• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN ATAS KERUGIAN PENUMPANG KARENA PEMBONGKARAN BAGASI

DITINJAU DARI UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JOSUA FRANS HUTAGALUNG NIM: 150200387

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

Oleh

JgS UA FS^{,I[S 4pTAGAru^,NG

NIM:

150200387

Disetujui OIeh

Pembimbing

[I:

Ufrh.tt;,*

I)r.

Mahmul Siresar. S.E..M.Hum

ttIP.

1 973 02i202W212 I 001

FAKULTAS

IIUKUM

UNTYERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya penulis mampu untuk menjalani perkuliahan sampai pada tahap penyelesaian skripsi pada jurusan Hukum Ekonomi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Penulisan skripsi yang diberi judul: “PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN ATAS KERUGIAN PENUMPANG KARENA PEMBONGKARAN BAGASI DITINJAU DARI UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN” ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan kali ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya selama penyusunan skripsi ini, maupun selama menempuh perkuliahan terkhususnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

5. Ibu Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah dicurahkan dalam membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini, serta atas segala bimbingan dan saran-saran yang sangat bermanfaat;

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih atas bimbingan dan saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini;

8. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama masa perkuliahan;

9. Seluruh Staff Tata Usaha dan Staff Administrasi serta Pegawai yang telah banyak membantu Penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih dan hormat yang setinggi-tingginya kepada:

1. Teristimewa untuk kedua Orangtua Penulis yang terkasih, Ayahanda Cp. Hutagalung dan Ibunda F. Br. Nainggolan yang dengan penuh cinta kasih telah memberikan doa, dukungan, kasih sayang, dan bimbingan yang tidak ternilai kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

(5)

2. Kepada abangku Bang Johan, Bang Eko, Kak Nancy, dan Kak Eva yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan serta semangat dari awal perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini;

3. Kepada sahabat- sahabat tercinta Ade, Bang Tibol, Yolanda Utari, Yuyun, Johanna Tania, Karin Tobing, Fernando terima kasih atas selalu menyemangati dan memberikan dukungan satu sama lain untuk mencapai cita-cita;

4. Kepada yang terkasih Rebecca Anasthasia Marpaung terimakasih untuk selalu memberikan semangat dan dukungan dari awal perkuliahan hingga membantu dalam penulisan skripsi ini;

5. Kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2015 yang tidak dapat saya sebutkan terimakasih atas dukungan dan semangatnya selama ini;

6. Kepada seluruh rekan-rekan juang Sapma PP Hukum dan Sapma PP USU terimakasih untuk pengalaman, pembelajaran, dukungan dan semangatnya kepada Penulis;

7. Kepada seluruh junior stambuk 2018 FH USU terimakasih atas bantuan dari semua pihak dalam penulisan skripsi ini;

8. Kepada seluruh teman teman dan sahabatku Marlincha, Reynald, Victor, Fernando Hutabarat, Yohana, Bobby Ginting, Elisa yang telah membantu menyemangati untuk menyelesaikan perkuliahan saya.

Semoga segala bantuan, dukungan, dan doa yang telah diberikan kepada Penulis menjadi amal Ibadah dan senantiasa diberikan berkat oleh Tuhan. Akhir kata, Penulis menyadari terhadap kekurangan yang dikarenakan keterbatasan

(6)

pengetahuan, kemampuan, kelalaian pengeditan, dan bahan-bahan literatur yang Penulis dapatkan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar menjadi acuan Penulis dalam penyempurnaan penulisan karya berikutnya dan dapat bermanfaat bagi kemajuan Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu Hukum.

Medan, 24 Agustus 2020 Hormat Penulis,

JOSUA FRANS HUTAGALUNG NIM: 150200387

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II ... 25

HUBUNGAN HUKUM ANTARA MASKAPAI PENERBANGAN ... 25

DENGAN PENUMPANG ... 25

A. Tinjauan Mengenai Pengangkutan Udara ... 25

1. Pengertian Pengangkutan Udara ... 25

2. Fungsi Pengangkutan dan Jenis Pengangkutan ... 28

3. Perjanjian dalam Pengangkutan Udara ... 34

4. Para pihak dalam Perjanjian Pengangkutan Udara ... 37

B. Hubungan Hukum Antara Maskapai Penerbangan Dengan Penumpang ... 44

C. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hubungan Perjanjian Pengangkutan Udara ... 55

D. Hak dan Kewajiban para pihak dalam hubungan Pelaku usaha dan Konsumen ... 59

BAB III BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP PENUMPANG DAN BARANG MILIK PENUMPANG DALAM PENGANGKUTAN MELALUI UDARA ... 75

A. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ... 75

B. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang………..79

C. Perlindungan Hukum Terhadap Barang Milik Penumpang ... 84

BAB IV TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG AKIBAT PEMBONGKARAN BAGASI BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 88

(8)

A. Tinjauan Mengenai Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 88

B. Proses Pengajuan Klaim Kepada Maskapai Terhadap Penumpang yang Mengalami Kerugian Akibat Pembongkaran Bagasi ... 95

C. Bentuk dan Pelaksanaan Pertanggungjawaban Perusahaan Penerbangan Terhadap Kerusakan dan Kehilangan Bagasi Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ... 99

BAB V ... 107

KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada masa sekarang ini alat transportasi adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia dalam proses pemindahan barang atau manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam perkembangannya, manusia selalu memilih transportasi yang lebih cepat dan aman dibanding transportasi lainnya.

Transportasi yang lebih cepat dan aman itu ialah melalui udara.

Angkutan Udara adalah setiap kegitatan dengan menggunakan Pesawat Udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau post untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Penerbangan Niaga di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan melihat besarnya potensial jumlah penumpang dan banyaknya maskapai penerbangan yang ada baik domestik maupun internasional melayani jasa penerbangan ke berbagai rute penerbangan.

