• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EDUART ANGGIAT MARNASIB SILABAN NIM : 140200332

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan, mewajibkan terlebih dahulu ditempuh upaya perdamaian dengan bantuan mediator. Paling lama sehari setelah sidang pertama para pihak harus memilih mediator yang dimiliki oleh Pengadilan dan yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan. Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka wajib menunjuk mediator dari daftar yang disediakan oleh Pengadilan saja. Apabila hal tersebut tidak juga berhasil, dalam jangka waktu satu hari kerja berdasarkan penetapan, Ketua majelis berwenang menunjuk seorang mediator. Proses mediasi harus selesai dalam jangka waktu paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukkan mediator. Seandainya mediator berasal dari luar lingkungan pengadilan jangka waktu tersebut diperpanjang menjadi 30 hari. Apabila mediasi berhasil, kesepakatan lengkap dengan klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai disampaikan dalam sidang. Majelis Hakim kemudian akan mengkukuhkan kesepakatan itu sebagai akta perdamaian. Adapun permasalahan dalam skripsi ini antara lain bagaimanakah tinjauan tentang perjanjian perdamaian dalam Hukum Perdata, bagaimanakah sistem penyelesaian sengketa di Indonesia, bagaimanakah analisis terhadap putusan perdamaian perkara Perdata Nomor: 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan menganalisis Putusan Pengadilan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Perdamaian merupakan suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Dalam persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang sedang bertikai dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak menyelesaikanya sendiri tanpa melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Sistem penyelesaian sengketa di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu litigasi dan non litigasi. Analisis terhadap putusan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn telah sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

Karena pada proses mediasi, kedua pihak selalu hadir tanpa diwakilkan dan penyelesaian dilakukan dengan itikad baik. Kekuatan perjanjian perdamaian ini telah final dan mengikat sehingga terhadap putusan ini tidak dapat dilakukan upaya keberatan.

Kata kunci: Perjanjian, Perdamaian, Sengketa

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***) Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

karunia, hikmat dan sukacita sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Terhadap Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa Perkara Perdata (Studi Putusan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn)”

sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.HumSelaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Terima kasih juga saya ucapkan kepada ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan di Fakultas Hukum USU.

(5)

7. Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Dr. Maria Kaban,SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I saya, yang telah banyak membantu dan memberi bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada kedua orang tua saya: Frengki Silaban dan ibu Asdiwati Lumban Gaol yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada saya baik secara moral maupun secara materi.

9. Terima kasih kepada saudara saya, Karolina Duanti Silaban dan juga Ezra Silaban yang selalu memberikan dukungannya.

10. Terima kasih kepada rekan- rekan saya di Fakutas Hukum USU yang telah membantu saya selama pengerjaan skripsi ini.

Mudah- mudahan skripsi saya ini dapat bermanfaat khususnya dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.

Medan, Desember 2019

Penulis

(6)

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM HUKUM PERDATA A. Perjanjian ... 15

B. Perdamaian ... 28

C. Akta Perdamaian ... 33

D. Perjanjian Perdamaian dalam HIR/RBG ... 37

E. Perjanjian Perdamaian (Mediasi) dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ... 40

BAB III : SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA A. Sengketa ... 45

B. Bentuk- bentuk Penyelesaian Sengketa ... 49

C. Perkembangan Regulasi Tentang Penyelesaian Sengketa di Indonesia ... 51

D. Mediasi ... 53

(7)

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn

A. Posisi Kasus ... 65 B. Kepastian Hukum dengan Adanya Perjanjian Perdamaian dalam

Upaya Penyelesaian Perkara ... 67 C. Kekuatan Hukum Perjanjian Atas Akta Perdamaian yang

Dilakukan Sebagai Putusan Pengadilan ... 68 D. Upaya yang Dapat Dilakukan Apabila Salah Satu Pihak Tidak

Beritikad Baik ... 70 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA ... 76 LAMPIRAN

(8)

Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak asing dengan isitilah sengketa.

Sengketa muncul sebagai akibat persinggungan manusia sebagai makhluk sosial.

Sengketa merupakan sebuah permasalahan atau perkara perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya mengenai sesuatu hal. Sengketa sendiri bentuknya bermacam- macam, salah satunya adalah sengketa perdata. Sengketa perdata adalah perkara perdata dimana paling sedikit ada dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Jika dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.1

Masyarakat Indonesia selama ini dikenal dengan sebuah ciri khas yang telah lama melekat pada kehidupan sehari-hari. Ciri tersebut adalah pelaksanaan musyawarah mufakat yang didasarkan pada asas kekeluargaan dalam penyelesaian sengketa. Namun, perkembangan di dunia peradilan, menyebabkan perubahan kebiasaan masyarakat Indonesia. Salah satu yang menyebabkan perubahan di kalangan masyarakat adalah terjadinya disorganisasi yaitu proses memudarnya norma- norma atau nilai- nilai dalam masyarakat dikarenakan adanya perubahan yang terjadi dalam lembaga- lembaga kemasyarakatan, dimana masyarakat akan lebih puas jika sengketa di antara mereka diselesaikan melalui

1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal. 84

(9)

banyak yang diselesaikan melalui lembaga peradilan.

Penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui lembaga pengadilan diawali dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang dan dalam pemeriksaan di persidangan, juga harus memperhatikan surat gugatan yang bisa diubah sebelum jadwal persidangan ditentukan oleh ketua pengadilan atau oleh hakim. Apabila dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri dan gugatan dinyatakan diterima oleh pihak Pengadilan Negeri, maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata, perdamaian selalu diusahakan sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan. Langkah perdamaian dilakukan dengan cara mediasi terlebih dahulu bagi kedua belah pihak yang berperkara.

Berdasarkan uraian yang di atas, maka dapat perdamaian dapat dijadikan sebagai solusi untuk menyelesaikan sebuah perkara perdata. Keuntungan dengan menggunakan cara perdamaian adalah sebagai berikut: 3

1. Penyelesaian bersifat informal;

2. Para pihak sendiri yang menyelesaikan perkara;

3. Jangka waktu penyelesaian pendek;

4. Biaya yang ringan;

5. Tidak diperlukan adanya pembuktian;

6. Penyelesaian bersifat konfidensial;

7. Hubungan para pihak bersifat kooperatif.

Pada penjelasan di atas, telah disebutkan bahwa bahwa pada dasarnya dalam suatu proses persidangan perkara perdata, hal pertama yang dilakukan oleh

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 299

3 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata I, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 236

(10)

Herzien Inlandsch Reglement (HIR) tentang pelaksanaan perdamaian di muka sidang disebutkan bahwa:

a. Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian antara kedua belah pihak.

b. Jika dapat dicapai perdamaian sedemikian, maka dibuatlah untuk itu suatu akta dalam sidang tersebut, dalam mana kedua pihak dihukum untuk mentaati isi persetujuan yang telah dicapai itu, akta mana mempunyai kekuatan yang sama dan dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai suatu putusan biasa.

c. Tahap putusan sedemikian tidak dapat dimintakan banding.

Apabila dipandang secara teori, perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Menurut hukum, perjanjian ini tidaklah sah, kecuali jika dibuat secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata). Dengan kata lain, dalam perjanjian perdamaian, para pihak yang bersengketa saling melepaskan seluruh atau sebagian tuntutan mereka, demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Berbeda dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian perdamaian ini merupakan perjanjian khusus yang perlu diformalkan dalam bentuk tulisan. perjanjian perdamaian adalah suatu jenis perjanjian formal karena sah jika tertulis. Ia tidak sah (dan

(11)

yaitu dibuat secara tertulis.

Pengertian pada Pasal 1851 KUHPerdata tersebut menegaskan bahwa perjanjian perdamaian haruslah dibuat secara tertulis atau dituangkan dalam suatu akta perdamaian. Karena perjanjian perdamaian adalah upaya non litigasi, maka ketentuan mengenai pembuatan akta perdamaian tersebut tidak terlepas dari hukum perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Di Indonesia, hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Dalam Pasal 1313 KHUPerdata, ditentukan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Dari perbuatan perjanjian perdamaian tersebut timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang yang disebut perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum (khusus mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dan yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.4

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1851 KUHPerdata tersebut kemudian dipertegas dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan, mewajibkan terlebih dahulu ditempuh upaya perdamaian dengan bantuan mediator. Paling lama sehari setelah sidang pertama para pihak harus memilih mediator yang dimiliki oleh Pengadilan dan yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan. Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka wajib menunjuk mediator dari daftar yang disediakan oleh Pengadilan saja. Apabila hal tersebut tidak juga berhasil, dalam jangka waktu satu

4 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2001, hal. 1

(12)

mediator. Proses mediasi harus selesai dalam jangka waktu paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukkan mediator. Seandainya mediator berasal dari luar lingkungan pengadilan jangka waktu tersebut diperpanjang menjadi 30 hari. Apabila mediasi berhasil, kesepakatan lengkap dengan klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai disampaikan dalam sidang. Majelis Hakim kemudian akan mengkukuhkan kesepakatan itu sebagai akta perdamaian. Tetapi apabila gagal adalah tugas mediator untuk melaporkannya secara tertulis kepada Majelis Hakim. Konsekuensi kegagalan tersebut memaksa Majelis Hakim melanjutkan proses perkara.

Pencapaian kata damai dalam sebuah sengketa, maka perdamaian itu sendiri pada dasarnya harus mengakhiri perkara, harus dinyatakan dalam bentuk tertulis, perdamaian harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam perkara dan oleh orang yang mempunyai kuasa untuk itu, dan ditetapkan dengan akta perdamaian sebagai bagian dari suatu formalitas perjanjian.5

Berdasarkan dengan isi perjanjian perdamaian yang telah disepakati, maka selayaknya perdamaian harus dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam perkara dan oleh orang yang mempunyai kuasa untuk itu, dan ditetapkan dengan akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum dan sifatnya final. Jadi sebelum pemeriksaan perkara dilakukan hakim pengadilan negeri selalu mengupayakan perdamaian para pihak di persidangan. Hakim harus dapat memberikan pengertian, menanamkan kesadaran dan keyakinan kepada para pihak yang berperkara, bahwa penyelesaian perkara dengan perdamaian

5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramita, 2006, hal. 374

(13)

diselesaikan dengan putusan pengadilan, baik dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang digunakan.6

Sebagai contoh sengketa perdata yang diselesaikan dengan perjanjian perdamaian adalah sengketa Perdata Nomor: 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn antara Even Anastasia melawan Hartono Tio. Perkara perdata ini adalah tentang gugatan perceraian. Even Anastasia menggugat cerai suaminya yaitu Hartono Tio. Namun pada proses pengadilan, akhirnya kedua belah pihak menyatakan sepakat untuk berdamai dan melakukan perjanjian perdamaian melalui akta perdamaian.

Perdamian antara kedua belah pihak yang berperkara dalam perkara perceraian tersebut secara hukum telah menjadi akhir sengketa itu sendiri. Sebab ketika perdamaian disepekatai, maka pada persidangan selanjutnya, majelis hakim menyatakan bahwa perkara telah selesai dengan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa peranan mediasi dalam perkara perdata cukup efektif. Namun tentu saja pada pelaknsanaan perdamaian melalui mediasi, banyak hal- hal yang perlu dikaji sebagai peristiwa hukum.

Apabila melihat permasalahan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengulas lebih jauh mengenai perjanjian perdamaian yang dilakukan dalam perkara perdata. Adapun penelitian ini dituangan dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa Perkara Perdata (Studi Putusan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn).”

6 Netty Herawati, Implikasi Mediasi Dalam Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Terhadap Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan, Jurnal Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September, 2011, hal. 2

(14)

Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tinjauan tentang perjanjian perdamaian dalam Hukum Perdata?

2. Bagaimanakah sistem penyelesaian sengketa di Indonesia?

3. Bagaimanakah analisis terhadap putusan perdamaian perkara Perdata Nomor: 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan dan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tinjauan tentang perjanjian perdamaian dalam Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui sistem penyelesaian sengketa di Indonesia.

3. Untuk mengetahui analisis terhadap putusan perdamaian perkara Perdata Nomor: 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah untuk mencapai hal- hal sebagai berikut ini:

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum keperdataan, yang terkhusus berkaitan dengan perjanjian perdamaian yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa keperdataan.

2. Manfaat Praktis

(15)

mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan- penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

b. Agar menambah pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan dengan cara perjanjian perdamaian.

c. Dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pelaksanaan perdamaian dalam sengketa keperdataan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan beberapa Universitas yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online khususnya Fakultas Hukum, tidak didapati judul skripsi Tinjauan Yuridis Perjanjian Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa Perkara Perdata (Studi Putusan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn). Namun ada beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan penegakan sanksi disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil, di antaranya:

Adlan Fakhrusy Hakim (2015) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Perjanjian Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bentuk penyelesaian sengketa keperdataan menurut peraturan yang berlaku.

2. Keabsahan perjanjian perdamaian yang dilakukan dalam sengketa kepadataan.

(16)

bagi para pihak.

Muhammad Taufik Yanuar Ramadhan (2018) Fakultas Hukum Universitas Mataram dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Akta Perdamaian Yang Dibuat Dihadapan Notaris Dalam Menyelesaikan Sengketa Perdata. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kedudukan hukum akta perdamaian yang dibuat dihadapan notaris dalam penyelesaian sengketa perdata.

2. Peran notaris berdasarkan jabatan didalam membuat akta perdamaian dalam sengketa perdata.

3. Implikasi akta perdamaian terhadap sengketa yang terjadi.

Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan dengan kajian pelaksanaan perjanjian perdamaian dalam sengketa perdata.

2. Penelitian dilakukan dengan fokus kepada putusan yang telah disebutkan di atas.

3. Dalam penelitian ini dilakukan pada waktu yang berbeda dengan penelitian di atas.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa skripsi ini belum ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan tulisan yang telah dilakukan di Fakultas Hukum manapun. Maka dari itu, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara akademik.

(17)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

Penulisan skripsi ini, menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Tinjauan Yuridis Perjanjian Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa Perkara Perdata (Studi Putusan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn). Penelitian ini juga didasarkan pada upaya untuk membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit agar dapat membantu memperjelas hasil penelitian7.

2. Metode penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis

7 Moeleong, Lexy.J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hal. 6

(18)

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis (Analitical Approach).

Pendekatan Analitis (Analitical Approach) tujuannya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.8 Penggunaan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Analitis disesuaikan dengan judul penelitian ini yaitu Tinjauan Yuridis Perjanjian Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa Perkara Perdata (Studi Putusan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn). Metode ini digunakan untuk menyesuaikan peraturan yang ada dengan realita di lingkungan sekitar.

3. Data dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat.

b. Bentuk maupun isinya data sekunder telah dibentuk dan diisi olehpeneliti- peneliti terdahulu.

c. Data sekunder tanpa terikat/dibatasi oleh waktu dan tempat.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi : a. Bahan-bahan hukum primer, yang mencakup Putusan Tinjauan

Yuridis Perjanjian Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa

8 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi).

Malang: Bayu Media Publishing, 2007, hal. 303

(19)

dengan menggunakan peraturan terkait.

b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti Jurnal mengenai perjanjian perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan dan dalam pengadilan, hasil-hasil penelitian.

c. Bahan-bahan hukum tersier,meliputi kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Keseluruhan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan.

Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan, dengan tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM HUKUM PERDATA Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Perjanjian, Perdamaian, Akta Perdamaian, Perjanjian

(20)

Perdamaian (Mediasi) dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

.

BAB III : SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Sengketa, Bentuk- bentuk Penyelesaian Sengketa, Perkembangan Regulasi Tentang Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Mediasi dan Prosedur Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Posisi Kasus, Kepastian Hukum dengan Adanya Perjanjian Perdamaian dalam Upaya Penyelesaian Perkara, Kekuatan Hukum Perjanjian Perdamaian Atau Akta Perdamaian yang Dilakukan Sebagai Putusan Pengadilan, dan Upaya yang Dapat Dilakukan Apabila Salah Satu Pihak Tidak Beritikad Baik dalam Menjalankan Akta Perdamaian yang Telah Diputuskan Oleh Hakim.

(21)

Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna.

(22)

15 1. Pengertian Perjanjian

Didalam kehidupan sehari-hari, istilah dari perjanjian sangat sering didengar dan juga sangat sering dilakukan oleh masyarakat misalnya: perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian simpan-pinjam, perjanjian tukar- menukar, dan jenis perjanjian lainnya.9 Pelaksanaan sebuah perjanjian, bentuk perjanjian-perjanjian yang dibuat ini pada dasarnya berbentuk bebas. Dapat diadakan secara lisan, dan dapat pula di terapkan dalam bentuk tulisan. Namun perjanjian yang diterapkan dalam bentuk tulisan biasanya digunakan hanya sebagai alat bukti semata.10

Pembuktian dengan adanya perjanjian tertulis tentu akan membantu dari aspek legalitas. Sebab dalam perkara perdata, bukti surat menjadi sebuah pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara perdata di lembaga peradilan. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dalam bentuk tertulis sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan- kemungkinan terjadinya sengketa di kemudian hari.

Apabila melihat ketentuan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berisi mengenai peraturan perikatan. Pada pasal 1233 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang BW (KUHPerdata) sebagai Undang-

9. Novia Andrina, Op.Cit., hal.21

10 Wan Sadjaruddin, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, Medan: USU Press, 1992, hal. 24

(23)

Undang mulai berlaku atau diumumkan secara resmi pada tanggal 30 April 1847 (St. No. 23/1847). Dari tahun pengundanganya jelas dapat kita ketahui, BW yang dalam Buku III mengatur hukum perjanjian adalah Undang-Undang produk kolinial Belanda.11

Perjanjian dapat dimaknai sebagai pelaksanaan dari sebuah kesepakatan antara dua pihak atau lebih. Untuk mengetahui arti sebenarnya dari suatu perjanjian tidaklah mudah karena banyak pendapat para ahli hukum di dalam memberikan rumusan perjanjian tersebut. Dengan adanya berbagai pendapat tentang rumusan dari perjanjian tersebut. Penulis merasa perlu memberikan beberapa pengertian perjanjian menurut para sarjana.

Buku III KUHPeradata berbicara tentang perikatan (van verbibtenissen) yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-Undang.12Dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Peradata menyebutkan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan yang satu atau orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pengertian perjanjian menurut Wrijono Prodjodikoro Perjanjian adalah:

“Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut janji itu.”13

11 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal 3

12 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hal. 39

13 Wirjono Prodjodikoro, Azas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal.7

(24)

Pendapat yang hampir sama juga disebutkan oleh Mariam Darus Badrulzaman: perjanjian ialah suatu hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yag terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak yang satu berhak atau prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.14

Sedangkan menurut para Sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad, bahwa rumusan perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “Saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dalam pengertian “Perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (Zaakwaarneming), tindakkan melawan hukum atau (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya dipakai kata

“Persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang

14 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 3

(25)

dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.15

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “Hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.16

Subekti mengatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji utnuk melaksankan suatu hal”.17

Menurut Tan Kamello, “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat mengenai sesuatu hal dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum yang dimaksud disini adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi dua.”

Secara harafiah kata “verbintenis” yang merupakan pengambil alihan dari kata “obligation” dalam code civil prancis dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.

Dari bebarapa pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa wujud pengertian perjanjian itu sendiri yaitu, hubungan

15 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982, hal. 78

16 Sudiksno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1998, hal. 97

17 Johannnes Ibrahim, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak Dan Kejahatan, Bandung:

Refika Aditama, 2004, hal. 30

(26)

hukum antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban dipihak laim untuk memenuhi suatu hal (prestasi) yang telah disepakati. Perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak yang berjanji untuk memenuhi prestasi kepada pihak lainnya, begitu pula pihak lainnya harus memperoleh pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu.18 2. Bentuk- bentuk Perjanjian

Bentuk-bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).

Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagimana dikemukakan berikut ini:19 a. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang

bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga.

Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.

b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Fungsi kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk melagilisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian

18Aquila Siregar, Aspek Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 Pada Perusahaan pengangkutan, Medan: USU, hal. 15

19 Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, Jakarta : Sinar Gafika, 2008, hal. 42

(27)

tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian namun pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.

c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.

Ada fungsi akta notariel (autentik), yaitu: 20

a. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu.

b. Sebagai bukti bagi pra pihak bahwa apa yang telah tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.

c. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika sitentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.

3. Asas- asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:21

20 Ibid.

21 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 3

(28)

a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme memiliki arti penting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu lahir pada saat detik tercapainya kesepakatan para pihak, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak, melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut bersifat obligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut.

Kemudian, untuk beralihnya hak milik masih dibutuhkan suatu perbuatan hukum yaitu penyerahan.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Apabila dicermati Pasal 1338 ayat (1) di atas, pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan adanya pokok (asas) kebebasan berkontrak yang terkandung di dalamnya.

(29)

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), artinya setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) khususnya pada kalimat “berlaku sebagai undang- undang” yang menunjukkan pokok (asas) kekuatan mengikatnya perjanjian yang terkandung di dalamnya.22

d. Asas Iktikad Baik

Ketentuan tentang asas iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) yang menentukan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan Iktikad baik.” Adapun yang dimaksud asas iktikad baik adalah

22 Ibid, hal. 14

(30)

bahwa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Menurut Subekti, hakim mempunyai kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, agar tidak melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti hakim berwenang untuk menyimpang dari perjanjian jika pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan iktikad baik.

Asas Iktikad baik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi orang memerhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran keadilan yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.23

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja.

4. Syarat Sahnya Perjanjian

Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syaratsyarat tertentu.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang isinya sebagai berikut:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

23 Subekti, Op.Cit, hal. 41

(31)

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Sesuatu hal tertentu

d. Sesuatu yang halal.”

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian dapat dibedakan atas adanya syarat-syarat subjektif yang merupakan syarat yang berkenaan dengan orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, dan adanya syarat-syarat objektif yang berkenaan dengan objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Yang merupakan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar.

5. Masa Berlaku dan Berakhirnya Perjanjian

Perjanjian mulai berlaku sejak dimulai kata sepakat antara pihak.

Perjanjian ini akan berlaku sampai kedua belah pihak menyatakan telah mengakhiri perjanjian. Cara hapusnya perjanjian berbeda dengan cara hapusnya perikatan. Hapusnya perikatan belum tentu menghapuskan suatu perjanjian.

Kecuali semua perikatan-perikatan yang ada pada perjanjian tersebut sudah hapus.

Sebaliknya jika perjanjian berakhir atau hapus, maka perikatan yang bersumber dari perjanjian tersebut juga menjadi berakhir atau hapus.

Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa ajaran mengenai kapan suatu perjanjian dianggap lahir. Menurut Setiawan saat terjadinya perjanjian yaitu:24

1. Teori kehendak (wilstheorie)

24 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1979, hal. 4

(32)

Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak.

Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

2. Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

3. Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4. Teori ucapan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5. Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.

(33)

6. Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Kelemahan teori ini adalah sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut.

7. Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.

Suharnoko menyebutkan bahwa berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan perjanjian karena suatu perjanjian dikatakan berakhir apabila segala sesuatu yang menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan diantara para pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian telah tercapai oleh para pihak.25 Bila X dan Y mengadakan jual beli, perikatan dapat hapus dengan dibayarkannya harga oleh Y selaku pembeli, tetapi mungkin perjanjiannya masih ada. Untuk hapusnya perjanjian, tujuan perjanjiannya (yaitu untuk memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi, bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir.

Menurut Setiawan, adapun beberapa cara hapusnya perjanjian adalah:26 1. Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak. Misalnya penyewa

yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir selama 3 tahun.

25 Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Jakarta: Kencana, 2004, hal.

30

26 Setiawan, Op.Cit, hal. 69

(34)

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya, jika salah satu meninggal perjanjian menjadi hapus:

a. Perjanjian perseroan (Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata) b. Perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata) c. Perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUHPerdata)

4. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa.

5. Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapatkan barang maka perjanjian akan berakhir.

6. Perjanjian hapus karena putusan hakim.

7. Dengan perjanjian para pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling mengentikan perjanjiannya. Misalnya perjanjian

(35)

pinjam pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.

B. Perdamaian

1. Pengertian Perdamaian

Kata perdamaian artinya penghentian permusuhan, tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman. Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya mendapat persetujuan. 27Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris peace, tranquility. Berdamai dipadankan dengan kata be peaceful, be on good terms.

Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan kata resolve, peacefully.28 Dalam bahasa Belanda, kata dading diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi perdamaian, musyawarah. Kata vergelijk dipadankan dengan kata sepakat, musyawarah atau persesuaian, persetujuan kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara.

Perdamaian merupakan suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Dalam persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang sedang bertikai dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak menyelesaikanya sendiri tanpa

27 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 259

28 John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia- Inggris, Jakarta: Gramedia, 1994, hlm. 129

(36)

melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Namun sering pula terjadi dikemudian hari salah satu pihak menyalahi perjanjian yang telah disepakati, untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka dalam praktek sering perjanjian damai itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian.29

2. Syarat- Syarat Perdamaian

Syarat formil putusan perdamaian yang diatur dalam BAB XVIII, Buku ketiga KUH Perdata (Pasal 1851-1864), yaitu sebagai berikut:

1. Persetujuan perdamaian mengakhiri perkara

Syarat pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal. Perdamaian harus membawa pihak terlepas dari sengketa.

2. Persetujuan perdamaian berbentuk tertulis

Syarat formil kedua yang digariskan Pasal 1851 KUH Perdata, yakni mengenai bentuk persetujuan:

a. Harus berbentuk akta tertulis, boleh dibawah tangan (ditanda tangani para pihak) dan dapat juga berbentuk akta autentik;

b. Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan;

c. Setiap persetujuan yang tidak tertulis dinyatakan tidak sah.

29 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 296

(37)

3. Pihak yang membuat persetujuan perdamaian adalah orang yang mempunyai kekuasaan

Syarat ini berkaitan dengan ketentuan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 ke-2 jo Pasal 1330 KUH Perdata. Meskipun Pasal 1320 KUH Perdata mempergunakan istilah tidak cakap dan Pasal 1852 istilah tidak mempunyai kewenangan, yang termasuk didalamnya tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai personal standi ini judicio.

4. Seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan perdamaian

Syarat formil lain yang ikut terlibat dalam persetujuan tidak boleh kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang tidak bertindak sebagai penggugat dan tergugat , mesti seluruhnya ikut ambil bagian sebagai pihak dalam pihak perdamaian.

Secara umum, pada sengketa yang berkaitan dengan perkara percerian, maka tindakan hakim dalam mendamaiakan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Pada sidang pertama pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam siding tersebut, suami isteri (pihak principal) harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri dan tidak dapat menghadap secara pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi selama perkara belum diputus

(38)

pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata. Dalam upaya perdamaian kedua belah pihak, pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Dan dimungkinkan pengadilan membentuk tim mediasi secara khusus untuk menangani perkara perceraian.

3. Macam- macam Perdamaian

Upaya perdamaian yang dilaksankan dalam perkara peradilan bertujuan untuk mengupayakan penyelesaian perkara melalui jalan damai dengan menasihati atau menyarankan para pihak yang pada awalnya ingin bercerai agar berpikir kembali sehingga mencabut gugatannya dan tidak terjadi perceraian.

Perceraian merupakan hal yang seharusnya dihindari karena akan membawa kepada kemudharatan daripada kemanfaatan. Menurut teori kemashlahatan, segala sesuatu haruslah memberikan manfaat.

Apabila mengacu pada penjelasan umum angka 4 huruf e UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perceraian merupakan suatu hal yang dipersulit, sehingga untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus didasarkan pada alasan-alasan tertentu dan dilakukan di depan sidang pengadilan. Hal ini sebagaimana dinyatakan juga dalam Pasal 39 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974. Berkaitan dengan ini, terdapat prosedural dan syarat-syarat yang harus ditempuh para pihak apabila ingin bercerai, salah satunya dengan mengikuti upaya perdamaian di persidangan.

Upaya perdamaian merupakan sebagai kewajiban yang telah diamanatkan oleh Pasal 39 Ayat (1) dan (2) UU No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun

(39)

1975 jo. Pasal 65 dan Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 115 KHI, bahwa majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak pada setiap persidangan. Majelis hakim dibebankan untuk bekerja secara efektif dan optimal dalam mengusahakan perdamaian kepada para pihak terutama dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran. Majelis hakim juga harus sedapat mungkin menemukan hal-hal yang melatarbelakangi persengketaan dan faktor-faktor penyebab permasalahan di antara para pihak.

Pada pelaksanaan upaya perdamaian, terdapat beberapa bentuk- bentuk atau macam- macam bentuk perdamaian dalam perkara perdata. Macam- macam perdamaian itu tergantung perdamaian yang dilakukan dalam perkaranya.

Misalnya dalam perkara bisnis, maka bentuk perdamamaiannya adalah perdamaian bisnis. Perkara yang terjadi dalam penelitian ini adalah perkara perceraian. Sehingga perdamian ini dapat disebut perdamaian dalam perkara perceraian.

Dalam Pasal 1851 ayat (1) KUHS, menyebutkan adanya 2 macam perdamaian:

1. Perdamaian di muka sidang pengadilan;

2. Perdamaian di luar sidang pengadilan.

4. Faktor- faktor yang Mendorong Para Pihak Melalukan Perdamaian

Sebenarnya alasan dilakukannya upaya perdamaian antara pihak yang bersengketa adalah seringkali memberikan dampak bagi kehidupan sekitar para pihak baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Sedangkan pada

(40)

perkembangan masyarakat, semua kalangan menginginkan keadaan yang damai, tentram dan aman sehingga menghindari konflik atau sengketa antara sesama masyarakat. Sehingga apabila terjadi sengketa antara satu pihak dengan pihak lain, maka sebaiknya dilakukan upaya perdamaian guna mencapai keinginan masyarakat tersebut.

Kesimpulan dari hal di atas bahwa upaya perdamaian adalah langkah paling bijak bagi pihak berperkara dikarenakan mampu menghilangkan suasana permusuhan kepada pihak lainnya, membawa stabilitas keamanan di masyarakat secara umum, serta memberikan kenyamanan bagi para pihak itu sendiri. Jika suatu sengketa perdata diselesaikan dengan mengadakan perjanjian perdamaian dibuat di depan sidang pengadilan dalam suasana penuh kekeluargaan dan persahabatan anatara para pihak yang berperkara, sebab dengan sistem ini tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi lebih kepada penyelesaian secara baik- baik dan tidak menyebabkan kerugian bagi kedua pihak. 30

C. Akta Perdamaian

1. Pengertian Akta Perdamaian

Akta perdamaian merupakan salah satu produk hukum akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai pejabat umum, yang berpegang teguh dalam menjalankan profesinya yaitu sebagai seorang penengah yang tidak memihak, pelayanan diberikan kepada semua pihak,

30 Riduan Syaharani, Masalah Tertumpuknya Beribu-ribu Masalah di Mahkamah Agung, Bandung: Alumni, 1980, hal. 19

(41)

dan berusaha menyelesaiakan semua persoalan, sehingga semua pihak merasa puas dan memperoleh kepastian hukum. Menurut pasal 130 ayat (2) HIR (Herziene Indonesisch Reglement), akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti penetapan yang telah berkekuatan hukum tetap dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. Karakteristik atau ciri khas yang membedakan akta perdamaian dengan akta otentik yang dibuat di hadapan notaris lainnya ialah adanya frasa "Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa".

Akta perdamaian dibagi menjadi dua macam yaitu:31

1. Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau actavan vergelijk. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, bilamana telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian.

Undangundang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

2. Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim atau acta van dading. Dading adalah suatu perjanjian yang tunduk pada buku ke III Kitab Undangundang Hukum Perdata, alinea pertama, dading sebagai suatu perjanjian yang sah

31 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 279

(42)

dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai Undang- undang.

Akta perdamaian langsung memiliki kekuatan eksekutorial karena telah berkekuatan hukum tetap. Apabila penetapan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan, jika salah satu pihak tidak mematuhi perjanjian perdamaian yang telah dibuat, maka pihak yang dirugikan dapat meminta grosse terhadap perjanjian perdamaian yang dibuat dalam bentuk akta otentik kepada notaris.

2. Manfaat Akta Perdamaian

Manfaat yang hendak dicapai dari dilakukannya perdamaian dengan akta adalah sebagai penguatan perjanjian perdamaian yang telah disepakatai oleh para pihak yang bersengketa. Jika perdamaian dicapai tanpa akta, dan dinyatakan damai hanya melalui putusan pengadilan, maka putusan tersebut belum berakhir.

Karena masih dapat dilakukan upaya hukum lain, seperti banding, kasasi dan lain sebagainya. Sendangkan perdamaian yang dilakukan dengan akta perdamaian, maka akan menutup semua upaya hukum atas perkara antara para pihak. Setelah tercapai kata perdamaian dan dituangkan dalam bentuk akta perdamaian, maka selesailah perkara tersebut.

3. Dasar Hukum Akta Perdamaian

Dasar hukum akta perdamaian adalah Pasal 130 HIR, yang menyebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Jika para pihak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua diwajibkan untuk

(43)

menupayakan perdamaian antara kedua pihak. Apabila tercapai perdamaian, maka dibuat dalam bentuk surat atau akta yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan sama dengan putusan pengadilan lainnya.

Pada perkembangannya, ketentuan Pasal 130 HIR ini diterapkan dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Kemudian pada tahun 2008 dikeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi di Pengadilan yang kemudian diperbarui dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

4. Kekuatan Hukum yang Melekat Pada Akta Perdamaian

Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu:

1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth)

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth)

(44)

Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.

3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth)

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.

D. Perjanjian Perdamaian dalam HIR/RBG

Dalam pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan negeri hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang berperkara.

Dan tawaran perdamaian itu dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Perdamaian itu ditawarkan bukan hanya pada sidang permulaan saja, melainkan juga pada setiap kali sidang.

Dalam hal ini sesuai dengan sifat perkara perdata bahwa inisiatip perkara itu datang dari pihak-pihak yang berperkara, karena itu pihak-pihak pula yang dapat mengawali dan mengakhirinya penyelesaian sengketa di pengadilan.

Beracara secara perdamaian dengan perantara hakim, dipersidangan diatur Dalam Herzien Inlandsch Regelent (HIR) untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam Reglemen Indonesia yang diperbarui

(45)

(RIB), pengadilan tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, usaha perdamaian itu diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg :

a) Ayat (1) jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

b) Ayat (2). jika pedamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

c) Ayat (3). Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan dibanding.

d) Ayat (4). jika pada waktu mencoba akan memperdamaikan kedua belah pihak perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu (Pasal 131 HIR)

Menurut Ketentan Pasal 130 ayat (1) HIR – Pasal 154 ayat (1) R.Bg, apabila pada hari sidang yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir, ketua berusaha mendamaikan mereka. Usaha untuk mendamaikan mereka itu bukan hanya pada permulaan sidang pertama saja melainkan sepanjang pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan sampai kepada sidang rerakhirpun sebelum hakim

(46)

ketua mengetokkan palu putusannya. Makin jauh perkara itu berlangsung diperiksa dipersidangan, hakim semakin mengetahui duduk perkaranya yang sebenarnya dari perkara mereka itu dan sampai sedemikian itu pula hakim menasehatkan mereka untuk berdamai. Dapat atau tidaknya perdamaian itu dicapai, tergantung pada kebijaksanaan hakim dalam usaha itu dan kesadaran serta kemauan dari pihak-pihak yang berperkara.32

Rasio dari usaha perdamaian itu adalah secara preventif untuk mencegah kemungkinan timbulnyaa suasana permusuhan yang berkelanjutan di kemudian hari antara pihak-pihak yang berperkara karena adanya keputusan hakim, mengingatkan karena adanya putusan yang kalah dan yang menang. Apalagi di antara mereka itu masih adanya hubungan dalam keluarga. Di samping itu juga untuk menghindarkan biaya yang mahal, lebih-lebih lagi yang sering terjadi adanya broker (calo) hukum, dan juga untuk menghindarkan proses perkara yang berlarut-larut dalam kurun waktu yang lama.

Jika perdamaian dipersidangan dapat dicapai, maka acara berakhir dan hakim membuatkan akta perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara itu, yang memuat isi perdamaian, dan hakim memerintahkan pihak-pihak itu supaya menepati isi perdamaian itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KuhPerdata yakni semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ayat (2). suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (3). suatu

32 Ibid.

(47)

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik. Alasan–alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup adalah sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1337 KUHPerdata yakni suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Akta perdamaian itu selain mengikat sebagaimana undang-undang, akta perdamaian mempunyai kekuatan berlaku dan dijalankan sama dengan putusan hakim ( Pasal 230 ayat (2) HIR atau Pasal 154 ayat (2) RBG. Pencapaian perdamaian disini bukanlah merupakan keputusan yang diambil atas inisiatip dan tanggungjawab hakim, melainkan sebagai persetujuan antara kedua belah pihak- pihak atas pertanggungjawaban mereka sendiri, karena perdamaian itu terjadi dalam persidangan pengadilan, maka hakim membuatkan akta perdamaian menurut kehendak para pihak-pihak yang berperkara itu. Oleh karena itu menurut Pasal 130 ayat (3) HIR atau Pasal 154 ayat (3) RBG keputusan perdamaian itu tidak dapat dimintakan banding di pengadilan tinggi yang ada di atasnya, maupun kasasi.

E. Perjanjian Perdamaian (Mediasi) dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disambut baik oleh Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Pengelola Pusdiklat APSI, Thalis Noor Cahyadi, mengatakan ada beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara PERMA No.1 Tahun 2016 dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi.

(48)

Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Kedua, adanya kewajiban bagi para pihak (in persoon) untuk menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik. (2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:

a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

b. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

c. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah;

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Keterkaitannya dengan illegal fishing terletak pada pengaturan garis batas ZEE yang sering digunakan oleh pelaku illegal fishing sebagai tempat pelarian dari

Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif. Akibat hukum terhadap

dan saksi Dedi Irwanto Tarigan (Anggota Kepolisian Ditresnarkoba Polda Sumut) melakukan penyamaran dengan berpura-pura akan membeli kosmetik berupa Temulawak Cream

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan

Pasal tersebut menyatakan bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung

1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, pemilik Merek dan/atau penerima Lisensi selaku penggugat dapat mengajukan permohonan

Seperti diantaranya adalah praktik perjanjian jual beli tanah hak milik oleh pihak asing dengan cara pinjam nama (nominee) yang seolah-olah bahwa pembeli tanah

3) Periksa dengan seksama kondisi kamera dan lensa tersebut, mulai dari kondisi fisik dan tombol-tombol fungsi produk. 4) Cek kelengkapan dari paket tersebut, mulai