H dan Ibunda Erlinawati Lubis, S.H sebagai motivasi terbesar Penulis menyelesaikan skripsi ini. Kepada kedua saudara Penulis, Abangda Ivan Saleh Lubis, S.T dan Adinda Afifannisa Lubis yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang, nasihat dan amukan selama ini.

Adapun tujuan Penulis menyusun skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu juga dimaksudkan sebagai penambah khasanah dan wawasan pengetahuan pada ilmu hukum.

Sebagai manusia biasa, Penulis menyadari dari setiap kata-kata yang Penulis tuangkan dalam penulisan ini jelas terlihat banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun dari segi tehnik penulisan yang disebabkan oleh keterbatasan dan kemampuan yang Penulis miliki.

(5)

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang membantu Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Depertemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar lebih baik, juga memberikan inspirasi untuk mencapai keberhasilan, berpikiran positif, bertutur kata yang baik, professional, tanggungjawab dan jujur;

8. Ibu Rafiqoh, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini serta memberikan inspirasi untuk bersikap tegas, jujur, anti nepotisme dan tepat waktu;

(6)

10. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Kepada sahabat tercinta Wahyuni Sarah Borotan, S.H, Raihan, S.H, Halimah Hutagaol, S.H, Sahara Rangkuti, Husna Fatma Nasution, Agustini Harahap, S.E, Khoirunnisa, S.E yang selalu memberi nasihat, dukungan, doa dan teleponnya untuk mengingatkan Penulis menyelesaikan skripsi;

12. Kepada abang senior M. Azhali Siregar, S.H., M.Hum. dan Zulham Efendi, S.H., M.Hum yang membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini, memberi bimbingan dan motivasi serta semangat;

13. Kepada Aldi B.J Hamdani, S.T yang telah memberi dukungan, doa, semangat, nasihat dan bantuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini;

14. Kepada sepasang kekasih yang membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini, Sa’ban Hutagaol, S.H dan Rina Dian, S.H;

15. Kepada segenap keluarga Penulis yang selalu memberi motivasi, dukungan, semangat dan menanyakan kapan sidang dan wisuda;

16. Kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2012 dan teman-teman Departemen Hukum Pidana (IMADANA 2012);

17. Kepada Dodo, Ewet, dan semua barisan kucing kesayangan Penulis yang telah membantu menemukan buku-buku perpustakaan yang sempat hilang di rumah akibat keteledoran Penulis, yang setia menemani Penulis mengerjakan skripsi dan sebagai pembangkit semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

(7)

Atas segala bantuan, kerja sama dan keikhlasan yang diberikan kepada Penulis selama menyelesaikan studi hingga menyelesaikan skripsi ini, tidak ada kata yang dapat terucapkan selain terimakasih. Namun, melalui doa dan harapan dari Penulis semoga amal kebajikan yang telah disumbangkan dapat diterima dan memperoleh yang lebih baik dari Allah SWT. Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin.

Medan, 06 Maret 2018

Penulis,

NIM. 120200018 YUSNI MARIANA LUBIS

(8)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Pertambangan Mineral dan Batubara ... 8

2. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ...11

3. Izin Usaha Pertambangan ...17

F. Metode Penelitian ...10

G. Sistematika Penulisan ...11

BAB II PENAMBANGAN TANPA IZIN SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA...24

A. Pengertian Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ...24

(9)

B. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana Dibidang Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ...25

C. Izin Pertambangan Mineral dan Batubara...34

1. Jenis Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ...34

2. Prosedur Izin Pertambangan Mineral dan Batubara ...42

D. Pengaturan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku yang Melakukan Kegiatan Penambangan Tanpa Izin ...57

BAB III PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP PELAKU PENAMBANG LIAR DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR : 226/ PID.B/ 2014/ PN-MDL ... 78

A. KASUS ...78

1. Kronologis ...78

2. Dakwaan ...80

3. Fakta Hukum...82

4. Tuntutan Pidana ...84

5. Pertimbangan Hakim ...85

6. Putusan Hakim ...86

B. ANALISIS KASUS ...87

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...98

A. Kesimpulan ...98

B. Saran... 100

(10)

C. Kesimpulan D. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Kekayaan sumber daya alam tersebut diharapkan dapat dioptimalkan sebagai potensi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan ekonomi negara secara merata dan menyeluruh. Pada dasarnya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam, baik untuk keberlangsungan hidup masyarakat setempat maupun pembangunan perekonomian negara. Salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan adalah dari sektor bahan galian atau pertambangan.

Pertambangan yang sering dijumpai di Indonesia adalah pertambangan rakyat. Pertambangan rakyat sebenarnya telah dikenal sejak dahulu kala, yaitu sejak manusia mengetahui kegunaan bahan galian. Dikatakan pertambangan rakyat karena dilakukan dalam bentuk yang sederhana baik dalam cara berpikir, pengetahuan, peralatan yang digunakan dan juga dalam kebutuhan. Usaha pertambangan rakyat secara historis merupakan nenek moyang dari pertambangan yang dikenal pada saat ini, karena hampir semua pertambangan khususnya logam mulia (emas), batu-batu permata (intan) dan logam lain yang ada di Indonesia baik

(12)

ang masih aktif atau yang tidak aktif lagi dimulai dengan usaha pertambangan rakyat.1

Walaupun dikatakan sebagai pertambangan rakyat, bahan galian tetap dikuasai oleh negara. Hak penguasaan negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau penguasaan bahan galian dan dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah. Usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh kontraktor, maka kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, dan kontrak production sharing. 2

Untuk mencapai negara yang tertib dan teratur, tergantung kepada tata hukum negara tersebut. Tata hukum negara Indonesia sendiri terbentuk karena mengikuti perkembangan bangsa. Tata hukum tersebut sangat terkait dengan politik hukum. Politik hukum memilki beragam pengertian dari berbagai literatur ilmiah. Padmo Wahyono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang di bentuk. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. Arah, bentuk, dan isi hukum inilah yang kemudian menjadi kebijakan dasar bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan hukum yang dibentuk.

1https://herius.wordpress.com/tambang-rakyat-dan-hak-hak-masyarakat-lokal-kondisi- terkini-dan-rancangan-solusi diakses pada 10 Oktober 2017.

2

(13)

3

Setelah kemerdekaan tahun 1945, pemerintah Indonesia memulai membuat instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen positifistik setelah kemerdekaan tahun 1945. Sebagai bentuk pembuatan instrumen hukum, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan digantikan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan selanjutnya digantikan dengan Undang- Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dan terakhir yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pengaturan hukum terhadap tindak pidana penambangan secara liar dirumuskan di dalam BAB XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang ini banyak mengatur tentang izin, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).3

3Lihat BAB XXII Pasal 158 sampai Pasal 165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Berkaitan dengan hal ini, banyak pertambangan yang dilakukan secara illegal yakni tidak memperoleh izin dari pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan kerugian bagi masyarakat maupun negara. Perusakan alam dan pencemaran lingkungan banyak terjadi akibat pertambangan illegal serta penambang yang tidak peduli atas kelestarian alam, maka negara banyak mengalami kerugian akibat penambang tidak membayar pajak dan royalti.

(14)

Ada banyak jenis pertambangan illegal yang berlangsung di Indonesia.

Namun, jenis pertambangan illegal yang sering dilakukan adalah pertambangan emas. Pertambangan emas tanpa izin merupakan pertambangan dengan jumlah pencemaran bahan tambang paling tinggi. Selain izin yang tidak dikantongi para penambang, alat yang digunakan juga sangat sederhana dan tidak dapat menjamin keselamatan para pekerja tambang.

Wilayah yang mempunyai potensi tambang emas yang tinggi membuat setiap orang ingin mengolahnya tanpa memikirkan dampak kedepannya, baik itu dampak terhadap lingkungan maupun terhadap masyarakat setempat dan keselamatan diri sendiri. Hal ini dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat materi dan keuntungan semata. Sehingga banyak orang perorangan maupun korporasi melakukan pertambangan tanpa izin dan tidak memikirkan lingkungan hidup hanya dengan mengandalkan modal.

Efek dari aktifitas petambangan tersebut tidak hanya kerugian ekonomi tetapi juga menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan. Sebut saja meningkatnya eskalasi gesekan antara perusahaan tambang dengan masyarakat, berubahnya pola agraris masyarakat menjadi masyarakat tambang dan yang terakhir yang selalu jadi bahan pembicaraan adalah rusaknya dan tercemarnya daerah sekitar tambang. Walaupun ada usaha untuk memperbaiki kerusakan atau pencemaran tersebut, tapi masih dirasa kurang dan tidak menyentuh hal yang substantif.4

(15)

5

Kegiatan yang menyebabkan pencemaran secara langsung atau tidak langsung, cepat atau lambat akan mengakibatkan perusakan lingkungan.

Perusakan lingkungan dapat terjadi selain diakibatkan oleh adanya pencemaran juga karena dilakukannya pembudidayaan sumber daya tanpa memperhatikan kemampuan dan pengembangannya.5

Pengetahuan dasar sangat diperlukan dalam setiap kegiatan lingkungan.

Setiap kegiatan mempunyai dampak pada lingkungannya. Sebaliknya, lingkungannya sendiri akan mempengaruhi kegiatan. Dengan ekologi, alam dilihat sebagai jalinan sistem kehidupan yang saling terkait satu sama lainnya. Setiap makhluk hidup berada dalam suatu proses penyesuaian diri (adaptasi) dalam sistem kehidupan yang dipengaruhi oleh iklim, kawasan (geografis) dan lingkungan biota yang rumit (complex). Sistem inilah yang menjamin berlangsungnya kehidupan di bumi (survive).6

Berdasarkan uraian diatas, Penulis tertarik untuk membahas penerapan undang-undang pertambangan terhadap penambang liar dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul : PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN

Penegakan hukum terhadap para pelaku penambang liar sangat perlu diterapkan baik dalam undang-undang maupun putusan hakim. Dalam hal ini, pemberian hukuman bukan semata-mata untuk balas dendam tetapi untuk mewujudkan efek jera dan kesadaran hukum terhadap masyarakat.

5Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, hlm. 3.

6 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan, Bandung, Alumni, 1996, hlm. 2.

(16)

BATUBARA TERHADAP PELAKU PENAMBANG LIAR (Studi Putusan Nomor: 226/Pid.B/2014/PN-Mdl)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penambangan tanpa izin sebagai tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara?

2. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap pelaku penambang liar dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 226/ Pid.B/ 2014/ PN-Mdl?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui tindak pidana penambangan tanpa izin menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

b. Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap pelaku penambang liar dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 226/ Pid.B/

2014/ PN-Mdl.

2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Manfaat Teoritis

(17)

7

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan dan kaedah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana yang berkaitan dengan pertambangan tanpa izin serta pertanggung jawaban pidananya.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dari hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum agar mendapat pemahaman hukum secara praktis dan efisien tentang pertambangan tanpa izin serta dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana ini dan menyadarkan masyarakat agar ikut serta dalam usaha tersebut.

D. Keaslian Penulisan

“Penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Pelaku Penambang Liar (Studi Putusan Nomor : 226/ Pid.B/ 2014/ PN-Mdl)“ yang diangkat menjadi judu l skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maupun di Fakultas Hukum Universitas lain yang ada di Indonesia. Skripsi ini merupakan hasil karya dari penulis sendiri melalui pemikiran, referensi buku-buku, referensi internet dan bantuan dari pihak lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertambangan Mineral dan Batubara

Hukum pertambangan merupakan salah satu bidang kajian hukum yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertambangan.

(18)

Ada dua hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu bahan tambang mineral dan batubara. Apabila dikaji ketentuan atau pasal dalam undang-undang ini, tidak ditemukan pengertian hukum pertambangan, khususnya hukum pertambangan mineral dan batubara, maka perlu dikemukakan pengertian hukum pertambangan pada umumnya.

Istilah hukum pertambangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu mining law, bahasa Belanda disebut dengan mijnrecht, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut bergrecht. Joan kuyek mengemukakan pengertian hukum pertambangan. Mining Law is:

“have been set up to protect the interests of the mining industry and to minimize the conflicts between mining companies by giving clarity to who owns what rights to mine. They were never intended to control mining or its impact on land or people. We have to look to other laws to protect these interests”.7

Artinya: Hukum pertambangan merupakan seperangkat aturan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan yang berkaitan dengan industri pertambangan dan untuk meminimalkan konflik antara perusahaan tambang dan memberikan penjelasan yang bersifat umum kepada siapa saja yang mempunyai hak-hak untuk melakukan kegiatan pertambangan. Mereka tidak pernah bermaksud untuk mengendalikan kegiatan pertambangan atau dampaknya

7Joan Kuyek, Canadian Mining Law and the Impacts on Indigenous Peoples Lands and

(19)

9

terhadap tanah atau orang. Kita harus melihat hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan pertambangan.

Joseph F. Castrilli mengemukakan pengertian hukum pertambangan, yaitu:

“also may provide a basis for implementing some environmentally protective measures in relation to mining operations at the exploration, development, reclamation, and rehabilitation stages”.8

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dijelaskan bahwa:

Artinya: Hukum pertambangan sebagai dasar dalam pelaksanaan perlindungan lingkungan dalam kaitannya dengan kegiatan pertambangan, yang meliputi kegiatan eksplorasi, konstruksi, reklamasi dan rehabilitasi.

9

a. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.10

b. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.11

8Joseph F. Castrilli, Environmental Regulation of the Mining Industry In Canada: An Update of Legal and Regulatory Requirements, 1999, hlm. 45

9Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

10Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 2009

11Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 2009

(20)

c. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.12

d. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah.13 e. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di

dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.14

f. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.15

Setiap usaha pertambangan harus sesuai dengan hukum pertambangan.

Hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang).16

2. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan biji-biji dan mineral-mineral dalam tanah.

a. Pengertian Tindak Pidana

12Pasal 1 angka 3 UU No. 4 Tahun 2009

13 Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 2009

14Pasal 1 angka 5 UU No. 4 Tahun 2009

(21)

11

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda “strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Tindak pidana juga disebut delik atau perbuatan yang boleh dihukum, atau peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga pelaku dapat dikenakan hukuman. Pelaku ini dapat dikatakan sebagai

“subjek” tindak pidana.

Konsep tidak pidana telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum pidana.

Antara konsep yang satu dengan yang lain yang mereka kemukakan memiliki kesamaan substansi, tapi ada juga yang berbeda makna dan implikasi hukumnya.

Dalam menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan, konsep bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.17

Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.18

17Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Edisi Kedua, Jakarta, 2014, hlm. 84.

18Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm. 59.

Roeslan

(22)

Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.19

a. Unsur formal meliputi : b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.

2. Melanggar peraturan pidana, dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.

3. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.

4. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si

19

(23)

13

pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikendaki oleh undang- undang.

5. Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.

b. Unsur materil dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang- undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana.

Unsur ini meliputi :20

1. Perbuatan manusia, yaitu suatu perbuatan positif, atau suatu perbuatan negatif yang menyebabkan pelanggaran pidana. Perbuatan positif misalnya:

Mencuri (Pasal 362 KUHP), Penggelapan (Pasal 372 KUHP), Membunuh (Pasal 338 KUHP) dan sebagainya. Sedangkan contoh-contoh dari perbuatan yang negatif yaitu : tidak melaporkan kepada yang berwajib, sedangkan ia mengetahui ada komplotan untuk merobohkan negara (Pasal 165 KUHP), membiarkan orang dalam sengsara, sedangkan ia berkewajiban memberikan pemeliharaan kepadanya (Pasal 304 KUHP) dan sebagainya. Terkadang perbuatan positif dan negatif itu dirumuskan dengan tegas pada suatu pasal yang telah dikenal sebagai delik formil seperti Pasal 362 dan Pasal 372

20R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor, Politeia, 1978, hlm. 26.