Pesawat memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan bawaan mereka yaitu bagasi. Bagasi pesawat dibedakan menjadi dua macam, yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin. Pada dasarnya semua barang dapat masuk ke dalam bagasi tercatat pesawat. Namun beberapa maskapai penerbangan memberi batasan mengenai barang penumpang yang dapat diangkut di bagasi pesawat untuk kenyamanan dan keamanan para penumpang. Bagasi tercatat biasanya dibatasi dalam satuan kilogram setiap penumpang untuk menggunakan fasilitas bagasi tercatat ini. Hampir semua

(10)

penumpang menggunakan jasa bagasi tercatat apabila mereka berpergian dengan pesawat. Berarti penumpang selaku konsumen pesawat telah memberi kepercayaan kepada pihak maskapai penerbangan untuk mengamankan barang barangnya selama perjalanan di pesawat.

Sampai dengan tahun 2011 terdapat 50 perusahaan atau maskapai penerbangan niaga yang beroperasi dengan menggunakan pesawat terbang.

Perusahaan-perusahaan yang melayani jasa penerbangan niaga diantaranya Garuda, Merpati, Batavia, Mandala, LionAir dan lain-lain.1 Dalam perkembangannya, banyak perusahaan perusahaan angkutan udara yang siap bersaing untuk menarik penumpang sebanyak banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah atau menawarkan berbagai bonus yang diburu masyarakat masyarakat secara antusias. Di lain sisi , murahnya harga yang di tawarkan oleh pihak perusahaan penerbangan sering menurunkan kualitas pelayanan(service), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan dan perawatan pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan akan berdampang kurang baik terhadap keamanan,kenyamanan dan perlindungan konsumen .2

Dalam perkembangannya hubungan hukum antara pihak pengangkut dan pihak penumpang sebagai pengguna jasa menghendaki adanya kesetaraan kedudukan di antara para pihak, karena pada dasarnya hubungan antara pengangkut dengan penumpang merupakan hubungan yang bersifat saling

1 http://hubud.dephub.go.id/id_maskapai_armada_detail_berjadwal diunggah 22 Februari 2020.

2 E.Saefullah Wiradipradja, “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.25, ( 2006), hal.5-6.

(11)

ketergantungan. Tetapi dalam prakteknya pengangkutan udara sering berjalan tidak seimbang, dimana pihak pengangkut sering kali mengabaikan semuanya, sehingga menyebabkan penumpang kesulitan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pengguna jasa yang telah dirugikan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Pada prinsipnya kegiatan pengangkutan udara merupakan hubungan hukum yang bersifat perdata akan tetapi mengingat transportasi udara telah menjadi kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur tangan pemerintah dalam kegiatan pengangkutan udara yaitu menentukan kebijakan- kebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara sehingga kepentingan konsumen pengguna jasa transportasi udara terlidungi.

Pengangkut pada pengangkutan udara adalah perusahaan pengangkutan udara yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan pesawat udara sipil dengan memungut bayaran.3 Sementara itu perusahaan angkutan udara atau biasa disebut dengan maskapai penerbangan dapat didefinisikan yaitu sebuah

3 Ibid, hal. 69

(12)

organisasi yang menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau barang.

Mereka menyewa atau memiliki pesawat terbang untuk menyediakan jasa tersebut dan dapat membentuk kerja sama atau aliansi dengan maskapai lainnya untuk keuntungan bersama.

Secara teoritis hubungan hukum menghendaki adanya kesetaraan diantara para pihak, akan tetapi dalam prakteknya hubungan hukum tersebut sering berjalan tidak seimbang terutama dalam hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini pun terjadi dalam hubungan hukum antara perusahaan pengangkutan udara dengan konsumen atau penumpang, dimana konsumen tidak mendapatkan hak-haknya dengan baik. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu perlindungan hukum bagi konsumen dalam kegiatan penerbangan khususnya terhadap bagasi.

Unsur terpenting dalam perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan udara serta jenis-jenis angkutan lainnya adalah unsur keselamatan angkutan dan tanggung jawab pengangkut. Pengangkut (produsen) bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi antara lain akibat kehilangan dan kerusakan bagasi selama pengangkutan berlangsung. Untuk penggantian kerugian tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian hukum untuk melindungi penumpang (konsumen).

Namun, jika konsumen merasa kuantitas atau kualitas barang atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, Ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. 4

4 H. K. Martono, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT.Grashindo, 2009), hal 28-29.

(13)

Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pihak pengangkut dan pihak pengguna jasa atau penumpang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian pengangkutan, maka untuk dapat melindungi hak dan kewajiban para pihak perjanjian yang dibuat haruslah memenuhi syarat-syarat seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu pokok persoalan tertentu

d. Suatu sebab yang tidak terlarang

Ketika penumpang telah membeli tiket pesawat untuk melakukan kegiatan penerbangan, maka saaat itu juga telah mengikatkan diri terhadap ketentuan ketentuan dan peraturan yang ada pada tiket pesawat dan mendapatkan perlindungan dalam pemanfaatan jasa penerbangan. Namun karena murahnya tiket pesawat yang di berikan pihak maskapai, sering mengakibatkan kesalahan teknis dari pihak maskapai dan sering tidak bertanggungjawab dalam kerugian penumpang tersebut dan dapat dikatakan sebagai bentuk wanprestasi perjanjian dalam hal ini.

Beberapa kasus yang dapat dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi oleh pengangkut adalah tidak memberikan keselamatan dan keamanan penerbangan kepada penumpang yaitu, berupa terjadinya kecelakaan pesawat yang mengakibatkan penumpang meninggal dunia dan/atau cacat, keterlambatan penerbangan atau “delay”, kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik

(14)

penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, informasi yang tidak jelas tentang produk jasa yang ditawarkan dan lain-lain. Namun permasalahan yang akhir-akhir ini sering ditemui adalah kehilangan bagasi milik penumpang. Pihak Penerbangan kerap tidak bertanggungjawab akan segala kehilangan yang di alami oleh penumpang yang juga dapat dikatakan sebagai konsumen dari Penerbangan tersebut. Seringkali bagasi yang di bawa penumpang yang diangkut pihak maskapai penerbangan, tidak sampai lagi ke tangan pemiliknya di saat tiba di bandara yang dituju. Seringkali kehilangan atau kerusakan bagasi penumpang tidak di tanggapi serius dan hanya terkesan lambat penanganannya, bahkan banyak kasus kehilangan bagasi sampai berlarut-larut dan menempuh jalur hukum dan tidak menemukan titik temu antar penumpang dan maskapai penerbangan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan suatu peristiwa sebagai berikut:

Salah seorang dari penumpang, Putra (34 tahun), yang koper miliknya di bongkar paksa, ketika gembok kopernya di buka oleh salah satu karyawan dari pihak maskapai. Namun Putra hanya mengalami ketidakpastian dari pihak maskapai karena Pihak maskapai seakan-akan tidak bertanggungjawab dalam hal itu, dan melemparkan ke pihak lainnya.

Begitu juga yang di alami oleh Rio yang pernah kehilangan Ipod miliknya, dan di sadari ketika sudah keluar dari bandara. Pihak maskapai mengatakan tidak bertanggungjawab atas kehilangan barang ketika konsumen telah meninggalkan bandara.5

Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang yang membawa bagasi diatur dalam Ordonasi Pengakutan Udara II 1939.

Kewajiban pengangkut dapat berupa membayar ganti rugi apabila terjadi kehilangan atau kerusakan bagasi, sedangkan hak penumpang adalah menerima pembayaran ganti rugi apabila terjadi kerusakan atau kehilangan bagasi .

5https://travel.tribunnews.com/2017/10/14/terbongkar-kebobrokan-bagasi-pesawat oknum-ini-tertangkap-kemera-membuka-paksa-koper-penumpang diakses pada 02 Maret 2020.

(15)

Terjadinya kerusakan dan kehilangan bagasi tidak dengan sendirinya merupakan tanggungjawab dari pengangkut, tetapi harus memenuhi persyaratan- persyaratan. Menurut Ordonansi Pengangkutan Udara bahwasanya dokumen pengangkutan dalam pengangkutan udara terdiri:

a. Tiket Penumpang b. Tiket bagasi

c. Surat muatan udara

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara, tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tanggung jawab itu dimulai sebelum masa penerbangan (pre-flight service), pada saat penerbangan (in-flight service), dan setelah penerbangan (post-in flight service). Kerugian sebelum masa penerbangan (pre-flight service) misalnya berkaitan dengan pembelian tiket, penyerahan bagasi, penempatan bagasi pada rute yang salah atau terjadinya keterlambatan. Kerugian pada saat penerbangan (in-flight service) misalnya tidak mendapatkan pelayanan yang baik atau rasa aman untuk sampai di tujuan dengan selamat. Sedangkan kerugian setelah penerbangan (post-in flight service) antara lain sampai di tujuan terlambat, bagasi hilang atau rusak.

Tanggung jawab maskapai penerbangan inilah yang menjadi sorotan bagi penumpang yang mengalami kehilangan barang. Mengingat dalam hal kewajiban

(16)

maskapai penerbangan udara adalah memberikan pelayanan yang baik serta bertanggung jawab dalam hal terjadi kerugian pada penumpang, maka penumpang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti kerugian terutama dalam objek penelitian ini adalah barang penumpang yang hilang.

Tanggungjawab oleh pihak pengangkut atau pihak maskapai juga di atur dalam UU NO 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dalam pasal 144-147.6 Pasal 144 UU NO 1 Tahun 2009, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang di kirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo dalam pengawasan pengangkut. Hal ini jelas merupakan menjadi titik acuan pihak konsumen untuk menuntut segala kerugian yang tidak ditanggungjawabin oleh pihak maskapai atau dapat yang dikatakan pihak pengangkut.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak permasalah yang terjadi antara pihak pengangkut dan pihak penumpang mengenai pembongkaran bagasi yang menimbulkan kerugian bagi penumpang. Pengangkut (produsen) bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi antara lain akibat kehilangan dan kerusakan bagasi selama pengangkutan berlangsung. Untuk penggantian kerugian tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian hukum untuk melindungi penumpang (konsumen). Maka dari itu penulis ingin meneliti tentang Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Atas Kerugian Penumpang Karena Pembongkaran Bagasi Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 144 Tentang Penerbangan (LN Tahun 2009 Nomor 1 TLN Nomor 4956)

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimana hubungan hukum antara maskapai penerbangan dengan penumpang?

2. Bagaimana perlindungan terhadap penumpang dan barang milik penumpang dalam pengangkutan melalui udara?

3. Bagaimana tanggungjawab perusahaan penerbangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap kerugian penumpang akibat pembongkaran bagasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan hukum antara maskapai penerbangan dengan penumpang.

b. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan terhadap penumpang dan barang milik penumpang dalam pengangkutan melalui udara.

c. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggungjawab perusahaan penerbangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap kerugian penumpang akibat pembongkaran bagasi.

(18)

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta manfaat secara teoritis berupa pengetahuan dalam bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Ekonomi, tentang perlindungan konsumen.

2. Manfaat Praktis :

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya pihak yang sering terlibat dalam menggunakan armada angkutan udara, agar dapat memahami hak-hak yang harus di perolehnya ketika mengalami kerugian sebagai konsumen dan meningkatkan pemahaman tentang perlindungan konsumen.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Atas Kerugian Penumpang Karena Pembongkaran Bagasi Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sampai sejauh ini belum ditemukan adanya judul yang sama seperti tulisan tersebut di atas.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara antara lain :

(19)

1. Fredi Luth Putra Purba “Perlindungan Konsumen Atas Kerusakan dan Kehilangan Bagasi Penumpang Pesawat Udara Oleh Maskapai Penerbangan (Studi Kasus PT. Metro Batavia Cabang Medan)”. Dalam Hal ini, perbedaan judul Fredi dan penulis dapat dilihat dari objek kajian dalam melakukan penulisan. Fredi dalam melakukan penulisan , menggunakan metode penelitian lapangan guna memperoleh data sebenarnya, sedangkan penulis tidak menggunakan metode penelitian lapangan melainkan hanya menggunakan metode studi kepustakaan yang sumbernya berasal dari Undang Undang,Peraturan Perundang- undangan , Buku , Internet , dan sebagainya .

2. Katherine Ruth Alibasa “Tanggungjawab Maskapai Penerbangan Udara Terhadap Penumpang yang Mengalami Kehilangan Barang (Studi Kasus PT. Sriwijaya Airlines)”. Perbedaan skripsi Katherine dengan skripsi penulis dalam hal ini terdapat dalam bagian objek penulisan skripsi. Katherine dalam melakukan pengumpulan data, dengan melakukan penelitian lapangan, sedangkan penulis dalam melakukan pengumpulan data dengan studi dokumen. Skripsi Katherine juga hanya membahas permasalahan pada kehilangan barang penumpang, tetapi penulis tidak hanya membahas permasalahan kehilangan bagasi melainkan juga membahas kerugian kerugian lainnya yang di alami penumpang seperti contoh kerugian penumpang akibat keterlambatan keberangkatan pesawat.

(20)

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya baik secara akademi maupun secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Konsumen

Konsumen berasal dari istilah asing, Inggris consumer dan Belanda consument. Konsumen secara harfiah adalah “orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh. Istilah lain yang dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (Inggris: buyer, Belanda: koper). Istilah koper ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli. Bahkan,jika disimak secara cermat pengertian konsumen sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, di dalamnya tidak ada disebut kata pembeli.7

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa

7N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. ke- 1, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005), hal. 23.

(21)

konsumen adalah pengguna terakhir (end user), tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.8

Guidelines for Customer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan “Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. Hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan, dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing.9

2. Penumpang

Penumpang adalah seseorang yang hanya menumpang, baik itu pesawat, kereta api, bus, maupun jenis transportasi lainnya, tetapi tidak termasuk awak mengoperasikan dan melayani wahana tersebut.10 Penumpang menurut konteks penerbangan adalah seorang konsumen dan secara umum kewajiban konsumen adalah membayar ongkos pengangkutan yang telah ditetapkan besarnya, dan menjaga barang-barang yang berada dibawah pengawasannya, melaporkan jenis- jenis barang yang dibawa terutama barang-barang yang berkategori berbahaya.

Ketentuan tersebut juga berlaku di dalam kegiatan pengangkutan atau transportasi

8 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

9 Tini Hadad, dalam AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.II, (Jakarta:

Daya Widya, 2000), hal.7

10 http://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 11 Maret 2020

(22)

udara, dalam hal ini pengangkut atau maskapai penerbangan berkewajiban untuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat waktu, dan sebagai konpensasi dari pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan penerbangan mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaran pengangkutan dari penumpang.

Menurut Soeprapto, pengertian penumpang adalah pengguna jasa transportasi di bisnis penerbangan dari departure ke destination, yang memerlukan perhatian khusus karena menyangkut keselamatan dan keamanan penumpang.11

Penumpang bisa dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu penumpang yang naik suatu kenderaan/wahana tanpa membayar, dimana penumpang tersebut dikemudikan oleh pengemudi atau anggota keluarga, dan penumpang umum yaitu penumpang yang ikut dalam perjalanan dalam suatu wahana dengan membayar.

Wahana bisa berupa taxi, bus, kereta api, kapal ataupun pesawat terbang.

3. Maskapai penerbangan

Istilah maskapai berasal dari bahasa Belanda,”maatschappij” yang berarti perusahaan. Secara sederhana, maskapai penerbangan adalah sebuah organisasi yang menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau barang. Mereka menyewa atau memiliki pesawat terbang untuk menyediakan jasa tersebut dan dapat membentuk kerja sama atau aliansi dengan maskapai lainnya untuk

11 Sri Sutarwati, Hardiyana dan Novita Karonlina,” Tanggung Jawab Pengusaha Angkutan Udara Terhadap Penumpang Maskapai Garuda Indonesia yang mengalami keterlambatan penerbangan di Bandara Udara Internasional Adi Soemarmo Solo”, Jurnal Ground Handling Dirgantara, Volume 3, Nomor 2, Desember (2016), hal 17.

(23)

keuntungan bersama.12 Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut pengertian maskapai penerbangan menurut para ahli, antara lain:

a. Menurut R. S. Damardjati perusahaan penerbangan adalah perusahaan milik swasta atau pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayanan angkutan udara untuk penumpang umum baik yang berjadwal (schedule service/regular flight) maupun yang tidak berjadwal (non schedule service). Penerbangan berjadwal menempuh rute penerbangan berdasarkan jadwal waktu, kota tujuan maupun kota-kota persinggahan yang tetap.

Sedangkan penerbangan tidak berjadwal sebaliknya, dengan waktu, rute, maupun kota-kota tujuan dan persinggahan bergantung kepada kebutuhan dan permintaan pihak penyewa.

b. Menurut F. X. Widadi A. Suwarno perusahaan penerbangan (airlines) adalah perusahaan penerbangan yang menerbitkan dokumen penerbangan untuk mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman (kargo), dan benda pos (mail) dengan pesawat udara. Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan penerbangan adalah suatu perusahaan angkutan udara yang memberikan dan menyelenggarakan pelayanan jasa angkutan udara yang mengoperasikan dan menerbitkan dokumen penerbangan dengan teratur dan terencana untuk mengangkut penumpang, bagasi penumpang, barang kiriman (kargo), dan benda pos ke tempat tujuan.13

4. Perlindungan konsumen

Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tercantum pada Pasal 1 butir 1 yaitu: ”Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan pada konsumen.”14 Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat melalui Undang-Undang, khusus memberikan harapan agar para pelaku usaha tidak berlaku sewenang-wenang dan akhirnya konsumen mempunyai hak dan kewajiban dalam posisi yang seimbang dengan para pelaku usaha. Konsumen

12 http://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan, diakses tanggal 13 Maret 2020

13 http://necel.wordpress.com/2009/06/28/pengertian-perusahaan-penerbangan/, diakses 13 Maret 2020

14 Pasal 1 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (LN Tahun 1999 Nomor 22 dan TLN Nomor 3821)

(24)

merupakan hal terpenting dalam melakukan setiap jalannya kegiatan usaha, karena tanpa adanya konsumen maka usaha yang dijalankan tidak akan berhasil.

Pengertian dari konsumen itu sendiri menurut Hornby adalah sebagai berikut:

Sesuatu (perusahaan) atau seseorang yang membeli barang atau memakai jasa dari para pelaku usaha. Pelaku usaha yaitu setiap orang atau perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha.15

Selain itu, dalam perlindungan konsumen dikenal beberapa asas dan teori diantaranya yaitu sebagai berikut:

a. Asas Manfaat.

Untuk mengamanatkan segala usaha dan upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen wajib memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas Keadilan.

Agar partisipasi seluruh masyarakat bisa mewujudkannya secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan juga pelaku usaha agar memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas Keseimbangan

Untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha serta pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.

15 Ibid

(25)

Untuk memberikan semua jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang digunakan.

e. Asas Kepastian Hukum.

Agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, dan juga negara yang menjamin kepastian hukum.

f. Teori Berkontrak.

Hubungan antara pelaku usaha selaku produsen dengan konsumen pada dasarnya mempunyai hubungan kontraktual. Hubungan kontrak tersebut berisi kewajiban dasar untuk mematuhi isi perjanjian penjualan, kewajiban untuk memahami sifat produk, menghindari misrepesentasi atau tindakan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, dan menghindari penggunaan paksaan atau pengaruh.

5. Kerugian konsumen

Kerugian konsumen adalah sebuah keadaan dimana konsumen mengalami kerugian atas akibat yang di timbulkan karena adanya suatu perikatan atau perjanjian yang diingkari oleh Pelaku Usaha. Menurut Abdulkadir Muhammad kerugian terdiri atas 3 unsur16, yaitu:

a. Kerugian atas ongkos atau biaya yang dikeluarkan, misalnya ongkos tiket pesawat mahal yang dibeli penumpang tidak sesuai dengan pelayanan yang diberi oleh maskapai penerbangan.

b. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan barang milik penumpang atau kehilangan barang milik penumpang.

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm, 207.

(26)

c. Kerugian terhadap fisik penumpang yang menimbulkan sakit, cacat atau bahkan kematian.

Pelaku Usaha sering tidak bertanggungjawab atas segala kerugian yang di alamin konsumen tersebut, walaupun kerugian tersebut di sebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari pihak perusahaan pelaku usaha. Konsumen sering hanya menelan pahit kerugian tersebut tanpa adanya ganti rugi dari pihak pelaku usaha.

Konsumen dalam mengalamin kerugiannya sering tidak berniat untuk menempuh jalur hukum. Adapun Faktor penyebabnya tidak berniat untuk menempuh jalur hukum yaitu:

1. Rasa pesimis dari pihak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dari pihak pelaku usaha. Adanya indikasi penipuan dengan pemalsuan identitas oleh pihak pelaku usaha. Ditambah lagi, perjanjian yang mereka sepakati tanpa adanya proses tatap muka secara langsung.

2. Kurangnya pengetahuan konsumen bahwa ada undang-undang yang melindungi hak dan kepentingan konsumen yaitu UUPK.

3. Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum ribet dan mahal.17

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai

17 Antonius Dwicky Cahyadi, Kesadaran Hukum Konsumen Dalam Memperjuangkan Hak-Haknya Atas Kerugian Dialami Dalam Melakukan Transaksi Elektronik, (Yogyakarta:

Fakultas Hukum Atmajaya, 2014, hal. 8

(27)

tujuan dari penelitian. Penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, dan diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah-masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah-masalah.

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis permasalahan, seperti diuraikan sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan sifat penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif”.18 Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan lain sebagainya.19 Penelitian hukum normatif merupakan hukum yang dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah yang berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.20

Sifat penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis yaitu

“penelitian yang didasarkan atas suatu teori atau konsep yang bersifat umum yang

18 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika,2009), hal. 105

19Ibid, hal. 106

20 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 118

(28)

diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data lainnya.”21 Penelitian ini juga menguraikan ataupun mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

Sifat penelitian deskriptif analisis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparansi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.22 Penelitian ini juga mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan meliputi peraturan perundang- undangan, buku-buku, situs internet, media masa dan kamus serta data yang terdiri atas :23

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autotratif artinya mempunyai otoritas.24 Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

21 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm 38.

22Ibid, hal. 38

23 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal. 24

24 Peter Mahmud Marzuki, Peneltian Hukum, (Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 141

(29)

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Ordinasi Pengangkutan Udara 1939, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu kamus, ensiklopedia, bahan dari internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik dan alat pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi Kepustakaan (library research) yaitu dengan membaca, mempelajari, dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.

Adapun alat pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.25

4. Analisis data

25 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta 2009), hal. 231

(30)

Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan menentukan keterkaitan antara bagian dan keseluruhan data yang telah dikumpulkan melalui proses yang sistematis untuk menghasilkan klasifikasi atau tipologi. Analisis data dimulai dari tahap pengumpulan data sampai tahap penulisan laporan. Analisis kualitatif disebut juga analisis berkelanjutan (ongoing analysis).26

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi ini, maka dirasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yaitu sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, serta alasan penulis untuk memilih judul skripsi ini. Tujuan Penelitian berdasarkan rumusan masalah. Manfaat dari penelitian, serta metode penelitian dan pengumpulan data diikuti dengan sistematika penulisan.

BAB II : HUBUNGAN HUKUM ANTARA MASKAPAI PENERBANGAN DENGAN PENUMPANG

Dalam bab ini menguraikan tentang mengenai Pengangkutan Udara, Hubungan Hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Penumpang, hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan Perjanjian

26 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 176.

(31)

Pengangkutan barang, dan hak & kewajiban para pihak dalam hubungan pelaku usaha.

BAB III : BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP PENUMPANG DAN BARANG MILIK PENUMPANG DALAM PENGANGKUTAN MELALUI UDARA

Dalam bab ini menguraikan tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, perlindungan hukum terhadap penumpang dan perlindungan hukum terhadap barang milik penumpang.

BAB IV : TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG AKIBAT PEMBONGKARAN BAGASI BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam bab ini menguraikan tentang upaya tanggung jawab perusahaan penerbangan terhadap kerugian penumpang akibat pembongkaran bagasi yang terdiri atas: Tinjauan mengenai penyelesaian sengketa konsumen, proses pengajuan klaim kepada maskapai terhadap penumpang yang mengalami kerugian akibat pembongkaran bagasi dan bentuk serta pelaksanaan pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan serta kehilangan bagasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

(32)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini menguraikan kesimpulan dan saran yang menjawab rumusan masalah dan pemberian saran-saran dari penulis yang bersangkutan dengan skripsi ini.

(33)

BAB II

HUBUNGAN HUKUM ANTARA MASKAPAI PENERBANGAN DENGAN PENUMPANG

A. Tinjauan Mengenai Pengangkutan Udara

1. Pengertian Pengangkutan Udara

Pengangkutan adalah suatu proses pemindahan barang atau orang yang akan mencapai suatu daerah dari daerah lainnya yang dalam pemilihan alat angkutnya dipergunakan efisiensi waktu yang relatif lebih kecil atau singkat.

Pengangkutan selain dijelaskan oleh Undang Undang, dijelaskan juga oleh berbagai ahli. Berikut Penjelasan Beberapa ahli tentang Pengangkutan:

Menurut R. Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.27 Dapat diartikan bahwa pengangkutan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.

Fadia Fitriyanti dan Sentot Yulianugroho, menyatakan bahwa pengangkutan berasal dari kata dasar angkut yang berarti angkat/bawa muat dan bawa/kirimkan. Pengangkutan adalah pengangkatan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang/orang, jadi dalam pengertian

27 R.Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta : CV Rajawali, 1981), hal 5.

(34)

pengangkutan tersimpul suatu proses kegiatan/gerakan dari satu tempat ke tempat lain.28

H.M.N Purwosutjipto, yang dimaksud dengan pengangkutan adalah:

“perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.29

Pengangkut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dalam Pasal 466 KUHD titel VA, Buku II tentang pengangkutan barang adalah

“Orang yang baik karena penggunaan penyediaan kapal menurut waktu (carter waktu) atau penggunaan penyediaan kapal menurut perjalanan (carter perjalanan), baik dengan suatu persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.30

Konvensi-konvensi internasional seperti The Hague Rules 1924 dan The Hamburg Rules 1978 memberikan pengertian tentang Internatikonal Convention for the unification of certain rules relating to Bill of Landing, dalam pasal 1 terdapat pengertian tentang pengangkut “bahwa arti pengangkut termasuk didalamnya pemilik kapal atau pengusaha kapal yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pengirim barang”, jika dibandingkan antara Pasal 466 KUHD dengan Pasal 1 The Hague Rules 1924 tersebut, maka pengertian pengangkut menurut Pasal 1 The Hague Rules 1924 lebih luas. The Hamburg

28 Fadia Fitriyanti dan Sentot Yulianugrogo, Hukum Perniagaan Internasional, (Yogyakarta:

Universitas Muhammadiyah,2007), hal 71

29 H.M.N Purwosutjipto, Pokok Hukum Dagang Indonesia : Hukum Pengangkutan, (Jakarta : DJembatan ,2008), hal 21.

30 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang , ( Yogyakarta : FH UI Press ,2006) hal 178

(35)

Rules 1978 memberikan arti pengangkut dengan mengadakan perbedaan antara carrier (pengangkut) dan actual carrier (pengangkut sesungguhnya).

Pasal 1 The Hamburg Rules 1978 menyebutkan:

1. Pengangkut (carrier) adalah setiap orang untuk siapa atau untuk atas nama siapa perjanjian pengangkutan barang dilaut itu diadakan dengan pihak mereka yang berkepentingan dengan barang-barang muatan.

2. Pengangkut sesungguhnya (actual carrier) adalah mereka yang melaksakan pengangkutan barang atau sebagian pengangkutan yang telah dipercayakan padanya oleh pengangkut dan termasuk pula orang lain terhadap siapa pelaksanaannya telah dipercayakan padanya.31

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.

Pengertian pesawat udara di Indonesia menurut Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 adalah setiap alat yang dapat memperoleh daya angkat dari udara.

Kemudian pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1962, pesawat udara diartikan sebagai semua alat angkut yang dapat bergerak dari atas tanah atau air ke udara atau ke angkasa atau sebaliknya. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 1992, pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. Kemudian baru pada Undang-Undang Penerbangan No.

1 Tahun 2009, Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu

31 Ibid

(36)

perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

Dalam hal kegiatannya, angkutan udara tersebut memerlukan suatu sarana yakni airport ataupun airways. Pengertian dari airways ini adalah suatu jalan yang diperuntukkan bagi pesawat terbang yang melalui ruang udara atau angkasa sepanjang mana pesawat terbang dijalankan untuk bergerak atau terbang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Sedangkan airport atau bandar udara yakni suatu tempat yang digunakan untuk keperluan landing dan take off bagi pesawat- pesawat terbang atau tempat yang dipergunakan secara teratur untuk menerima serta menerbangkan penumpang maupun, muatan barang yang diangkut oleh pesawat tersebut lewat udara.

2. Fungsi Pengangkutan dan Jenis Pengangkutan

Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ketempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.32Suatu proses kegiatan dalam pengangkutan udara ini pada dasarnya mempunyaifungsi dan manfaat bagi segala aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mendukung mobilitas barang dan orang sebagai pengguna jasa angkutan udara, maka peranpengangkutan udara dituntut agar menjadi suatu sistem yang baik dan terpadu.

Dalam kehidupan sehari-hari kebutuhan terhadap angkutan adalah bagian yang integral. Peningkatan kehidupan masyarakat yang tumbuh dan berkembang

32H.M.N.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid III ,Cetakan II (Jakarta : Djambatan, 1984), hal 10.

(37)

menuntut kemajuan sistem angkutan untuk dapat menyediakan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi mobilitasnya. Pengangkutan pada pokoknya berfungsi membawa barang-barang yang dirasakan kurang sempurna bagi pemenuhan kebutuhan ditempat lain dimana barang tersebut menjadi lebih berguna dan bermanfaat. Juga mengenai orang, dengan adanya pengangkutan maka orang akan berpindah dari satu tempat yang dituju dengan waktu yang relatif singkat. Untuk mencapai hasil yang diharapkan serta dapat tercapai fungsi- fungsi pengangkutan, maka dalam pengangkutan diperlukan beberapa unsur yang memadai berupa:33

1) Alat angkutan itu sendiri (operating facilities)

Setiap barang atau orang akan diangkut tentu saja memerlukan alat pengangkutan yang memadai, baik kapasitasnya, besarnya maupun perlengkapan. Alat pengangkutan yang dimaksud dapat berupa truk, kereta api, kapal, bis atau pesawat udara. Perlengkapan yang disediakan haruslah sesuai dengan barang yang diangkut.

2) Fasilitas yang akan dilalui oleh alat-alat pengangkutan (right of way) Fasilitas tersebut dapat berupa jalan umum, rel kereta api, perairan/sungai, bandar udara, navigasi dan sebagainya. Jadi apabila fasilitas yang dilalui oleh angkutan tidak tersedia atau tersedia tidak sempurna maka proses pengangkutan itu sendiri tidak mungkin berjalan dengan lancar.

3) Tempat persiapan pengangkutan (terminal facilities)

33 Sri Rezeki Hartono, Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat, (Semarang : UNDIP, 1980 ), hal 8

(38)

Tempat persiapan pengangkutan ini diperlukan karena suatu kegiatan pengangkutan tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak ada terminal yang dipakai sebagai tempat persiapan sebelum dan sesudah proses pengangkutan dimulai. Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain yang diselenggarakan dengan pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya. Perusahaan maskapai penerbangan sebagai pengangkut juga pelaku jasa angkutan udara, menurut prinsipnya ada beberapa fungsi produk jasa angkutan udara yangharus tercapai yakni dengan melaksanakan penerbangan yang aman (safety), melaksanakan penerbangan yang tertib dan teratur (regularity), melaksanakan penerbangan yang nyaman (comfortable), serta melaksanakan penerbangan yang ekonomis.

4) Melaksanakan penerbangan yang aman (safety)

Faktor keselamatan merupakan di atas segala-galanya dimana perusahaan penerbangan harus mengutamakan hal itu dalam rangka pengoperasian pesawat dari suatu rute ke rute lain. Semua yang terlibat dalam penerbangan baik itu penumpang, awak pesawat dan barang- barang harus sungguh diperhatikan akan keselamatannya. Maka dari itu, kepercayaan akan didapatkan oleh perusahaan penerbangan

(39)

tersebut dari masyarakat sebagai pengguna jasa.34 Perusahaan penerbangan harus melakukan tindakan-tindakan sebagai penunjang keselamatan pesawat yang akan dioperasikan antara lain:

a). Pesawat tersebut harus memenuhi syarat, seperti laik terbang, yang dibuktikan dengan certificate of airworthiness dari pihak yang berwenang.

b). Release sheet oleh dinas teknik perusahaan tersebut (crew qualified).

c). Membuat rencana penerbangan, yang mencakup arah penerbangan ke mana, bahan bakar yang dibawa, ketinggian terbang, dan lain- lainnya.

d). Air traffic control yang baik pada stasiun bandar udara tertentu.

e). Adanya peta-peta dan navigation bag yang lengkap.

5) Melaksanakan penerbangan yang tertib dan teratur (regularity)

Jadwal penerbangan menjadi salah satu hal yang penting dalam pengoperasian pesawat udara karena hal tersebut harus dilaksanakan sesuai yang Keterlambatan penerbangan (delay) telah ditentukan secara tepat dan teratur serta sesuai dengan waktu yang para penumpang inginkan, itu sangat dibutuhkan demi menjamin kepuasan penumpang dan citra perusahaan penerbangan sehingga kelangsungan hidup perusahaan dapat terjaga dan dipertahankan.35

6) Melaksanakan penerbangan yang nyaman (comfortability)

34 M.N. Nasution, Manajemen Transportasi, ( Bogor : Ghalia Indonesia , 2007), hal 202.

35 Ibid, hal 203

(40)

Comfortability ini dimaksudkan agar penumpang mendapatkan kenyamanan selama penerbangan, tentunya ini menjadi tugas perusahaan penerbangan untuk mewujudkannya. Maka pelayanan terbaik haruslah didapat oleh penumpang, pelayanan tersebut maksudnya ialah pada saat calon penumpang mengadakan hubungan dengan perusahaan penerbangan sampai penumpang tiba di tempat yang ditujunya. Apabila hal tersebut terus dipertahankan, secara otomatis penumpang akan merasa puas terhadap pelayanan dari perusahaan penerbangan tersebut.

7) Melaksanakan penerbangan yang ekonomis (economy for company) Di samping telah melakukan penghematan-penghematan biaya disegala aspek dan bidang serta hasil penjualan yang tinggi, maka perbandingan di antara revenue dan cost akan lebih terlihat.

Semaksimal mungkin keuntungan akan dicapai dan efisiensi perusahaan akan terus meningkat sehingga asas kontinuitas bisa untuk dipertahankan. Dengan begitu, perusahaan dapat melakukan ekspansi atau semacam perluasan, pembaruan armada dan memaksimalkan frekuensi penerbangan, di dalam maupun luar negeri. Dengan dijalankannya keempat fungsi jasa angkutan tersebut secara efektif maka daya saing suatu perusahaan penerbangan dapat bertambah serta dapat pula meningkatkan pendapatan perusahaan penerbangan.36

36 Ibid, hal 204

(41)

Jenis-jenis pengangkutan atau transportasi memiliki fungsi melancarkan arus barang dan manusia dan menunjang perkembangan pembangunan, serta memberi manfaat ekonomi, sosial, politik dan kewilayahan. Adapun jenis-jenis pengangkutan atau transportasi dari fakta yang ada adalah:

a) Pengangkutan Kereta Api

Menurut UUKA, yang dimaksud dengan angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.37 Sedangkan definisi dari kereta api sendiri adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.

b) Pengangkutan Darat

Pengangkutan darat atau pengangkutan jalan diselenggarakan oleh perusahaan pengangkutan umum yang menyediakan jasa pengangkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan dan telah mendapatkan izin usaha dan izin operasi dari pemerintah. Contoh dari pengangkutan darat yaitu bus, truk, dan lain sebagainya. Pengaturan mengenai pengangkutan darat atau pengangkutan jalan ini terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 22Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan.

c) Pengangkutan Perairan

Pengangkutan perairan merupakan kegiatan pengangkutan atau memindahkan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain

37 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2007, tentang “Perkeretaapian” , Bab I , Pasal I, Ayat 14

(42)

menggunakan transportasi kapal. Pengangkutan di perairan terdiri atas pengangkutan laut, pengangkutan sungai dan danau, serta pengangkutan penyeberangan. Pengaturan mengenai pengangkutan perairan terdapat di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008.

d) Pengangkutan Udara

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara yang dibedakan menjadi Angkutan Udara Niaga dan Angkutan Udara Bukan Niaga.38 Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, an/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

3. Perjanjian dalam Pengangkutan Udara

Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 menetapkan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain. Sedangkan menurut pendapat H.M.N. Purwosutjipto, yang

38 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 , tentang “Penerbangan”, Bab I, Pasal I , ayat 13.

(43)

dimaksud dengan perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.39

Menurut sifatnya, dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi, tidak seperti dalam perburuhan, di mana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada si buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi, sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah kedudukan yang sama tinggi atau kedudukan koordinasi.40 Dasar dari perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban dan merupakan sebuah perjanjian, maka perjanjian pengangkutan pun harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sebagai berikut:

1. Kata sepakat dari para pihak, diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan

39 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan , (Jakarta : DJambatan , 2003 ) hal 3.

40Ibid , hal 7.

(44)

perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Suatu hal tertentu, diatur dalam Pasal 1333 KUH Perdata suatu perjanjian harus mempunyai objek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan jumlahnya.

4. Suatu sebab yang halal, diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal ataupun jikaada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, perjanjian demikian adalah sah. Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif. Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan bataldemi hukum melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat adalah mengenai objeknya suatu perjanjian sehingga disebut syarat objektif. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.41

41 Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal 8

(45)

4. Para pihak dalam Perjanjian Pengangkutan Udara

Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan udara adalah sebagai berikut:

1. Pengangkut

Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Definisi pengangkut pada pengangkutan kapal dilihat dalam Pasal 466 KUHD berisi pengangkut adalah barangsiapa yang baik dengan perjanjian carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, maupun dengan perjanjian jenis lain, mengikatkan diri untuk meyelenggarakan pengangkutan barang atau orang (Pasal 521 KUHD, yang seluruhnya atau sebagian melalui laut.42Jika dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau barang.

Pengangkut dalam UU No.1 Tahun 2009 adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Pengangkut menurut B.Suherman mendefenisikan pengangkut udara ialah setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim atau penerima barang,

42 H.M.N Purwosutjipto, Op.Cit hal 187

42 E. Suherman, Hukum Udara dan Internasional, (Bandung: Alumni ,1983) hal. 79

(46)

perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang.43

Dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan udara , pihak pengangkut adalah perusahaan maskapai penerbangan. Penyelenggara pengangkutan udara harus berstatus perusahaan badan hukum Indonesia yang menjalankan kegiatan usaha di bidang pengangkutan udara. Perusahaan badan hukum tersebut boleh Badan Usaha Milik Negara seperti PT. Garuda Indonesia dan boleh juga Badan Usaha Milik Swasta seperti PT. Lion Airlines dan PT. Sriwijaya.

Angkutan Udara menurut UU No.Tahun 2009 adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Angkutan Udara dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

2. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

3. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum

43 Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Pihak pengelola pasar (Dinas Pasar ditingkat kebijakan dan Perusahaan Daerah) harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah dan bentuk pasar tradisional

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya

Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun tertarik untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran Hak Cipta apa saja yang terjadi di dalam aplikasi wattpad serta

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang

Jawaban : Dalam hal ini sudah jelas disini dengan adanya penerapan klausula baku yang secara sepihak disini yang juga konsumen tidak dapat diberikan pilihan selain ikut

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaknyalah seluruh bumi dan setiap unsurnya menaikkan puji-pujian atas kuasa dan kemurahan serta penyertaannya yang

Skripsi dengan judul “PENDAFTARAN MEREK KOLEKTIF SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK