• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HUKUM PENETAPAN TAPAL BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA YANG BERDEKATAN MENURUT UNITED NATIONS

CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 (Studi Pada Wilayah Yurisdiksi Indonesia)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

ABSTRAK Rafif Adib Prakoso*)

Suhaidi**) Arif***)

Wilayah laut Indonesia memiliki nilai strategis dalam segala bidang politk, hukum, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu menciptakan wilayah laut yang aman, lestari, menjaga serta memanfaatkan segala potensi besar yang dimiliki oleh laut Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah penetapan batas laut wilayah Zona Ekonomi Eksklusif menurut Hukum Nasional. Penetapan tapal batas laut Berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif menurut hukum internasional. Penyelesaian sengketa batas wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menurut Hukum Internasional

Jenis Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan didalam penelitian ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan, kemudian dianalisa secara kualitatif.

Penetapan wilayah laut Indonesia seperti garis batas laut wilayah, batas ZEE dan batas Landasan Kontinten antara Indonesia dengan negara tetangga didasarkan pada hukum internasional salah satunya adalah UNCLOS 1982. Selain berpegang pada UNCLOS 1982, delimitasi garis batas Indonesia dengan negara tetangga juga berpegang pada prinsip-prinsip penarikan garis batas maritim yang berkembang di dalam hukum internasional, seperti di dalam berbagai yurisprudensi mahkamah internasional dan praktek negara-negara, ditambah dengan prinsip teknis penarikan batas yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Penetapan Tapal Batas Berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif menurut hukum internasional penetapan batas ZEE pada umumnya adalah 200 mil laut, sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UNCLOS 1982. Namun bila ada negara-negara tetangga yang mempunyai wilayah ZEE yang berdampingan, maka penetapan batas tersebut harus ditentukan berdasarkan pada Pasal 74 UNCLOS 1982 dengan memperhitungkan keadaan- keadaan khusus yang ada. Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Menurut Hukum Internasional. Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya.

Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian oleh negosiasi.

Kata Kunci : Penetapan Tapal Batas, Zona Ekonomi Eksklusif, UNCLOS

1982

(4)

ABSTRACT Rafif Adib Prakoso *)

Suhaidi **) Arif***)

Indonesia's sea area has strategic value in all fields of politics, law, economics, social culture and defense and security. Therefore, creating a safe, sustainable sea area, maintaining and utilizing all the great potential possessed by the Indonesian sea. The formulation of the problem in this research is the determination of the sea boundaries of the Exclusive Economic Zone area according to National Law. Determination of sea boundaries Based on Exclusive Economic Zones according to international law. Settlement of maritime disputes over Indonesian Exclusive Economic Zone according to International Law

This type of research is normative juridical research. The nature of this research is descriptive research. Data collection techniques used in this study were library research, then analyzed qualitatively.

Determination of Indonesian sea territories such as territorial sea boundaries, EEZ boundaries and Contingent Platform boundaries between Indonesia and neighboring countries is based on international law, one of which is UNCLOS 1982. In addition to holding to UNCLOS 1982, delimitation of Indonesia's boundary lines with neighboring countries also adheres to the principles the drawing of maritime boundaries developed in international law, such as in various jurisprudential international tribunals and the practice of states, coupled with the technical principles of drawing limits agreed upon by bordering states. Law Number 5 of 1983 concerning Exclusive Economic Zones Act Number 43 of 2008 concerning State Territories and Law Number 32 of 2014 concerning Maritime Affairs. Boundary Determination Based on Exclusive Economic Zones according to international law the determination of the EEZ boundaries is generally 200 nautical miles, in accordance with the provisions of Article 57 UNCLOS 1982. However, if there are neighboring countries that have EEZ adjoining areas, then the boundary determination must be determined based on Article 74 UNCLOS 1982 taking into account the special circumstances that exist. Settlement of Disputes on Exclusive Economic Zone Zones Under International Law. The dispute resolution forum in international trade law is in principle the same as the forum known in (international) dispute resolution law in general. The forum is a negotiation, investigation of facts (inquiry), mediation, conciliation, arbitration, settlement through law or through the court, or other ways of resolving disputes chosen and agreed by the parties. Generally trade disputes are often preceded by settlement by negotiation .

Keywords: Boundary Setting, Exclusive Economic Zone, UNCLOS 1982

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Penetapan Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Antar Negara Yang Berdekatan Menurut United Nations Convention on The Law of The Sea 1982.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperolah gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan terbuka penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini. Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Saidin SH, M.Hum sebagai Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan SH, M.Hum sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza SH, M.Hum sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen Departemen Hukum Internasional

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi ini dan juga dosen Penasehat akademik selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

7. Bapak Arif, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengkuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terimakasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada orang tua tercinta

Ayahanda dan Ibunda

10. Buat teman-teman stambuk 2014 yang tidak dapat disebutkan satu-

persatu

(7)

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak mungkin di sebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dapat membalas budi baik semuanya. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis untuk menggapai cita-cita.

Medan, November 2019 Penulis

Rafif Adib Prakoso

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENETAPAN BATAS WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF MENURUT HUKUM NASIONAL ... 20

A. Wilayah Laut Indonesia ... 20

B. Penetapan dan Penegasan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia setelah UNCLOS 1982... 27

C. Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Menurut Hukum Nasional ... 30

BAB III PENETAPAN TAPAL BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL .... 37

A. Wilayah Laut Menurut Hukum Internasional ... 37

B. Cara Pengukuran Kedaulatan Zona Ekonomi Eksklusif

(9)

Menurut UNCLOS 1982 ... 39

C. Penetapan Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan Hukum Internasional ... 49

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 57

A. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Internasional ... 57

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Internasional .... 63

C. Penyelesaian Sengketa Batas Zona Ekonomi Eksklusif Menurut UNCLOS 1982 ... 68

D. Kasus Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan Pilipina dan Penyelesaiannya ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan wilayah yang cukup luas, khususnya wilayah perairan. Laut pada sebuah negara menjadi perlambang kekuatan negara tersebut. Kawasan laut yang dimiliki jumlahnya cukup luas setelah Kanada sejatinya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maritim yang tangguh, tentunya dengan dibarengi kekuatan sistem pertahanan dalam negeri yang baik.

1

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Indonesia tercatat memiliki 17.504 pulau yang mana 16.056 pulau telah memiliki nama baku di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Provinsi yang memiliki pulau paling banyak adalah Kepulauan Riau dengan pulau sebanyak 2.40 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Kawasan kepulauan ini merupakan pulau-pulau besar yang ada di Indonesia termasuk Sumatera, Jawa, sekitar tiga perempat Borneo, Sulawesi, kepulauan Maluku dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, serta separuh bagian barat dari pulau Papua dan dihuni oleh ratusan suku bangsa.

2

Banyaknya wilayah laut yang menjadi batas negara dengan negara yang lain, maka pengaturan mengenai lebar wilayah laut merupakan hal yang penting dan usaha untuk menentukan lebar wilayah laut suatu negara telah dimulai sejak abad ke-19. Ini menunjukan bahwa dinamika keinginan negara-negara atas

1

Merilin L. I. Thomas. Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang Penetapan Batas Wilayah Laut Negara (Studi Kasus Sengketa Wilayah Ambalat Antara Indonesia Dengan Malaysia), Jurnal Lex et Societatis, Vol. I/No.2/Apr-Jun/2013, hlm 162.

2

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tahun 2010. Seperti dikutip dari

http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-survei-terbaru-jumlah-pulauIndonesia

diakses pada tanggal 2 Agustus 2019.

(11)

kedaulatan di wilayah laut sudah berlangsung sejak lama dan hal itulah yang mengikuti perkembangan United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS 1982) dari UNCLOS I tahun 1958, UNCLOS II tahun 1960 sampai UNCLOS III 1982.

3

Berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut terdapat delapan pengaturan hukum laut, antara lain perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), landas kontinen; laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. ZEE yaitu suatu daerah di luar yang berdampingan dengan laut teritorial dan tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan UNCLOS 1982 hak-hak dan yurisdiksi negara pantai serta kebebasan- kebebasan negara lain yang diatur oleh ketentuan yang relevan dengan konvensi hukum laut, maka lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal pantai.

4

Wilayah laut Indonesia yang berada dalam ZEE merupakan wilayah laut yang mempunyai potensi kekayaan yang terbesar bagi Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, pentingnya potensi-potensi sumber kekayaan laut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai jenis produk hukum dalam mengatur, melindungi serta melakukan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona

3

Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm 93.

4

Gatot Supramono, Hukum Pidana Di Bidang Perikanan, Jakarta, Rineka Cipta, 2011,

hlm 166

(12)

Ekonomi Eksklusif Indonesia (selanjutnya disebut UU ZEEI) serta produk-produk hukum terkait untuk melindungi wilayah ZEEI tersebut.

5

Kesepakatan mengenai batas maritim antara Indonesia dan Filipina di perairan utara dengan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) Republik Indonesia dengan Filipina yang memiliki agenda sidang secara berkala dapat dioptimalkan untuk menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.

6

Namun, meskipun adanya lembaga tadi, Indonesia harus tetap waspada dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kerawanan pulau terluar masih menjadi isu perbatasan beberapa tahun terakhir. Bahkan dari 92 pulau terluar, 12 diantaranya dikategorikan sangat rawan untuk diambil negara lain. Pulau itu antara lain Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Miangas, Pulau Marore, Pulau Marapit, Pulau Batek, Pulau Dana, Pulau Fani, Pulau Fanildo, dan Pulau Bras.

Wilayah laut Indonesia memiliki nilai strategis dalam segala bidang politik, hukum, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu untuk menciptakan wilayah laut yang aman, lestari dan menjaga serta memanfaatkan segala potensi besar yang dimiliki oleh laut Indonesia sangat penting dan mutlak harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekayaan laut Indonesia

5

Aditya Taufan Nugraha. Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim. Jurnal Selat, Vol. 2 No. 1, Oktober 2014, hlm 156- 157

6

Singgih Tri Sulistiyono. Konsep Batas Wilayah Negara di Nusantara: Kajian Historis.

Jakarta, Sinar Grafika, 1999, hlm. 228.

(13)

yang ada di ZEEI sudah pasti menarik pelaku-pelaku tidak bertanggungjawab untuk mengambil kekayaan tersebut. Hal ini dapat dirasakan seperti adanya kasus- kasus penyimpangan di wilayah perairan Indonesia yang sering terjadi, salah satunya adalah meningkatnya kapal penangkap ikan oleh kapal asing juga lokal yang masuk secara illegal ke wilayah perairan ZEEI. Negara dan rakyat Indonesia dalam hal ini tentu sangat dirugikan. Berdasarkan hal tersebut menuntut pemerintah untuk melaksanakan dan melakukan perlindungan serta penegakan hukum untuk menjaga eksistensi maritim Indonesia di dunia internasional.

7

Sebagai implementasi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang UNCLOS 1982, Undang-Undang No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Sesuai dengan ketentuan Konvensi dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan ini, maka laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan lautan dan bentuk- bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional yang berlaku. Perairan-perairan ini yang mencakup ruang udara diatasnya, daerah dasar laut dibawahnya berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan tunduk dan berada di bawah kedaulatan negara Indonesia.

8

Negara yang berdaulat pada umumnya memiliki wilayah daratan dan wilayah lautan serta wilayah udara yang secara otomatis mengikuti. Wilayah lautan dan daratan adalah dimensi wilayah yang harus memiliki batasan yang

7

Ibid., hlm 157

8

Heryandi. Hukum Laut Internasional dalam Perkembangannya, Bandar Lampung, BP.

Justice Publishier, 2014, hlm 1-2

(14)

jelas, karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah yang paling sering berbatasan langsung dengan negara lain, tak terlepas pula bahwa kedua wilayah tersebut merupakan bahasan yang sering menjadi permasalahan bagi negara- negara. Laut merupakan keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi sebagian besar wilayah di muka bumi. Kondisi geografis bumi menunjukan wilayah lautan menduduki tiga perempat atau sekitar 20 persen dari total wilayah permukaan bumi yang dimana hal tersebut meneguhkan bahwa wilayah laut lebih besar daripada wilayah daratan.

9

Di samping mengatur rezim Negara Kepulauan Kovensi PBB tentang UNCLOS 1982 juga mengatur mengenai rezim baru tentang ZEE yang lebarnya 200 mil laut dari garis pangkal, dan juga landas kontinen. ZEE ini sebagai landas kontinen, maka Negara Indonesia memiliki hak berdaulat atas ZEEI yang telah diatur dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan memiliki hak berdaulat atas zona tambahan, serta hak berdaulat atas dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada di luar laut territorial Indonesia, yaitu Landas Kontinen Indonesia. Luas wilayah laut Indonesia menjadi lima juta km

, yang terbagi atas tiga juta km

2

merupakan ZEEI, dan dua juta km

2

merupakan laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.

10

Belum adanya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa negara tetangga menimbulkan permasalahan saling klaim wilayah pengelolaan,

9

Dina Sunyowati dan Enny Narwati, Buku Ajar Hukum Laut, Cetakan ke 1, Surabaya, Airlangga University Press, 2013, hlm 1.

10

Ibid., hlm 2

(15)

khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

11

Penetapan batas maritim sangat dibutuhkan untuk memperoleh kepastian hukum yang dapat mendukung berbagai kegiatan kemaritiman.

Persoalan yang bersangkutan dengan penetapan garis batas yaitu belum tercapainya kesepakatan tentang penentuan tapal batas antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga hingga saat ini, misalnya soal perairan Ambalat dengan Malaysia dan penetapan ZEE di Laut Andaman dengan Thailand. Selain itu menurut laporan Dinas Hidografi dan Oseanografi (Dihidros) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) pada tahun 2003, terdapat 12 (dua belas) pulau-pulau kecil terluar yang dikhawatirkan hilang akibat belum disepakatinya batas laut teritorial dan ZEE dengan beberapa negara tetangga.

12

UNCLOS 1982 mengatur hukum laut internasional, yang di dalamnya mengatur perbedaan penetapan batas wilayah negara pantai dan negara kepulauan.

Laut teritorial suatu negara berjarak 12 mil, zona tambahan 24 mil, dan ZEE 200 mil diukur dari garis pangkal (base line). Batas wilayah negara kepulauan merupakan garis yang menghubungkan titik-titik yang ditarik tegak lurus dari pulau-pulau terluar atau titik-titik terluar negara tersebut. Sementara batas wilayah negara pantai merupakan garis sejajar lekuk-lekuk pantai. Adapun pengukuran jarak dilakukan pada saat air surut.

13

11

Konflik batas laut: pertaruhan harga diri bangsa, dimuat dalam www. Indomariti meinstitute.org diakses tanggal 15 Agustus 2019.

12

Budi Hermawan Bangun. Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara:

Perspektif Hukum Internasional. Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017, hlm 58

13

Ayub Torry Satriyo Kusumo dan Handojo Leksono. Alternatif Penyelesaian Sengketa

Wilayah Laut Indonesia-Malaysia. Yustisia Vol.2 No.1 Januari – April 2013, hlm 103

(16)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih lanjut dalam bentuk skripsi yang berjudul Kajian Hukum Penetapan Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif Antar Negara Yang Berdekatan menurut United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (Studi Pada Yurisdiksi Indonesia).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana penetapan batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif menurut Hukum Nasional?

2. Bagaimana penetapan tapal batas wilayah berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif menurut hukum internasional?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif menurut Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapau dalam penulisan skripsi ini seperti yang dirumuskan dalam rumusan masalah adalah:

1. Untuk mengetahui penetapan batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif menurut Hukum Nasional.

2. Untuk mengetahui penetapan tapal batas wilayah berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusi Indonesia Menurut Internasional.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa batas wilayah Zona Ekonomi

Eksklusif menurut Hukum Internasional.

(17)

Manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan, terbagi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis, berikut penjelasan masing-masing di bawah ini:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum internasional, khususnya berkaitan dengan Penetapan Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia antar Negara Yang Berdekatan menurut United Nations Convention On The Law of The Sea 1982.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan pedoman pemerintah dan pemerhati pulau terluar dalam pengelolaan dan pengembangan pulau terluar di Indonesia, agar dapat ditumbuhkembangkan, sehingga dapat menguntungkan negara yang kemudian digunakan untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik fisik maupun online tidak ditemukan judul tersebut di atas. Namun ada beberapa judul yang terkait dengan UNCLOS 1982, antara lain:

Reza Boboy. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2011),

dengan judul penelitian Eksistensi Garis Batas Landas Kontinen Antara Indonesia

(18)

Dan Malaysia Di Gosong Niger Ditinjau dari Segi Hukum Internasional. Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Konsep wilayah perairan Indonesia sebagai nusantara

2. Perkembangan peraturan continental self dalam hukum laut internasional 3. Konflik Indonesia-Malaysia di Gosong Niger.

Kesimpulan hasil penelitian hasil perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan Malaysia juga telah didokumentasikan, pos perbatasan telah dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Malaysia, serta patroli perbatasan bersama juga telah dilaksanakan pada posisi atau koordinat tersebut akan dibangun kembali secara bersama-sama, berdasarkan dokumen yang ada pada kedua pihak. Sistem koordinat yang disepakati oleh kedua negara dalam perjanjian perbatasan tidak mungkin berubah tempat. Namun tidak menjadikan eksistensi dan peran Gosong Niger terabaikan. Karena banyak kebijakan dapat dipicu menurut kepentingan kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam dan buatan, strategi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, serta unsur keamanan dan keutuhan nasional.

Rivai H. Sihaloho Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2013), dengan judul penelitian Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India Dalam Penegakan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Hukum Internasional. Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Karakteristik dan Permasalahan Batas Wilayah Perairan Indonesia dan India 2. Upaya Pemerintah dalam Penanganan dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan

Perairan Indonesia dan India.

