BAB II
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG
A. Sanksi Pidana
1. Pengertian Sanksi Pidana
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.47
Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu
menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam
bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat
memahami arti dan hakekatnya.48
Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada
pembuat delik itu”.
49
Subekti dan Tjitrosoedibio mengemukakan dalam bukunya kamus
hukum, “pidana” adalah “hukuman”.
50
Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
51
47
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta,1987), hal. 17.
48
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 23.
49
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 9.
50
Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:52
a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Apabila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat
beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah
“pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman
adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan
vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.
Pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum
pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan
pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.53
Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf”
merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju
dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu
“pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika
“straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum
51
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992), hal. 2.
53
hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum
pidana maupun hukum perdata.54
Satochid Kartanegara berpendapat bahwa “hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana”.55
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana
terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau
bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer
menyatakan bahwa :
1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.56
54
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op cit. Hal. 1.
55
Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : 1954-1955), hal. 275-276.
56
Dari beberapa pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi
adalah menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang
karena suatu perbuatan yang dilakukannya.
2. Jenis-jenis Sanksi Pidana
Undang-undang membedakan 2 macam pidana yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan, terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh
dijatuhkan satu pidana pokok yang berarti kumulasi lebih dari satu pidana
pokok tidak diperkenankan dalam beberapa hal kumulasi antara pidana pokok
dan tambahan.57
Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok
yang terdiri dari :58
1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.
Pidana tambahan terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu dan 3. Pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah
dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat
KUHP dibentuk. KUHP mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu
57
R soesilo., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, tt), hal. 30
58
kejahatan atau pelanggaran hanya dijatuhkan satu pidana pokok. Kumulasi juga
dapat diterapkan namun umumnya antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Secara umum Pidana mati adalah pidana yang paling berat, karena
pidana ini dalam pelaksanaannya sangat berat berupa penyerahan terhadap hak
hidup bagi manusia yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan,
manusia tidak ada wewenang untuk menghilangkan nyawa seseorang meskipun
seseorang tersebut telah melanggar ketentuanketentuan yang berlaku atau
hukum yang berlaku yang tercantum dalam Undang-undang maupun peraturan
hukum lainnya.
Menurut Pasal 11 KUH Pidana, pidana mati dijalankan dengan cara
menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, namun
setelah adanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1969 tentang pelaksanaan
Pidana Mati yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak
mati terpidana.
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang kehilangan kemerdekaan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa pidana penjara pada orang dewasa ini merupakan
bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Batas dari
pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu, pidana penjara
selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas
(pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun), seperti
yang tercantum pada pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) KUH Pidana.
Sedangkan pengertian pidana kurungan adalah sama dengan pidana
penjara yaitu sama berupa pidana yang hilang kemerdekaannya, tapi disini
pidana kurungan lebih ringan sifatnya dari pada pidana penjara, dan pidana
penjara merupakan delikyang tidak menyangkut kejahatankesusilaan dan
beberapa kesengajaan. Melihat jangka waktu kurungan yaitu kurungan paling
sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, seperti yang tercantum di dalam
Pasal 18 ayat (1) KUH Pidana.
Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang pada dasarnya dapat
dijatuhkan bagi orang-orang dewasa. Pidana denda ini diancamkan sebagai
pidana alternatif dari pidana kurungan terhadap hampir semua pelanggar yang
tercantum dalam buku III KUHP terhadap semua kejahatan ringan. Pidana
denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana penjara, demikian pula
terhadap kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja.59
Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang
diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan
yang merugikan orang lain. Perbedaan pidana denda dengan perkara perdata
adalah pidana denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat dan perkara
perdata dibayarkan kepada orang pribadi atau badan hukum. Pidana denda
59
dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar.
Jumlah pidana denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian
yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata.
Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi
secara perdata kepada korban.60
3. Tujuan Pemidanaan
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji dalam bukunya Perkembangan
Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana mengemukakan
bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :61
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).
60
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasido, 2008), hal.143.
61
Romli Atmasasmita dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana
dan Kriminologi menyatakan bahwa Penjatuhan pidana kepada pelaku
kejahatan mempunyai sandaran pembenaran yaitu:62
1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam sikorban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.
2. Penjatuhan pidana dimaksdkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya, bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungn dari orang lain secara tidak wajar maka akan menerima ganjarannya.
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan.
Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul Teori
dan Kebijakan Pidana mengemukakan bahwa:63
Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Muladi juga berpendapat bahwa pidana (punisment) selalu mengundang
unsur-unsur sebagai berikut:64
a. Pada hakekatnya merupakan suatu pengertian penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
62
Romil Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 83-84.
63
Muladi dan Barda Nawawi, opcit., hal. 11.
64
b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuatan (oleh yang berwenang).
c. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Andi Hamzah dan Siti Rahayu berpendapat bahwa “tujuan pemidanaan dalam teori prevensi adalah agar kejahatan yang pernah terjadi tidak diulangi lagi. Menurut teori prevensi khusus, tujuan pemidanaan adalah memperbaiki narapidana dan agar tidak melakukan tindak pidana lagi di kemudian hari. Sedangkan menurut teori prevensi umum, tujuan pemidanaan adalah agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana serupa atau tindak pidana lainnya di kemudian hari”.65
Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan
individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu
pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga
keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan
di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana adalah untuk mencegah agar
ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang
dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya,
melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.
B. Ruang Lingkup Perdagangan Orang 1. Sekilas Tentang Perdagangan Orang
Pasal 1 ayat (1) Undang Undang nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan bahwa “
65
Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
terekspolitasi”.66
Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun
2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Traficking) Perempuan dan Anak,
menyatakan bahwa: “Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan
yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur
perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan
menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan
kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan
atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”.67
Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan
Anak menyatakan bahwa “trafiking perempuan dan anak adalah segala tindakan
66
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
67
pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan,
pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan,
pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat
tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan
verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi
kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi,
ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima
pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk
tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran
legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan,
pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat
terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi
lainnya.”68
Selanjutnya Protokol Palermo tertuang di dalam Pasal (3) yang
menyatakan :69
68
Lihat Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak,
“Perdagangan orang yang dilakukan oleh orang lain, berarti
perekrutan, pengiriman kesuatu tempat, pemindahan, penampungan atau
penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan lain,
69
penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk
mendapat keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi.70
B. Ketentuan Pidana Terhadap Pelaku Perdagangan Orang
Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang ini memberikan sanksi pidana yang cukup berat
terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan
terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2
yang mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku
perdagangan manusia baik secara melawan hukum maupun memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan
untuk mengeksploitasi. Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan tersebut berbunyi :
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).71
70
Eksploitasi setidaknya mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui perbudakan, melalui, praktek- praktek serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya .
71
Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi unsur-unsur
tindak pidana sebagai berikut:
a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.
b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat.
c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.
d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. e. Di Wilayah Negara Republik Indonesia.
f. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b, kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang ini.
Dalam pasal ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi
orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak
harus menimbulkan akibat.72
Eksploitasi yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah
“tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban, tidak terbatas pada pelacuran,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau
secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau
72
jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh
pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”73
Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, juga memberikan pengaturan pidana terhadap
orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk
dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia maupun di Negara
lain. Orang yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara
minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp.120.000.000,-
(seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah). Secara lengkap bunyi Pasal 3 adalah:
“Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”74
Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, memberikan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
a. Memasukkan orang.
b. Ke wilayah negara Republik Indonesia. c. Dengan maksud untuk dieksploitasi. d. Di wilayah negara Republik Indonesia.
73
Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
74
e. atau dieksploitasi di negara lain.
Unsur-unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku
perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat
tujuan perdagangan manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e
digunakan apabila pelaku menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai
tempat transit atau persinggahan sebelum pelaku membawa korban perdagangan
manusia ke Negara lain sebagai tempat tujuan. Sanksi pidana lain yang
termaktub dalam UU ini antara lain adalah pasal 4.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini memberikan pidana kepada setiap
orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik
Indonesia. Bunyi Pasal 4 secara lengkap adalah:
“Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).75
Pasal 4 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, memberikan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
a. membawa warga negara Indonesia.
75
b. ke luar wilayah negara Republik Indonesia. c. dengan maksud untuk dieksploitasi.
d. di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Unsur-unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku
perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai sumber
perdagangan manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang memberikan larangan kepada
setiap orang untuk melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu
atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi. Bunyi Pasal 5
secara lengkap adalah:
“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).76
Pasal 5 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, memberikan Unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
a. melakukan pengangkatan anak. b. dengan menjanjikan sesuatu. c. atau memberikan sesuatu.
76
d. dengan maksud untuk dieksploitasi.
Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk
mengeksploitasi anak tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007
tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang juga memberikan
larangan untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri
dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Bunyi
Pasal 6 secara lengkap, yaitu:
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).77
Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang memberi unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
a. melakukan pengiriman anak. b. ke dalam atau ke luar negeri. c. dengan cara apa pun.
d. mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
77
Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri
(antar daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi.
Lebih lanjut Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang mengatur tentang sanksi
pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha menggerakkan
orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun tindak
pidana itu tidak terjadi. Pasal 9 secara lengkap berbunyi:
“Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).78
Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, memberi unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
a. berusaha.
b. menggerakkan orang lain.
c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang. d. tindak pidana itu tidak terjadi.
Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak
pidana perdagangan manusia. Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang
78
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tidak menjelaskan yang
dimaksud dengan “menggerakkan orang lain” tersebut.
Dalam Pasal 10, 11 dan 12 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007
tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang juga menyebutkan
bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan, merencanakan
atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang, menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan
korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi,
atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang
dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana perdagangan
manusia. Secara lengkapnya Pasal 10, 11, dan 12 berbunyi:79
“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” (Pasal 10)
“Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” ( Pasal 11)
“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan
79
korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”(Pasal 12)
Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain
yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya tindak
pidana memberi keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan
dokumen Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
“Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).80
Pasal 19 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, memberkan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
a. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu. b. Atau memalsukan.
c. Dokumen negara atau dokumen lain.
d. Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini
meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu
keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah, sedangkan “dokumen lain” meliputi
80
tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan
tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.81
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan
tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan
orang yang berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti
palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.
“Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).82
Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang memberikan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
a. memberikan kesaksian palsu.
b. menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu. c. atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum. d. di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud Pasal ini adalah kesaksian palsu, menyampaikan alat
bukti palsu atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan
hukum di sidang pengadilan perdagangan manusia. Kata “setiap orang” dalam
81
Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 19.
82
Pasal 20, dapat berarti “orang perseorangan” maupun “korporasi”, sehingga
dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang dapat dikenai pertanggungjawaban
pidana atau subyek tindak pidana Perdagangan Manusia berdasarkan Pasal 20
Undang-Undang ini adalah orang perseorangan maupun korporasi.
Lebih lanjut Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 23 memberi
pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
perdagangan orang yang memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau
harta kekayaan lainnya kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku,
menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang
dari proses peradilan pidana dengan:
a. Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;
b. Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. Menyembunyikan pelaku; atau
d. Menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).83
Pasal 23 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang memberikan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
83
a. Membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang. b. Dari proses peradilan pidana.
c. Dengan cara:
1) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku.
2) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku. 3) Menyembunyikan pelaku.
4) menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
Pasal 23 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang membantu