• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada FakultasHukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada FakultasHukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sumatera Utara DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYERTAAN PEMBUNUHAN

BERENCANA (MOORD) DALAM TINDAK PIDANA YANG SAMA (StudiPutusanNomor 153/Pid.B/2014/PN.StbdanNomor

154/Pid.B/2014/PN.Stb)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

FakultasHukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

NIM : 150200021

LAMPOS RIVALDO LUMBAN TORUAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

Universitas Sumatera Utara

(3)

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Lampos Rivaldo Lumban Toruan M. Hamdan*

Mohammad Ekaputra

*

**

Zoon politicon atau makhluk sosial adalah status yang melekat pada manusia, karena manusia tidak dapat hidup sendiri. Meskipun begitu, dalam kehidupan sosial tersebut tidak jarang juga terjadi konflik atau perselisihan yang bahkan dapat berujung pada tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan biasa (dodslag) maupun pembunuhan berencana ialah perbuatan yang dianggap keji karena menghilangkan nyawa orang lain, bahkan tidak peduli apakah perbuatan tersebut dilakukan sendiri ataupun bersama-sama. Khusus pada tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, dalam hal ini terdapat kemungkinan adanya perbedaan atau disparitas pidana, seperti halnya yang terdapat pada Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb dan Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb., sehingga hal tersebut sering memicu perdebatan tentang keadilan. Pada persoalan tersebut terlihat beberapa pokok permasalahan yakni, bagaimana pengaturan tentang penyertaan tindak pidana (deelneming) dan tindak pidana pembunuhan dalam KUHP, faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana dan bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana (moord) berdasarkan Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb dan Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb.

Tujuan penelitian dilakukan ialah untuk mengetahui pengaturan tentang penyertaan tindak pidana (deelneming) dan tindak pidana pembunuhan dalam KUHP, untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana serta mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh disparitas pidana dan upaya-upaya untuk menanggulangimya, serta untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana (moord) berdasarkan perbandingan Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb dan Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian hukum normatif yang bersifat dekriptif, dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil library research yang dianalisis dengan metode kualitatif. Sehingga hasil penelitian yang diperoleh ialah, pertama perlu adanya perbaikan hukum untuk memperkecil peluang multitafsir yang mangakibatkan disparitas pidana, kedua memberikan pemahaman serta alasan- alasan yang masuk akal (reasonable) mengapa disparitas pidana terjadi dan ketiga bahwa sekalipun pidana yang dijatuhkan sudah tepat berdasarkan pertimbangan, tetapi aparat penegak hukum harus memperhatikan status pelaku sebagai turut serta melakukan.

Kata Kunci : Pembunuhan Berencana,Deelneming, Disparitas Pidana

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana.

** Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia yang diberikan kepada Penulis. Sehingga Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul:DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYERTAAN PEMBUNUHAN BERENCANA (MOORD) DALAM TINDAK PIDANA YANG SAMA (Studi Putusan Nomor : 153/PID.B/2014/PN.Stb dan Nomor : 154/PID.B/2014/PN.Stb).

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untukuntuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Dalam skripsi ini, penulis telah berusaha untuk memberikan yang terbaik melalui perjuangan baik tenaga maupun materi.Meskipun begitu, Penulis juga menyadari bahwa dalampenulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan karena terbatasnya kemampuan serta pengetahuan yang dimiliki, namun dengan adanya kemauan dan kesungguhan hati akhirnya skripsi dapat diselesaikan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak sebagai bahan perbaikan menuju langkah selanjutnya dan Penulis juga berharap kiranya skripsi ini juga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya, termasuk bagi Penulis sendiri.

Pada kesempatan ini, Penulis juga tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah berperan dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Dr. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan,S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang tidak hanya membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi namun juga memberikan banyak inspirasi untuk mencapai suatu keberhasilan dengan kesabaran dan tetap berpikiran positif dalam menghadapi sebuah permasalahan, juga segala ilmu yang telah dicurahkan kepada Penulis selama proses penulisan skripsi ini;

6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada Penulis pada saat penulisan skripsi ini;

8. Bapak Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing akademik yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan;

9. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

Universitas Sumatera Utara 10. Kepada kedua orangtua Penulis, yakni Bapak R. Lumban Toruan dan

IbuP. Br. Nababan yang telah sabar dan setia membesarkan Penulis, serta menyekolahkan saya hingga sekarang telah menjadi Sarjana Hukum, sai anggiat ma boi ahu gabe anak na hasea, jala manghabiari hata ni Tuhan.

11. Kepada abang Penulis Jenfry Yacub Lumban Toruan dan Darwis Andreas Lumban Toruan, serta kepada kakak Penulis Netty Lolita Lumban Toruan yang senantiasa memberikan semangat agar Penulis selalu bersungguh sungguh dalam menjalani studi S-1 di Fakultas Hukum USU.

Penulis juga bersyukur karena dengan adanya abang dan kakak, maka biaya kuliah maupun biaya hidup selama Penulis menempuh studi S-1 dapat tertolong dan juga sedikit meringankan beban kedua orangtua Penulis yang adalah pensiunan buruh pabrik;

12. Kepada teman Penulis, yakni Rudolf Raja Sitorus dan Zakkeus Doloksaribu yang senantiasi mengisi hari-hari Penulis di Fakultas Hukum USU. Penulis sangat bersyukur karena telah bertemu kedua orang ini. Sebab hanya kepada mereka Penulis dapat bertukar ide atau pendapat. Selain itu, dengan kedua orang tersebut Penulis belajar tentang apa arti dari persahabatan, meskipun terkadang tidak terlepas dari gesekan atau perselisihan tetapi hubungan persahabatan tersebut tetap terjalin hingga saat ini. Bersama-sama dengan mereka Penulis berharap dapat mewujudkan cita- cita yang diinginkan, yakni menjadi aparat penegak hukum yang takut akan Tuhan dan mencintai negara;

13. Kepada P3KS (Persekutuan Pemuda-Pemudi Kristen Sola Gratia) yang telah menjadi wadah bagi penulis dalam mengenal Tuhan. Sebab Penulis

(7)

Universitas Sumatera Utara menyadari bahwa bukan hanya Ilmu Pengetahuan saja yang penting, tetapi

pengenalan akan Tuhan juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.

Dalam Markus 8:36 tertulis, bahwa “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya”. Selain itu, tidak lupa juga Penulis terima kasih kepada seluruh PKK yang pernah memimpin Penulis dalam kelompok kecil di tersebut, yakni Kak Aryanti Silitonga, Bang William Silalahi, Kak Fitri Panjaitan, Kak Joice Napitupulu, Bang Richie Siregar dan Bang Yohanes Sibagariang. Mereka semua telah membantu Penulis dalam mengenal Tuhan lebih dalam dan sama-sama berbagi kasih di dalam kelompok kecil bersama teman KTB-ku, yakni Tio Grecya Simamora, Desma Siahaan dan Ari Sada Damanik;

14. Kepada adik-adik kelompok kecil yang sangat Penulis kasihi, Nova Sidabutar, Kartini Simamora, Ayaki Padang, Calvin Hulu dan Jonatan Hulu. Bersama mereka Penulis belajar bahwa hidup di dunia bukan hanya tentang aku, aku dan aku. Tetapi juga tentang bagaimana kita hidup dan mengasihi sesama kita, seperti kita mengasihi diri sendiri. Penulis menyadari bahwa Penulis bukanlah seorang PKK yang sempurna dan masih banyak kekurangan, terutama dalam hal perhatian, sikap dan juga perkataan.

