• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PEMILIK SATUAN APARTEMEN ATAS TANAH BERSAMA YANG DIJADIKAN SEBAGAI

JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NOMOR:

089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh Martha Angelica

120200462

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skirpsi ini diberi judul “Analisis Putusan Hukum Terhadap Pemilik Satuan Apartemen Atas Tanah Bersama Yang Dijadikan Jaminan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)”

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menemui banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, dan doa, kendala- kendala yang ada dapat diatasi. Oleh karena itu, dengan diselesaikannya skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara ; 2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(3)

6. Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasihat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, M.H selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasihat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Kepada keluarga, Orang tua penulis B. P. Hutabarat, SH dan Yulfida Ramsyi serta Kakak penulis Putri Febrina Uli dan Adik-adik penulis Bryan Joseph Putra Hutabarat dan Marleen Josephine yang selalu mendoakan dan mendukung untuk menyelesaikan skripsi ini;

11. Kepada Teman dekat saya Kristian Simanjuntak. Teman-teman saya dari awal perkuliahan Selvina Tarigan, Stevani Sembiring, Chelsya Stepanie Simanjuntak, Florence Permenta Manik. Teman-teman Ruko KKN. Teman- teman Grup D stambuk 2012 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan semua Abang-abangan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Demikian yang penulis sampaikan. Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini,

(4)

semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu hukum. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Oktober 2016 Hormat Penulis

Martha Angelica 120200462

(5)

ABSTRAK Martha Angelica*)

Hasim Purba**) Zulkifli Sembiring***)

Hak tanggungan merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lain.

Jaminan kebendaan yang dibebankan hak tanggungan tidak jarang menimbulkan permasalahan sampai diajukan pada pengadilan. PT Mitra Prima Sejahtera (developer) menjaminkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang diatasnya telah berdiri bangunan Puri Garden Apartemen kepada Bank Muamalat, lalu terjadilah kredit macet dan pemilik apartemen tidak mendapatkan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. Di dalam skripsi ini permasalahan yang dibahas adalah hak eksekusi kreditor atas jaminan jika perusahaan pengembang (developer) tidak melunasi hutang, perlindungan hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan hutang dalam keadaan kredit macet, dan penyelesaian hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan hutang dalam keadaan kredit macet.

Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Penelitian secara normatif adalah suatu proses untuk menentukan suatu aturan hukum, asas-asas hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kreditor tidak dapat mengeksekusi jaminan tersebut dikarenakan telah diadakan kesepakatan perdamaian antara Bank Muamalat (kreditor) dengan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Perlindungan hukum kepada pemilik apartemen yang diberikan melalui implementasi peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian hukum yang diambil adalah menggunakan jalur hukum melalui pengadilan. Pemilik apartemen seharusnya lebih memperhatikan sertipikat-sertipikat yang berkaitan dengan apartemen sebelum membeli apartemen, serta masyarakat seharusnya lebih berhati-hati dalam membeli property.

Kata Kunci: Jaminan kredit macet.

________________________

*)Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**)Dosen Fakultas Hukum USU, Pembimbing I

***)Dosen Fakultas Hukum USU, Pembimbing II

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Abstrak...iv

Daftar Isi...v

BAB I PENDAHULUAN... .1

A. Latar Belakang...1

B. Permasalahan...5

C. Tujuan Penulisan...6

D. Manfaat Penulisan...6

E. Keaslian Penulisaan...7

F. Metode Penulisan...7

G. Sistematika Penulisan...10

BAB II LANDASAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KEPEMILIKAN APARTEMEN...12

A. Perjanjian Kepemilikan Apartemen Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun...12

B. Hukum Jaminan Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata...17

C. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...32

BAB III PUTUSAN HUKUM PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NO.089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR TENTANG APARTEMEN YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET...39

(7)

A. Duduk Perkara Yang Diterjadi Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat

No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan

Kredit Macet...39

B. Deskripsi Mengenai Gugatan Yang Dikemukakan Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet...44

C. Putusan Yang Dikabulkan Oleh Pengadilan Jakarta Barat Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet...46

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PEMILIK SATUAN APARTEMEN ATAS TANAH BERSAMA YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NOMOR: 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)...59

A. Hak eksekusi kreditor atas jaminan jika perusahaan pengembang (developer) tidak melunasi utang...59

B. Perlindungan hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet...64

C. Penyelesaian hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet...75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...77

A. Kesimpulan...77

B. Saran...78 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Abstrak...iv

Daftar Isi...v

BAB I PENDAHULUAN... .1

A. Latar Belakang...1

B. Permasalahan...5

C. Tujuan Penulisan...6

D. Manfaat Penulisan...6

E. Keaslian Penulisaan...7

F. Metode Penulisan...7

G. Sistematika Penulisan...10

BAB II LANDASAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KEPEMILIKAN APARTEMEN...12

A. Perjanjian Kepemilikan Apartemen Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun...12

B. Hukum Jaminan Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata...17

C. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...32

BAB III PUTUSAN HUKUM PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NO.089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR TENTANG APARTEMEN YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET...39

A. Duduk Perkara Yang Diterjadi Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat

(9)

No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan

Kredit Macet...39

B. Deskripsi Mengenai Gugatan Yang Dikemukakan Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet...44

C. Putusan Yang Dikabulkan Oleh Pengadilan Jakarta Barat Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet...46

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PEMILIK SATUAN APARTEMEN ATAS TANAH BERSAMA YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NOMOR: 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)...59

A. Hak eksekusi kreditor atas jaminan jika perusahaan pengembang (developer) tidak melunasi utang...59

B. Perlindungan hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet...64

C. Penyelesaian hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet...75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...77

D. Kesimpulan...77

E. Saran...78 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, dimana kebutuhan pokok manusia terdiri dari papan, sandang, dan pangan. Papan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling utama, yaitu kebutuhan manusia untuk tempat tinggalnya. Untuk memenuhi kebutuhan papan ini maka dibutuhkanlah tanah sebagai media terwujudnya kebutuhan papan. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting peranannya bagi manusia, baik itu untuk mencari mata pencaharian di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal. Tanah juga merupakan salah satu modal pokok dalam pembangunan untuk terbentuknya masyarakat adil dan makmur.1 Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu diharapkan dapat tercapai fungsi bumi, air dan kekayaan alam sebagaimana yang dimaksudkan diatas, serta juga memenuhi kebutuhan rakyat dan negara sesuai dengan kepentingan masing-masing.

1 G. Kartasapoertro, Masalah Pertanahan di Indonesia, Cetakan Ke-2. (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal.63.

(11)

Meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan pelaksanaan pembangunan akan meningkat juga dan kebutuhan akan tanah pun ikut semakin meningkat.2 Dengan meningkatnya pembangunan yang memerlukan tanah, maka perlu dilakukanlah pengadaan atas tanah secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.Perkembangan yang terdapat di kota besar mengakibatkan persediaan tanah di kota semakin sempit sehingga masyarakat tidak memiliki tanah yang memadai untuk membangun perumahan atau permukiman, maka pemerintah khususnya di kota-kota besar, misalnya Jakarta mendirikan perumahan yang bersifat vertikal atau bersusun.3 Dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir, dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Oleh karena itu, pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga terpenuhilah kewajiban negara berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang 1945. Mengingat jumlah penduduk di daerah perkotaan terus meningkat, maka dengan adanya pembangunan rumah susun ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan tanah dan kebutuhan perumahan pun akan terpenuhi.

Pembangunan perumahan dan permukiman selain untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, juga merupakan upaya untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, dan memperluas

2 Sarkawi, Hukum Pembebasan Tanah Milik Adat Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Cetakan ke-1. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hal. 14.

3 Supriadi, Hukum Agraria, Cetakan Ke-2. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.242.

(12)

lapangan kerja serta menggerakan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan maupun pemerataan kesejahteraan rakyat. Bisnis perumahan di perkotaan maupun di pinggirannya merupakan sektor yang sangat menjanjikan. Sehubungan dengan hal tersebut pembangunan perumahan dan pemukiman terus ditingkatkan juga untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang lebih banyak, namun pemerintah pun tidak dapat sepenuhnya fokus pada pembangunan perumahan dan permukiman ini karena masih banyak kebutuhan-kebutuhan lainnya yang perlu diprioritaskan.

Apartemen adalah suatu ruang atau rangkaian ruang yang dilengkapi dengan fasilitas serta perlengkapan rumah tangga dan digunakan sebagai tempat tinggal. (Harris; 1975; 20) Sehingga dapat disimpulkan definisi apartemen adalah sebuah bangunan beringkat yang terdiri beberapa unit yang berupa tempat tinggal, yang terdiri dari kamar duduk, kamar tidur, kamar mandi, dapur, dsb.

Pembangunan perumahan sistem apartemen atau rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan dengan meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan luas tanah yang terbatas. Dalam pembangunannya diperhatikan antara lain kepastian hukum dalam penguasaan dan keamanan dalam pemanfaatannya, kelestarian sumber daya alam yang bersangkutan serta penciptaan lingkungan permukiman yang nyaman, lengkap, serasi, dan seimbang.4

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan ke-9. (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.383.

(13)

Pembangunan rumah susun diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan swadaya masyarakat.5 Seringdijumpai di lapangan bahwa lebih banyak Badan Usaaha Milik Swasta atau biasa dikenal dengan istilah perusahaan pengembang yang melakukan pembangunan rumah susun atau apartemen saat ini.

Minat masyarakat untuk memiliki rumah susun sangat tinggi, ini disebabkan karena gaya hidup yang semakin modern dan juga disebabkan karena kesulitan mendapatkan tanah. Selain itu rumah susun juga dianggap lebih efektif dibanding membangun rumah seperti biasanya, karena rumah susun adalah hunian yang bisa di tempati lansung dan terlihat lebih simple dan nyaman.

Peminat dari rumah susun pun selalu bertambah setiap tahunnya di setiap daerah, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota besar lainnya. Akan tetapi walaupun banyak peminat dari rumah susun ini, ada juga kendala yang terjadi seperti yang dibahas di skripsi ini yaitu apartemen yang di jadikan jaminan kepada pihak bank oleh pengembang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil contoh kasus Puri Garden Apartemen sebagai pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Kasus ini berkaitan dengan adanya sebuah perusahaan pengembang dimana perusahaan pengembang yang bersangkutan tidak memberikan surat hak milik satuan rumah susun kepada pemilik apartemen walaupun pemilik apartemen ini telah memenuhi

5Ibid.

(14)

kewajibannya dan dalam perkembangannya ternyata surat hak milik satuan rumah susun tersebut telah diagunkan oleh pengembang. Hal ini pun sudah di selesaikan dalam persidangan dengan putusan No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR.

Berdasarkan hal-hal diatas maka penulis tertarik untuk menganalisis hasil dari putusan pengadilan kasus tersebut dalam skripsi yang berjudul: “Analisis Putusan Hukum Terhadap Pemilik Satuan Apartemen Atas Tanah Bersama Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)“.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan yaitu:

1. Apakah yang menjadi hak eksekusi kreditor atas jaminan jika perusahaan pengembang (developer) tidak melunasi hutang?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet?

3. Bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet?

(15)

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, tujuan yang melandasi penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pihak kreditor dapat atau tidak dapat mengeksekusi apartemen jika perusahaan pengembang (developer) tidak melunasi utang.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet.

3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, manfaat yang melandasi penulisan ini yaitu:

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Sebagai ilmu hukum terkhusus dalam hukum perdata dalam bidang perjanjian, jaminan, serta kredit, dan untuk memperjelas mengenai

(16)

masalah apartemen yang dijadikan sebagai jaminan hutang dalam keadaan kredit macet.

2. Secara Praktis

a. Sebagai ilmu tambahan yang dikuasai oleh penulis terkhusus dalam bidang hukum yang membahas mengenai masalah apartemen yang dijadikan sebagai jaminan hutang dalam keadaan kredit macet.

b. Sebagai ilmu bagi masyarakat agar bisa mengetahui mengenai pengaturan hukum yang membahas mengenai masalah apartemen yang dijadikan sebagai jaminan hutang dalam keadaan kredit macet.

E. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah “Analisis Putusan Hukum Terhadap Pemilik Satuan Apartemen Atas Tanah Bersama Yang Dijadikan Jaminan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)”. Judul Skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Metode Penulisan

Penulisan hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

(17)

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jelas menganalisisnya. Untuk membahas masalah-masalah serta memberikan evaluasi dari pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka dalam pengumpulan bahan-bahan, fakta-fakta, dan data yang diperlukan penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menentukan suatu aturan hukum, asas-asas hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.6

2. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Data sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan

6Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal. 34.

(18)

bahan hukum dalam penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti hukum.7

b. Sumber Data

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang tidak bersifat mengikat, tetapi memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer seperti dari buku, artikel, makalah, surat kabar.

3) Bahan Hukum Tersier, selain bahan hukum yang diuraikan diatas, bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bahan non hukum yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman atau memperkaya sudut pandang obyek yang diteliti. Bahan hukum tersier tersebut meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, internet, dll.

7Ibid., hal. 157.

(19)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data daripada penulisan ini, penulis melakukan teknik Library Research dengan mengambil data berupa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disajikan terlebih dahulu dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara garis besar tentang apa saja yang akan penulis kemukakan dalam setiap bab. Sistematika dalam penulisan ini dibagi dalam 5 bab yang masing-masing bab memiliki beberapa sub-bab tersendiri. Secara garis besar sistematika dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang,permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan,keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KEPEMILIKAN APARTEMEN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai perjanjian kepemilikan apartemen; hukum jaminan dalam kepemilikan apartemen; dan prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen dalam kepemilikan apartemen.

(20)

BAB III : PUTUSAN HUKUM PENGADILAN NEGERI JAKARTABARAT NO.089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR TENTANGAPARTEMEN YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINANHUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai putusan pengadilan. Bahan yang diuraikan adalah duduk perkara yang terjadi, deskripsi mengenai gugatan, dan putusan yang dikabulkan.

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PEMILIK SATUAN

APARTEMEN ATAS TANAH BERSAMA YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN KREDIT MACET (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NOMOR: 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR)

Dalam bab ini penulis akan menganalisis mengenai permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu hak eksekusi kreditor atas jaminan jika perusahaan pengembang (developer) tidak melunasi utang, perlindungan hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan utang dalam keadaan kredit macet, dan penyelesaian hukum terhadap pemilik satuan apartemen atas tanah bersama yang dijadikan jaminan hutang dalam keadaan kredit macet.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan yang berupa jawaban singkat atas permasalahan penelitian berdasarkan hasil analisis permasalahan.

Selain itu, penulis juga akan mengusulkan saran yang diharapkan dapat membantu memecahkan permasalahan apapun ataupun kendala- kendala yang dihadapi.

(21)

BAB II

LANDASAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KEPEMILIKAN APARTEMEN.

A. Perjanjian Kepemilikan Apartemen Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dinyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya.Sedangkan menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.8 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Beberapa hal yang terkandung di dalam suatu perikatan antara lain:

1. Adanya hubungan hukum.

2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda.

3. Antara dua orang/ pihak atau lebih.

4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditor.

5. Meletakan kewajiban para pihak yang lain, yaitu debitur.

8 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-20. (Jakarta: Intermasa, 2004), hal. 1.

(22)

6. Adanya prestasi.

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing- masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan. Bentuk perjanjian berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Subjek perjanjian adalah orang dan badan hukum, yang terdiri dari kreditor dan debitur. Sedangkan objek perjanjian adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang dimaksud disebut dengan prestasi.

Perjanjian dapat mengikat dan berlaku seperti Undang-Undang bagi para pihak apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku sesuai dengan Pasal 1320 KUHPer. Pasal 1320 KUHPer mengatur mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian adalah:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

3) Mengenai suatu hal tertentu.

4) Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, karena bersangkutan dengan orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan

(23)

perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif, karena bersangkutan dengan perjanjiannya sendiri.

Batalnya suatu perikatan dapat diakibatkan karena beberapa sebab, dimana penyebabnya adalah:

a)Wanprestasi

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.9 Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seseorang debitur dapat berupa empat macam:

(1) Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukannya;

(2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

(3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

(4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.10

Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu:

(a) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.

(b) Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.

(c) Peralihan risiko.

(d) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.11

Berdasarkan Pasal 1239 KUHPer dikatakan bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban

9M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-2. (Bandung: Alumni, 1986), hal.

60.

10 Subekti, Op.Cit., hal. 45.

11Ibid

(24)

memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga. Biaya yang dimaksud adalah segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Sedangkan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Kemudian yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.Jadi ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan langsung dari wanprestasi.

b) Hapusnya Perikatan

Berdasarkan Pasal 1381 KUHPer, perikatan hapus dapat disebabkan oleh:

(1) Pembayaran

Pembayaran adalah pemenuhan suatu perikatan sesuai dengan perjanjian atau pelaksanaan suatu kesepakatan.

(2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan

Jika pembeli menolak suatu pembayaran karena pembeli ingin mengakhiri perikatan dengan penjualan atau mungkin penjual tidak mengetahui siapa pembelinya, maka penjual agar tidak dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak membayar, penjual dapat melakukan upaya hukum penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan atau di negara common law dikenal dengan deposit in court.

(3) Pembaharuan utang

Pembaharuan utang ada 3 (tiga) macam, yaitu:

(a) Pembaharuan utang yang terjadi dalam hal seseorang yang berutang (debitur) membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghubungkan kepadanya dan ini menggantikan utang yang lama yang hapus karenanya. Dalam common law keadaan ini tidak disebut sebagai pembaharuan utang tetapi hanya merupakan hapusnya perikatan karena adanya perikatan yang baru.

(25)

(b) Pembaharuan utang yang terjadi dalam hal seseorang berutang baru (penjual baru) ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama (penjual lama) yang oleh si pembeli dibebaskan dari perikatannya.

(c) Pembaharuan utang yang terjadi dalam hal seorang berpiutang baru (pembeli baru), karena adanya perjanjian yang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berpiutang lama (pembeli lama) yang membebaskan penjual dari perikatan kepadanya.

(4) Perjumpaan utang

Perjumpaan utang atau bahasa Latinnya Compensantio (set off) adalah dua orang/ pihak yang saling berutang satu sama lainnya dan perikatan-perikatan itu satu sama lain saling menghapuskan.

(5) Percampuran uang

Percampuran uang terjadi apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (pembeli) dan orang yang berutang (penjual) berkumpul pada satu orang.

(6) Pembebasan utang

Pembebasan suatu utang harus dibuktikan dengan suatu pernyataan tertulis atau lisan yang menyatakan maksudnya untuk menghapuskan pihak lain dari kewajibannya.

(7) Musnahnya barang yang terutang

Jika suatu barang tertentu yang menjadi bahan atau objek perjanjian musnah tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya penjual dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

(8) Batal/ Pembatalan

Perikatan hapus dengan sendirinya jika terjadi pembatalan antara salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian.

(9) Berlakunya suatu syarat batal Syarat batal ada 2 (dua) jenis, yaitu:

(a) Syarat batal mutlak (Pasal 1265 KUHPer) (b) Syarat batal relatif (Pasal 1266 KUHPer)

Syarat batal mutlak adalah syarat yang bila terpenuhi akan menghentikan perikatan secara otomatis/ langsung atau batal demi hukum dan peristiwa yang dapat menjadi syarat batal mutlak adalah peristiwa yang bukan merupakan suatu kewajiban.

(26)

Sedangkan dalam syarat relatif, penghentian perikatan tidak terjadi secara otomatis/ langsung melainkan harus dimintakan pada Hakim untuk pembatalannya itu atau juga dapat minta terus berjalannya perikatan itu.Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang harus dimintakan pembatalannya kepada Pengadilan adalah dalam hal pembatalan itu tidak disetujui oleh satu pihak, sedangkan bila kedua belah pihak menyetujui, maka jelaslah bahwa perjanjian itu dapat diakhiri.

(10) Lewatnya waktu

Perikatan dengan sendirinya hapus karena telah lewat dari batas waktu yang telah ditentukan (Pasal 1381 KUHPer).

B. Hukum Jaminan Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

1. Istilah dan pengertian Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten.12 Menurut J. Satrio, “Hukum jaminan diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalahhukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.”13 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam perumusan hukum jaminan, yaitu:

a. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumber dari ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.

b. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor).

c. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditor.

12Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 1.

13Ibid

(27)

d. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan tertentu.

Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan jaminan, dapat ditemukan dalam:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Dalam hukum jaminan.

Penggolongan jaminan yang lahir karena perjanjian merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, seperti hipotek, gadai (pand), dan hak tanggungan.

a) Hipotek

Pengaturan ketentuan lembaga jaminan hipotek terdapat di dalam Buku Kedua Titel Kedua puluh Satu Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPer, kecuali beberapa Pasal yang sejak semula belum diberlakukan dengan Staatblad Tahun 1848 Nomor 10. Perumusan pengertian hipotek dalam Pasal 1162 KUHPer dinyatakan bahwa: “Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas

(28)

benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan”.

Sebagai hak kebendaan yang memberikan jaminan atas kebendaan tidak bergerak, maka sifat-sifat yang melekat pada hipotek itu adalah:

(1) Bersifat acessoir pada perjanjian pokok tertentu.

(2) Tidak dapat dibagi-bagi.

(3) Tetap mengikuti kebendaannya.

(4) Bersifat terbuka.

(5) Mengandung pertelaan.

(6) Mengenal pertingkatan.

(7) Mengandung hak didahulukan.

(8) Mengandung hak untuk pelunasan piutang tertentu.14

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1164 KUHPer, pada dasarnya objek hipotek itu kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap), baik kebendaan tetap karena sifatnya, peruntukannya dan undang-undang. Selain itu, diluar KUHPer terdapat benda yang dalam perspektif KUHPer merupakan benda bergerak, berhubung dapat dipindah-pindah atau dipindahkan, namun ketika benda itu hendak dibebankan menjadi jaminan utang, maka pembebanannya dilakukan dengan hipotek, yaitu terhadap kapal-kapal yang ukuran volume kotornya paling sedikit 20 m3 sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 314 ayat (3) dan ayat (4) KUHD.Subjek hipotek yaitu mereka yang membentuk perjanjian penjaminan hipotek, yang terdiri atas pihak yang memberikan benda jaminan hipotek yang dinamakan dengan Pemberi Hipotek dan pihak yang menerima benda jaminan hipotek yang dinamakan pemegang hipotek.

14Ibid., hal. 249.

(29)

b)Gadai (Pand)

Gadai yang pengertian dan persyaratannya sebagai pand merupakan lembaga hak jaminan kebendaan bagi kebendaan bergerak yang diatur didalam KUHPer. Perumusan gadai dalam Pasal 1150 KUHPer dinyatakan bahwa:

”Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang- orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikannya, biaya-biaya mana harus didahulukan”.

Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUHPer dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152 bis, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUHPer, jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum hak gadai sebagaimana juga diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/248/UUPK/PK tanggal 16 Maret 1972. Namun menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/248/UUPK/PK tanggal 16 Maret 1972 tersebut, tidak semua jenis kebendaan bergerak dapat dibebankan dengan gadai, terdapat jenis kebendaan bergerak lainnya yang dibebani dengan jaminan fidusia.

c)Hak Tanggungan

(1) Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah:

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

(30)

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.

Hak Tanggungan merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lain. Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahului dari kreditor-kreditor lainnya bagi kreditor (Pemegang Hak Tanggungan).15 Ciri-ciri dari hak tanggungan, sebagai berikut:

(a) Hak Tanggungan merupakan hak jaminan kebendaan.

(b) Hak jaminan kebendaan yang dimaksud adalah jaminan kebendaan atas tanah, baik berikut maupun tidak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah, yang berada diatas maupun dibawah permukaan tanah sepanjang benda benda lain tersebut mempunyai kaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan.

(c) Pembebanan hak tanggungan yang dimaksud adalah sebagaimana jaminan pelunasan utang tertentu.

(d) Hak tanggungan memberikan kedudukan istimewa, yang diutamakan, atau hak mendahulu kepada pemegang Hak Tanggungan dalam mengambil pelunasan utang tertentu yang bersangkutan.16

Hak tanggungan merupakan salah satu lembaga hak jaminan kebendaan yang lahir dari perjanjian. Dalam hak tanggungan terdapat benda tertentu, yaitu hak-hak atas tanah yang dijanjikan secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, sehingga hak tanggungan merupakan hak jaminan khusus pula.17

Pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atau preference dan dengan sendirinya mempunyai hak preferensi terhadap kreditor-

15Ibid., hal. 332.

16Ibid., hal. 332.

17Ibid., hal. 334.

(31)

kreditor lain (droit de preference). Kedudukan sebagai kreditor preferent berarti kreditor yang bersangkutan didahulukan didalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan tertentu yang dalam hubungannya dengan hak tanggungan secara khusus diperikatkan untuk menjamin tagihan kreditor.18

(2) Asas-Asas Hukum dan Sifat-Sifat Hak Tanggungan

Asas-asas hukum dari Hak Tanggungan dapat ditemukan dalam Pasal- Pasal Batang Tubuh maupun Penjelasan UUHT. Adapun asas-asas hukum Hak Tanggungan, yaitu:

a. Ketentuan Hak Tanggungan bersifat memaksa (Droit de preference), dalam UUHT tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai suatu ketentuan yang bersifat memaksa, namun demikian dari ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal dalam UUHT dapat diketahui bahwa UUHT ini bersifat memaksa. Beberapat ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 6, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UUHT.

b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) atau tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaarheid), berdasarkan Pasal 2 UUHT No.

4 Tahun 1996dinyatakan bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan. Ini berarti bahwa, dengan dilunasinya sebagian hutang tidak berarti bahwa benda dapat dikembalikan sebagian.

c. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapapun berada, dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak

18Ibid., hal. 336.

(32)

Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.

d. Hak Tanggungan membebani Hak Atas Tanah Tertentu (Asas Spesialitas), maksudnya dari Hak Atas Tanah Tertentu adalah benda-benda mana sajakah yang dijadikan sebagai jaminan.

e. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (Asas Publisitas), wajib didaftarkan agar terbuka untuk umum.

f. Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut:

Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain:

1) Janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji;

4) Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

(33)

5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji;

6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa, objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;

7) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untukpelunasan piutangnya apabila objekHak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;

9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;

10) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.

(3) Objek Hak Tanggungan

Menurut UUPA, hak tanggungan dapat dibebankan di atas tanah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA). Mengacu pada Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan undang-undang, yaitu UUHT. Dengan adanya pengaturan tersebut, terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan didalam Pasal 51 UUPA tersebut.19

Dalam Pasal 4 UUHT dijelaskan bahwa atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:

a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha

19 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 51.

(34)

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut sifatnya dapat dipindah tangankan

e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah.

Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.20

(4) Subjek Hak Tanggungan

Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:21

a. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan

b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang dijaminkan.

20Ibid., hal. 53.

21Ibid., hal. 54.

(35)

Dalam UUHT diatur pula mengenai subjek Hak Tanggungan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8 dam Pasal 9 UUHT. Pasal 8 UUHT menyatakan bahwa, “Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan”. Pasal 9 UUHT menyatakan bahwa

“Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang”.

(5) Pemberian Hak Tanggungan

(a) Janji untuk Memberikan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Utang Piutang sebagai Dasar Pembebanan Hak Tanggungan.

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

1] Tahap pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Dalam tahap ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan:

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggugngan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utangpiutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”.

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui, bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan

(36)

terlebih dahulu dan janji tersebut telah dipersyaratkan harus dituangkan didalam dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Dapat disimpulkan bahwa, sebelum adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan janji pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan tertentu, berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accesoir.

2] Tahap pendaftaran Hak Tanggungan, yang dilakukan di Kantor Pertanahan.

Mengacu pada Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Berdasarkan bunyi Pasal 13 ayat (1) maka setiap pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kantor Pertanahan akan asas publisitas dapat terealisasikan.

(b) Pemberian Hak Tanggungan Dilakukan dengan Perjanjian Tertulis yang Dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisikan pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan

(37)

Pasal 10 ayat (2) bahwa: “Pemberian Hak Tanggungna dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUHT, jelasbahwa setelah pemberian Hak Tanggungan tersebut harus dilakukan atau diberikan dengan dituangkan dalam suatu akta tertentu yang dibuat oleh PPAT, yaitu Akta Pemberian Hak Tanggungan, sehingga pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan secara atau dengan perjanjian tertulis.22

(6) Akta Pemberian Hak Tanggungan

Agar tepenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subjek, objek, maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, dalam suatu APHT wajib dicantumkan hal-hal dibawah ini:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan

b. Domisili para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih

22Rachmadi Usman,Op.Cit., hal. 401.

(38)

c. Penunjukan utang secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1)

d. Nilai tanggungan

e. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan.

(7) Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank

Untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit, harus ada persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah penerima kredit sebagai debitur yang dinamakan perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit pada masyarakat, bank harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya beserta bunganya dan dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh bank dan nasabah yang oleh bank dan nasabah yang bersangkutan dalam perjanjian kredit.

2. Asas-asas Hukum Jaminan

a. Asas Publicitiet

Asas publicitiet adalah asas yang menyebutkan bahwa semua hak baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotik harus didaftarkan supaya diketahui umum.

Pengertian dari hak-hak tersebut adalah:

(39)

1) Hak tanggungan

Objek benda jaminan adalah tanah berikut atau tidak berikut dengan apa yang ada diatasnya maka aturan hukum yang mengaturnya adalah hak tanggungan.

2) Hak fidusia

Objek jaminan adalah benda bergerak, benda yang akan menjadi jaminan masih tetap dikuasai. Aturan hukum yang mengaturnya disebut lembaga Fidusia.Benda yang akan menjadi jaminan tapi tidak dikuasainya maka aturan hukum yang mengaturnya disebut pegadaian.

3) Hipotik

Hipotik digunakan apabila benda yang sebagai jaminan berupa kapal yang berbobot minimal 20 ton.Hak-hak yang dijadikan sebagai jaminan wajib didaftarkan yaitu dimasing-masing instansi yang berwenang terhadap benda tersebut.Kegunaan didaftarkan adalah supaya pihak ketiga tahu bahwa benda tersebut sedang dijaminkan untuk sebuah hutang atau dalam pembebanan hutangasaspublicitiet untuk melindungi pihak ketiga yang beritikat baik.

b. Asas Specialitiet

Bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik hanya dapat dibebankan atas persil (satuan tanah) atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas

(40)

nama orang tertentu. Secara ringkasbahwa sesuatu benda yang akan dijaminkan sudah didaftarkan.

c. Asas tidak dapat dibagi

Asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

d. Asas inbezittsteling

Barang jaminan gadai harus berada pada penerima gadai.

e. Asas horizontal

Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, hak guna bangunan. Dalam asas ini apartemen/

rusun termasuk kedalamnya. Untuk apartemen/ rusun maka ketika dijadikan sebagai jaminan sebuah hutang maka lembaga jaminannya adalah Fidusia.

C. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam peraturan perundang-udangan di Indonesia, istilah “konsumen”

sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

(41)

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Pasal 1 angka 2 UUPK menyatakan bahwa, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurut Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan.23Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberitahukan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).

1. Kedudukan Konsumen

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip yang termasuk dalam kelompok ini adalah prinsip let the buyer beware (caveat emptor), the due care theory, the privity of contract, dan prinsip kontrak bukan merupakan syarat.24

23 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi. (Jakarta: Grasindo, 2006), hal. 60.

24Ibid., hal. 61.

(42)

a. Let the Buyer Beware

Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib berhati- hati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).

b. The Due Care Theory

Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.

c. The Privity of Contract

Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu harus dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortuous liability).

(43)

d. Prinsip Kontrak Bukan Merupakan Syarat

Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Sekalipun demikian, ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa.

2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Prinsip tentang tanggungjawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggungjawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.25

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggungjawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:26

25Ibid., hal. 72.

26Ibid.

(44)

a. Prinsip Tanggungjawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Secara common sense, asas tanggungjawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain.

b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban permbuktian ada pada tergugat.

c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

(45)

d. Prinsip Tanggungjawab Mutlak

Prinsip tanggungjawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab atas kesalahannya.

Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).

e. Prinsip Tanggungjawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan bila film yang ingin dicuci/ cetak itu hilang atau rusak (termasuk kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru,

(46)

seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungjawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

3. Product Liability; Professional Liability

Dua prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasikan adalah tanggungjawab produk dan tanggungjawab professional. Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsip-prinsip tentang tanggungjawab, tetapi dibahas terpisah karena perlu diberikan penguraian tersendiri.27

Tanggungjawab produk sebenarnya mengacu sebagai tanggungjawab produsen, yang dalam istilah bahasa jerman disebut produzentenhafting. Agnes M. Toar mengartikan tanggungjawab produk sebagai tanggungjawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.28 Tanggungjawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggungjawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir.

Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggungjawab professional, perlu ada ukuran yang jelas. Indikator itu ditetapkan tidak dalam

27Ibid., hal. 80.

28 Agnes M Toar, Tanggungjawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara.

(Ujung Pandang: Makalah Penataran Hukum Perikatan, 1989), hal.1-2.

(47)

undang-undang, tetapi oleh asosiasi profesi. Asosiasi inilah yang menetapkan standar pelayanan yang wajib diberikana kepada klien dan setiap tenaga professional yang berkecimpung dalam profesi itu. Standar profesi ini bersifat sangat teknis, tetapi dapat pula berupa aturan-aturan moral yang dimuat dalam kode etik profesi. Sekalipun berupa kode etik, bukan berarti para penyandang profesi tidak terbebani untuk mengikutinya. Jikat organisasi profesi berwibawa dan solid, organisasi itu dapat menerapkan sanksi-sanksi organisatorisnya kepada anggota yang melanggar. Sanksi ini sering lebih disegani para anggota karena langsung berkaitan dengan kelangsungan pekerjaan mereka. Sebab, organisasi ini dapat saja mencabut rekomendasi atau memecat anggota itu sehingga yang bersangkutan kehilangan izin praktiknya.

(48)

BAB III

PUTUSAN HUKUM PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT NO.

089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR TENTANG APARTEMEN YANG DIJADIKAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KEADAAN

KREDIT MACET.

A. Duduk Perkara Yang Terjadi Dalam Putusan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 089/PDT.G/2013/PN.JKT.BAR Tentang Apartemen Yang Dijadikan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Keadaan Kredit Macet.

Pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005, PT Mitra Prima Sejahtera menjual satuan unit-unit rumah susun Puri Garden Apartemen kepada pembeli (konsumen) yang bertindak atas nama Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Puri Garden Apartemen, yang berkedudukan di Jakarta Barat dana telah mendapatkan pengesahan sebagaimana Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1407/2009 tertanggal 02 September 2009. Jual beli atas satuan unit-unit rumah susun tersebut dilakukan dengan mengadakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun (PPJB).

Dalam PPJB tersebut, Mitra Prima Sejahtera berjanji dan oleh karena itu memiliki kewajiban untuk menyelesaikan bangunan fisik dan surat-surat kepemilikannya (Sertipikat atas satuan rumah susun), sebagaimana termaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 PPJB. Dalam jual beli satuan unit-unit rumah susun tersebut, telah dilakukan pembayaran oleh salah satu pihak, yang mana telah

Referensi

Dokumen terkait

3. suatu sebab yang halal. Pos Indonesia bergerak dalam bidang jasa, maka faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang

Ketidakterlaksanaannya suatu kontrak konstruksi dapat menimbulkan perselisihan atau yang sering disebut dengan “sengketa konstruksi” diantara pihak pengguna dengan pihak

Maka dengan demikian, berdasarkan pembahasan yang dijelaskan sebagaimana yang dimaksud di atas, timbul keinginan untuk mengkaji tentang keringanan pajak sebagai bentuk insentif

Maka, atas pertimbangan tersebutlah Majelis Hakim menyatkan bahwa terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Dari pemaparan

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan

Menimbang, bahwa menurut hemat hakim, pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah merupakan hal yang refresif akibat perbuatan yang dilakukan karena