(19)

3. Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India Berdasarkan Hukum Internasional.

Kesimpulan dalam penelitian bahwa Konvensi UNCLOS 1982 yang berlaku di Indonesia harus memiliki blueprint pembangunan kelautan. Untuk memecahkan masalah perbatasan antara Indonesia dengan India Indonesia harus segera membuat Undang-undang Batas Wilayah, dan menyelesaikan Peta Wilayah Laut atau Kemaritiman Indonesia dan sesegera mungkin menyampaikan koordinat geografis titik-titik garis pangkal (baseline) ke Sekretaris Jenderal PBB sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) UNCLOS 1982. Selain itu harus diusahakan bahwa UNCLOS 1982 sebagai dasar untuk penentuan batas wilayah laut Indonesia.

Fridainingtyas Palupi. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (2007), dengan judul Eksistensi Garis Batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia Di Gosong Niger Ditinjau Dari Hukum Laut Internasional. Adapun permasalahan dalam penelitian ini:

1. Penetapan garis batas landas kontinen di Gosong Niger antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Malaysia menurut ketentuan hukum Laut Internasional.

2. Tindakan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan eksistensi Gosong Niger sebagai landas kontinen yang merupakan yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai.

Kesimpulan dalam penelitian ini Eksistensi Gosong Niger (niger banks)

adalah merupakan bentukan alamiah berupa gundukan pasir di perairan dangkal

(20)

yang keadaan fisiknya selalu terendam air sehingga dalam kamus Bahasa Indonesia disebut Gosong, dalam Bahasa Inggris disebut banks atau sandbar.

Dalam penelitian ini Gosong yang dimaksud bernama Niger, sehingga disebut sebagai Gosong Niger. Gosong Niger tidak dapat dikategorikan sebagai pulau maupun karang kering yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan titik pangkal.

Berdasarkan uraian di atas terlihat perbedaan dan persamaan dalam penelitian terdahulu, persamaan dalam penelitian jenis penelitian dan sifat penelitian yang digunakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi ini asli yang didukung dengan pendapat ahli, jurnal, karya ilmiah, skripsi terdahulu maupun ensiklopedia.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tapal Batas Laut

Batas suatu negara di laut kemudian ditetapkan dengan menarik Garis- garis Pangkal (base line) yang menghubungkan rangkaian titik-titik terluar yang disebut titik dasar atau base point.

14

Pasal 3 UNCLOS 1982 berbunyi : “Every State has the right to establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical miles, measured from baselines determined in accordance with this Convention”, yang artinya bahwa setiap negara mempunyai hak untuk

14

O.C. Kaligis & Associates, Sengketa Sipadan Ligitan Mengapa Kita Kalah, Jakarta,

O.C. Kaligis & Associates, 2003, hlm 166-169.

(21)

menetapkan lebar laut teritorialnya tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal.

15

Garis pangkal normal (normal baseline) dan garis pangkal lurus (straight baseline) adalah untuk menetapkan lebar laut teritorial dan rejim-rejim maritim lainnya, seperti zona tambahan (contiguous zone), ZEE, landas kontinen (continental shelf). Garis pangkal normal ditentukan oleh Pasal 5 UNCLOS 1982 yang berbunyi bahwa untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang resmi diakui oleh negara pantai tersebut.

16

Garis pangkal lurus diatur oleh Pasal 7 UNCLOS 1982 yang menyebutkan bahwa penarikan garis pangkal lurus harus pada lokasi pantai yang menjorok jauh ke dalam atau terdapat suatu deretan pulau panjang di dekatnya (a fringe of islands along the coast in its immediate vicinity) yang menghubungkan titik-titik yang tepat, sehingga terbentang garis lurus. Penarikan garis pangkal lurus ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dengan arah umum pantai tersebut, juga tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali terdapat mercu suar (light houses) atau instalasi serupa yang permanen. Cara penarikan garis pangkal lurus ini dapat dilakukan berdasarkan kepentingan ekonomi (economic interest) yang dibuktikan dengan praktik negara yang telah berlangsung lama. Penarikan garis pangkal lurus dibatasi dengan tidak boleh memotong laut teritorial negara lain.

17

15

Abdul Alim Salam. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008, hlm 23

16

Ibid

17

Ibid

(22)

Negara mempunyai kedaulatan penuh sama halnya di area daratan. Jika ada sebuah negara kepulauan dengan jarak antar pulau yang renggang, atau melebihi 24 mil, ini berarti lautan yang ada di wilayah tersebut akan diakui hukum internasional menjadi wilayah perairan dari negara tersebut.

18

2. Zona Ekonomi Eksklusif

Zona Ekonomi Eksklusif yakni pengaturan baru yang ditetapkan oleh UNCLOS 1982. Jauh sebelum lahirnya pengaturan ini, batas terluar laut teritorial dianggap sebagai batas antara bagian laut ke arah darat tempat berlaku kedaulatan penuh negara pantai, dan bagian laut ke arah luar dari batas tersebut tempat berlaku kebebasan di laut lepas. Pengaturan ZEE dianggap sebagai suatu hasil revolusi yang telah mengubah sedemikian rupa pengaturan atas laut.

19

Zona Ekonomi Eksklusif, yakni "Bagian perairan yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial selebar 200 mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur". Lebar ZEE bagi setiap negara pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 UNCLOS 1982 yang berbunyi

"the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baseline from which the breadth of territorial sea is measured" (terjemahannya ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur).

20

18

https://www.ruangguru.co.id/batas-landas-kontinen-laut-teritorial-dan-zona-ekonomi- eksklusif/diakses tanggal 1 Agustus 2019

19

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional.

Bandung, Alumni. 2003, hlm 81

20

Ibid

(23)

Pasal 86 Konvensi PBB tentang UNCLOS menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEE laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai dengan pengertian tersebut, laut lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar dari ZEE.

21

Zona ekonomi eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar. Di dalam ZEE ini kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional, batas landas kontinen, dan batas ZEE antara dua negara yang bertetangga saling tumpang tindih, maka ditetapkan garis- garis yang menghubungkan titik yang sama jauhnya dari garis dasar kedua negara itu sebagai batasnya. Berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982 bahwa masing- masing negara pantai memiliki hak pada ZEE sebagai berikut:

a. Hak berdaulat (souvereign rights) untuk mengadakan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengurusan sumber kekayaan alam hayati atau non-hayati dari perairan, dasar laut dan tanah bawah;

b. Hak berdaulat (souvereign rights) atas kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seperti produksi energi dari air dan angin;

c. Yurisdiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pembinaan dari lingkungan maritim.

22

3. United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982

21

Boer Mauna, Hukum Internasional. Bandung, Alumni, 2005, hlm 312-313

22

Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Jakarta, Jambatan, 1989,

hlm. 45-46

(24)

Bila dikaji bahwa hukum laut pada pokoknya hanya mengurus kegiatan- kegiatan di atas permukaan laut, tetapi saat ini perhatian juga telah diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Hukum laut yang dulunya bersifat uni dimensional saat ini berubah menjadi pluridimensional yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu. Justru untuk dapat menggunakan kekayaan-kekayaan laut itulah, hukum laut semenjak beberapa tahun terakhir ini telah berupaya keras bukan saja untuk menentukan sampai berapa jauh kekuasaan suatu negara terhadap laut yang menggenangi pantainya, sampai sejauhmana negara-negara pantai dapat mengambil kekayaan- kekayaan yang terdapat di dasar laut dan laut di atasnya, tetapi juga untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang telah dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.

23

UNCLOS 1982 disamping mengatur mengenai batas-batas maritim juga mengatur hak-hak dan kewajiban negara pantai yang yang harus dipatuhi oleh negara di dunia, terhadap negara pantai dapat menegakkan peraturan perundang- undangannya seperti yang telah disampaikan dalam UNCLOS III 1982 dalam Pasal 73.

24

Ketentuan-ketentuan tentang negara pantai UNCLOS 1982 juga melahirkan konsep baru yaitu konsep Negara Kepulauan (archipelagic State).

Konsep ini pertama kali muncul di Indonesia pada saat Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menyatakan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan

23

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 304.

24

Sejarah lahirnya UNCLOS‖, sejarah-lahirnya-unclos.html http:// www. sangkoeno.

com/2016/07/, diakses 12 Agustus 2019.

(25)

yang sebelumnya mengacu pada Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO).

25

Konsep negara kepulauan mulai diterima oleh negara di dunia internasional melalui regulasi yang disepakati dalam UNCLOS di Jamaika pada tahun 1982, pada Bab IV Pasal 46 dijelaskan secara jelas bahwa negara kepulauan merupakan konsep yang dimiliki suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan yang dimaksud dalam UNCLOS 1982 berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya, wujud alamiah yang berhubungan satu sama lain sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang secara historis dianggap demikian.

26

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah- kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

27

Penelitian ini bersifat deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,

25

Neelakantan V, ‖Eradicating Smallox in Indonesia: The Archipelagic Challenge”, dalam Health and History, Vol. 12, No. 1, Tahun 2010, hlm. 61-87.

26

Ogiso M, ―Japan and the UN Convention on the Lawa of the Sea”, dalam Japan and International Law, Vol. 25, No. 1, Tahun 1987, hlm. 70.

27

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,

Bayumedia Publishing, 2006, hlm. 295

(26)

serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.

28

2. Sumber data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu mengambil bahan penelitian dari literatur atau sumber kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer berasal dari aturan yang memiliki kekuatan hukum mengikat seperti Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-Undang No.1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia serta UNCLOS tahun 1982. Undang- Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder terdiri dari beberapa dokumen yang berkaitan dengan bahan hukum primer, seperti: pendapat para ahli, jurnal, artikel, skripsi maupun karya ilmiah yang berkaitan dengan sengketa Penetapan Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif Antar Negara Yang Berdekatan Menurut United Nations Convention on The Law of The Sea 1982.

28

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2010, hlm. 10.

(27)

c. Bahan hukum tersier. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum atau non- hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus Bahasa Indonesi dan ensiklopedia.

29

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum.

Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut melalui, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan media internet (ensiklopedia).

30

4. Analisis data

Analisis data dilakukan melalui cara menganalisis data secara sistematis dengan menggunakan metode deskriptif. Sifat analisis deskriptif maksudnya yaitu peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya, penelitian ini tidak melakukan justifikasi terhadap hasil penelitiannya tersebut. Metode deskriptif maksudnya peneliti hanya menganalisis terhadap data atau bahan-bahan hukum yang relevan dan berkualitas saja.

31

G. Sistematika Penulisan

29

Ibid

30

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2015, hlm. 113.

31

Ibid., hlm 130

(28)

Sistematika penulisan dibuat untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi ini, sehingga perlu ditentukan sistematika penulisan yang baik. Penulisan skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab, antara satu bab dengan lain saling berkaitan.

Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PENETAPAN BATAS WILAYAH ZONA EKONOMI

EKSKLUSIF MENURUT HUKUM NASIONAL

Bab ini membahas Wilayah Laut Indonesia. Penetapan dan Penegasan Batas di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia setelah UNCLOS 1982. Penetapan Batas Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Menurut Hukum Nasional

BAB III PENETAPAN TAPAL BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini berisikan Wilayah Laut Menurut Internasional. Cara Pengukuran Zona Ekonomi Eksklusif Menurut Hukum Internasional dan Penetapan tapal batas Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan Hukum Internasional.

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BATAS WILAYAH ZONA

EKONOMI EKSKLUSIF MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

(29)

Bab ini berisikan Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Internasional. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Internasional dan Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Menurut Hukum Internasional serta Kasus Tapal Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan Pilipina dan penyelesaiannya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan sebuah kesimpulan yang merupakan bagian

akhir dari laporan penelitian ini sekaligus sikap akhir dari penulis

mengenai permasalahan yang di dalamnya. Selain kesimpulan

mengenai hasil penelitian, penulis menyampaikan pula hasil

pemikiran yang berupa rekomendasi yang diharapkan dapat

bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya kelak.

(30)

BAB II

PENETAPAN BATAS WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF MENURUT HUKUM NASIONAL

A. Wilayah Laut Indonesia

Wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, sedangkan Perairan Kepulauan Indonesia yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman Indonesia yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.

32

Wilayah laut Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 47 jo Pasal 7 UNCLOS 1982 meliputi beberapa rezim hukum laut. Keberadaan rezim-rezim hukum laut sebagai bagian dari perairan Indonesia didasarkan pada garis pangkal kepulauan. Garis pangkal kepulauan merupakan garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar mengelilingi kepulauan Indonesia dengan persyaratan. Rezim-rezim hukum laut Indonesia sebagaimana pada Pasal 50 jo. Pasal 8-11 UNCLOS 1982, meliputi. Perairan pedalaman (internal waters) adalah perairan yang berada di sisi dalam garis pangkal

32

Khaidir Anwar, Hukum Laut Internasional Dalam Perkembangan, Bandar Lampung:

Justice Publisher, 2014, hlm 6

(31)

kepulauan mengarah ke daratan. Tegasnya, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak antara garis pangkal kepulauan dengan daratan. Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas perairan pedalaman dengan kewajiban untuk menjamin dapat terselenggaranya hak lintas damai di perairan tersebut.

33

Perairan Indonesia yang meliputi laut territorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan laut dan ZEE, serta landas kontinen Indonesia, baik permukaan lautnya, daerah perairannya, maupun derah dasar laut dan tanah dibawahnya memiliki manfaat atau fungsi yang sangat besar.

34

Secara umum fungsi atau manfaat laut ini antara lain:

35

(1) Sebagai sumber kekayaan alam

Kekayaan alam yang terdapat di laut ini, seperti di daerah perairan dan daerah dasar laut dan tanah di bawahnya.

(2) Sebagai sarana lalu lintas kapal dan transportasi.

Berdasarkan fakta historis sejak jaman dahulu hingga masa sekarang, laut dimanfaatkan manusia sebagai sarana lalu lintas kapal-kapal baik untuk pengangkutan manusia maupun barang.

(3) Sebagai sarana kepelabuhanan

Suatu hal yang berkaitan dengan pemanfaatan laut sebagai sarana transportasi kapal adalah pelabuhan.

33

Tommy Hendra Purwaka. Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum Volume 26, Nomor 3, Oktober 2014, hlm 360

34

Abdul Muthalib Tahar, Zona-zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm. 5-6.

35

Mochtar Kusumaatmadja, Bungai Rampai Hukum Laut, Bandung, Binacipta, 2001,

hlm 15

(32)

(4) Sebagai sarana rekreasi.

Negara pantai yang wilayah pantainya memiliki panorama yang indah umumnya memanfaat laut sebagai sarana rekreasi, baik berupa wisata pantai maupun wisata bahari.

(5) Sebagai sarana untuk memasang kabel dan pipa bawah laut.

Daerah dasar laut dan tanah di bawahnya baik yang tunduk di bawah yurisdiksi nasional maupun yang berada di luar yurisdiksi.

(6) Sebagai sarana untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan.

Laut dimanfaatkan oleh para ilmuwan untuk menjadi sarana penelitian ilmiah kelautan yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dengan tujuan damai (tentang perikananan dan mahluk laut lainnya

(7) Sebagai sarana untuk membuang limbah (dalam arti negatif).

UNCLOS 1982 memuat aturan tentang larangan pembuangan limbah ke laut, akan tetapi secara faktual laut dimanfaatkan oleh rumah tangga, industri, dan kapal sebagai sarana untuk membuang limbah

(8) Sebagai sarana pertempuran dan menundukkan lawan.

Bagi negara negara-negara yang memiliki armada angkatan laut yang sangat kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris, dalam konflik bersenjata laut digunakan untuk menyerang negara lain (musuh).

Perairan nusantara (archipelagic waters) yakni perairan yang berada di

antara pulau-pulau dengan batas luarnya adalah garis pangkal kepulauan

sebagaimana pada Pasal 49 UNCLOS 1982. Indonesia mempunyai kedaulatan

penuh atas wilayah laut, dasar laut dan subsoil, serta udara diatasnya berikut

(33)

sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dengan kewajiban untuk menjamin terselenggaranya hak lintas damai sebagaimana pada Pasal 52 UNCLOS 1982 dan hak lintas pada alur-alur laut kepulauan Indonesia sebagaimana pada Pasal 53 UNCLOS 1982, serta menghormati hak-hak penangkapan ikan tradisional, hak-hak yang terbit dari perjanjian-perjanjian yang telah ada dan hak-hak atas kabel dan pipa dasar laut yang telah ada sebagaimana pada Pasal 51 UNCLOS 1982.

36

Wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman Indonesia yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UNCLOS 1982.

Ketentuan Pasal 7 UNCLOS 1982 ini menentukan bahwa di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan. Di mana perairan pedalaman terdiri atas :

(a) Laut pedalaman, yaitu bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah; dan

36

Tommy Hendra Purwaka. Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Mimbar Hukum Volume 26, Nomor 3, Oktober 2014, hlm 360

(34)

(b) Perairan darat, yaitu segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.

37

Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

38

Di luar perairan nusantara, Indonesia mempunyai kedaulatan wilayah atas laut teritorial/laut wilayah selebar 12 mil mengelilingi perairan nusantara tersebut.

Dalam hal laut yang berhadapan dengan negara tetangga yang lebarnya kurang dari 24 mil, maka batas-batas laut teritorial Indonesia ditetapkan berdasarkan perjanjian dengan negara tetangga yang bersangkutan. Sampai sekarang sudah ada perjanjian perbatasan wilayah laut antara Indonesia-Malaysia di bagian tertentu Selat Malaka dan antara Indonesia dengan Singapura di bagian tertentu Selat Singapura. Tetapi kedua batas tersebut belum menyambung dan belum lengkap baik di sebelah Barat maupun di sebelah Timur Singapura. Indonesia sudah lama menghendaki penuntasan penetapan perbatasan wilayah laut ini, namun kurang mendapatkan tanggapan yang positif dan serius dari Malaysia maupun Singapura,

37

Heryandi, Op.Cit, hlm 6

38

Ibid

(35)

walaupun batas dengan Singapura telah berhasil sedikit diperpanjang ke sebelah Barat.

39

Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut, dasar laut, subsoil, dan udara di atasnya berikut sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan dimana Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjamin terselenggaranya hak lintas damai baik melalui alur-alur kepulauan maupun alur- alur tradisional untuk pelayaran internasional sebagaimana dimaksud pada Pasal 49, 52 dan 53 UNCLOS 1982. Zona tambahan (contiguous zone) sebagaimana pada Pasal 48 UNCLOS 1982 memberi peluang kepada negara kepulauan untuk mendeklarasikan zona tambahan selebar 24 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan atau 12 mil laut diukur dari batas luar laut teritorial, namun demikian Indonesia belum memanfaatkan peluang tersebut.

40

Berdasarkan UNCLOS 1982 batas territorial yang disepakati adalah 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal. Garis dasar adalah garis yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Suatu negara mempunyai hak kedaulatan penuh atas laut teritorial, dan mempunyai kewajiban menyediakan

39

Hasjim Djalal. Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakkan Hukum Dan Kedaulatan NKRI. Jurnal Pertahanan, Volume 3, Nomor 2 Agustus 2013, hlm 23

40

Tommy Hendra Purwaka, Loc.Cit

(36)

alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di bawah permukaan laut. Bagi Indonesia, ada pengumuman pemerintah tentang wilayah laut teritorial yang dikeluarkan tanggal 13 Desember 1957. Hal ini dikenal dengan Deklarasi Djuanda yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No.4 Prp. 1960. Setelah ada UNCLOS 1982, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.

41

Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dapat dibagi menjadi zona yang di mana negara memiliki kedaulatan penuh di dalamnya dan zona di mana negara hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Zona maritim di mana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut teritorial (territorial sea). Dengan demikian batas terluar dari zona laut di mana suatu negara mempunyai kedaulatan penuh adalah batas terluar dari laut teritorialnya yakni berdasarkan UNCLOS 1982 tidak boleh melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkalnya. Zona maritim di mana negara pantai mempunyai yurisdiksi yang terbatas adalah zona tambahan (contiguous zone), ZEE dan landasan kontinen (continental shelf). Di luar dari zona-zona ini, yakni di laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international sea bed area) tidak ada satu negara pun yang dapat mengklain kedaulatan ataupun yurisdiksi diatasnya

42

41

Erlina, Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) Terhadap Konservasi Kelautan Dalam Wilayah Teritorial Laut (Territorial Sea) Indonesia. Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013, hlm 217

42

Ibid

(37)

Berdasarkan konversi PBB tentang Hukum Laut, rejim laut teritorial merupakan dasar kedaulatan Pemerintah Indonesia terhadap wilayah teritorial laut. Atas dasar kedaulatan itu, hak-hak Pemerintah Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis di wilayah teritorial tersebut. Negara Indonesia, sebagai negara pantai, juga berhak membuat aturan hukum untuk wilayah teritorial dan menegakkannya; the rights of the coastal state to make laws its territarial sea and to enforce them.

43

B. Penetapan dan Penegasan Batas Zona Ekonomi Eksklusif setelah UNCLOS 1982

ZEE pertama kali berasal dari Proklamasi Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman pada tahun 1945. Dasar pemikiran dicetuskannya konsep tersebut yaitu adanya keinginan Amerika Serikat untuk memanfaatkan sumber daya alam di luar wilayah negaranya namun masih berdekatan dengan laut teritorial. Penetapan batas ZEE antara satu negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain harus diatur dengan suatu perjanjian internasional.

44

Perkembangan ZEE mencerminkan kebiasaan internasional (international customs) yang diterima menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law), karena sudah terpenuhi dua syarat penting, yaitu

43

R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Third Editon, Juris Publishing, Manchester University, U.K., 1999, hlm 99

44

I Made Padek Diantha. Zona Ekonomi Ekslusif. Cetakan Kesatu. Bandung, Mandar

Maju, 2002, hlm.1

(38)

praktik negara-negara (state practice) dan opinio juris sive necessitatis. ZEE bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah vital karena di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, sehingga mempuyai peranan sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara.

UNCLOS 1982 juga ditentukan lebar ZEE. Adapun lebar ZEE diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi: The exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth ofthe territorial sea is measured. Artinya yaitu Pasal 57 ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

45

UNCLOS 1982 telah membagi laut ke dalam dua bagian yaitu yang berada di bawah dan di luar yurisdiksi nasional, dengan rincian sebagai berikut:

1. Berada di bawah kedaulatan penuh negara yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial;

2. Negara memiliki yurisdiksi khusus, yaitu: zona tambahan;

3. Negara memiliki hak-hak eksklusif dan yrisdiksi terbatas yaitu ZEE dan landas kontinen;

4. Tunduk pada prinsip kebebsan di laut lepas, yaitu laut lepas

5. Dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia, yaitu dasar laut samudera dalam diluar yurisdiksi nasional (kawasan).

46

45

Ida Kurni, Penerapan Unclos 1982 Dalam Ketentuan Perundang — Undangan Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Prioris, Volume 2, Nomor 1, September 2008, hlm 46

46

Etty R. Agoes, Laporan Tim Naskah Akademik Tentang Zona Tambahan Indonesia,

Jakarta, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan HAM RI Tahun 2008, hlm 2-3

(39)

Wilayah laut Indonesia pertama kali ditentukan dengan TZMKO.

Berdasarkan TZMKO tahun 1939, lebar laut wilayah perairan Indonesia hanya meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia. Lebar laut hanya 3 mil laut. Artinya, antar pulau di Indonesia terdapat laut internasional yang memisahkan satu pulau dengan pulau lainnya. Hal ini dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pemerintah Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan Deklarasi Djuanda. Inti dari Deklarasi Djuanda yaitu sebagai berikut:

1. Laut dan perairan di antara pulau-pulau menjadi pemersatu karena menghubungkan pulau yang satu dengan yang lain.

2. Penarikan garis lurus pada titik terluar dari pulau terluar untuk menentukan wilayah perairan Indonesia.

3. Batas-batas wilayah Indonesia diukur sejauh 12 mil dari garis dasar pantai pulau terluar.

47

Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1982 tentang Pengesahan UNCLOS.

Ratifikasi adalah pengesahan suatu kesepakatan internasional melalui persetujuan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan apabila sudah disetujui maka akan menjadi bagian hukum nasional.

48

Konsekuensi yang harus dilakukan Indonesia setelah melakukan ratifikasi ini adalah Sejak undang-undang ini diberlakukan pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia terkait dalam UNCLOS 1982 dan harus mengimplementasikannya dalam pembuatan hukum laut nasional.

47

Merilin L. I. Thomas. Loc.Cit

48

AR. Dewanto, Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di

Pengadilan Nasional. Yogyakarta, Disertasi Doktor, 2011, hlm 49

(40)

Disahkannya UNCLOS 1982, tidaklah berarti bahwa konvensi tersebut telah dapat menampung segala kepentingan negara-negara. Justru pada masa sekarang, masalah-masalah yang nyata mulai timbul. Diantara kedelapan zona maritim yang telah diatur dalam UNCLOS 1982, salah satu zona maritim yang sering diperebutkan antara sesama negara pantai yang bertetangga adalah laut teritorial.

Wilayah laut teritorial, negara pantai memiliki kedaulatan penuh pada wilayah udara di atasnya, kolom air, dasar laut, dan tanah di dalamnya. Implikasinya, negara tersebut memiliki kewenangan untuk menetapkan ketentuan di bidang apapun.

49

C. Penetapan Batas Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Menurut Hukum Nasional

Indonesia sebagai negara luas yang dipisahkan oleh laut dan terdiri dari banyak pulau-pulau, penetapan garis pangkal di Indonesia telah diatur sejak masa Hindia Belanda. Pengaturan mengenai metode penarikan garis pangkal yang diterapkan Indonesia mengalami perkembangan pada setiap masa pemerintahan.

Sejarah penerapan garis pangkal di Indonesia dapat ditelusuri melalui Hukum positif Indonesia.

50

Maritim Hindia Belanda 1939 TZMKO wilayah perairan Indonesia dimulai pengaturannya sejak jaman penjajahan Belanda melalui TZMKO yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939. Peraturan ini

49

Adiwerti Sarahayu Lestari, ―Implikasi Perjanjian Tentang Penetapan Garis Batas Laut territorial Antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura‖, Skripsi S1 Hukum Transnasional Fakultas Hukum, UI, 2011, hlm.42

50

Eva Johan, Pengukuran Lebar Laut Teritorial Menggunakan Garis Pangkal Menurut

Unclos 1982 dan Penerapannya Dalam Hukum Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 1

Januari 2009, hlm 47

(41)

masih dipakai Indonesia sampai saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

TZMKO adalah undang-undang tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Indonesia yang menetapkan, antara lain, bahwa laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak tiga mil laut dari garis air rendah (laag waterlijn) pulau-pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan (grondgebeid) Indonesia. Wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi lebarnya hanya tiga mil-laut.

51

Ini berarti perairan laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan laut bebas yang dapat digunakan oleh semua negara. Akibat dari penggunaan garis pangkal biasa, terdapat lorong laut bebas sehingga pulau-pulau Indonesia terpisah-pisah. Penetapan lebar wilayah kelautan tiga mil laut tersebut dirasa tidak menjamin kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdaulat, berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi negara.

52

Bentuk geografis Indonesia sabagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri. Penentuan batas laut teritorial seperti yang diatur dalam TZEMKO tidak lagi sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisahdengan perairan teritorialnya sendiri-sendiri. Untuk mejaga keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat. Pemerintah mengumumkan tentang Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia, pada tahun

51

Etty R Agoes, Dimanakah Batas-Batas Wilayah Kita di Laut, Jakarta, Departemen Perikanan Republik Indonesia, 2000, hlm.4

52

Ibid

(42)

1957, yang disebut sebagai Deklarasi Juanda sebagai peletak aturan pertama mengenai hukum positif tentang laut di Indonesia. Deklarasi Juanda menyebutkan bahwa: Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau- pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia.

Lalu lintas yang damai di perairan setiap pulau atau bagain pulau Indonesia yang pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.

53

Sebagian dari ketentuan-ketentuan TZMKO yang berhubungan dengan penetapan wilayah perairan dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia (Perpu No.4 tahun 1960), yang merubah cara penarikan garis pangkal dan lebar laut Indonesia.

54

Perpu No.4 tahun 1960 memberikan kekuatan hukum kepada Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan sepihak pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang- undangan nasional.

Undang-undang ini telah dicabut dan disesuaikan dengan ketentuan hukum internasional yang baru melalui Undang-Undang No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Wilayah laut Indonesia ialah laut selebar dua belas mil laut yang garis luarnya diukur teak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri

53

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Bandung, Sumur, 1994, hlm. 16

54

Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan

3. suatu sebab yang halal. Pos Indonesia bergerak dalam bidang jasa, maka faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang

Maka dengan demikian, berdasarkan pembahasan yang dijelaskan sebagaimana yang dimaksud di atas, timbul keinginan untuk mengkaji tentang keringanan pajak sebagai bentuk insentif

Maka, atas pertimbangan tersebutlah Majelis Hakim menyatkan bahwa terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Dari pemaparan

Menimbang, bahwa menurut hemat hakim, pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah merupakan hal yang refresif akibat perbuatan yang dilakukan karena

Pembahasan terhadap judul skripsi tentang “IMPLEMENTASI HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 (ANALISIS PUTUSAN