Sehingga ada kalanya adik-adik Penulis merasa sakit hati karena hal tersebut.

Tetapi diatas segalanya, Penulis ingin menyampaikan permohonan maaf kepada adik-adik kelompok kecil Penulis karena belum menjadi PKK yang baik yang patut dicontoh dan dijadikan teladan. Penulis berharap, kiranya adik-adik kelompok kecil Penulis kedepannya semakin bertumbuh dalam

(8)

Universitas Sumatera Utara iman yang benar dengan meneladai Yesus saja. Dan mari sama-sama kita

hidup dengan setia menuruti kehendak-Nya.

Akhir kata, Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan juga perkembangan literatur hukum di Indonesia. Terima kasih.

Medan, Juli 2019 Penulis,

Lampos Rivaldo Lumban Toruan

(9)

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana ... 10

2. Pengertian Pidana ... 13

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERTAAN TINDAK PIDANA (DEELNEMING) DAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Pengertian Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming) ... 21

B. Dasar Hukum Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming) ... 22

C. Bentuk-Bentuk Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming) 1. Dihukum Sebagai Orang Yang Melakukan a. Orang Yang Melakukan Tindak Pidana (Pleger) ... 23

b. Orang Yang Menyuruh Melakukan Tindak Pidana (Doen Pleger) ... 25

c. Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana (Medepleger) ... 26

d. Orang Yang Membujuk Melakukan Tindak Pidana (Uitlokker) ... 29

2. Dihukum Sebagai Orang Yang Membantu Melakukan (Medeplichtig) ... 30

D. Tindak Pidana Pembunuhan 1. Pengertian Pembunuhan ... 33 2. Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Di Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) a. Tindak Pidana PembunuhanYang Disengaja

(10)

Universitas Sumatera Utara

1. Pembunuhan Biasa (Dodslag) ... 34

2. Pembunuhan Yang Diikuti, Disertai Atau Didahului Dengan Tindak Pidana Lain ... 34

3. Pembunuhan Berencana (Moord) ... 35

4. Pembunuhan Oleh Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan ... 35

5. Pembunuhan Atas Permintaan Korban ... 36

6. Penganjuran Dan Pertolongan Pada Bunuh Diri ... 37

7. Pengguguran Dan Pembunuhan Kandungan ... 37

b. Tindak Pidana Pembunuhan Yang Tidak Disengaja ... 38

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS PIDANA A. Pengertian Disparitas Pidana... 39

B. Jenis-Jenis Disparitas Pidana ... 40

C. Faktor-Faktor Terjadinya Disparitas Pidana 1. Faktor Hukum ... 40

2. Faktor Internal (Pada Diri Hakim) ... 43

3. Faktor Eksternal (Diluar Hakim) ... 45

D. Dampak Terjadinya Disparitas Pidana dan Upaya Penanggulangannya 1. Mencederai Rasa Keadilan a. Terhadap Korban ... 49

b. Terhadap Pelaku ... 50

c. Terhadap Masyarakat ... 51

2. Ketidakpercayaan Masyarakat Terhadap Penegakan Keadilan ... 52

3. Kurangnya Efek Jera Terhadap Pelaku Tindak Pidana ... 53

BAB IV :PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (MOORD) BERDASARKAN

(11)

Universitas Sumatera Utara PUTUSAN NOMOR 153/PID.B/2014/PN.STB DAN PUTUSAN NOMOR

154/PID.B/2014/PN.STB

A. Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb 1. Kasus Posisi

a. Kronologis ... 55

b. Pasal Yang Didakwakan ... 59

c. Tuntutan ... 60

d. Fakta Hukum ... 63

e. Putusan ... 73

2. Analisis a. Analisis Dakwaan ... 77

b. Analisis Tuntutan ... 78

c. Analisis Putusan ... 80

B. Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb 1. Kasus Posisi a. Kronologis ... 81

b. Pasal Yang Dakwakan... 85

c. Tuntutan ... 86

d. Fakta Hukum ... 90

e. Putusan ... 100

2. Analisis a. Analisis Dakwakan ... 104

b. Analisis Tuntutan ... 105

c. Analisis Putusan ... 106

C. Perbandingan Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb Dengan Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb ... 106

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(12)

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Manusia pada dasarnya adalah makhuk sosial (zoon politicon).1

Dalam kehidupan yang berkelompok, interaksi sosial

Sehingga merupakan suatu hal yang wajar jika manusia hidup berkelompok atau bermasyarakat.Selain itu, manusia juga pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri.

Sebab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan manusia lain. Contoh sederhana yang dapat dilihat ialah bahwa untuk memperoleh keturunan, manusia baik pria maupun wanita juga membutuhkan manusia lain atau pasangan lawan jenisnya.

2 merupakan hal yang penting.Sebab interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas- aktivitas sosial lainnya.Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu mulai dari saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin saling berkelahi.3

1 Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum, (Medan :Pustaka Bangsa Press, 2010), hlm. 17.

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta :Rajawali Pers, 2017), hlm. 55.

Dapat juga disebut dengan proses sosial karena merupakan dasar berlangsungnya proses sosial, dimana proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila para individu dan kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama.

3Ibid.

Meskipun interaksi sosial merupakan komponen penting bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, tetapi tidak selamanya hal tersebutberjalan dengan baik, sebab dalam kehidupan bermasyarakat sering sekali terjadi kontradiksi atau pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan hak.Sehingga hal tersebut menimbulkan terjadinya pergesekan ditengah- tengah masyarakat dan memicu terjadinya pertikaian.

(13)

Universitas Sumatera Utara Adapun pertikaian bukanlah suatu hal yang baru, sebab dalam sejarah

peradaban manusia hal tersebut sudah seringkali terjadi.Pertikaian pertama ialah antara Qabil dan Habil, dimana Qabil membunuh adiknya Habil karena rasa cemburu persembahannya tidak diterima oleh Allah, sedangkan persembahan adiknya diterima.Contoh tersebut adalah salah satu dari sekian banyak pertikaian yang telah terjadi di muka bumi ini.

Di dunia ini banyak orang yang sangat takut dengan kematian, terlepas dari apapun penyebab kematian tersebut, baik karena sakit, kecelakaan, faktor usia, ataupun karena dibunuh, kematian adalah hal yang sangat ditakuti manusia.

Karena semua orang belum siap untuk meninggalkan orang-orang yang dikasihi, harta atau bahkan semua kenikmatan dunia yang tidak dapat dirasakan jika sudah mati.

Hidup pada hakikatnya ialah merupakan pemberian dan anugerah dari Tuhan, sehingga mempertahankannya merupakan hak semua orang.Hidup atau kehidupan dapat dipersamakan dengan nyawa ataupun jiwa.Nyawa atau jiwa yang dimaksudkan dalam hal ini ialah sesuatu yang menyebabkan adanya kehidupan pada manusia.4

4 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan Dan Prevensinya), (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 4.

Jadi jika menghilangkan nyawa ataupun jiwa seseorang, berarti sama saja menghilangkan kehidupan yang ada pada orang tersebut.

Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk hidup yang terbatas. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak dapat hidup abadi, sebab suatu saat tiap- tiap orang pasti akan mati. Hanya saja, kematian tiap-tiap orang tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, mulai dari waktunya, penyebab atau cara, tempat dan hal-hal lainnya.

(14)

Universitas Sumatera Utara Eksistensi kematian secara luas telah diakui dan diterima oleh semua

orang.Akan tetapi, hal yang sangat ditentang ialah kematian yang terjadi secara paksa atau disebut dengan isitilah pembunuhan.Sebab hal itu merupakan suatu perbuatan yang keji dan tidak beradab.Adapun perbuatan tersebut bukan hanya bertentangan dengan ajaran agama dan ketentuan hukum.Karena membunuh merupakan wujud dari tindakan yang tidak manusiawi.Sebab hal yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya ialah akal budi.Jadi akal budi tersebut membuat manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk, serta membuat manusia justru seharusnya lebih menghargai hidup.

Penghargaan atas hidup di Indonesia sangat dijunjung tinggi. Sebab hak untuk hidup dan mempertahankan hidup telah diatur dan dijamin perlindungannya oleh konstitusi negara Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 A5

Adapun konstitusi ataupun hukum tersebut merupakan salah satu tahap dari suatu perjalanan yang panjang untuk mengatur masyarakat.Tahap pembuatan hukum masih harus disusul oleh pelaksanaannya secara kongkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum.

, serta juga diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Sehingga secara tegas dinyatakan bahwa membunuh merupakan perbuatan yang dilarang dan akan diberi hukuman jika dilakukan.

6

Penegakan hukum pada dasarnya selalu berkaitan dengan peradilan dan pengadilan. Banyak masyarakat awam yang beranggapan bahwa peradilan dan pengadilan merupakan hal yang sama. Akan tetapi, keduanya sangat jauh berbeda.

Sebab peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedangkan pengadilan

5“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

6 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 191.

(15)

Universitas Sumatera Utara menunjuk kepada lembaganya.7

Dalam proses mengadili, putusan hakim dituntut harus bersesuaian dengan nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Nilai-nilai dasar tersebut diantaranya adalah keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit) dan kepastian hukum.

Adapun hasil akhir dari proses peradilan pada lembaga pengadilan tersebut ialah berupa putusan pengadilan atau juga sering disebut dengan putusan hakim, sebab hakimlah yang memimpin sidang di pengadilan tersebut.

8

Keadilan bukan hanya berbicara tentang hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, tetapi lebih daripada itu.Berkaitan dengan keadilan, seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam, yakni keadilan distributif dan keadilan commutatif.Dimana keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya atau perbuatannya. Sedangkan keadilan commutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan (disamaratakan).

Akan tetapi, meskipun ketiganya merupakan nilai-nilai dasar hukum, tetapi ketiganya memiliki potensi untuk bertentangan. Hal itu disebabkan tuntutan dari ketiga nilai-nilai tersebut berlainan satu sama lain. Selain itu, dalam memutuskan perkara disamping harus menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai dasar hukum lainnya, banyak faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan oleh hakim termasuk juga keadaan pembuat kejahatan.

9

7Ibid., hlm. 192.

8Ibid., hlm. 19.

9 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), hlm.

11-12.

Kedua keadilan tersebut sangat jauh berbeda, yang satu mengingat jasa dan yang satu lagi tidak mengingat jasa.

(16)

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pemikiran Aristoteles tersebut Penulis teringat akan sebuah

contoh yang diberikan oleh dosen hukum pidana pada saat mengikuti pelajaran di Fakultas Ilmu Hukum USU dimana terdapat dua kasus pencurian, pertama dilakukan oleh seorang ibu yang sedang hamil dan yang kedua dilakukan oleh seorang pemuda yang sehat dan bugar. Kedua orang tersebut tertangkap basah kerena telah mencuri roti dari sebuah toko.Setelah kedua orang tersebut ditangkap, maka keduanya dibawa ke pengadilan untuk diadili. Akan tetapi, meskipun kedua orang tersebut melakukan kejahatan yang sama tetapi hukuman yang dijatuhkan kepada kedua orang tersebut tidak sama. Ibu yang hamil tersebut mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan pemuda itu yang justru lebih berat. Sebab yang menjadi pertimbangan hakim tersebut sehingga ia menjatuhkan hukuman yang berbeda, dikarenakan kondisi atau keadaan mereka yang tidak sama. Sebab ibu hamil tersebut mencuri bukan hanya karena kelaparan, tetapi untuk juga mempertahankan anak yang didalam kandungannya agar tetap hidup.Sedangkan untuk pemuda tersebut alasannya tidak dapat diterima oleh hakim, sebab pemuda tersebut masih belia dan juga bugar. Sehingga ia tidak seharusnya mencuri, karena ia masih mampu bekerja. Jadi kesimpulan yang didapat dari contoh kasus tersebut bahwa hakim selain menggunakan dasar hukum dan pedoman-pedoman lainnya, hakim juga memperhatikan keadaan pelaku dan menggunakan hati nuraninya. Sehingga antara kedua oknum tersebut memang telah terjadi disparitas atau perbedaan pidana, karena hukuman yang dijatuhi diantara keduanya tidak sama sekalipun tindak pidana yang dilakukan sama.

Meskipun demikian, hakim menganggap hal tersebut adil karena masing-masing mendapatkan sesuai dengan porsinya.

(17)

Universitas Sumatera Utara Sebenarnya fenomena disparitas pidana yang sering terjadi dalam lembaga

pengadilan secara eksplisit telah diuraikan pada contoh sebelumnya, dan keberadaannya juga bukanlah merupakan suatu hal yang baru.Walaupun begitu, hal tersebut merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji, tujuannya agar kita tidak sesat dalam berpikir dan terlalu cepat mengatakan bahwa hukum itu tidak adil, tebang pilih, atau bahkan bahkan tidak berguna (karena hukum ada untuk dilanggar).Akan tetapi kita harus melihat lebih dalam dengan tidak terpaku hanya pada satu hal, serta harus memperhatikan hal-hal lainnya yang mendasari atas putusan yang hakim. Jadi dengan demikian berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji topik tersebut dan juga menuangkannya dalam tugas akhir yang berupa skripsi dengan judul :

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYERTAAN PEMBUNUHAN BERENCANA (MOORD) DALAM TINDAK PIDANA YANG SAMA (Studi Putusan Nomor : 153/PID.B/2014/PN.Stb dan Nomor : 154/PID.B/2014/PN.Stb).

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah memang merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam penelitian hukum (maupun di dalam ilmu-ilmu sosial lainnya).10Sebab masalah-masalah tersebut sebenarnya merupakan halangan yang hendak diatasi serta menjadi tujuan dari dilakukannya penelitian.11

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986) hlm. 110.

11Ibid., hlm. 109.

Maka berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, Penulis mengidentifikasikan

(18)

Universitas Sumatera Utara beberapa masalah-masalah pokok yang dituangkan dalam suatu perumusan

masalah.12

1. Bagaimana pengaturan tentang penyertaan tindak pidana (deelneming) dan tindak pidana pembunuhan yang disengaja serta yang tidak disengaja dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

Adapun perumusan masalah tersebut antara lain :

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana?

3. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana (moord) berdasarkan Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb dan Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Tujuan penulisan pada dasarnya merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai.13

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang penyertaan tindak pidana (deelneming) dan tindak pidana pembunuhan yang disengaja serta yang tidak disengaja dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sehingga dengan demikian tujuan penulisan skripsi ini menyajikan sarana pemecahan masalah (problem solving) dari masalah- masalah yang dikaji oleh Penulis. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana serta mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh disparitas pidana dan upaya-upaya untuk menanggulangimya.

12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta :Rajawali Pers, 2006), hlm. 35. Perumusan masalah dalam penelitian hukum secara tajam disertai dengan isu hukum (legal issues, legal questions) akan memberikan arah dalam menjawab isu hukum yang diketengahkan.

13 Soerjono Soekanto, 1986, Op. Cit., hlm. 119.

(19)

Universitas Sumatera Utara 3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

pembunuhan berencana (moord) berdasarkan perbandingan Putusan Nomor 153/Pid.B/2014/PN.Stb dan Putusan Nomor 154/Pid.B/2014/PN.Stb.

Selain tujuan, penulisan skripsi ini juga dilakukan dengan harapan agar dapat memberikan manfaat dalam memahami permasalahan hukum yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Adapun manfaat dan kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain :

1. Secara Teoritis

a. Skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan bidang ilmu pengetahuan hukum pidana, khususya dalam hal penyertaan tindak pidana (deelneming) dan segala aspek yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan, termasuk di dalamnya pembunuhan berencana (moord).

b. Skripsi ini diharapkan dapat menjawab persoalan yang berkaitan dengan terjadinya disparitas pidana atau perbedaan penjatuhan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sama dengan disertai fakta-fakta dan data-data pendukung.

2. Secara Praktis

(20)

Universitas Sumatera Utara a. Skripsi ini dapat dijadikan sarana dalam menambah pengetahuan dan

pengalaman Penulis, sehingga dapat mengoptimalisasikan teori yang dimiliki untuk ditarik kesimpulan secara objektif dan ilmiah.

b. Skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran, masukan ataupun ide-ide kepada aparat penegak hukum dalam menanggulangi persoalan yang sama berkaitan dengan disparitas pidana.

c. Skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau referensi dalam belajar dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan bidang hukum pidana bagi pihak lain, terutama mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Hukum USU.

D. KEASLIAN PENULISAN

Penulisan skripsi yang berjudul “DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYERTAAN PEMBUNUHAN BERENCANA (MOORD) DALAM TINDAK PIDANA YANG SAMA (Studi Putusan Nomor : 153/PID.B/2014/PN.Stb dan Nomor : 154/PID.B/2014/PN.Stb)” ialah merupakan skripsi yang keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, sebab skripsi ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan telah melalui tahap uji bersih judul pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu, Penulis juga telah melakukan penulusuran pada berbagai karya ilmiah lainnya baik melalui media cetak maupun media elektronik tidak ada ditemukan judul maupun substansi yang sama persis dengan yang ditulis oleh

(21)

Universitas Sumatera Utara Penulis. Kalaupun sudah ada, Penulis yakin bahwa substansi dan putusan yang

menjadi objek kajian berbeda dengan yang ditulis oleh Penulis.

Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah murni merupakan hasil pemikiran Penulis yang diperoleh berdasarkan pengamatan Penulis terhadap tindak pidana yang terjadi di sekitar Penulis.Sehingga berdasarkan hal tersebutdapat dinyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya asli penulis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Tindak Pidana

Tindak pidana dalam hukum pidana Belanda disebut dengan “strafbar feit”. Tidak ada penjelasan yang resmi tentang pengertian istilah tersebut, meskipun istilah tersebut dapat ditemukan di dalam WvS Belanda dan juga WvS Hindia Belanda.14Selain itu, tidak ada keseragaman pendapat dari ahli hukum dalam pemakaian istilah tindak pidana.Sehingga wajar saja kita menemukan ahli- ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda, seperti “perbuatan pidana”15, “peristiwa pidana”16 dan “delik”17. Selain ketiga istilah tersebut terdapat bebarapa istilah lain, yakni “pelanggaran pidana”, “perbuatan yang boleh dihukum” dan “perbuatan yang dapat dihukum”.18

Meskipun tidak terdapat penjelasan resmi mengenai tindak pidana, tetapi terdapat berbagai perundang-undangan yang memakai istilah tersebut seperti

14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta :Rajawali Pers, 2002), hlm. 67.

15 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 59.

16 C.S.T. Kansil dan Christina S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta :Pradnya Paramita, 2004), hlm.37.

17 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 7.

18 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 68.

(22)

Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, secara literlijk terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit.Straf dalam bahasa Indonseia diterjemahkan sebagai “pidana” dan “hukum”.Sedangkan baar memiliki arti

“dapat” dan “boleh”. Untuk kata yang terakhir, yakni feit diartikan sebagai

“tindak”, “peristiwa”, “pelanggaran” dan “perbuatan”. Kata tindak meskipun telah lazim digunakan dalam perundang-undangan, tetapi masih sering diperdebatkan perihal ketepatannya.Karena kata tersebut tidak menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan juga tidak termasuk kelakukan manusia yang pasif atau negatif (nelaten).19

Perbedaan antara perbuatan aktif dan pasif ialah, jika dalam perbuatan aktif untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (406 KUHP).Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, sehingga orang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, seperti halnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).20

19Ibid., hlm. 70.

20Ibid.

(23)

Universitas Sumatera Utara Pemaknaan yang berbeda terhadap istilah tindak pidana adalah hal yang

wajar, karena hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah bahasa atau dalam hal ini bahasa Belanda yang merupakan negara yang pernah menduduki negara kita.Akan tetapi masalah perbedaan ini juga berasal dari adanya dua pandangan yang berbeda, yakni monisme dan dualisme.Pandangan monisme ialah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya.Sedangkan pandangan dualisme merupakan pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan.21

Kesulitan karena tidak adanya ketidakseragaman dalam mengartikan tindak pidana menurut Prof. Sudarto adalah hal yang tidak perlu dipertentangkan, sebab semua sama benarnya.22

21Ibid., hlm. 75-72.

22Ibid., hlm. 76.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan istilah tersebut tidaklah penting. Sebab yang menjadi perhatian dan acuan ialah pelaksanaan praktik hukumnya mulai dari penyidikan hingga surat putusan dibuat dan amar diterapkan. Selain itu perlu diperhatikan unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana yang bersangkutan (kongkrit) dan tidak mengacu pada salah satu pendapat teoritis.

Jadi hakikat sebenarnya dari tindak pidana berdasarkan uraian sebelumnya ialah meliputi perbuatan melakukan atau tidak melakukan yang dilarang atau memuat unsur kesalahan sehingga dapat diancam pidana, dimana pidana yang dijatuhkan kepada pelaku bertujuan untuk memelihara ketertiban serta membuat pelaku jera dan tidak akan mengulangi hal tersebut.

(24)

Universitas Sumatera Utara 2. Pidana

Sama halnya dengan tindak pidana, pidana juga berasal dari terjemahan bahasa Belanda “straf” yang berarti hukuman.23

Pidana diartikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.

Kata straf sering disandingkan dengan kata recht yang memiliki arti hukum. Sehingga ketika kita hendak mengartikan dan memahami strafrechtakan terjadi kesulitan. Hal itu dikarenakan jika kita berpengang pada pengertian tersebut, maka makna straftrecht yang seharusnya merupakan hukum pidana, berubah menjadi hukum hukuman.

Berdasarkan hal tersebut, maka istilah yang paling tepat dalam mengartikan straf ialah pidana.Sehingga dengan dengan demikian dalam skripsi ini Penulis memakai istilah pidana dalam mengartikan hukuman atau sanksi.

24Adapun akibat hukum yang dimaksud ialah berupa penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak mengenakkan secara badani.25

Tujuan utama hukum pidana pada dasarnya adalah untuk mencapai ketertiban.Selain itu, hukum pidana juga bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum, membatasi kekuasaan negara, serta mencegah orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana.26

Jadi dengan demikian dapat disimpulkan hakikat pidana merupakan suatu alat dalam hukum pidana untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan oleh hukum pidana.Adapun jenis-jenis pidana yang dirumuskan dalam KUHP

23Ibid., hlm. 24.

24Ibid.

25Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm. 29.

26 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 24-25.

(25)

Universitas Sumatera Utara terdapat pada Pasal 10 yang terbagi atas dua, yakni pidana pokok dan pidana

tambahan.Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan dan denda.Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.27

F. METODE PENELITIAN

Secara sederhana metode penelitian dapat diartikan sebagai tata cara bagaimana melakukan penelitian.28

Metodologi penelitian merupakan komponen yang sangat penting dan sesuatu yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan pengetahuan.

Metode penelitian terdiri dari dua suku kata yakni, “metode” dan “penelitian”, dimana istilah “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sedangkan penelitian berasal dari kata “teliti” yang berarti suatu tindakan yang penuh kehati- hatian dan kecermatan. Lebih jauh lagi, dalam kepustakaan keilmuan penelitian dipersamakan dengan kata “research” yang terdiri dari dua suku kata, yakni “re”

yang berarti kembali dan “search” yang berarti menemukan sesuatu secara berhati-hati.

29Adapun dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan berbagai metode penelitian yang dapat menunjang dalam mengkaji permasalahan- permasalahan yang menjadi bahan kajian.

27 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Edisi Baru, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), hlm. 6.

28 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Jakarta : Prenada Media Group, 2018), hlm. 2.

29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1986), hlm. 7.

(26)

Universitas Sumatera Utara 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, sebab pada penelitian ini seringkali yang menjadi acuannya ialah peraturan perundang-undangan (law in books) ataupun kaidah dan norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.30

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian pada penulisan skripsi ialah bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.31

Secara umum, penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai penelitian yang memberikan gambaran-gambaran atau deskripsi secara jelas terhadap isu-isu yang sedang dikaji.Sebab dalam penelitian deskriptif, Penulis sudah memiliki definisi atau gambaran yang jelas tentang isu yang dikaji. Berbeda halnya dengan penelitian eksploratoris (menjelajah) yang bermaksud untuk memperoleh data awal, karena pengetahuan tentang suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali atau bahkan tidak ada (feasibility study).

Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam rangka menyusun teori-teori baru.

32

30 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum - Edisi Revisi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), hlm. 118.

31 Soerjono Soekanto, 1986, hlm. 10.

32Ibid., hlm. 10.

(27)

Universitas Sumatera Utara 3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ialah data sekunder.

Adapun data sekunder tersebut terdiri atas : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ialah peraturan perundang-undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber-sumber data yang dapat digolongkan kedalam bahan hukum sekunder ialah bahan-bahan hukum yang berupa tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal. Berkaitan dengan bahan hukum berupa buku, Peter Mahmud Marzuki33

c. Bahan Hukum Tersier

menjelaskan bahwa penggunaan bahan-bahan non hukum seperti buku atau jurnal-jurnal mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi dan ilmu-ilmu lainnya juga diperbolehkan dalam penelitian hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang digunakan menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, buku pegangan, almanak, dan sebagainya.34

33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum – Edisi Revisi, (Jakarta : Prenada Media, 2016), hlm. 183-184.

34 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hlm. 104.

(28)

Universitas Sumatera Utara 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini didasarkan pada riset kepustakaan (library research).Dalam penelitian ini, Penulis lebih memusatkan pada aktivitas penelitian dalam berbagai literatur kepustakaan baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.Tujuan dan kegunaan riset kepustakaan pada dasarnya adalah menunujukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.

Secara singkat, riset kepustakaan (library research) dapat membantu Penulis dalam berbagai keperluan, seperti :35

a. mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti;

b. mendapatkan metode, teknik atau cara pendekatan pemecahan permaslahan yang digunakan;

c. sebagai sumber data sekunder;

d. mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;

e. mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan;

f. memperkaya ide-ide baru;

g. mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasilnya.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi menggunakan analisis data kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel.36

35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), 112-113.

36 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 98.

Adapun analisis data kualitatif bertolak dari data yang dijelaskan dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada.

(29)

Universitas Sumatera Utara G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam beberapa bab. Adapun Penulis membuat sistematika dengan membagi seluruh pembahasan ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab yang dimaksudkan agar lebih memperjelas dan mempermudah penguraian masalah sehingga mudah dipahami. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini akan diuraikan beberapa hal mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERTAAN TINDAKPIDANA (DEELNEMING) DAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

Dalam Bab IIini akan dibahas tinjauan umum mengenai penyertaan tindak pidana mulai dari pengertian, dasar hukum, hingga kepada bentuk-bentuk penyertaan tindak pidana yang di dalamnya terdapat orang yang melakukan dan orang yang membantu melakukan. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai tindak pidana pembunuhan, mulai dari pengertian hingga kepada pengaturan tentang tindak pidana pembunuhan di dalam KUHP.

(30)

Universitas Sumatera Utara BAB III: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA

DISPARITAS PIDANA

Dalam Bab IIIini akan dibahas mengenai pengertian disparitas, jenis- jenisnya dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana tersebut, seperti faktor hukum, faktor internal yang terdapat pada diri hakim dan faktor eksternal yang terdapat diluar dari diri hakim. Kemudian dilanjutkan dengan kajian terhadap dampak terjadinya disparitas pidana yang mencederai rasa keadilan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan keadilan dan kurangnya efek jera terhadap pelaku tindak pidana yang disertai dengan upaya penanggulangannya.

BAB IV : PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (MOORD) BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 153/PID.B/2014/PN.STB DAN PUTUSAN NOMOR 154/PID.B/2014/PN.STB

Dalam Bab IV ini akan dibahas bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana dengan menganalisis dua putusan hakim, yakni Putusan Nomor 153/PID.B/2014/PN.STB dan Putusan Nomor 154/PID.B/2014/PN.STB mulai kasus posisi yang terdiri dari kronologis, pasal yang didakwakan, tuntutan, fakta hukum hingga putusan.Kemudian dilanjutkan dengan analisis dakwaan, analisis tuntutan dan analisis putusan yang diakhiri dengan membandingkan kedua putusan tersebut.

(31)

Universitas Sumatera Utara BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam Bab V ini merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil dari penelitan dan pembahasan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan kemudian diakhiri dengan saran-saran ilmiah yang diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pihak-pihak lain terutama sesama akademisi.

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERTAAN PIDANA (DEELNEMING) DAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN E. Pengertian Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming)

Penyertaan tindak pidana (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.37Prof. Wirjono Prodjodikuro dalam mengartikan penyertaan (deelneming) dengan istilah yang berbeda, yakni dengan istilah “pesertaan”.

Menurutnya “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang yang lain melakukan suatu tindak pidana.38

Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa dalam suatu tindak pidana pelakunya tidak hanya seorang diri saja, melainkan dapat dilakukan secara bersama-sama atau lebih dari satu orang. Penyertaan tindak pidana tersebut juga akan mempengaruhi pertanggungjawabannya. Sehingga dengan demikian bersesuaian dengan yang dikemukakan oleh van Hamel dalam Moch. Anwar dan dikutip kembali oleh Mohammad Ekaputra dan Abul Khair39

37 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, (Jakarta :Rajawali Pers, 2002), hlm. 71.

38 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung : Refika, 2002), hlm. 108.

39 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, (Medan : USU Press, 2015), hlm. 39.

, bahwa penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri. Hal tersebut adalah benar, sebab pelajaran tentang turut serta (penyertaan) ini justru dibuat

(33)

untuk menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan pembuat)40

Dalam buku Mohammad Ekaputra dan Abul Khair dijelaskan bahwa untuk menggolongkan bahwa suatu tindak pidana termasuk kedalam penyertaan, serta menentukan pertanggungjawabannya tidaklah mudah.Sebab ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni keterlibatan

, karena pada dasarnya mereka juga turut bertanggung jawab atau dapat dituntut pertanggungjwabannya atas suatu peristiwa pidana. Sebab tanpa mereka peristiwa pidana atau dalam hal ini tindak pidana tersebut tidak pernah terjadi.

41

F. Dasar Hukum Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming)

dan juga peran masing- masing.Karena hal tersebutlah yang dilihat dan dijadikan dasar sejauh mana pertanggungjawabannya.

Pengaturan mengenai penyertaan tindak pidana (deelneming) terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pada Buku Kesatu tentang Aturan Umum dan mencakup seluruh bagian dari Bab V tentang Turut Serta Melakukan Perbuatan Yang Dapat Dihukum yang dimulai dari Pasal 55 sampai pada Pasal 62. Meskpiun pengaturan tentang penyertaan (deelneming) terdiri dari 8 (delapan) pasal, tetapi secara garis besar rumusan mengenai hal tersebut terlihat pada pada Pasal 55 dan Pasal 56.42 Adapun masing-masing bunyi dari Pasal 55 dan Pasal 56 adalah sebagai berikut :43

40Ibid.,Merupakan pendapat Utrecht tentang penyertaan.

41Ibid.,Keterlibatan yang dimaksud dapat berupa psikis maupun fisik.

42 Wirjono Prodjodikuro, Loc. Cit.

43 R. Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bandung : Karya Nusantara,1986), hlm. 72-75.

“Pasal 55 : (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana : 1e. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu;

(34)

2e. orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Pasal 56. : Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan : 1e. barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu.

2e. barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.”

G. Bentuk-Bentuk Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming)

Berdasarkan rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP, bentuk-bentuk penyertaan tindak pidana terbagi atas dua yakni Dihukum Sebagai Orang Yang Melakukan dan Dihukum Sebagai Orang Membantu Melakukan. Akan tetapi khusus untuk Dihukum Sebagai Orang Yang Melakukan, pesertanya terdiri dari Orang Yang Melakukan Tindak Pidana (Pleger), Orang Yang Menyuruh Melakukan Tindak Pidana (Doen Pleger), Orang Yang Turut Serta Melakukan Tindak Pidana (Medepleger) dan Orang Yang Membujuk Melakukan Tindak Pidana (Uitlokker).

1. Dihukum Sebagai Orang Yang Melakukan

a. Orang Yang Melakukan Tindak Pidana (Pleger)

Loebby Loqman dalam buku Mohammad Ekaputera dan Abul Khair, mengemukakan bahwa dalam ilmu pengetahuan pidana, pelaku dibedakan atas dua, yakni pelaku dalam arti sempit dan dalam arti luas.Kedua pelaku tersebut memiliki perbedaan, dimana pelaku dalam arti sempit adalah hanya mereka yang melakukan tindak pidana.Sedangkan pelaku dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku, yaitu mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh

(35)

melakukan, mereka yang ikut serta melakukan dan mereka yang menggerakkan/membujuk.44

Terkadang banyak orang mengalami kesulitan dalam membedakan pelaku tunggal (dader) dengan orang yang melakukan tindak pidana (pleger).Alasan yang menyebabkan kesulitan dalam membedakan keduanya ialah karena undang- undang tidak menjelaskan lebih jauh tentang siapa yang dimaksud dengan mereka yang melakukan tindak pidana (pleger).45Adapun dalam menentukan seorang pelaku tunggal (dader) tidaklah sukar, yakni jika memenuhi kriteria dimana perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana.Untuk tindak pidana formil, wujud perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana.Sedangkan untuk tindak pidana materiil perbuatan yang dilarang tersebut telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.46

Kesulitan dalam memahami pleger bukan hanya karena penjelasan tentang pleger tidak ada dalam undang-undang, tetapi juga karena pleger juga memliki kesamaan dengan dader. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa pleger dengan dader sama. Adapun perbedaan diantara keduanya ialah bahwa pleger masih membutuhkan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara fisik maupun

Akan tetapi bagi seseorang yang melakukan tindak pidana (pleger), yang menjadi perhatian ialah perbuatannya.Sebab karena perbuatannyalah suatu tindak pidana dapat terwujud. Jadi jika tanpa perbuatan dari orang yang melakukan (pleger) tersebut, maka tidak pidana tersebut tidak akan terwujud. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam hal ini syarat seorang pleger dan seorang dader adalah sama, karena keduanya harus memenuhi semua unsur tindak pidana.

44Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., hlm.43- 44.

45 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm.82.

46Ibid.

(36)

psikis yang sedemikian rupa, sehingga perbuatannya itu tidak menjadi penentu dalam terwujudnya tindak pidana yang dituju.47

b. Orang Yang Menyuruh Melakukan Tindak Pidana (Doen Pleger) Pengertian mengenai orang yang menyuruh melakukan tidak dijelaskan di dalam KUHP, tetapi terdapat keterangan yang ada pada MvT KUHP Belanda yang menyatakan bahwa, yang menyuruh melakukan adalah orang yang melakukan tindak pidana tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain, yakni dengan syarat perantara (manus ministra) tersebut berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk kepada kekerasan.48Jadi orang yang berbuat sebagai perantara tersebut adalah orang tidak mampu bertanggung jawab atau tidak tahu, bahkan D. Schaffmeister49

Berdasarkan MvT yang terdapat dalam KUHP Belanda tersebut, unsur- unsur dari bentuk orang yang menyuruh melakukan tindak pidana (doen pleger) ialah :

mengatakan bahwa perantara tersebut adalah “alat tak berkehendak”.

50

1. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya.

2. Orang lain atau perantara (manus ministra) tersebut melakukan : a. Tanpa kesengajaan;

b. Tanpa kealpaan;

c. Tanpa tanggung jawab, karena sebab keadaan : 1. Yang tidak diketahuinya;

2. Karena disesatkan; dan

3. Karena tunduk pada kekerasan.

47Ibid., hlm. 83.

48Ibid., hlm. 85.

49Mohammad Ekaputra dan Abul Khair., Op. Cit., hlm. 47.

50 Adami Chazawi, Loc. Cit.

(37)

Pada unsur-unsur tersebut terdapat dua hal yang dapat ukuran, dan ukuran tersebut terbagi atas ukuran subyektif dan objektif.Ukuran subyektif ialah menunjuk kepada sikap batin manus ministra yang tidak mengetahui atau tersesatkan yang tidak dapat dipastikan merupakan keadaan yang sebenarnya (objektif) karena pandangan atau perasaan manus ministra itu sendiri.Sedangkan ukuran objektif ialah didasarkan pada kenyataan ataupun keadaan yang sebenarnya bahwa manus ministra tersebut melakukan suatu tindak pidana karena adanya unsur kekerasan yang membuatnya tidak berdaya.51

Selain itu hal terpenting yang harus diperhatikan berdasarkan keterangan MvT KUHP Belanda tersebut ialah bahwa perantara (manus ministra) tidak dapat dipidana.

Meskipun penekanan dalam perbuatan menyuruh melakukan (doen pleger) cenderung lebih merujuk kepada unsur objektif, tetapi unsur subjektif tersebut juga harus tetap diperhatikan.

52

c. Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana (Medepleger)

Hal tersebut karena manus ministra tersebut berbuat hanya sebagai alat yang dikendalikan oleh orang yang menyuruhnya (manus domina).

Dalam MvT dijelaskan bahwa orang yang turut serta melakukan tindak pidana (medepleger) adalah setiap orang yang dengan sengaja berbuat (meedoet) di dalam melakukan suatu tindak pidana.53

51Ibid., hlm. 86.

52Ibid.

53Ibid., hlm. 96.

Akan tetapi keterangan tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai orang yang turut melakukan tindak pidana.Sebab keterangan tersebut hampir serupa dengan keterangan dader dan pleger.Selain itu,

(38)

Mohammad Ekaputra dan Abul Khair54

Menurut Loebby Loqman dalam Mohammad Ekaputra dan Abul Khair juga menerangkan bahwa sering sekali terjadi kekeliruan dalam memahami turut serta dengan penyertaan, dimana kedua hal tersebut merupakan hal yang berbeda.Sebab turut serta merupakan bagian dari penyertaan, dan penyertaan itu sendiri terjadi jika dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang.

55

Syarat-syarat maupun kriteria yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu medeplegen menurut P.A.F. Lamintang

, undang-undang tidak memberikan rumusan defenitif tentang turut melakukan.Sehingga dalam hal ini kita dituntut harus mencari rumusan dalam doktrin yang dikemukakan oleh para ahli hukum.

56 ialah harus ada kesadaran kerja sama dari setiap peserta dan kerja sama tersebut harus secara fisik. Sedangkan Jan Rammelink57 mengatakan bahwa dalam turut serta melakukan harus ada kerjasama yang disadari (dalam hal ini kesengajaan untuk melakukan kerjasama harus dibuktikan keberadaannya).Kesengajaan tersebut menurut Adami Cahazawi58

Terdapat dua pandangan dalam memahami medepleger, yakni pandangan sempit dan pandangan luas.Dalam pandangan sempit Van Hamel berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta dibagi atas dua fokus, yakni ditujukan dalam hal kerja samanya dan ditujukan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak pidana.

54Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., hlm. 55.

55Ibid., hlm. 57.

56Ibid.

57Ibid., hlm. 58.

58 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 100.

(39)

memuat semua unsur tindak pidana.59Pandangan tersebut memiliki kecondongan pada ajaran objektif. Akan tetapi dengan memandang pembuat peserta sesempit itu, akan menimbulkan masalah. Sebab pada kenyataannya dengan memandang bahwa perbuatannya harus sama akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan siapa pembuat pelaksananya. Seperti halnya contoh yang dikemukakan oleh Adami Chazawi antara A dan B yang mencuri sebuah televisi di sebuah rumah60

Berdasarkan pada pandangan sempit tersebut dalam contoh A dan B, maka akan terjadi dua kemungkinan. Jadi peran dari salah satu dari kedua pihak tersebut dapat dipandang dari dua sisi, yakni A dapat dipandang sebagai pembuat peserta dan juga dapat dipandang sebagai pembuat pelaksana (pleger). Sedangkan dalam pandangan luas terdapat perbedaan dengan pandangan sempit, dimana pandangan luas menyatakan bahwa pembuat peserta tidak melakukan perbuatan yang sama dengan seorang pembuat (dader).

, A dan B melakukan kejahatan tersebut secara bersama-sama, mulai dari masuk melalui jendela dan mengangkat televisi hingga kedalam mobil.

61Adapun perbuatannya cukup memenuhi sebagian rumusan tindak pidana saja dan tidak harus memenuhi semua rumusan.

Hanya saja yang perlu diperhatikan ialah unsur kesengajaan pembuat peserta harus sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksana. Jika disimpulkan, pandangan luas tentang pembuat peserta condong mengarah kepada pandangan subjektif karena menitikberatkan unsur kesengajaan dari diri pembuat peserta (batin).

59Ibid., hlm. 96.

60Ibid.

61Ibid., hlm 97.

(40)

d. Orang Yang Membujuk Melakukan Tindak Pidana (Uitlokker)

Dalam mengartikan orang yang membujuk melakukan tindak pidana Adami Chazawi62

Untuk memahami uitlokker perlu dicermati rumusan mengenai hal tersebut secara lengkap, dimana orang yang membujuk melakukan ialah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

memakai istilah sebagai pembuat penganjur. Orang yang membujuk melakukan pada dasarnya serupa dengan orang menyuruh melakukan (doen plegen), dimana dalam hal ini tindak pidana tidak dilakukan dengan sendiri, melainkan dilaksanakan melalui orang lain.

63

Berdasarkan rumusan tersebut terdapat dua unsur, yakni unsur-unsur objektif dan subjektif.64

1. Unsur objektif ialah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan;

Unsur-unsur objektif terdiri dari :

2. Caranya :

a. dengan memberikan sesuatu;

b. dengan menjajikan sesuatu;

c. dengan menyalahgunakan kekuasaan;

d. dengan menyalahgunakan martabat;

e. dengan kekerasan;

f. dengan ancaman;

g. dengan penyesatan;

h. dengan memberi kesempatan;

i. dengan memberi sarana;

j. dengan memberi keterengan.

Sedangkan unsur subjektif ialah dengan sengaja. Adapun berdasarkan rumusan tersebut terdapat 5 (lima) syarat dari seorang pembuat penganjur, antara lain :

62Ibid., hlm.108.

63Ibid.

64Ibid., hlm. 109-110.

(41)

1. Pertama, tentang kesengajaan orang yang membujuk melakukan harus ditujukan kepada 4 (empat) hal, yaitu :

a. ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;

b. ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya;

c. ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan); dan

d. ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana.

2. Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2;

3. Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur (adanya psychische causaliteit);

4. Keempat, orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksanaannya itu sampai selesai atau dalam hal ini tindak pidana sempurna, selain itu boleh juga terjadi percobaannya);

5. Kelima, orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggungjawab.

Pada kesimpulannya, membujuk melakukan ialah merupakan perbuatan dalam ajaran deelneming yang serupa dengan menyuruh melakukan.Akan tetapi yang keduanya jauh berbeda, sebab dalam membujuk melakukan orang dibujuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena tidak berada dibawah kekerasan yang membuatnya tidak berdaya.Jadi orang yang dibujuk atau perantara melakukan tindak pidana dapat dihukum. Hal tersebut dikarenakan kedudukan antara orang yang membujuk dengan yang dibujuk ialah sama.

2. Dihukum Sebagai Orang Yang Membantu Melakukan (Medeplichtige) Orang yang membantu melakukan merupakan orang yang melakukan pembantuan (medeplichtige) dalam pelaksaan suatu tindak pidana. Pembantuan terdapat pada bab yang sama dengan kajian sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan medeplichtige dengan kajian sebelumnya merupakan suatu hal yang sama, yakni

(42)

merupakan bentuk dari penyertaan tindak pidana (deelneming), dimana dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Orang-orang yang berperan dalam tindak pidana tersebut dibedakan atas orang yang melakukan dan orang membantu melakukan.65

Sesuai dengan bunyi Pasal 56 KUHP, “Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan atau tindak pidana”.Bunyi pasal tersebut memiliki arti bahwa orang atau orang-orang dapat dihukum jika membantu melakukan kejahatan.Jadi perlu digarisbawahi bahwa pembantuan tersebut hanya berlaku pada kejahatan dan tidak termasuk pelanggaran.66Alasan mengapa membantu melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum karena menurut Simons67

Adapun bentuk-bentuk pembantuan dibedakan atas dua, antara lain :

, karena hal tersebut merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu penyertaan yang tidak berdiri sendiri.Sehingga yang menjadi penentu apakah seseorang dapat dihukum atau tidak, tergantung pada kenyataan apakah pelakunya telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak.

68

1. pemberian bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan; dan

2. pemberian bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.

Bentuk-bentuk pembantuan tersebut uraian dari Pasal 56 KUHP, dimana pembantuan yang dilakukan dalam melaksanakan tindak pidana dalam 2 (dua) kategori waktu, yakni : sebelum kejahatan dilakukan dan pada saat melakukan kejahatan tersebut. Untuk waktu setelah kejahatan dilakukan, hal tersebut tidak termasuk dalam medeplichtige. Sebab R. Soesilo69

65Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., hlm. 89.

66 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 137.

67Mohammad Ekaputradan Abul Khair, Op. Cit., hlm. 90.

68 Adami Chazawi, Loc. Cit.

69 R. Soesilo,Op. Cit., hlm. 75-76.

dalam bukunya “Kitab

(43)

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, pada bagian komentar Pasal 56 menerangkan bahwa hal tersebut sudah tidak termasuk kedalam medeplichtige, karena pembantuan yang diberikan setelah dilakukannya kejahatan menunjuk pada ketentuan tindak pidana lain, yakni perbuatan tadah (heling) yang diatur dalam Pasal 480 atau juga berkenaan dengan Pasal 221 KUHP.

Menurut Simons dalam Mohammad Ekaputra dan Abul Khair70

1. Unsur objektif : perbuatan itu telah dilakukan dengan maksud untuk mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan. Hal ini berarti bahwa apabila alat-alat yang oleh seorang medeplichtige telah diserahkan kepada seorang pelaku itu ternyata tidak dipergunakan oleh pelakunya untuk melakukan kejahatannya, maka medeplichtige tersebut juga tidak dapat dihukum.

, agar seorang membantu melakukan dapat dihukum, maka perbuatannya harus memenuhi dua unsur, yaitu :

2. Unsur subjektif : perbuatan yang dilakukan oleh medeplichtige tersebut benar-benar telah dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa medeplichtige tersebut memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain, dan perbuatan mempermudah atau mendukung itu juga dikehendakinya.

Berkaitan dengan pidana yang dijatuhkan bagi pembantu pembuat memiliki karaktersistik sendiri, dimana pada Pasal 57 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa orang tersebut dijatuhi pidana pokok yang dikurangi sepertiganya. Pada ayat (2), diterangkan bahwa bagi pembantu pembuat dijatuhi pidana penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun jika kejahatan yang dilakukannya diancam pidana mati atau penjara seumur hidup. Sedangkan pada ayat (3) berbicara tentang pidana tambahan bagi pembantu pembuat yang dipersamakan dengan kejahatan itu, dan yang terakhir pada ayat (4) berkaitan dengan pembatasan penjatuhan

70Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., hlm. 91.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sama seperti yang diatur dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 yang menyatakan dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu dengan

Bank Negara Indonesia, Tbk Kantor Wilayah Jakarta Kota merupakan salah satu institusi keuangan yang dimiliki oleh Pemerintah (BUMN), dalam aktivitasnya juga harus tunduk

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan

3. suatu sebab yang halal. Pos Indonesia bergerak dalam bidang jasa, maka faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang

Maka, atas pertimbangan tersebutlah Majelis Hakim menyatkan bahwa terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Dari pemaparan

Menimbang, bahwa menurut hemat hakim, pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah merupakan hal yang refresif akibat perbuatan yang dilakukan karena