PENERAPAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGAMBIL KEUNTUNGAN DARI PERBUATAN CABUL DAN
MENJADIKAN SEBAGAI PENCAHARIAN (ANALISIS PUTUSAN PN N0.234/PID.SUS/2012/PN.BGL)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
RIRIS NOVTASYA.Y.S.
NIM: 150200574
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM
MEDAN 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, pertolongan dan penyertaan-Nya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Skripsi ini diberi judul PENERAPAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGAMBIL KEUNTUNGAN DARI PERBUATAN CABUL DAN MENJADIKAN SEBAGAI PENCAHARIAN (ANALISIS PUTUSAN PN NO.234/PID.SUS/2012/PN.BGL). Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembaca sekalian. Meskipun demikian, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini sehingga segala kritik dan saran akan sangat berguna bagi penulis.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah mendapat banyak doa dan bantuan, baik secara moril dan materil dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terkhusus untuk kedua orangtua penulis, Bapak, Rianto Sihombing. dan Mamak, Seprida Bertha Purba. Terimakasih atas semua doa, dukungan, bimbingan, dan kasih sayang yang begitu besar dan tidak dapat dinilai dengan apapun kepada penulis selama ini hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU;
2. Bapak Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU;
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU;
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;
5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;
6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;
7. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum., sebagai Pembimbing Akademik Fakultas Hukum USU;
8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, ilmu, dan saran bagi penulis dalam penulisan skripsi ini;
9. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, kritik dan saran bagi penulis dalam pengerjaan skripsi ini;
10.Seluruh dosen dan staf pada Fakultas Hukum USU yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis selama masa perkuliahan;
11.Untuk saudara penulis, Lydia Yecisa dan Jeremi Kristian. Terimakasih atas semua doa dan semangat kepada penulis selama ini. Semoga kita semua dapat sukses akan tujuan kita masing-masing dan menjadi anak-anak yang berguna;
12.Untuk teman-teman terbaik penulis sejak masa awal perkuliahan, Pray Getsema, Miyanti, Grace, Vanessa, Nesfi, Virgin, dan Maria. Terimakasih atas semuanya selama kurang lebih 4 tahun masa perkuliahan ini. Semoga kita semua sukses dalam tujuan masing-masing;
13.Untuk teman-teman dalam Komunitas Mahasiswa Kristen, terkhusus teman seangkatan 2015, Clara, Reyvani dan Ridayanti . Terimakasih telah menjadi teman bertukar pikiran, berdiskusi dan saling mendoakan. Khususnya kepada kak Vina dan kak Sesil yang menjadi PKK kami;
14.Untuk teman Oppo Campus Club, Youth Findsight, dan Miss Internet 2018 saya bersyukur menjadi bagian keluarga dari teman semoga kita cita dan impian kita bisa terwujud.
15.Untuk teman-teman yang berkerja di PWS dan Opin, walaupun kurang dari 1 (satu) bulan berkerja tetapi kalian selau mengsupport dalam pengerjaan skripsi harapannya depan, kita saling komunikasi dan tercapai tujuan dan harapannya.
16.Untuk teman-teman penulis dalam Grup G dan Grup A 2015 dan teman-teman penulis stambuk 2015 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih atas semuanya selama masa perkuliahan ini;
17.Untuk Pray Getsema Simanjutak, Kakak Sesil, dan Bang Herbet yang dengan sabar telah menemani penulis, khususnya selama penulisan skripsi ini.
Terimakasih atas semua doa dan dukungannya.
Akhir kata penulis ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi untuk semua pihak
yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kiranya skripsi ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan kita.
Medan, April 2019
Hormat Saya Penulis,
Riris Novtasya.Y.Sihombing NIM.150200574
ABSTRAK
Riris Novtasya.Y.Sihombing*
Syafruddin Kalo**
Rafiqoh Lubis***
Skripsi ini berbicara tentang putusan Pengadilan Negeri Nomor 234/Pid.SUS /2012/ PN.Bgl mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan prostitusi. Praktik prostitusi bertujuan sebagai pencaharian untuk mendapatkan uang dengan menjual jasa pelacuran. Perkembangan prostitusi sebagai pencaharian di Indonesia memiliki sejarah yang panjang bahkan sudah ada sejak zaman kerajaan Nusantara yang sekarang semakin menjamur dan mengalami perkembangan pesat. Perkembangan praktik prostitusi terjadi bukan hanya kerena permasalahaan ekonomi, tetapi sudah menjadi permasalahan yang lebih kompleks, multidimensi dan multiproblem, sehingga perlu pengaturan hukum pidana yang berkaitan dengan praktik prostitusi.
Adapun permasalahaan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan hukum pidana yang berkaitan dengan prostitusi di Indonesia dan bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap orang yang mengambil keuntungan dari perbuatan cabul dan menjadikan sebagai pencaharian dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 234/Pid.SUS /2012/ PN.Bgl. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahaan skripsi ini.
Prostitusi di Indonesia banyak dijadikan alternatif mata pencarian oleh pihak-pihak yang terlibat praktik prostitusi, seperti pekerja seks komersial dan mucikari. Oleh karena itu, diatur dalam hukum pidana mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan prostitusi di Indonesia dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Dari kasus putusan Pengadilan Negeri Nomor 234/Pid.SUS /2012/ PN.Bgl penerapan ketentuan pidana Pasal 506 KUHP untuk menjerat orang yang mengambil keuntungan dan menjadikan perbuatan cabul sebagai pencahariannya serta unsur-unsur di dalam Pasal KUHP dan peraturan perundang-undangan yang tepat untuk menjerat mucikari.
*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAKSI ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan... 6
D.Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 7
1. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 7
2. Prostitusi, Bentuk, dan Pihak Yang Terlibat dalam Prostitusi ... 13
3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan ... 21 G. Metode Penelitian ... 25
H. Sistematika Penulisan ... 28
BAB II PENGATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PROSTITUSI DI INDONESIA
A. Pengaturan Prostitusi Menurut KUHP ... 30
B. Pengaturan Yang Berkaitan Dengan Prostitusi
Diluar KUHP... ... 42 1.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang... ... 42 2.Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Perlindungan Anak ... 51 3.Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Pornografi ... 57 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 63 BAB III PENERAPAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP ORANG
YANG MENGAMBIL KEUNTUNGAN DARI PERBUATAN CABUL DAN MENJADIKAN SEBAGAI PENCAHARIAN (PUTUSAN PN. NO.234/PID.SUS/2012/PN.BGL)
A. Penerapan Pasal 506 KUHP terhadap Orang Mengambil Keuntungan dari Perbuatan Cabul dan Menjadikan Sebagai Pencaharian (Putusan PN
NO.234/Pid.SUS/2012/PN.Bgl) ... 68
Kasus a. kronologi
b. Dakwaan Penuntut Umum c.Tuntutan Penuntut Umum d. Fakta Hukum
e. Pertimbangan Hakim f. Putusan
B.Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 234 /Pid.sus
/2012/PN.Bgl...78
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan masyarakat diikuti oleh perkembangan teknologi dan infomasi yang selalu mengalami perubahan dan pembaharuan dari zaman ke zaman. Perubahan dinamis ini, diimbangi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, gaya hidup modern, perkembangan budaya, bahkan pola berfikir modern. Perkembangan pola berfikir dan ilmu pengetahuan yang pesat turut mempengaruhi perkembangan kesusilaan. Jika dahulu orang menggangap tabu membahas ilmu pengetahuan seks, tetapi pada saat ini telah dibahas dan menjadi mata pelajaran khusus yang disebut ilmu seksiologi. Begitu halnya, dalam dunia prostitusi jika dahulu PSK (pekerja seks komersial) menjual jasa pelacuran sembunyi-sembunyi sekarang telah terang-terangan ditempat hiburan, dipinggir jalan bahkan secara online melalui webside tinggal memilih macam tarif PSK, tarif kamar hotel, identitas PSK seperti nama, nomor yang bisa dihubung dan foto, dapat diakses siapa saja dengan mudah. Pelaku prostitusi sudah tidak segan dan takut lagi memperlihatkan pekerjaan tabu sebagai pelaku prostitusi.
Kementrian sosial (Kemensos) menyatakan Indonesia merupakan negara dengan jumlah lokalisasi paling banyak di dunia. Bahkan, total ada 40 ribu pekerja seks komersial menghuni lokalisasi. Direktur rehabilitasi Tuna Sosial dan korban perdagangan orang Kemensos, Sonny Manalu mengatakan sejak tahun
2013 telah berdiri 168 lokalisasi di 24 provinsi dan 76 kabupaten/kota. Data tersebut dihimpun dari dinas sosial seluruh provinsi dan berbagai sumber.1
Di Indonesia praktik prostitusi sendiri sudah sangat panjang. Jika ditarik ke belakang, bahkan sudah ada sajak jaman kerajaan Nusantara. Prostitusi sudah ada sejak zaman raja-raja Jawa. Pada masa kerajaan, raja sebagai seorang yang memiliki kekuasaan mutlak yang keputusan-keputusannya tidak dapat ditolak oleh siapapun, termasuk saat dia ingin mempersunting seorang istri diluar permaisuri atau selir, inilah yang disebut sebgai praktik pergundikan adat raja-raja Jawa, yang kemudian menyebar ke masyarakat luas. Praktik pergundikan itu terus ada hingga zaman kolonial. Tentara Belanda dengan seenaknya menjadikan wanita pribumi sebagai gundik. Sementara itu, para tuan tanah dan cukong yang menjadi antek Belanda juga meniru apa yang dilakukan juragannya. Dalam perkembangannya menurut keterangan Hoigard dkk 20082, perluasan perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pembukaan jalan Daendels 1808 dan jalur kereta api (Trem uap) yang menghubungkan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bnadung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya tahun 1884 telah melahirkan tempat prostitusi di Jawa, salah satunya adalah lokalisasi Dolly.3
1Alfi Rahmadhani, “Jumlah PSK Di Indonesia capai 56 ribu”, https://m.cnnindonesia.com/
nasional/20180419112100-20-291933/kemensos-40-ribu-psk-menghuni-lolalisasi-indonesia, diakses pada tanggal 09 febuari 2019, pukul 09.14 WIB.
2Darsono wisadirana dan lukman hakim, Perlawanan Sosial Masyarakat Lokalisasi Atas Kebijakan Pemerintah, (Malang: Intelegensia Media, 2015), hal 2.
3Prostitusi Dolly didirikan pertama kali oleh seorang noni Belanda yang bernama Dolly Van Der Mart. Awalnya Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks.
Wanita-wanita tersebut disediakan untuk melayani dan memuaskan syahwat tentara Belanda.
Seiring berjalannya waktu ternyata Dolly mampu menarik perhatian tentara Belanda untuk datang kembali. Tidak hanya disitu ternyata bisnis maksiat yang dirintis Dolly ini mampu menarik tidak hanya tentara kolonial tetapi juga para tuan tanah dan pedagang yang datang ke surabaya. Dalam perkembangannya pelaku seks di prostitusi ini terbagi dalam tiga kelas. Kelas atas terdiri dari orang belanda dan eropa, kelas menengah terdiri dari orang cina dan jepang, sedangkan kelas
Zaman sekarang prostitusi semakin berkembang dan menjamur di Indonesia, seperti saat Polda Kalimantan Barat menggelar Operasi Pekat Kapuas 2018, total ada 1.011 kasus yang paling banyak diungkap adalah prostitusi dengan jumlah 269 kasus. Dengan rincian total kasus 1.011 adalah narkoba 65 kasus, senjata tajam 25 kasus, prostitusi 269 kasus, premanisme 241 kasus, perjudian 77 kasus, miras 194 kasus, petasan 127 kasus, perkelahian 8 kasus, perdagangan orang 5 kasus. Dari data diatas kasus yang paling banyak terjadi adalah prostitusi, ini menunjukkan dari kejahatan lain bahwa perkembangan prostitusi sangat meresahkan masyarakat, khususnya generasi muda.
Generasi muda nyatanya adalah target utama para mucikari untuk dijadikan sebagai PSK, hal ini karena, dimasa sekarang sulitnya ekonomi dan persaingan pekerjaan yang tinggi khususnya generasi muda yang harus mempersiapkan diri sebagai angkatan kerja yang kompetitif dan produktif yang harus siap bersaing memperebutkan lapangan pekerjaan sementara kebutuhan dan gaya hidup semakin kompleks, menyebabkan generasi muda, khususnya wanita mudah tergoda berkerja sebagai PSK sebagai alternatif mendapatkan uang banyak secara mudah dan cepat untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup. Seperti dikota-kota besar, DKI Jakarta, Bandung, Bekasi, Medan, Makasar, dan daerah lainnya aktivitas ekonomi penyakit susila semakin tidak terkendali.Contoh berbagai kasus prostitusi adalah berikut :
Di Bogor telah terjadi tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi anak di bawah umur sebanyak 99 anak menjadi korban prostitusi pedofil yang bawah terdiri dari orang melayu atau jawa. Lokalisasi ini terus berkembang dan semakin pesat.
Pendek kata dapat disimpulkan bahwa lokalisasi Dolly adalah warisan kolonial Belanda. Lihat:
Ibid.
banyak ditawarkan pada kaum homoseksual. Pada saat penggerebekan, terdapat enam (6) orang anak laki-laki dibawah umur dan seorang anak laki-laki 18 tahun. Dengan bayaran/ tarif yang disepakati Rp 1,2 juta. Pelaku akan dijerat pasal berlapis, yakni Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Perdagangan Orang, dan Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.4
Selain itu, juga ada kasus jual beli remaja wanita melalui sosial media.
Polisi telah mengamankan dua mucikari Firna Putri Anggraini (23) dan Putri Handini (28) di Hotel D'arcici. Dari pengakuan mucikari bahwa keduanya mengaku sering menjual belikan sejumlah remaja melalui medias sosial. Mereka pun dikenai tarif Rp600 ribu untuk short time. Atas perbuatannya dua pelaku terancam melanggar Pasal 45 Jo Pasal 27 ayat (1) UU RI No.11 tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 506 KUHP.5
Merujuk pada Dasar Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) adalah pancasila, yang salah satu didalamnya memuat sila pertama pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka seharusnya tidak ada kompromi untuk membasmi segala praktik prostitusi.
Ditinjau dari segi hukum sendiri, prostitusi dipandang sebagai perbuatan bertentangan dengan kaidah hukum pidana, yaitu yang bersifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid) Sehingga, Kegiatan yang berkaitan
4 Imam Hamdi dan Jobpie Sugiharto, “Sindikat Pelacuran Anak Jalanan Blok M Digulung”, https://metro.tempo.co/read/1128767/perdagangan-anak-berkedok-terapis-pijat-begini-pelaku- merekrut-korban, diakses pada 09 febuari 2019, pukul 12.00 WIB.
5Yan Yusuf, “Jual Remaja di Medsos, sepasang Mucikari Diciduk Polisi”,
https://metro.sindonews.com/read/1364798/170/jual-remaja-di-medsos-sepasang-mucikari- diciduk-polisi-1545391762, diakses pada 09 febuari 2019, pukul 12.00 WIB.
dengan prostitusi diatur dalam dan di luar KUHP, yaitu peraturan perundang- undangan.
Walaupun prostitusi sebagai tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan bahwa realita kehidupan di Indonesia tidak bisa terlepas dari semakin maraknya prostitusi. Bahkan praktek prostitusi sudah mempunyai peran masing-masing yang mempunyai tugas dalam menjalankan praktek illegal prostitusi untuk mendapatkan keuntungan uang dari PSK dan PSK juga mendapatkan uang dari tempat prostitusi.
Berdasarkan uraian di atas mengenai tindak pidana prostitusi serta bagaimana pengaturan hukum tentang pihak yang terlibat dan berkatitan dengan prostitusi yang semakin marak berkembang, tidak hanya karena permasalah ekonomi, tetapi telah menjadi pemasalahan sudah begitu kompleks, multidimensi, dan multiproblem. Maka, diangkat skripsi dengan judul “PENERAPAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGAMBIL KEUNTUNGAN DARI PERBUATAN CABUL DAN MENJADIKAN
SEBAGAI PENCAHARIAN (PUTUSAN PN
NO.234/PID.SUS/2012/PN.BGL)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang terssebut di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah:
1. Bagaimana pengaturan hukum pidana yang berkaitan dengan prostitusi di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap orang yang mengambil keuntungan dari perbuatan cabul dan menjadikan sebagai pencaharian dalam putusan No.234/Pid.sus/2012/PN.Bgl?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana yang berkaitan dengan prostitusi di Indonesia dalam KUHP maupun di luar KUHP.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum serta pertimbangan hakim terhadap tindak pidana prostitusi serta ketentuan pidana terhdap para pihak yang mengambil keuntungan dari perbuatan cabul dan menjadikan sebagai pencaharian dalam putusan No.234/Pid.sus/2012/PN.Bgl
Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis :
a. Skripsi ini diharapkan memberikan kegunaan untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum pidana
b. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian atau penulisan lain yang sesuai dengan bidang penelitian atau penulisan dalam penulisan skripsi ini.
2. Manfaat Praktis:
a. Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan di bidang hukum khususnya hukum pidana.
b. Diharapkan dapat dijadikan masukan kepada para penegak hukum khususnya dalam tindak pidana prostitusi.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana.Penulis dalam membuat dan memilih judul skripsi ini berdasarkan penelitian penulis sendiri.”Penerapan Ketentuan Pidana terhadap Orang yang Mengambil Keuntungan dari Perbuatan Cabul dan Menjadikan sebagai Pencaharian” yang diangkat menjadi judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti secara administratif dan judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dari penulis dan ditulis sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka.Skripsi ini juga didasarkan pada referensi dari buku- buku dan informasi dari media elektronik seperti dari internet. Semua ini merupakan implikasi ciri dan proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga pengangkatan judul di atas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
F. TinjauanKepustakaan
1.Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit. Secara literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar”
artinya dapat atau boleh dan “feit” artinya perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata
hukum. Padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht , seolah- olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak sama halnya. 6
Dalam KUHPid tidak diberikan definisi terhadap istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Karenanya, para penulis hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dan istilah tersebut.7 Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundak- undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, (diganti dengan UU No. 19/2002), UU No.
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU No.31 Tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R.
Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, Mr. Drs. H.J. Van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H. dalam buku beliau Hukum Pidana.
6Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada,2002), hal.67.
7Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta : .PT.Raja grafindo Persada,2012), hal 57.
Pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah pidana, yaitu dalam undang-undang dasar sementara 1950 (Pasal 14 ayat 1) 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan
untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.
Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs.E.
Utrecht, S.H., walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumapi dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang- undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3)
7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr.Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana. 8
Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit (Belanda).
8Adami Chazawi, Op.Cit., hal.68.
Dari istilah strafbaar feit yang sering disebut sebagai tindak pidana, dimana juga diuraikan definisi tindak pidana menurut beberapa Ahli :
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Tindak Pidana berarti suatu perbuatsn yang pelakunya dapat dikenakkan hukuman pidana.9
b. Menurut D. Simons
Tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana “yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab eene strafbaar gestelde “onrechtmatige, metschuld in verband staaande hendeling van een toerekeningsvatbaar person.”).10
c. Menurut G.A. Van Hamel
Sebagaimana yang diterjemahkan olet Moeljatno, “strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.11
Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang definisi tindak pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannyabahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dari sudaut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang
9Ibid., hal 75.
10Frans Maramis, Op.cit., hal.58.
11Ibid.
berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak boleh dimasukkan ke dalam definisi perbuatan pidana, melainkan merupakan bagian dari unsur lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.12 Sebagaimana telah dijelaskan tentang definisi tindak pidana maka tidak terlepas dari Unsur- unsur yang ada dalam tindak pidana adalah dengan menganalisa isi bunyi rumusan yang dibuatnya.
Beberapa pendapat ahli dan undang-undang tentang unsur-unsur tindak pidana :
1. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah : i. Perbuatan
ii. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
iii. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum, berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatn itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataanya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
2. Dari rumusan R.Tresna di muka, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni :
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
12Ibid.
c. Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana.
3. Menurut bunyi batasan yang dibuat vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Kelakuan manusia;
b. Diancam dengan pidana;
c. Dalam peraturan perundang-undangan.
4. Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat) d. Dipertanggungjawabkan.
5. Sementara itu Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Kelakuan (orang yang);
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c.Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang e. Dipersalahkan/kesalahan.
6. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana,yaitu :
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dspat dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. 13 2.Prostitusi, Bentuk, dan Pihak yang Terlibat dalam Prostitusi
Secara etimologi prostitusi berasal dari kata prostutio yang berarti hal menempatkan dihadapkan, hal menawarkan. Adapula orang menghubungkan dengan kata prostare yang berarti menjual, menjajakan.dan perkataan itu diartikan
13Adami Chazawi, Op.Cit., hal 78-81.
dalam perpustakaan Yunani, Romawi untuk wanita-wanita yang menjual tubuhnya. Setelah kita menelaah dari segi etimologis, maka ada baiknya kita memahaminya dari segi historis, yaitu bagaimana sikap orang dari abad ke abad ditiap negara. Solon raja Yunani (630-560 SM) memberi batasan tentang prostitusi adalah penyerahan diri kepada banyak macam orang dengan memperoleh balas jasa untuk pemuas seksuil orang itu. Pengertian ini berhubungan erat dengan batasan yang diberikan para pembuat undang-undang Romawi kuno, yang mengatakan : palam, passim, etadne delectu oum pecumis accepta (individu yang sering atau secara rahasia melayani pemuas seksuil individu-individu tanpa pilih-pilih untuk mencari nafkah).14
Dalam perkembangan prostitusi, para ahli juga mengemukakan berbagai definisi prostitusi, sebagai berikut :
a. Menurut Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar
Pelacuran adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lelaki dengan imbalan bayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas napsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar pernikahan.15
b. Menurut Dr.warouw
Prostitusi adalah mempergunskan badan sendiri sebagai alat pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai keuntungan.16
c. Menurut Mr.W.A.Bonger
14B. Simandjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial (Bandung: Penerbit Alumni.1981), hal.22.
15Darsono wisadirana dan lukman hakim, Op.Cit., hal.14.
16B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Alumni. 1981), hal.25.
Pelacuran adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksuil sebagai mata pencaharian. Unsur essensil dalam pelacuran adalah motif ekonomis,tanpa motif ini bukan pelacuran.17
d. Menurut Kartono
Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola implus atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuita) , disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal.18
Dari definisi di atas dapat ditarik essensi dari perbuatan, melacur sebagai berikut:
A. Unsur ekonomis yang berupa pembayaran sabagai tegen prestasi.
B. Unsur “umum” yang berupa partner yang tidak bersifat selektip.
Dengan kata lain siapa saja diterima asal diberi uang.
C. Unsur kontinu yang dilakukan beberapa kali. 19
Setelah mengerti pengertian atau batasan pelacuran, maka dapat mengetahui juga tentang bentuk sprostitusi, sebagaimana sudut pandang para ahli sebagai berikut:
1. Secara klasik maka Hirschfeld membagi:
a. Pelacuran yang ada unsur keagamaan.
b. Pelacuran yang hospitable (berkali-kali)
c. Pelacuran profesional yang dengan terang-terangan dan dengan rahasia.20
17Ibid.
18Darsono wisadirana dan lukman hakim, Op.Cit., hal.15.
19B. Simandjuntak, Op.Cit., hal.26.
2. Berdasarkan cara menjajakan diri : a. Pelacur yang berkeliaran di jalanan.
b. Pelacur yang bertempat tinggal tetap.21 3. Berdasarkan jenis kelain:
a. Pelacur pria.
b. pelacur wanita.22 4. Berdasarkan objek seksuil:
a. Pelacur hetero seksuil.
b. Pelacur homo seksuil.
c. Pelacur transvestite.23
Sedangkan menurut Bonger dapat dibagi :
a. Pelacur-pelacur yang terdaftar (filles soumises inscrites, offentliche prostituierte) yang secara priodik memeriksa diri pada dokter.
b. Pelacur yang tidak terdaftar (illegal).Pelacur yang terdaftar makin lama makin berkurang dan jenis inilah pada akhirnya satu-satunya jenis pelacur. Hal ini disebabkan karena campur tangannya hukum pidana dan perbaikan kedudukan wanita dalam masyarakat. Dengan berkurangnya jenis pelacur ini jangan diartikan pelacuran
c. berkurang, hanya caranya yang berubah. Pelacuran biasanya mulai secara cladestien dan bersifar enteng. Tetapi karena razia polisi mereka
20Ibid., hal. 26.
21Ibid.
22Ibid.,hal.28.
23Ibid.
harus memilih mendaftarkan diri, sehingga jadilah mereka pelacur resmi.24
Menurut Kartini Kartono ada beberapa orang yang termasuk kategori pelacuran atau prostitusi yaitu :
a. Penggundikan yaitu pemeliharaan istri tidak resmi, istri gelap atau perempuan piaraan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan.
b. Tante girang yaitu wanita yang sudah menikah, namun tetap melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain, untuk mengisi waktu kosong dan bersenang-senang dan mendapatkan pengalaman- pengalaman seks lain.
c. Gadis-gadis bar yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan- pelayan bar dan sekaligus bersedia memberikan layanan seks kepada para pengunjung.
d. Gadis-gadis bebas yaitu gadis-gadis yang masih sekolah atau putus sekolah, putus studi akademik atau fakultas, yang mempunyai pendirian yang tidak baik dan menyebarluaskan kebebasan seks untuk mendapatkan kepuasan seksual.
e. Gadis-gadis panggilan adalah gadis-gadis dan wanita-wanita yang biasa menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai pelacur, melalui penyaluran tertentu.
24Ibid., hal.29.
f. Gadis-gadis taxi, yaitu gadis-gadis panggilan yang ditawar-tawarkan dan dibawa ketempat-tempat hiburan dengan taxi-taxi tersebut.
g. Hostes atau pramuria yaitu wanita-wanita yang menyamarkan kehidupan malam dalam nightclub. Yang pada intinya profesi hostess merupakan bentuk pelacuran halus.
h. Promisikuitas inilah hubungan seks secara bebas dengan pria manapun juga atau dilakukan dengan banyak laki-laki.25
Dari tinjauan berdasarkan kategori prostitusi di atas, maka prostitusi yang terjadi di kalangan putih abu-abu ini termasuk kategori gadis-gadis bebas. Alasan prostitusi ini termasuk prostitusi gadis-gadis bebas adalah dimana para wanita atau gadis-gadis ini masih berstatus duduk di bangku sekolah menengah atas,dimana mereka akan melakukan seks dengan para pria manapun yang mereka kehendaki untuk memuaskan nafsu para lelaki hidung belang yang bisanya sudah beristri. Mereka melakukan seks dengan para pria manapun yang mereka kehendaki untuk memuaskan nafsu para lelaki hidung belang yang bisanya sudah beristri.
Mudahnya praktik prostitusi dalam mencari keuntungan memikat pihak- pihak tertentu untuk memanfaatkan PSK sebagai ladang pencaharian. Berikut beberapa pelaku dalam praktik prostitusi :
1. Mucikari
25IR Ningrum, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Remaja menjadi Pekerja Seks .Komersial di Salatiga”, https://www.google.com /search?q= faktor-faktor+ yang+
mempengaruhi+remaja+menjadi+pekerja+seks+komersial+di+salatiga+oleh+ir+ningrum&oq=fakt or-faktor +yang+ mempengaruhi+ remaja+menjadi+ pekerja+ seks+komersial+ di+salatiga+
oleh+ir+ ningrum&aqs=chrome.. 69i57.34410j1j4 &client=ms-android-
samsung&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8, diakses pada 09 febuari 2019, pukul 13.00 WIB.
Dalam menjalankan aktifitas prostitusi, tiap pelaku memiliki peran masing-masing. Seorang mucikari dalam mencari PSK mereka akan saling memberikan informasi pada rekan seprofesinya. Seorang mucikari akan membawahi beberapa daerah yang sudah menjadi bagian untuk daerah kekuasaannya untuk mencari PSK dan setiap mucikari juga menanamkan orang kepercayaannya untuk mencari PSK.26
Menurut R.soesilo di bukunya Kitab undang-undang hukum pidana, Mucikari (souteneur) adalah makelar cabul, artinya seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia, yang dalam pelacuran menolong, mencarikan pelanggan, dari hasil mana ia mendapat bahagiannya.27
Mucikari merupakan penanggung jawab dan pengelola seluruh aktifitas bisnis prostitusi hingga pada kerjasama tingkat keamanan yaitu para oknum aparat, singkatnya mereka merupakan koordinator keamanan yang harus mengamankan aktifitas bisnis prostitusi dari gangguan aparat penegak hukum setempat. Para mucikari inilah yang selalu bertugas ”menyuplai” para oknum kepolisian sehingga aktifitas bisnis prostitusi dapat terus berlangsung.
Dalam bisnis prostitusi seorang PSK akan mematuhi apa yang diperintahkan mucikarinya. PSK hanyalah sebagai pekerja yang melayani tamu, tetapi disisi lain PSK juga bisa menjadi mucikari yang juga melakukan tugas
26 Wahyu Adi Prasetyo,” Jaringan Sosial Prostitusi Peran dan Fungsi Mucikari Di Lokalisasi Sanggrahan Tretes”, http://journal.unair.ac.id/AUN@jaringan-sosial-prostitusi-peran-dan-fungsi- mucikari-di-lokalisasi-sanggrahan-tretes-article-6858-media-134-category-8.html, diakses pada 09 febuari 2019, pukul 13.00 WIB.
27R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasa,l (Bogor: politeia.1995), hal.327.
seperti mucikari yaitu memberikan informasi tentang perempuan yang mau bekerja di lokalisasi Sanggrahan Tretes. Dalam hal ini Sistem kerja yang kompleks sebagai fakta sosial dalam pelacuran yang terorganisir, dalam rangka memberikan pelayanan kepada para pelanggan dan kemampuan mencari para perempuan.28
2. Pekerja Seks Komersial (PSK)
Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Sedangkan, di Indonesia pelacur dikenal dengan istilah wanita tuna susila yang disingkat WTS atau Pekerja Seks Komersial (PSK). Pelacur adalah orang yang menjajakan dirinya untuk suatu tujuan, baik untuk tujuan materi atau demi kepuasan nafsu. Selain pelacur, istilah lain yang digunakan untuk menyebut para pekerja seks komersial itu adalah sundal, yang berarti perempuan jalang, liar, nakal, dan pelanggar nora susila. Selain itu istilah yang lain dari kata pelacur adalah lonte yang semakna dengan sundal. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuanya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri.
Pelacur atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komesial (PSK).29
28 Wahyu Adi Prasetyo., Op.Cit.
29Nasrullah khumearah, Patologi Sosial Pekerja Seks Komersial(PSK) Dalam Perspektif Al- Qur’an, Jurnal Al-Khitabah, Vol. III, No. 1, Juni 2017, http://dx.doi.org /10.21143
/jhp.vol45.no2.5, diakses pada 09 febuari 2019, pukul 14.00 WIB.
3. Pengguna Jasa PSK
Dari semua pihak yang telah disebutkan, pihak pengguna inilah yang menjadi titik bagaimana bisa transaksi prostitusi ini bisa terjadi. Walaupun tentu pihak lain itu juga memberikan dorongan sehingga terjadinya praktek prostitusi ini.
Pengguna jasa merupakan gabungan dari dua kata yaitu pengguna dan jasa. Pengguna adalah orang yang menggunakan sesuatu, sedangkan jasa atau layanan adalah aktivitas ekonomi yang melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-barang milik, tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan.
3. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kabijakan hukum pidana” dapat disebut istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”.30
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal, yang tentu akan membahas pengertian
“politik” itu sendiri. Menurut Utrecht, politik adalah suatu jalan (kemungkinana) untuk memberi wujud sungguh-sungguh kepada cita-cita.31
30Barda Nawawi Arief, Bunga Rampah Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. 1996), hal.27.
31E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Penerbit dan Balai Buku Ichtiar.1962) hal.127.
Hans Kelsen membedakan politik dalam 2 (dua) pengertian, yaitu “politik”
sebagai “etika” dan “politik” sebagai “teknik”.
1.Politik sebagai “etika”, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang harus diperjuangkan.
2.Politik sebagai “tehnik” berarti politik memilih dan menentukan jalan- jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasikan tujuan-tujuan sosial.32
Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.33
b. Kebijakan di negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.34
Bertolak dari pengertian Prof.Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau mengatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.”35
32Ibid.
33Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni. 1981), hal.159.
34Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
35Ibid., hal. 27-28.
Usaha atau kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.36
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan (PPK) termasuk bidang “Kebijakan Kriminal” (criminal policy).
Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas , yaitu
“kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya- upaya untuk kesejahteraan sosial” (social-welfare policy) dan “kebijakan / upaya- upaya untuk melindungi masyarakat” (social-defence policy”). Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana”
(“penal policy”) , khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikasi (penegakan hukum pidana in concreto “ harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social-defence”37
36Ibid., hal.29.
37Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Bandung : Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. 2001), hal.73.
Dari skema diatas, Barda Nawawi Arief mengemukakan hal-hal pokok sebagai berikut :
a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan (PPK) harus menunjang tujuan (“goal”), “social welfare” (SW) dan “social defence”
(SD).Aspek “social welfare”(SW) dan “social defence” (SD) yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifar immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.
b. Dilakukan dengan “pendekatan integral” ada keseimbangan sarana penal dan non-penal. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana non-penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/
kelemahan, yaitu bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural- fungsional; simptomatik/tidak kausatif/ tidak eliminatif; individualistik atau “offender-oriented/tidak victim-oriented” lebih bersifat represif/tidak preventif, harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi.
c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan (PPK) dengan sarana
“penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:
1) Formulasi (kebijakan legislatif);
2) Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) 3) Eksekutif (kebijakan eksekutif/administratif
Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahaan dan penanggulangan kejahatan (PPK) bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif) bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan (PPK) melalui “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penggulangan kejahatan (PPK) pada tahap aplikasi dan eksekusi.38
G.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.39
38Ibid., hal 74-75.
39 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 1986), hal.10.
Sehingga dalam penelitian hukum normatif ini mencakup terhadap beberapa hal yaitu :
a. Penelitian terhadap azas –azas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf singkronisasi hukum;
d. Penelitian sejarah hukum;40 2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder atau yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan Perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP), Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang- Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang No.
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan keseluruhan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli
40Ibid., hal.12.
hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang dimuatkan dalam artikel dan referensi
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.41
3. Teknik pengumpulan data
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan digunakan metode penelitian hukum normative yakni dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Reseach).
Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan dalam bidang hukum atau rujukan bidang hukum.42
Metode library research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan- bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana ekonomi dan hukum yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran dan majalah.43
41 Burhan Bungin, analisis data dan penelitian kualitatif;pemahaman filosofis dan metodologis ke arah model aplikasi ,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003), hlm. 68-69.
42Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1983), hal.24.
43Bambang Sunggono, Metode penelitian hukum, (Jakarta:PT.Raja Grafindo,1997), hal 41.
4. Analisis data
Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan di bahas. Analisis data dilakukan dengan:
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang di teliti.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.
c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin.
d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, Pasal atau doktrin yang ada.
e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan dedukatif sehingga akan dapat merangkum dari jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun44 Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secra kualitatif untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.
H.Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berangkaian satu dengan lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I merupakan bab yang berisikan pendahuluan skripsi yang berisikan latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusanmasalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan
44 Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research, (Pengantar Metodologi Ilmiah) (Bandung:Tarsito,1982), hal.131.
sistematika penulisan. Pada bab ini akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya.
BAB II merupakan bab yang membahas tentang pengaturan hukum pidana tentang prostitusi yang diatur dalam KUHP yang diatur diluar KUHP dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, undang-undang perlindungan anak, undang-undang pornografi, dan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Penulis dalam bab ini juga akan membahas bagaimana isi sanksi pidana yang diberlakukan terhadaptindak pidana berkaitan dengan prostitusi di dalam KUHP dan diluar KUHP.
BAB III merupakan bab yang membahas tentang analisa kasus terhadap putusan hakim dalam perkara pidana pengadilan negeri no.234/Pid.sus/2012/PN.Bgl yang dihubungankan dengan penerapan Pasal 506 baik dengan memperhatikan kronologis kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana, pertibangan hakim, putusan. Hal-hal tersebut diaas akan dianalisis oleh penulis untuk mendapatkan data yang valid mengenai putusan yang tepat dalam perkara ini.
BAB IV merupakan bab akhir berisikan kesimpulan dan saran-saran tentang prostitusi di Indonesia dengan berbagai pengaturan hukum Pidana terhadap para pihak terlibat prostitusi khususnya, terhadap orang dengan perbuatan mengambil keuntungan dari perbuatan cabul dan menjadikan sebagai pencaharian,dimana kesimpulan dan saran-saran itu melihat dari uraian yang ada pada bab-bab sebelumnya.
BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA YANG BERKAITTAN DENGAN PROSTITUSI DI INDONESIA.
A. Pengaturan Prostitusi Menurut KUHP
Permasalahan mengenai pelacur pada dasarnya merupakan masalah masyarakat, sebab kegiatan pelacuran merupakan gejala masyarakat, dimana wanita menjual diri kepada banyak orang untuk melakukan perbuatan seks dan mendapatkan upah dari kegiatan prostitusi tersebut.
Bahaya prostitusi dalam segala aspek kehidupan manusia sudah dalam tahap sangat membahayakan, walaupun hal ini telah disadari, tetapi suatu fakta bahwa prostitusi tetap bertahan ada di sekitar kita. Hal ini dikarenakan keinsyafan batin masyarakat tertidur, sehingga prostitusi berkembang secara intensip. anyak anggota masyarakat baik dari kelas rendah menengah maupun dari golongan atas kurang menyadari bahwa prostitusi adalah dosa besar. Untuk mengakomondasi perkembangan prostitusi yang menjamur dan kurangnya keinsyafan batin masyarakat maka Indonesia sebagai negara yang menyanjung memberantas demoralisasi, hukum positif Indonesia memuat dan mengatur terhadap perbuatan yang berkaitan dengan prostitusi, salah satunya kaitan undang-undang hukum pidana (KUHP).
Secara umum, pengaturan perbuatan yang berkaitan dengan prostitusi di dalam KUHP harus dipahami secara menyeluruh dengan perbuatan yang
bersinggungan atau berkaitan dengan prostitusi seperti, kesusilaan dan kesopanan.
Tentang tindak pidana kesopanan, KUHP hanya mampunyai dua titel, yaitu:
Titel XIV Buku II tentang kejahatan-kejahatan Melanggar Kesopanan
Titel VI Buku III tentang Pelanggaran-Pelanggaran tentang Kesopanan
Setiap titel itu memuat dua macam tindak pidana, yaitu:
Ke-1 : tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid);
Ke-2 : tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan.
Kejahatan-kejahatan yang masuk ke golongan ke-1 adalah yang dalam Pasal-Pasal 281-299 KUHP, dan yang masuk golongan ke-2 adalah yang termuat dalam Pasal-Pasal 300-303 KUHP.
Pelanggaran-pelanggaran yang masuk golongan ke-1 adalah yang termuat dalam Pasal-Pasal 532-535 KUHP, dan yang masuk golongan ke-2 adalah yang termuat dalam Pasal-Pasal 535-547 KUHP.45
Pengaturan dalam KUHP tentang delik-delik kesusilaan tidak menjerat perbuatan PSK maupun pengguna, melainkan hanya menjerat kepada pemilik rumah bordil, mucikari dan makelar atau calo dari perbuatan pelacuran.
Ditinjau dari segi hukum prostitusi sebagai perbuatan termasuk bertentangan dengan kaidah hukum pidana. Pengaturan di dalam KUHP yang berkaitan dengan prostitusi, yaitu:
45 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: PT rafika aditama, 2003), hal.111.
Pasal 281 KUHP memuat tentang pelarangan prostitusi di tempat umum, karena melanggar kesopanan di muka umum. Prostitusi-prostitusi yang biasa beroprasi ditaman-taman, dipinggir jalan atau di muka umum yang dilarang. Pasal 281 KUHP mengatur:
”Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
1. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan ; 2. Barang siapa dengan sengaja di depan orang lain yang ada di situ
bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”
Unsur-unsur:
Pasal 281 (1) KUHP Objektif:
- Merusak kesusilaan - Dihadapan umum Subyektif:
- Dengan sengaja46 Pasal 281 (2) KUHP Objektif :
- Merusak kesusilaan
- Dimuka orang lain yang hadir Subyektif:
- Dengan sengaja
46 H.A.K Moch.Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 2, ( Bandung:
Penerbit Alumni,1981), hal. 212.
Kesopanan dalam Pasal ini diartikan sebagai kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu seksual misalnya bersetubuh, meraba-raba kemaluan wanita atau pria, dan lain-lain. Kemudian ditentukan juga bahwa perbuatan merusak kesopanan haruslah memenuhi dua hal, yaitu pertama, perbuatan merusak kesopanan ini dilakukan di tempat umum, artinya perbuatan itu sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, gedung bioskop, dan lain-lain. Kedua, perbuatan merusak kesopanan sengaja dilakukan di muka orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum (seorang sudah cukup), asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu.47 Menurut simons, perbuatan merusak adalah setiap perbuatan yang tergolong dalam kehidupan seksuil yang dilakukan di muka umum untuk menimbulkan atau memaskan nafsu birahi, perbuatan mana menyinggung perasaan hati orang-orang lain dan menimbulkan perasaan malu pada orang-orang lain.48
Jadi Selain pelarangan mengadakan bordil atau tempat pelacuran, juga mengadakan pelarangan prostitusi di tempat umum (Pasal 281 KUHP kesopanan di muka umum) sedangkan prostitusi yang bukan ditempat umum (rumah sendiri) tidak digubris di Pasal-Pasal KUHP. Di hadapan umum adalah apa yang telah terjadi di tempat umum atau apa yang telah terjadi dapat terlihat dari tempat
47 Arya Mahardhika Pradana, “Tinjauan Kukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan
Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak Yang Terlibat Dalam Prosititusi”, Jurnal hukum dan pembangunan, Vol.2, Juni 2015, http://journal.unair.ac.id/AUN@jaringan-sosial-prostitusi-peran- dan-fungsi-mucikari-di-lokalisasi-sanggrahan-tretes-article-6858-media-134-category-8.html, diakses pada tanggal 10 Febuari 2019 pukul 15.00
48 H.A.K Moch.Anwar., Loc.Cit.
umum49. Dengan kata lain bahwa prostitusi-prostitusi yang biasa beroprasi ditaman-taman, dipinggir jalan atau di muka umum yang dilarang.
Pada ayat (2) Pasal 281 KUHP dikatakan “dengan sengaja dan di depan orang lain yang adadi situ bertentangan dengan kehendaknya” berarti orang yang hadir di situ tidak menghendaki adanya tontonan semacam itu. Misalnya, dalam suatu pertemuan, tanpa dikehendaki hadirin, tiba-tiba seseorang melakukan tari tengah telanjang. Namun, jika orang yang hadir di tempat tersebut tahu dan memang menghendaki mau menontoh tari eksotik, misalnya di Bangkok masuk ke tempat live show , yang memang berkehendak menonton dan membayar untuk itu. Dalam hal ini penyelanggara yang bertanggung jawab.50
Selain Pasal di atas juga terdapat Pasal 295 KUHP berkaidan dengan prostitusi, yang mengatur:
(1) Diancam:
1e.Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum dewasa yang diserahkan kepadanya, supaya peliharanya, didikannya atau dijaganya atau bujangnya yang dibawah umum atau orang yang dibawahnya dengan orang lain.
2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.
(2) kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijalankan sebagai pencahariannya atau kebiasaannya, maka hukuman itu dapat ditambah dengan sepertiganya.
Unsur-unsur
Pasal 295 (1) ke-1e KUHP
49 Ibid.
50 Andi Hamzah, Delik-delik tertentu (speciale delicten) di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal.180.
Objektif:
- menyebabkan atau memudahkan - anaknya
- anak tirinya - anak piarannya
- anak dibawah pengawasannya - semua anak dibawah umur
- yang diserahkan kepadanya untuk : -dipeliharanya
-di didiknya -di jaganya
- bujangnya atau orang bawahannya - keduanya dibawah umur
-sehingga semua orang tersebut itu melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
Subjektif :
- dengan sengaja.51
Kejahatan dalam ayat pertama mirip dengan ejahatan tersebut dalam Pasal 294 ayat 1 KUHP. Perbedaannya terletak dalam perbuatan yang dilarang :
- Pada Pasal 294 (1) KUHP : pelaku melakukan perbuatan cabul - Pada Pasal 295 (1) KUHP: pelaku menyebabkan atau memudahkan
untuk melakukan perbuatan cabul dengan orang lain.
51H.A.K Moch.Anwar, Op.Cit.,hal. 241
Pada Pasal 294 (1), pelaku melakukan sendiri perbuatan cabul, sedangkan pada Pasal 295 (1) ke 1e orang lain (pihak ketiga) yang malakukan perbuatan cabul. Menyebabkan atau memudahkan untuk melakukan perbuatan cabul adalah memberikan kesempatan bagi orang lain (pihak ketiga) untuk melakukan perbuatan cabul dengan orang lain tertentu yang belum dewasa.52
Unsur-unsur Pasal 295 (1) ke-2e KUHP Objektif:
- Menyebabkan atau memudahkan
- Melakukan perbuatan cabul dengan orang lain - Dalam hal diluat yang disebut pada ke-1e - Dengan orang dibawah umur
Subyektif :
- Diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa - Ia dibawah umur
- Dengan sengaja.53
Pada ke-2e objek dari pada kejahatan ini bukan lagi orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan tertentu dengan pelaku.
Pasal 295 (3) KUHP
Ayat ketiga ini memuat ketentuan tentang pemberatan atas hukuman yang diancamkan terhadap kejahatan tersebut dalam ayat 1 dan 2 apabila dilakukan:
- Sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.54
52 Ibid., hal. 242.
53 Ibid.
54Ibid.
Yang dilindungi dalam Pasal ini ialah anak di bawah umur dari pelacuran.
Selain itu juga untuk perlindungan anak di bawah umur dari perbuatan cabul, hal ini merupakan kecendrungan dunia.55
Pasal 296 KUHP membahas masalah asusila yang mengarah ke praktik prostitusi, yang subjeknya adalah mereka yang menyediakan sarana tempat persetubuhan.56 Pasal 296 KUHP mengatur :
”Barangsiapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau mempermudahkan perbuatan cabul dengan yang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dan denda sebanyak- banyaknya Rp.15.000,- .”
Unsur-unsur : Objektif :
- Yang pekerjaannya atau kebiasaannya - Mengadakan atau memudahkan - Perbuatan cabul, dengan orang lsin Subyektif:
- Dengan sengaja.57
Yang dapat dikenakan Pasal ini, misalnya orang menyediakan rumah atau kamar (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan atau laki- laki untuk pelacur (bersetubuh atau melepaskan nafsu kelaminnya dengan jalan
55 Andi Hamzah, Op.Cit., hal.180.
56 Mahmud Mulyadi,dkk, “Tindak Pidana Terkait Asusila Berdasarkan Hukum Pidana(KUHP) di Indonesia dan Syariat Islam di Aceh”, USU law journal. vol 4 No.2, maret 2016,
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/law/article/view/13557, diakses pada tanggal 10 Febuari 2019 pukul 15.00 WIB.
57 H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit., hal.243.