(24)

KUHP, sedangkan kadang-kadang oleh suatu pasal hukum pidan dirumuskan hanya akibat dari suatu perbuatan saja yang diancam hukuman, sedangkan cara menimbulkan akibat itu tidak diuraikan lebih lanjut; delik seperti ini telah kita kenal sebagai delik materiil, misalnya Pasal 338 KUHP.

2. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum yang menurut norma hukum pidana itu perlu ada supaya dapat dihukum. Akibat ini ada yang timbul seketika bersamaan dengan perbuatannya, misalnya dalam pencurian, hilangnya barang timbul seketika dengan perbuatan mengambil, akan tetapi ada juga bahwa akibat itu timbulnya selang beberapa lama, kadang-kadang tempat dan waktu dari pada tempat dan waktu perbuatan itu dilakukan misalnya dalam hal pembunuhan, perbuatan menembak orang yang dibunuh misalnya telah dilakukan pada suatu tempat dan waktu yang tertentu, akan tetapi matinya (akibat) orang itu terjadi baru selang beberapa hari dan dilain tempat.

3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan, misalnya dalam Pasal 362 KUHP, keadaan : “bahwa barang yang dicuri itu kepunyaan orang lain”

adalah suatu keadaan yang terdapat pada waktu perbuatan “mengambil” itu dilakukan dan bisa juga keadaan itu timbul sesudah perbuatan itu dilakukan, misalnya dalam Pasal 345 KUHP, keadaan : “jika orang itu jadi bunuh diri”

adalah akibat yang terjadi sesudah penghasutan bunuh diri itu dilakukan.

4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum. Perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang. Pada beberapa norma

(25)

15

hukum pidana maka unsur “melawan hukum” (melawan hak) itu dituliskan tersendiri dengan tegas di dalam satu pasal, misalnya dalam Pasal 362 KUHP disebutkan : “memiliki barang itu dengan melawan hukum”. Sifat dapat dihukum artinya, bahwa perbuatan itu harus diancam dengan hukuman, oleh suatu norma pidana yang tertentu. Sifat dapat dihukum ini bisa hilang, jika perbuatan itu telah diancam hukuman dengan undang- undang tetapi telah dilakukan dalam keadaan-keadaan yang membebaskan misalnya dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

Kesengajaan terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan ketidaksengajaan terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP) dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP) dan lain-lain.

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan membuang anak sendiri ( Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri ( Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP) dan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

(26)

Sedangkan unsur-unsur Objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur tersebut meliputi :

1. Sifat melanggar hukum (wederrechttelijkheid);

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Perlu diingat bahwa unsur wederrechttelijkheid selalu harus dianggap disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk Undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.

3. Izin Usaha Pertambangan

Izin usaha pertambangan adalah pemberian izin untuk melakukan usaha pertambangan kepada orang pribadi atau badan yang diberikan oleh Pemerintah daerah. Prinsip pemberian IUP yang diatur di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 adalah satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis tambang, satu IUP diberikan untuk satu jenis mineral atau batubara dan pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis tambang. Penyimpangan terhadap prinsip tersebut dimungkinkan. Hal itu dapat terjadi apabila orang yang sudah diberikan IUP, pada waktu melakukan penambangan menemukan mineral lain di dalam WIUP yang

(27)

17

dikelolanya. Pemegang IUP yang bersangkutan dapat diberikan prioritas oleh pemerintah untuk dapat mengusahakannya.Apabila pemegang IUP bermaksud mengusahakan mineral lain yang ditemukan, maka prosesnya tidak secara serta merta, dimana yang bersangkutan dapat langsung mengusahakannya. Akan tetapi pemegang IUP wajib mengajukan IUP baru kepada pejabat yang berwenang (Menteri, Gubernur, dan Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannnya).

Dapat pula sebaliknya pemegang IUP menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. Meskipun pemegang IUP tersebut tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan, namun yang bersangkutan berkewajiban menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. Kewajiban tersebut secara hukum melekat kepada penemuannya karena sekaligus sebagai pengelola tambang di WIUP dan baru berakhir kewajibannya setelah habis masa IUP nya. Pada pelaksanaannya IUP dibagi dua tahap, yaitu :21

a. IUP Eksplorasi, meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan;

IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama dan kegiatannya meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis pertambangan mineral logam dan mineral bukan logam. Untuk jenis pertambangan mineral logam IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 tahun.

Sedangkan untuk IUP Eksplorasi pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 tahun.

21Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2012, hal. 23.

(28)

IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu antara lain seperti batu gamping untuk industri semen, intan dan batu mulia, dapat diberikan izin tersebut dalam jangka waktu paling lama 7 tahun. Kemudian IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan batuan dapat dibedakan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun.

Adapun IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 tahun. Selanjutnya, jika di dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi mendapatkan mineral atau batubara dari yang tergali, maka yang bersangkutan diwajibkan melaporkan hal tersebut kepada pihak pemberi IUP.

Hasil tambang yang didapatkan itu statusnya adalah dikuasai oleh negara. Jadi, apabila pemegang IUP Eksplorasi berkeinginan menjual mineral atau batubara tersebut, maka prosedurnya wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Sehubungan dengan keuntungan yang diperoleh dari penjualan hasil tambang yang tergali itu, maka pemegang izin sementara tersebut diwajibkan untuk membayar iuran produksi kepada negara yang secara tidak langsung merupakan pembagian keuntungan.

b. IUP Operasi Produksi, meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

IUP Operasi Produksi sebagai pemberian izin sesuai IUP Eksplorasi diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin undang-undang untuk memperoleh IUP Operasi Produksi karena sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, koperasi atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.

(29)

19

IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun. Sedangkan untuk pertambangan mineral bukan logam IUP Operasi Produksi dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

Kemudian IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu antara lain batu gamping untuk industri semen, intan dan batu mulia dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun. Sedangkan IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

Selanjutnya mengenai IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif yaitu merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum dan dapat berupa pendapat para sarjana.

2. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder, yaitu berupa :

1. Bahan hukum primer merupakan bahan yang sifatnya mengikat masalah- masalah yang akan diteliti. Contohnya adalah UUD 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Kitab

(30)

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU, peraturan pemerintah, pancasila, yurisprudensi dan lainnya.

2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan data yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum data primer. Contohnya adalah RUU, hasil penelitian, karya ilmiah dari para sarjana dan lain sebagainya.

3. Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan data yang memberikan informasi tentang hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus bahasa hukum, ensiklopedia, majalah, media massa dan internet.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan, seperti undang-undang, buku-buku, pendapat sarjana, majalah, internet dan lain sebagainya yang dapat melengkapi skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dan dikumpulkan, diuraikan kemudian diorganisir dalam satu pola, kategori dan uraian dasar. Analisis data dalam skripsi ini adalah analisis dengan cara kualitatif, yaitu menganalisa secara lengkap keseluruhan data sekunder yang diperoleh untuk dapat menjawab apa yang menjadi masalah dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

(31)

21

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini disusun sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini memberikan gambaran yang bersifat umum yang disajikan secara sistematis yang mana bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang menguraikan tentang pengertian pertambangan mineral dan batubara, tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana, dan izin usaha pertambangan. Kemudian pada bagian akhir dari bab ini berisikan metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Menguraikan tentang bagaimana penambangan tanpa izin sebagai tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang di dalam sub- babnya diuraikan tentang pengertian pertambangan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana dibidang pertambangan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, izin pertambangan mineral dan batubara yang menguraikan lagi tentang prosedur izin pertambangan mineral dan batubara dan jenis izin usaha pertambangan mineral dan batubara, dan sub-bab

(32)

terakhir dalam Bab II ini yang dibahas adalah pengaturan sanksi hukum terhadap pelaku yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin.

BAB III : Membahas tentang bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap pelaku penambang liar dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 226/ Pid. B/ 2014/ PN-Mdl

BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Sebagai bab terakhir ialah berupa kesimpulan dan saran.

(33)

23 BAB II

PENAMBANGAN TANPA IZIN SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

A. Pengertian Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pengertian pertambangan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah:22

Usaha pertambangan sendiri adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang”.

Selanjutnya, menurut UU No. 4 Tahun 2009, pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah. Sedangkan pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

23

Objek kajian hukum pertambangan tidak hanya mengatur hak penambang semata-mata, tetapi juga mengatur kewajiban penambang kepada negara, yaitu

22Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

23Aziz Syamsuddin. Tindak Pidana Khusus,Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm. 120.

(34)

mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang).

Kewenangan negara merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada negara untuk mengurus, mengatur dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kewenangan negara ini dilakukan oleh pemerintah. Penguasaan bahan galian tidak hanya menjadi monopoli pemerintah semata-mata, tetapi juga diberikan hak kepada orang dan/atau badan hukum untuk mengusahakan bahan galian sehingga hubungan hukum antara negara dengan orang atau badan hukum harus diatur sedemikian rupa agar mereka dapat mengusahakan bahan galian secara optimal.

B. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana Dibidang Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Tindak pidana adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan tertentu oleh undang-undang yang dinyatakan terlarang, yang karenanya dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bagi pelakunya.24

Tindak pidana pertambangan adalah perbuatan yang dilarang oleh peraturan yang dikenakan sanksi bagi pelaku perbuatan, guna perlindungan kegiatan dan usaha pertambangan mineral dan batubara.25

Dalam undang-undang pertambangan selain mengenal adanya tindak pidana Illegal Mining, juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya yang

24Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm.59.

25

(35)

25

ditujukan terhadap pelaku usaha pertambangan dan hanya satu macam tindak pidana yang ditujukan kepada pejabat pemberi izin dibidang pertambangan.

Adapun macam-macam tindak pidana dibidang pertambangan tersebut, yaitu :26

1. Tindak Pidana Melakukan Pertambangan Tanpa Izin

Sebagaimana telah diketahui diatas bahwa negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang melakukan kegiatan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin lebih dahulu dari negara/ pemerintah.

Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal 158 UU No.

4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

2. Tindak Pidana Menyampaikan Data Laporan Keterangan Palsu

Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dibutuhkan data-data atau keterangan-keterangan yang benar dibuat oleh pelaku usaha yang bersangkutan seperti data studi kelayakan, laporan kegiatan usahanya, dan laporan penjualan hasil tambang, agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.Perbuatan

26Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 248.

(36)

memberikan data atau laporan yang tidak benar sebenarnya sanksinya sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat. Oleh karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan dan sudah diatur secara khusus, terhadap pelakunya dapat dipidana berdasarkan Pasal 159 UU Pertambangan yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00.

3. Tindak Pidana Melakukan Eksplorasi Tanpa Hak

Pada dasarnya untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan wajib memiliki izin dan setiap izin yang dikeluarkan ada dua kegiatan yang harus dilakukan yaitu untuk eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Yang dimaksud eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup (Pasal 1 angka 15).

Oleh karena melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan didasarkan atas izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu IUP atau IUPK, maka eksplorasi yang dilakukan tanpa izin tersebut merupakan perbuatan pidana yang diancam hukuman berdasarkan Pasal 160 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00.

4. Tindak Pidana Sebagai Pemegang IUP Eksplorasi Tidak Melakukan Kegiatan Operasi Produksi

(37)

27

Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan pada prinsipnya melakukan penambangan dengan cara menggali tanah untuk mendapatkan hasil tambang kemudian dijual dan akan memperoleh keuntungan. Seperti diketahui di atas bahwa kegiatan usaha pertambanganterdiri atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Oleh karena terdapat dua tahap dalam melakukan usaha pertambangan maka pelaksanaanya harus sesuai dengan prosedur, melakukan kegiatan eksplorasi baru eksploitasi. Sehubungan dengan itu khusus bagi pemegang IUP eksplorasi setelah melakukan kegiatan eksplorasi tidak boleh melakukan operasi produksi sebelum memperoleh IUP Produksi. Pelanggarannya diancam dengan Pasal 160 Ayat 2 UU No. 4 Tahun 2009 yang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00.

Ketentuan tersebut digunakan pemerintah sebagai alat untuk mengontrol perusahaan pertambangan yang nakal, ketika melakukan kegiatan eksplorasi sesuai dengan izinnya langsung melakukan kegiatan operasi produksi padahal belum menjadi pemegang IUP Eksplorasi.

5. Tindak Pidana Pencucian Barang Tambang

Dalam kegiatan keuangan dan perbankan dikenal adanya pencucian uang atau money laundering, dimana uang yang berasal dari kejahatan “dicuci” melalui perusahaan jasa keuangan agar menjadi uang yang dianggap “bersih”. Di bidang pertambangan juga dapat terjadi pencucian hasil tambang, penambang-penambang gelap dapat berhubungan dengan para penambang yang memiliki izin untuk

(38)

mengadakan transaksi hasil tambangnya sehingga sampai kemasyarakat merupakan barang tambang yang sah. Tindak pidana pencucian barang tambang (mining loundering) dalam UU No.4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.

Untuk dapat membongkar kejahatan tersebut tentu tidak mudah karena pada umumnya penambangan dilakukan di daerah pedalaman yang biasanya jauh dari keramaian dan sepi petugas, sehingga dibutuhkan adanya pengawasan intensif dengan kerja sama antara aparat Kementrian Pertambangan, Pemerintah Daerah setempat dan Kepolisian.

6. Tindak Pidana Menghalangi Kegiatan Usaha Pertambangan

Pengusaha pertambangan yang telah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang dapat segera melakukan kegiatannya sesuai lokasi yang diberikan.

Dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan terkadang tidak dapat berjalan lancar karena adanya gangguan dari warga masyarakat setempat.Gangguan tersebut terjadi antara lain karena disebabkan jalan menjadi rusak akibat dilalui kendaraan-kendaraan berat, sungai dan sawah tertutup tanah galian, tanaman menjadi rusak, dan lain-lain.

Warga yang merasa dirugikan biasanya protes dengan menghalangi dengan berbagai cara agar penambangan tidak diteruskan. Terhadap perbuatan yang menggangu kegiatan usaha pertambangan tersebut merupakan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 162 UU No. 32 Tahun 2009, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00.

(39)

29

Akibat adanya gangguan dari masyarakat akan merepotkan pengusaha pertambangan karena proyeknya tidak dapat jalan, sebaiknya hal tersebut telah tergambar dalam analisis risiko sehingga pengusaha dapat menghindari akan timbulnya risiko yang akan terjadi. Misalnya jika jalan yang dilewati menuju proyek sebelum rusak berat segera diperbaiki tentu masyarakat akan senang.

7. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemberi Izin

Ketentuan pidana yang telah dibicarakan di atas lebih banyak ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh penerima/pemegang izin tambang. Selain itu UU Pertambangan juga mengatur tentang tindak pidana yang ditujukan kepada pejabat pemberi izin sebagaimana Pasal 165 yang berbunyi: “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00”.

Perbuatan penyalahgunaan kewenangan sifatnya luas tetapi terhadap pejabat penerbit izin tersebut dibatasi sepanjang perbuatan penerbitan IUP, IPR, atau IUPK saja. Tujuan diaturnya tindak pidana ini agar pejabat tersebut dapat bekerja dengan baik dan melayani kepentingan masyarakat dengan semestinya.

8. Tindak Pidana yang Pelakunya Badan Hukum

Badan hukum adalah sekelompok orang yang terkait suatu organisasi yang dipandang sebagai manusia pada umumnya. Suatu organisasi disebut badan hukum apabila akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah. Untuk perusahaan

(40)

yang berbentuk perseroan terbatas, pengesahan akta pendiriannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Ham dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia .

Dalam badan hukum kegiatannya dilakukan oleh pengurusnya. Oleh karena badan hukum dipandang sebagai manusia maka badan hukum dapat menjadi pelaku pidana dan yang bertanggung jawab adalah pengurusnya.

Dalam tindak pidana di bidang pertambangan badan hukum dapat sebagai pelaku pidananya sebagaimana diatur pada Pasal 163 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009.27

Sehubungan dengan itu dalam UU No. 4 Tahun 2009 pelaku usaha di bidang pertambangan dalam Pasal 38

Meskipun demikian dalam undang- undang tersebut tidak memberikan pengertian tentang badan hukum. Istilah badan hukum disinggung dalam pengertian badan usaha (Pasal 1 angka 23). Badan usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak dibidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

28 dan Pasal 6529

27Pasal 163 Ayat (1), berbunyi: “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan”.

28Pasal 38, berbunyi: “IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; c.

perseorangan”.

29Pasal 65 ayat (1), berbunyi: “badan usaha, koperasi, dan perseorangan dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57 dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial”.

Pasal 65 ayat (2), berbunyi: “ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif,

terdiri atas badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Kemudian dalam PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, badan usaha

(41)

31

dapat berupa badan usaha, swasta, BUMN, atau BUMD, sedangkan perorangan dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.30

30Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kegiatan Badan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Memperhatikan ketentuan badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009 tersebut hanya tertuju kepada badan usaha saja yaitu badan usaha swasta berupa perseroan terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), BUMN, dan BUMD. Oleh karena UU No. 4 Tahun 2009 sebagai lex spesialis maka perusahaan pertambangan yang berbentuk koperasi yang didirikan berdasarkan UU No.25 Tahun 1992 dan akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi, tampaknya tidak termasuk dalam pengertian badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009. Jika koperasi melakukan tindak pidana di bidang pertambangan yang dapat dituntut hanyalah orang perorangan yang ada dalam koperasi sedangkan koperasi sebagai badan hukum tidak dapat dituntut dan dihukumpidana.

Kekurangan yang ada dalam UU No. 4 Tahun 2009 adalah tidak mengatur tentang korporasi yang dapat sebagai pelaku pidana seperti dalam undang-undang yang lain yaitu UU Penerbangan, UU Perikanan dan UU Narkotika. Oleh karena korporasi pengertiannya mencakup sekumpulan orang baik yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum maka apabila hal itu diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 semua perusahaan yang didirikan minimal dua orang dapat menjadi pelaku tindak pidana dibidang perbankan apabila melanggar undang-undang yang bersangkutan.

(42)

Jika tindak pidana di bidang pertambangan dilakukan oleh suatu badan hukum, maka yang dapat dituntut ke pengadilan adalah badan hukumnya, namun hukuman yang dijatuhkan hakim selain pidana penjara, juga pidana denda terhadap pengurusnya. Di samping itu terhadap badan hukum tersebut dijatuhi hukuman berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

9. Pidana Tambahan

Dalam hukumpidana dikenal adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pelaku tindak pidana dibidang pertambangan di atas yang dijatuhi pidana penjara dan denda merupakan hukuman pokok.

Selain jenis hukuman tersebut terhadap pelakunya dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :31

1. Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana

2. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

3. Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

C. Izin Pertambangan Mineral dan Batubara 1. Jenis Izin Pertambangan Mineral dan Batubara

(43)

33

Izin melakukan pertambangan tidak hanya berlaku dengan undang-undang pertambangan saja tetapi juga dengan undang-undang lingkungan hidup. Dahulu, izin yang diperlukan semata-mata hanya berhubungan dengan bidang usahanya, perusahaan berstatus sebagai perusahaan yang resmi dan legal. Namun seiring berjalannya waktu sesuai perkembangan keadaan karena hampir semua usaha berhubungan dengan lingkungan hidup, maka sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) perusahaan wajib memiliki izin lingkungan.

Sesuai dengan makna Pasal 1 angka 35, bahwa:32

Pada UU-PPLH, izin lingkungan bukan birokrasi perizinan, tetapi merupakan instrument pengendalian dan pengawasan resiko lingkungan dari berbagai kegiatan. Izin lingkungan justru menghindarkan pengusaha dari ekonomi biaya tinggi karena cukup mengurus satu izin satu kali saja. Perusahaan tidak bisa

“main-main” dengan UU ini, karena pelanggaran izin lingkungan mengakibatkan sanksi administratif dan pidana. Sanksi administratif bisa berupa teguran tertulis, paksaan, hingga pembekuan, dan pencabutan izin lingkungan. Tanpa izin lingkungan tentu perusahaan tidak bisa menjalankan usahanya. Sedangkan sanksi pidana berupa penjara belasan tahun dan denda hingga puluhan miliar rupiah.

Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

33

32Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

33Menteri Negara Lingkungan Hidup, www.MenLH.go.id, diakses pada tanggal 10 Oktober 2017.

(44)

Setiap aktifitas yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup wajib memiliki izin lingkungan. Izin kelayakan lingkungan dan izin lokasi merupakan izin-izin yang harus dipenuhi sebelum izin usaha dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Izin kelayakan lingkungan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan hidup dan izin lokasi yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha atau kegiatan pengelolaan sumber daya alam.34

Salah satu aktifitas yang berhubungan erat dengan lingkungan adalah bidang pertambangan. Seperti diketahui, aktifitas pertambangan pasti menimbulkan perubahan fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan perizinan usaha pertambangan, terdapat kewajiban untuk menjaga fungsi lingkungan hidup oleh pemegang izin usaha pertambangan.35

Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dibidang pertambangan diwajibkan untuk melakukan hal-hal berikut ini. Pertama, memperhatikan tata ruang dan mematuhi KLHS. Kedua, memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang. Di samping kewajiban itu,

34

(45)

35

perusahaan pertambangan juga dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan.

Dengan izin lingkungan yang dimiliki digunakan sebagai dasar bagi perusahaan untuk pengurusan/penerbitan izin usaha perusahaan agar dapat menjalankan usahanya. Ketentuan izin lingkungan diatur dalam Pasal 36 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 yang menyebutkan, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.

Oleh karena izin lingkungan wajib dimiliki oleh setiap perusahaan, maka izin tersebut sifatnya umum dan mutlak.

Kewajiban tersebut dilatarbelakangi karena negara atau pemerintah berkeinginan agar setiap perusahaan untuk bersungguh-sungguh memperhatikan lingkungan hidup supaya dapat dicegah atau diminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah tetapi juga merupakan tanggungjawab masyarakat termasuk perusahaan.36

Pengaturan yang mewajibkan pengusaha wajib memiliki izin lingkungan karena pemerintah bermaksud serius untuk mengawasi lingkungan hidup dan ingin mewujudkan keadaan lingkungan hidup yang lebih baik dan lebih sehat ke masa depan. Izin lingkungan sebagai syarat utama yang wajib dimiliki perusahaan sebelum perusahaan memperoleh izin-izin lainnya yang diperlukan. Kedudukan izin lingkungan merupakan dasar untuk memperoleh izin usaha perusahaan.

Dalam Pasal 40 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan, bahwa izin

36Gatot Supramono, Op.Cit.,hlm. 19.

(46)

lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan.37

Selain itu, dalam mewujudkan tujuan dari pengelolaan mineral dan batubara, dapat dilakukan melalui instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan adalah izin lingkungan. Pasal 1 angka 35 dari Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 menetapkan, bahwa izin lingkungan adalah izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.38 Ketentuan lebih lanjut, ditetapkan dalam Pasal 36 UU No.32 Tahun 2009.39

Untuk memperoleh izin tersebut, usaha dibidang pertambangan diwajibkan memiliki izin lingkungan yang merupakan persyaratan memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dalam hal ini diwajibkan memiliki amdal atau UKL-UPL, yaitu:40

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;

2. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap

37Ibid.,hlm.20.

38Syamsul Arifin, Aspek Hukum Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup, Medan, Medan Area University Press, 2014, hlm.189-190.

39

(47)

37

lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;

3. Usaha dan/atau kegiatan adalah segala bentuk aktifitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup;

4. Dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

Selain izin lingkungan hidup, izin pengelolaan mineral dan batubara menurut undang-undang pertambangan adalah salah satu pokok utama untuk menjalankan usaha pertambangan. Kontrak atau izin pengelolaan mineral dan batubara di Indonesia saat ini beraneka ragam, karena masih berlakunya berbagai jenis kontrak atau izin yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kontrak atau izin pertambangan yang berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, meliputi :41

1. Kontrak Karya;

2. Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara;

3. Kuasa pertambangan;

4. Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Izin pertambangan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).42

41H. Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia, Bandung, Pustaka Reka Cipta, 2013, hlm. 255.

42Ibid.,hlm. 255.

(48)

1. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

Izin Pertambangan Rakyat (IPR) merupakan izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Luas wilayah pertambangan rakyat yang diberikan kepada penduduk setempat, yaitu minimal satu hektar dan maksimal sepuluh hektar. Jenis pertambangan rakyat, yaitu:

1. Pertambangan mineral logam;

2. Pertambangan mineral bukan logam;

3. Pertambangan batuan; dan/atau 4. Pertambangan batubara.

2. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Izin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Usaha pertambangan atau mining businessmerupakan:

“kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan (feasibility study), konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”.

IUP dikenal ada 2 (dua) macam yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi, yang penerbitannya dilakukan secara bertahap.

(49)

39

1. IUP Eksplorasi

IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama dan kegiatannya meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis pertambangan mineral logam dan mineral bukan logam.

2. IUP Operasi Produksi

IUP Operasi Produksi sebagai pemberian izin sesuai IUP Eksplorasi diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan izin usaha untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Pejabat yang berwenang menetapkan IUPK, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Yang dapat mengajukan permohonan IUPK, yaitu badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.43

1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan usaha yang berbadan hukum Indonesia itu, meliputi:

2. Badan Usaha Milik daerah (BUMD); atau 3. Badan Usaha Swasta (BUS).

BUMN dan BUMD mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Cara untuk mendapatkan IUPK yang diajukan oleh BUS, yaitu dengan cara lelang

43Ibid, hlm 33.

Referensi

Dokumen terkait

e) Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.. landasan yuridis perubahan paradigma sifat CSR dari voluntary menjadi mandator. Apalagi bagi perusahaan yang

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 35 TAHUN 2014

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya

Hal ini sama seperti yang diatur dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 yang menyatakan dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu dengan

Bank Negara Indonesia, Tbk Kantor Wilayah Jakarta Kota merupakan salah satu institusi keuangan yang dimiliki oleh Pemerintah (BUMN), dalam aktivitasnya juga harus tunduk

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

Dalam hal pengurusan Sertipikat Kepemilikan Hunian Rumah Susun peranan Para Tergugat masih sangat diperlukan, karena sertipikat tersebut masih tercatat atas nama PT

Skripsi dengan judul “PENDAFTARAN MEREK KOLEKTIF SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK