• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP

C. Bentuk dan Pelaksanaan Pertanggungjawaban Perusahaan Penerbangan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu usaha menuju sistem yang lebih adil bagi konsumen, terutama dari segi perlindungan

hukumnya.107 Hak konsumen yang dilanggar apabila konsumen merasa dirugikan menurut pasal 4 UUPK adalah :

(1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang dan/atau jasa;

(2) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

(3) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

(4) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

(5) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

(6) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Dalam hal ini, hak konsumen yang dilanggar ketika kehilangan bagasi oleh Perusahaan Penerbangan menurut pasal 4 UUPK tertuang dalam ayat (6). Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan bagasi namun limit penggantian yang ditentukan peraturan ini sudah sama sekali tidak sesuai dengan keadaan ekonomis dewasa ini.

107 Mumu Muhajir, Penerapan Prinsip product Liability (Tanggung Jawab Produk) dalam Kosmetika sebagai Salah Satu Instrumen Perlindungan Kepentingan konsumen,

http://kataloghukum.blogspot.com/2008/01penerapan-prinsip-product-liability.html, diakses pada 21 Agustus 2020

Tanggung jawab maskapai penerbangan dalam bagasi yang rusak maupun hilang diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 144 yaitu “pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.” Dalam pasal 168 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ayat (1) yaitu “jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dan Pasal 145 ditetapkan dengan peraturan Menteri.”

Peran serta pemerintah dalam penyelesaian kasus tersebut diatur pada pasal 30 UUPK, yang menyatakan bahwa:

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika kita lihat dari pasal 30 UUPK tersebut kita dapat menemukan tanggung jawab perusahaan penerbangan menurut Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 dalam Pasal 2 Peraturan memberikan jaminan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :

1. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka 2. Hilang atau rusaknya bagasi kabin

3. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat 4. Hilang, musnah atau rusaknya kargo

5. Keterlambatan angkutan; dan

6. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga

Dalam Pasal 5 ayat (1) Permenhub No. 77 Tahun 2011 juga menyebutkan jumlah ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat yaitu:

a. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kilogram dan paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang, dan

b. Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.

Pada pasal 2 huruf c disebutkan bahwa bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud, apabila tidak ditemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandara tujuan.

Jadi waktu untuk membayarkan kompensasi kepada penumpang terhitung setelah 14 hari barang dinyatakan hilang.

Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.

Dalam menuntut ganti kerugian, penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga yang mengalami kerugian harus memiliki bukti sebagai berikut (sesuai Pasal 21 ayat (1) Permenhub No. 77 tahun 2011) yaitu:

a. Dokumen terkait yang membuktikan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tiket, bukti bagasi tercatat (claim tag) atau surat muatan udara (airway bill) dan bukti lain yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan.

b. Surat keterangan dari pihak yang berwenang mengeluarkan bukti telah terjadinya kerugian jiwa dan raga dan/atau harta benda terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat pengoperasikan pesawat udara.

Dalam pasal 23 UUPK menyatakan bahwa :

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.’

Pasal 19 yang dimaksud adalah:

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa, BPSK merupakan lembaga peradilan konsumen di Daerah Tingkat II seluruh Indonesia.

Tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada konsumen sekaligus menangani penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan umum. Adapun anggota BPSK terdiri dari aparatur pemerintah, pelaku usaha, konsumen, dan produsen yang mendapatkan amanah khusus dari menteri. Selama menangani kasus konsumen, BPSK berhak melakukan pemeriksaan validasi laporan, meminta bukti, hasil tes labaoratorium, serta bukti lain terkait pihak yang bersengketa.

Jenis-jenis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu : 1. Sengketa barang

Beberapa kasus yang termasuk dalam sengketa barang, antara lain makanan dan minuman, berlangganan surat kabar, elektronik, serta perhiasan.

2. Sengketa jasa.

Kategori sengketa jasa meliputi pemanfaatan jasa, antara lain asuransi, pembelian rumah, perbankan, kredit kendaraan, telekomunikasi, listrik, air, dan PDAM. Tidak ketinggalan, pelayanan kartu kredit, transportasi umum, serta parkir juga tergolong dalam perselisihan jasa.

Dalam permasalahan bagasi yang hilang, musnah atau rusak oleh pihak pelaku penerbangan maka termasuk kedalam sengketa jasa. Mengenai peranan BPSK dalam menuntaskan perkara konsumen, sudah diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menyebutkan ada 2 (dua) bahasan pokok BPSK.

1. Konsumen tidak harus menyelesaikan konflik atau permasalahan melalui BPSK. Meski demikian, putusan BPSK memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk membuat jera pelaku usaha. Selain karena sanksi berat, putusan dapat dijadikan berkas perkara bagi penyidik.

2. Pasal 46 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebut bahwa, tindakan pelanggaran para pelaku usaha boleh digugat oleh:

a. Ahli waris dari pelaku usaha atau konsumen yang merasa dirugikan;

b. Beberapa konsumen dengan kepentingan sama;

c. LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen sesuai syarat undang-undang;

d. dan pemerintah atau instansi terkait.

Adapun hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang akibat bagasinya hilang masa daluarsa setelah 2 tahun bagasi tersebut seharusnya sampai pada tempat tujuan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 177 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan dan kehilangan bagasi milik penumpang dapat dilihat dari hak dan kewajiban perusahaan sebagai pelaku usaha dan penumpang sebagai konsumen. Hal ini terdapat pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang disebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.108

108 Republik Indoenesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN